"Apa itu benar, Ma?" tanya Tantra yang sudah berada di belakang Tania. Membuat wanita itu menoleh. "Arfeen akan membawa istrinya ke sini?"Tanpa menyakitkan mata. " Jangan berpikir macam-macam Tantra atau sepupumu itu bisa menghabisimu.""Jangan khawatir, Ma. Aku yakin Arfeen tidak akan mau terusir dari klan Maheswara untuk kedua kalinya!" jawab Tantra dengan serangai di wajah. Ia tahu Larena adalah salah satu wanita tercantik di kota, akan sangat rugi jika ia tak bisa menggoda kakak iparnya itu. Ia sangat yakin Arfeen akan lebih mementingkan kedudukannya sebagai pemimpin klan ketimbang wanita yang usianya jauh di atas dirinya itu. "Dengar, Tantra. Untuk saat ini sebaiknya kau jangan melawan Arfeen. Banyak pihak yang ingin menjatuhkan keluarga kita, dan hanya Arfeen yang bisa mengatasi semua ini!"Tania berjalan ke ruang tamu diekori sang putra. Mereka duduk di sana. "Lyra memang kuat, tapi tetap saja dia tak ada apa-apanya dibanding adik tirinya itu!""Tapi Lyra itu sangat licik,
"Siapa?" tanya Larena yang penasaran. "Jordi!" Arfeen menjawab singkat. "Maksudku siapa yang kalian bicarakan?""Oh! Henri."Larena mengerutkan kening. "Kau tak perlu memikirkannya, dia itu salah satu anggota federasi yang aku curigai berkhianat."Larena mengangguk pelan. "Kau meninggalkan anggota selama 6 tahun, kemungkinan ada yang berkhianat itu besar!" "Aku tak khawatirkan hal itu, masih banyak yang setia padaku di luar federasi. Bahkan aku bisa membangun kelompok baru, menakhlukan mereka yang mencoba berkhianat bukanlah hal yang sulit."Larena menelan ludah seketika. Mendengar penuturan sang suami ia bisa membayangkan seberapa besar kekuasaan pemuda itu. Arfeen menyantap kembali makanannya dengan santai. Larena melonjak saat Arfeen mencubit hidung mancungnya. "Lanjutkan makan, setelah itu istirahat. Atau jika kau ingin melakukan sesuatu!""Melakukan apa?" pikiran Larena sudah mengarah ke ranjang. "Berkeliling rumah mungkin, kau butuh beradaptasi di sini. Eh, tapi jangan!
Arfeen mengancingkan kemeja setelah membersihkan diri di kamar mandi, pandangannya lurus ke arah sang istri yang tengah memeluk guling di balik selimut. Ia menyambar jas di dalam lemari, mengenakanya dengan kilat, memakai jam tangan, memungut dompet, handphone dan kunci mobil. Ia bergegas meninggalkan kamar, berpapasan dengan Jean di teras. "Bos, Anda mau pergi?" "Ya, jaga istriku dengan baik. JIka dia bertanya ke mana aku, katakan saja aku sedang pergi ke markas untuk mengatasi masalah federasi!" "Anda tidak memanggil Jordi?" "Dia ada di sana." "Biarkan Agha yang mengantar Anda, Bos!" "Tidak perlu, aku kan pergi sendiri." "Tapi Anda baru keluar dari rumah sakit." "Apa kau baru saja mengenalku, Jean?" Jean bungkam, ia tahu bosnya itu bukanlah orang awam yang akan mengeluh dengan luka seperti itu. Tapi tetap saja ia khawatir. "Terakhir Anda pergi tanpa pengawalan, Anda berakhir di rumah sakit, Bos!"Arfeen menghentikan langkah di pintu mobil. "Jangan terlalu dekat!" ujarnya
"Aku tak seratus persen percaya padanya, Jordi!""Jangan khawatir, tapi dia akan tahu jika diawasi.""Kita tak perlu mengawasinya. Oya, apakah kalian sudah mendapatakn informasi tentang pria yang meneror istriku?" "Maafkan saya, Presdir. Orang itu sama sekali tak memiliki catatan yang bisa kami dapat. Dia sangat pandai menyelinap, cukup sulit untuk bisa mengatasinya.""Artinya ... kau bahkan belum tahu di mana dia tinggal?" cibir Arfeen berjalan ke sofa dan mendudukan diri. Jordi tak menjawab. Baru kali ini ada orang yang sangat sulit untuk dicari informasinya seakan-akan orang itu sama sekali tidak memiliki identitas. Siapa sebenarnya pria itu? Dan kenapa harus meneror istri bosnya. Apakah ada yang membayarnya? Atau dia bekerja sendiri?Tapi rasanya tidak mungkin jika dia bekerja sendiri, pasti ada seseorang di balik teror itu?Kali ini Jordi merasa gagal dalam tugas, hanya untuk mencari tahu satu orang saja ia belum bisa mendapatkan informasi apapun. Tapi tentu saja dia tidak aka
