Share

Bab 3

Part 3

"Bil, kamu sudah cukup usia, duapuluh lima tahun, usia matang untuk menikah. Mama mau kenalin kamu sama anak temen Mama."

"Mama mau jodohin Bilqis? Mah, ini bukan jaman siti nurbaya, sekarang tuh jaman korona. Ngapain sih pake dijodohin segala. Kek nggak laku aja. Lagian Bilqis itu sudah ada Ko Erik, hubungan kami serius, Ma," protesku.

"Mana ada serius? Pernahkah Erik menemui Mama? Bicara sama Mama? Hanya sekedar ketemuuu aja, pernah? Enggak, Bil."

Aku baru sadar juga jika seharian ini Ko Erik tak menghubungiku sama sekali.

"Mama keberatan karena masalah RAS?" tanyaku.

"Ya, enggak, lah, Nduk. Mama enggak pernah masalah kan RAS. Tapi keseriusan dalam hubungan itu penting."

"Tapi nggak harus dijodohin, Ma."

"Kamu nggak akan nyesel, Bil." 

"Soal menyesal atau enggak itu bukan titik masalahnya, Ma. Tapi soal perasaan. Bilqis sayang sama Ko Erik, kami serius."

Aku beralih ke ruang tamu setelah meraih ponsel milikku dari meja.

Aku duduk di sofa ruang tamu. Rupanya Mama mengikutiku.

"Sekarang gini aja biar adil. Mama punya pilihan untukmu. Mama juga nggak akan memilihkan laki-laki yang buruk untuk jadi imam kamu kelak. Lagian, Bil, Mama udah tua, nggak mungkin hidup terus buat jagain kamu, kamu harus segera punya pendamping hidup. Tapi kamu juga punya pilihan kan? Mama ambil jalan tengahnya, suruh Erik datang ke Mama. Mama mau bicara serius. Kalau dia nggak bisa, kamu bisa menilai sendiri seperti apa Erik itu, karena ini permintaan mama kesekian kalinya. Kalian menjalin hubungan nggak sebentar,  masa nggak ada perkembangan sama sekali. Mama berharap kamu bisa bijaksana untuk hidupmu sendiri. Bagaimanapun dan siapapun kamu dan Erik, setiap hubungan itu harus ada kepastian, kepastian mundur atau maju. Oke?" Lalu Mama meninggalkanku di ruang tamu sendirian.

Kuhubungi nomor Ko Erik.

"Hallo, Bie," jawabnya dari ujung telepon. "Maaf, seharian nggak bisa hubungi kamu, sibuk banget. Kamu lagi ngapain?" sambungnya lagi.

"Ko, bisa nggak besok ke rumah. Koko ketemu sama Mama, ngomong kalo hubungan kita serius," ucapku to the point.

Ia mengehela napas.

"Tapi kamu tau kan. Orang tuaku belum menyetujui dengan benar soal hubungan kita. Aku juga masih sibuk urusin bisnis, lagian ini masih pandemi Bie, Jojakarta-Surabaya itu nggak deket, loh," jelasnya panjang lebar.

"Oke ... mungkin kalau aku bisa ngertiin. Cuma, tau sendiri kan, gimana khawatirnya seorang ibu pada nasib putri satu-satunya. Hubungan kita harus jelas, apalagi kita LDR-an."

"Tapi bisnisku masih baru berkembang, aku ingin sukses dulu, aku nggak mau ajak kamu hidup susah. Aku serius, cuma sabar dulu."

"Hubungan kita itu sudah lama, Ko. Kata koko bakalan disetujui sama keluarga besar kamu."

"Iya, tapi semua butuh proses, Sayang."

"Ko, kamu datang ke Surabaya bentar aja. Cuma datang doank, ngobrol sama Mama. Nggak ngapa-ngapain, ngadep aja, setor muka. Cuma itu, supaya Mama tenang," jelasku.

"Maaf, Bie. Nggak bisa untuk saat ini."

"Plisss ... cuma datang doank," lirihku sambil bergetar memohon. Air mataku mulai turun.

"Nanti, kalau sudah waktunya Bie, enggak sekarang."

"Sekali ini, aku mohon. Apa kamu rela aku diambil orang?"

"Siapa yang mau ambil, hati kamu sudah aku miliki kan? Sudahlah Bie, jangan kekanakan. Sabar, oke."

"Bukannya aku nggak sabar, cuma aku pingin kamu dateng, terus ngobrol sama Mama, gitu aja. Sekali aja, aku mohon," ujarku.

"Enggak, Bie. Belum bisa. Aku lagi di jalan, nih. Besok sambung lagi, ya. Cuapek, banget, kayaknya sampai rumah mau tidur. Met malem, Bie Sayang."

Tak kujawab dan sambungan telepon langsung diputus.

Ya Allah, kenapa seolah aku berjuang sendiri? Kuseka air mata yang tak lagi bisa aku tahan--kecewa.

"Assalamualaikum," ucap seseorang dari ambang pintu masuk.

"Walaikum salam," jawabku sembari mengeringkan wajahku dari air mata lalu berdiri.

Ada seorang perempuan yang seumuran Mama dan juga seorang laki-laki, mungkin suaminya. Atau jangan-jangan laki-laki tua ini yang mau dijodohkan denganku?

"Pasti kamu Bilqis kan?" tanya perempuan yang seumuran Mama itu. "Saya teman Mama kamu, nama saya Tante Laila, kalau ini suami saya, Om Bagas, Mama ada, Nak?" tanyanya sembari kepalanya sedikit melongok ke dalam.

