"Freya, apa yang kau lakukan di sana?" Suara tak asing itu membuat tubuh Freya membatu, perlahan ia menoleh sumber suara. "Mama? Apa yang Mama lakukan di sini?" tanyanya terbata sambil berdiri. Anika yang dikawal beberapa anggota polisi memasuki ruangan itu, matanya menatap marah terhadap Freya. "Dasar gadis jalang! Apakah ini alasannya kalian sering bertengkar?" "Ma, dengarkan aku dulu _argh!" Satu tamparan mendarat di wajah Freya. Membuat tubuhnya sedikit terhuyung. Ia memegang wajahnya yang terasa panas. Anika menatap Arfeen yang masih tampak sangat santai. Nathan yang hanya memperhatikan sedari tadi mulai cemas. "Feen!" Namun lirikan Arfeen membuatnya kembali bungkam. "Jadi kau Arfeen Grafielo?" tanya Anika, "Pantas saja Freya terpikat padamu, rupanya kau memang lumayan menarik hati. Tapi seharusnya kau sadar, Freya sudah menikah. Bahkan kau juga sudah menikah, kenapa kau harus mengganggu hubungan Freya dan Robert?" "Aku tidak mengganggu hubungan siapa pun, Nyo
Anika melotot karena mengenali sosok yang muncul di ambang pintu. Sosok yang tampak anggun dan berwibawa. Ketika berjalan memasuki ruangan, nyaris semua orang terpana. Tak terelakan Nathan, ia bahkan sampai membuka mulutnya lama. Lyra menghentikan langkah di sisi Arfeen, menatap sang adik. "Kenapa kau terlalu berbelit-belit? Tinggal katakan saja siapa dirimu!" "Kenapa Kakak bisa ada di sini?" tanya Arfeen tanpa menoleh. "Apa? Kakak!" seru semua yang ada di ruangan itu. Mata mereka mengarah kepada Arfeen dan Lyra secara bergantian."Maaf Presdir, saya yang mengundang Nona ke sini!" jawab Jordi memunculkan diri di pintu. Arfeen menoleh pada Jordi, mata semua orang kini tertuju pada sosok Jordi. "Presdir?" desis Anika heran. "Nona Mahesvara, kenapa pemuda ini memanggil Anda dengan sebutan Kakak?" tanya kepala polisi.Lyra menyimpulkan senyum, "Kenapa? Itu pertanyaan yang sangat aneh, Pak Kepala polisi. Jika seseorang memanggilku Kakak artinya dia adalah adikku!" "Adik!" seru mer
Freya menatap Arfeen dengan mata mengambang. Ia sungguh tak tahu harus berbuat apa sekarang. Arfeen benar-benar seseorang yang tak mungkin bisa ia rengkuh. Namun rumah tangganya dengan Robert sudah berada di tepi jurang. Ia tak tahu apakah masih bisa memperbaikinya? Jika Robert sadar, ia hanya bisa menunggu apakah pria itu akan menceraikannya atau mereka bisa memulainya lagi dari awal. Namun apa yang dilakukan oleh mama mertuanya telah menciptakan masalah baru. Dan apa yang akan terjadi terhadap mama mertuanya mungkin akan menciptakan dendam terhadap Arfeen Mehasvara. Mungkin Robert akan lebih memilih diam, namun keluarga besarnya mungkin tidak! "Arfeen, ma-maksudku ... Tuan Muda. Bolehkah saya memohon agar Anda mengampuni Mama Anika! Apa yang dilakukannya hanyalah bentuk kasih sayang seorang Ibu terhadap putranya. Dia tak bermaksud sengaja menyakitimu!" Arfeen belum menyahut. "Saya mohon! Saya janji akan membujuk keluarga besar Collins untuk tak menyelidiki lagi tentang a
"Aku butuh kerja sama kalian!""Kerja sama? Apa maksudmu?" tanya Dewi."Suamimu melakukan kesalahan yang sangat fatal dengan menghabisi nyawa adikku yang sedang koma di rumah sakit!" ungkap Arfeen membuat Dewi dan Pandu terperangah.Berani sekali Panji melakukan hal itu kepada anggota keluarga Mahesvara? Dewi sangat kecewa, setelah mengetahui penyebab kemarahan tuan muda Mahesvara, ia pun merasa tak bisa memaafkan suaminya.Profesi suaminya adalah seorang dokter yang notabene memiliki tugas untuk menyelamatkan nyawa para pasiennya, bukan justru menghabisi nyawa mereka.Selama ini Dewi selalu bangga terhadap suaminya, namun kenyataan yang ia ketahui membuat rasa bangganya menjadi benci. Sehingga terpaksa ia menyetujui saja saat Arfeen mengatakan akan menghabisi suaminya di dalam rumah itu."Aku akan menghabisi Panji di rumah ini. Tapi sebelumnya aku ingin memberikannya syok teraphy!""Syok teraphy? Untuk apa? Bu