"Apa maksudmu Vierra, bicara itu yang jelas!" suruh Vano sedikit murka mendengar penutupan sang istri. "Aku juga tidak tahu apa yang terjadi tapi itu yang dikatakan oleh Larena. Arfeen menemukan hasil autopsi Malik 6 tahun yang lalu yang kebetulan belum sempat dibaca oleh Tuan Radika.""Hasil autopsi Malik? Memangnya apa yang salah dengan hasil autopsinya? Malik meninggal karena kecelakaan mobil yang fatal!""Apa kau akan percaya dengan mudah jika Malik bisa mati begitu saja tanpa ada sesuatu?"Vano tercenung. "Soal kekuatan, kau bukan apa-apa dibandingkan Malik. Kecelakaan seperti itu tidak akan membunuhnya jika tak ada sesuatu. Dan aku yakin itulah yang ditemukan Arfeen dalam hasil autopsinya!"Vano tetap diam. "Dan selama ini ... Tuan Radika diam saja karena memang belum sempat memeriksa hasil autopsi itu!""Tapi kenapa itu berhubungan denganku? Aku tidak melakukan apa pun!" "Bukankah kalian bertemu sebelum Malik mengalami kecelakaan?" Vano terkesiap. Menggeser arah pandangnya
Semua orang setuju dengan usul Vanesa yang meminta Ferano untuk meminta foto tuan muda Mahesvara kepada Lyra."Benar, Kek. Tidak mungkin kan Nona Lyra tidak memiliki foto adiknya sendiri?" imbuh Gibran.Mereka mulai memiliki harapan untuk bisa mengenali wajah tuan muda Mahesvara. Kini semua anggota keluarga Jayendra tahu bahwa Lyra dan adiknya itu berada di jalan yang berseberangan. Jadin jika Lyra berpihak pada mereka, wanita iitu pasti mau membantu mereka untuk merealisasikan proyek saat ini. Jika proyek kali ini berhasil maka kleuarga Jayendra akan bangkit dan menjadi salh satuu keluarga berpengaruh di dalam negeri, bahkan mungkin sampai ke manca negara. "Baiklah, aku akan menghubungi Nona Lyra!" tukas Ferano mulai mencari kontakl Lyra. Setelah menemukan ia pun segera menghubungi.Kebetulan hari ini Lyra baru saja tiba dibandara. Ia enerima panggilan dari Ferano."Ada apa, Tuan Ferano?" tanyanya dengan nada yang iabuat sopan. "Nona Lyra, saya sennag sekali jika Anda sedag tidak
"Aku baik-baik saja, Wife. Kau tidak perlu terlalu khawatir.""Bagaimana aku tidak khawatir, kau baru saja keluar dari rumah sakit dan sekarang sudah ingin bekerja!""Ada banyak pekerjaan yang harus kuurus, jika aku terlalu banyak libur semuanya akan terbengkalai."Larena menatapnya, ia menggigit bibirnya sejenak. "Bolehkah aku pergi ke La Viva?""Untuk saat ini sepertinya belum aman?" jawab Arfeen dengan cepat seolah sudah menyiapkan jawaban itu. "Tapi aku takut berada di sini sendiri sementara kau bekerja.""Jean akan menemanimu!" "Kau ingin mengurungku?" tuding Larena kesal. "Jangan salah paham, Wife. Aku hanya ingin memastikanmu aman!" bujuknya. "Berikan saja bodyguard lebih, aku juga perlu mengurus La Viva!" Arfeen membalas tatapan sang istri. Ia juga tak ingin membuat wanita itu merasa dikurung. Itu bisa membuatnya stress, bukankah dia sedang hamil? Akhirnya Arfeen mengizinkan Larena untuk pergi ke La Viva dengan pengawalan yang ketat. Dalam perjalanan Larena harus menerim
Tubuh Gibran masih gemetaran, sebelum hari ini terjadi ia masih mampu untuk menyombongkan diri. Di matanya Arfeen masih sama seperti dulu, seorang menantu yang tidak berguna. Tapi sekarang nyalinya tiba-tiba saja menciut, bahkan untuk bertanya pun tenggorokannya terasa sangat sakit. Seperti ada sebongkah batu besar yang mengganjalnya. “Kau belum menjawab pertanyaanku, Gibran. Apa yang kau lakukan di sini?” ulang Arfeen degan nada lebih tegas. “Aku … aku ….” Gibran tidak melanjutkan kalimatnya. Iaa justru menjatuhkan diri di atas lutut. "Kak Arfeen, tolong maafkan aku. Jika selama ini aku kurang sopan terhadapmu!” Arfeen menyipitkan mata, bocah ini datang mengendap dan tiba-tiba saja berlutut padanya. Jadi apakah dia mendengar semua karyawan di sini memanggilnya, Presdir?Jadi Gibran berniat mencari muka padanya? Tapi tentu saja ia tidak akan memberi muka pada bocah brengsek seperti Gibran. “Kenapa kou giba-tiba saja bersikap sopan padaku, ini sangat aneh!”"Kak Arfeen, tolong ja