"Ada Tante, sebentar, Bilqis panggilin dulu. Silakan masuk Tante, Om. Silakan duduk," ucapku agak membungkuk dan mundur memberi mereka jalan untuk masuk.

"Bun, ini taruh mana?" tanya seseorang sambil kesusahan membawa tiga kantong tas berbahan karton, lalu Tante Laila menoleh ke arah orang yang memanggilnya itu, aku ikut meniliknya.

Astaga, aku kenal siapa pemilik mata itu. 

Lalu ia menurunkan maskernya sampai ke dagu dan menarik napas panjang-panjang. Ia masih sibuk dengan Tante Laila tanpa menoleh padaku.

Ternyata betul siapa sesungguhnya dibalik masker dan pesona jidat glowingnya tadi siang.

Aku masih menatapnya, ia belum juga sadar.

"Bawa masuk, Bunda bantu bawa." Tante Laila, mengambil satu kantong tentengan dari tangan laki-laki berjidat glowing.

Akhirnya ia mendongak dan menatapku dengan mata membulat 'terketjoed'

Mas Virzha menatapku, entah apa yang ada di pikirannya. Matanya seolah menjelajahi isi pikiranku. Matanya masih tak berkedip, membuatku mati kutu.

Astagfirullah.

Mungkinkah ia masih sakit hati padaku, meskipun dulu itu cuma salah paham, aku yakin pasti membuatnya kecewa.

Waktu telah merubah semuanya. Memang dari dulu wajah Mas Virzha itu tampan dan manis, tapi sekarang jauh berbeda, badannya lebih berisi, pas dengan tinggi badannya dan kulitnya tampak lebih terawat,

Glow up yang ia alami sangat kentara, terutama kilau jidatnya, asli dah, kalah glowing jidatku. Jidat Mas Virzha itu ibarat lantai mesjid sehabis dipel. Mengkilat banget.

Eh, kenapa aku jadi mengagumi jidat mantanku, sih? Mas Virzha, masih menatap padaku.

Astagfirullah. 

Ingin menunduk, tapi kenapa aku jadi seperti dikunci dengan tatapannya.

Ya Allah, bukankah ada hati Ko Erik yang harus aku jaga.

"Hallo ... Zha, Virzha!" Tante Laila memanggil Mas Virzha tapi ia tetap bergeming terus menatapku. 

Aku beri ia kode dengan melirik ke arah Tante Laila, Mas Virzha masih tak merespon. Sekali lagi aku melirik memberinya kode.

Astagfirullah, ini mata 'nyeledet' terus, sudah kek mau tari Bali. Tinggal gerak 'ngelung' (badan dibengkokan) terus sleag-sleog. Eh, kenapa jadi buat tutorial tari Bali?

Aku miringkan kepala ke kiri mengode Mas Virzha sambil terus melirik Tante Laila, pun masih tak paham.

Mungkin karena tak sabar, hidung Mas Virzha dipencet oleh Tante Laila.

"Eh, aduh ... oh, iya ... apa, Bun?" tanya Mas Virzha sambil mengusap lehernya. 

"Cantik, ya?" tanya Tante Laila.

"Hmm ...," deham Mas Virzha, lalu membuang muka. 

Aduh, aku jadi pingin goler-goler Ya Allah.

Mas Virzha diam kembali. 

"Jeeeng Laila! Ahpa kahbaaarrr. Ya Alloh, Jeng, makin cantiiik!" seru Mama yang berjalan dari ruang tengah menuju ke Tante Laila, Mama melewatiku tanpa memperhatikan posisiku. Ngeluyur begitu saja,  sampai aku melongo. Lalu mereka cipika-cipiki.

Mas Virzha diam berdiri di luar pintu, sesekali melihatku lalu melihat ke lantai, pasti nyari duit receh nih, Pak Lurah. Sedangkan Om Bagas berdiri di samping Tante Laila tapi agak masuk ke ruang tamu, menyalami Mama. Kemudian  Mama sibuk mengobrol kembali dengan Tante Laila.

"Ya ampuuun, akhirnya kita nggak perlu jauh-jauh buat ketemu, ya. Kuangen loh, sumpah. @:÷^&;-%÷_#¥¥×*'×/×#;'₩=¥¥ ...." Tante Laila berbicara dengan tempo cepat lalu duduk bersama Mama di sofa ruang tamu.

Entahlah apa lagi yang kedua ibu-ibu itu bahas. Aku persilakan Om Bagas yang berdiri mematung melihat istrinya dan Mamaku berbincang. Om Bagas mengangguk dan ikut duduk di sofa. 

"Mas, silakan ... eng ... masuk," ucapku gugup pada mantanku itu. Ia tak menjawab, hanya memasukkan tangan kanannya ke kantong celana, lalu berjalan masuk ke ruang tamu dan duduk di sebelah kiri Om Bagas.

Nyari apa kira-kira tangannya dimasukkan ke kantong begitu, duh, otak nggak ada akhlak.

Benarkah aku dijodohkan dengan Mas Virzha? Bagaimana Mama dan Tante Laila bisa kenal? Kalau soal hubunganku dengan Mas Virzha,  memang kedua keluarga kami tak mengetahui, karena kami dulu backstreet.

----------------

Jangan lupa dibintangin, Bebs. Sehat selalu, ya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status