"Tidak!" Larena sedikit celingukan sebelum kembali menatap sang suami. "Lalu kau menunggu siapa? Tamukah?" ada nada kecewa dalam suaranya. "Aku sedang menunggu seorang bidadari!" Jawabannya membuat mata Larena melebar. Arfeen melangkah ke arahnya. "Kenapa pulang telat?" tanyanya yang belum sempat dijawab oleh sang istri karena ia sudah lebih dulu memagut bibir wanita itu untuk beberapa detik. Larena terpaku, suami kecilnya itu selalu saja berhasil membuatnya salah tingkah. "Hari ini ...." "Sudah kusiapkan air hangat untukmu, mandi dulu. Kau pasti lelah!" potongnya menuntun sang istri masuk ke dalam. "Apa kau sudah pulang sedari tadi?" tanya Larena menatapnya. "Belum lama juga sih, bagaimana harimu di kantor?" Larena menghentikan langkah, menghadap Arfeen. Ia menatap pemuda itu dengan hangat. "Terima kasih ya, berkat bantuanmu produk baru kami berhasil. Dari mana kalian bisa mendapatkan bunga-bunga itu?" Arfeen menyimpan senyum. "Itu rahasia!" jawabnya mencolek ujung hi
Vano menatap menantunya dengan penuh selidik. Ia tak tahu kenapa tapi ada yang mengganjal di dalam hati. Kenapa menantunya itu ingin sekali membantu tuan muda Mahesvara untuk memecahkan kasus Megaproyek? Benarkah hanya sekedar membantu karena pemuda itu bekerja pada klan Mahesvara? Tapi kenapa kesannya seperti Arfeenlah yang sangat bersemangat ingin memecahkan kasus itu?"Ada apa, Pa?" tanya Arfeen yang menyadari tatapan sang mertua. "Beri aku satu alasan kenapa kau sangat bersemangat ingin memecahkan kasus Megaproyek? Padahal kasus ini sudah sangat lama, 20 tahun yang lalu. Yang pada saat itu ... mungkin kau masih balita!" Aventau suatu saat ia akan mendapatkan pertanyaan ini dari sang papa mertua, dan ia sudah siap untuk jawabannya. "Bukankah sudah kukatakan, Pa. Kasus ini menyangkut tentang Papa, nama baik Papa di dunia bisnis. Sebagai seorang menantu tentu saja aku hanya ingin membantu membersihkan nama Papa!" Vano menghela nafas dalam, jawaban menantunya memang masuk akal.
Mendengar kata tak diijinkan keluar ranjang, Larena bisa membayangkan akan sepanas apa pergulatan mereka! Ia ingin kabur tapi hatinya juga mau, lagipula ia memang tak sempat untuk kabur. Sang suami sudah langsung menerkamnya. Arfeen berjalan cepat dan langsung menubruk tubuhnya ketika ia baru sempat sedikit bangun. Menciumnya dengan ganas, sedikit pun tak memberi celah. Tubuh wanita yang 13 tahun lebih tua darinya itu telah membuatnya candu, biasanya ia cepat bosan dan ingin mencari rasa berbeda dari wanita lain. Tapi sekarang ia tak ingin yang lainnya, ia hanya ingin Larena. Ia ingin wanita itu melebihi apa pun. Bukan hanya sebagai teman tidur, tapi juga teman dalam hidupnya. Teman yang bisa ia ajak bicara ketika sedang memiliki masalah. Sayangnya, masalah yang tengah ia hadapi sekarang belum bisa ia bagi dengan sang istri. Ia masih belum bisa mengungkap jati dirinya. Apa yang dibayangkan Larena benar terjadi, bahkan kali ini lebih dari apa yang ia perkirakan. Tubuhnya benar-ben
"Taruhannya adalah nyawamu kan?" Larena mengulang pertanyaannya. Dan sebelum suami kecilnya menjawab dengan candaan ia kembali berseru. "Jangan anggap ini sebagai candaan, Arfeen. Memangnya kau mau menjadikanku janda secepat itu? Bukankah katamu kita akan bersama sampai seluruh rambut memutih? Kalau begitu jauhilah bahaya!" Arfeen mengembangkan senyum. Sebenarnya ia sangat bahagia ketika sang istri mencemaskannya. Itu adalah salah satu bukti bahwa wanita itu sudah mencintainya. Tapi sejak kecil kehidupannya memang penuh bahaya, dan ia tak mungkin bisa lari dari hal itu. "Sejak lama, aku sudah mempercayakan hidupku pada Tuhan. Pada dasarnya hidup dan mati seseorang ada di tangannya, kita tak pernah tahu itu kapan. Jika Tuhan masih menghendaki diriku hidup, maka sebahaya apa pun yang aku hadapi, itu tidak akan merenggut nyawaku." Viera yang masih berada di ambang pintu mendengar percakapan mereka. "Sudahlah, Rena. Itu pilihan pekerjaan suamimu, lagipula sebagai pengawal pribadi