Arfeen menggenggam erat pisau di tangannya melihat Andrew yang tersenyum penuh panipulatif di depan orang tua Larena. "Jangan khawatir, Tante. Semua uang itu aku akan berikan gratis. Hanya butuh satu syarat saja, pemuda gembel itu harus menceraikan Larena." "Maaf, Andrew. Aku sudah mendapatkan uangnya, dan hari ini rencananya aku akan melakukan deposit!" "Kau sudah mendapatkan uangnya? Dari mana?" "Dari mana, kau tak perlu tahu!" jawab Larena sedikit ketus. "Larena sebaiknya kau kembalikan uang itu pada yang punya dan pakailah uangku!" Larena tersenyum sinis, "Kenapa harus kukembalikan?" "Karena pasti siapa pun yang meminjamimu uang itu, mereka akan menyusahkanmu di masa depan!" bujuknya. "Andrew benar, Larena. Sebaiknya kau terima saja bantuan dari Andrew." "Tidak, Ma. Arfeen sudah bersusah payah mendapatkannya, dan dia bahkan tidak meminta apa pun selain kesempatan. Jadi berhenti, memaksaku menceraikan Arfeen!""Arfeen!" desis Andrew penuh dengan nada cemooh. "Dari mana si g
Arfeen mengepalkan tinjunya dengan geram. Di sekitarnya ada Devon dan gengnya yang tengah menertawainya. "Devon, kenapa kau suka sekali merundung Arfeen?" tanya Nathan kesal. "Kau tanya kenapa? Karena temanmu itu memang pantas jadi bahan mainan!" Arfeen bangkit berdiri. Mengibaskan bajunya dengan tangan. "Sepertinya sekarang kau sudah naik level ya, Feen. Ke kampus bawaannya mobil!" tukas Nita melipat kedua lengan di dada. "Mobil hasil morotin tante-tante maksudnya?" imbuh Ane, "Kalau aku sih ogah ditebengin!" Arfeen menghela nafas dalam, selama ini ia sudah cukup bersabar. Namun semua temannya masih saja melakukan hal yang sama yaitu merundung dirinya. Bahkan setelah ia menikah dengan Larena, ia tetap saja hanya seorang sampah bagi teman-temannya. "Kenapa kalian tak pernah puas merundungku?" tanya Arfeen yang masih dengan nada tenang. "Kenapa masih bertanya, sampah sepertimu memang layak untuk diperlakukan rendah!" imbuh Nita dengan nada meremehkan. "Sudah cukup!" seru Natha
Indra dan Kamal lekas meninggalkan restoran itu, mereka langsung mengirim hasil foto dan hasil rekaman yang mereka dapat. Namun mereka masih di dalam mobil untuk mengawasi. "Sepertinya pria bernama Regan itu sengaja menantang Bos!" ujar Indra."Dari apa yang aku tangkap dari pembicaraan mereka, si Regan ini memiliki dendam terhadap Bos. Nyalinya besar juga ingin menantang Bos muda kita!" saut Kamal. "Itu karena dia belum pernah berhadapan langsung dengan, Bos. Jika dia sudah berhadapan langsung, aku yakin di detik terakhir dia akan menyesali semua perbuatannya!" Indra tersenyum menyeringai. "Kau benar, bahkan iblis pun mungkin akan lari ketakutan jika harus berhadapan dengan Bos kita!" Kamal membenarkan ucapan temannya. "Itu dia keluar dari restoran!" seru Indra yang melihat Regan memasuki mobil. Mereka pun langsung mengekori kembali. Sementara Arfeen yang sedang berada di balik meja kantornya membuka pesan gambar yang dikirim oleh anak buahnya. Kedua mata Arfeen menyipit, wajah
Arfeen mengepalkan tinjunya, sejujurnya ia sudah sangat gatal ingin menghajar Andrew hingga babak belur. Namun ia tidak akan menggunakan cara murahan seperti itu untuk memberi pelajaran kepada Andrew Darwis.Arfeen menghela nafas dalam untuk meredam amarahnya.Larena menghampiri Arfeen, "Apa kau serius jika uang itu memang tak perlu dikembalikan?""Selama kau yang menjadi CEO dari La Viva, dana itu tak perlu dikembalikan!"Andrew sudah menghentikan tawanya, "Apa maksudnya itu? Apa jangan-jangan kau berniat menjual Larena pada Tuan Muda Mahesvara?" tudingnya.Mendengar hal itu, Larena langsung menatap Arfeen. "Apa itu benar, Arfeen?""Kau percaya dengan ucapan bedebah itu? Atau lebih mempercayaiku?" saut Arfeen berbalik tanya. Tentu saja Larena lebih mempercayai ucapan Arfeen, hanya saja apa yang Andrew katakan juga masuk akal. Mana mungkin tuan Mahesvara memberikan dana sebesar itu secara cuma-cuma jika tak ada maksud lain? "Arfeen, kau bekerja di bagian apa di perusahaan itu?" "St
Arfeen terpaku dengan ucapan Larena, ia mencoba bersikap biasa saja meski ada amarah di sudut hatinya. Ekspresinya berubah dingin, bahkan cengkeraman di setir mobil pun mengencang. Namun ia tak ingin menunjukkan hal itu di depan sang istri. Damian lagi! Damian lagi!Ia harus bisa menaklukkan hati Larena secepatnya, Damian Atmaja tidak boleh kembali. Tapi hati dan pikiran Larena hanya selalu tentang Damian. Satu-satunya cara membuat wanita itu melupakan Damian hanya dengan membuatnya membenci pria itu. Dan untuk membenci pria itu Larena harus tahu semua kebusukan Damian. Mengetahui semua kebusukan Damian, artinya hati wanita itu bisa saja terluka. Dan Arfeen sungguh tak ingin melukai hati Larena. Di sini Arfeen sedikit frustasi. Jika saja ia adalah Arfeen yang dulu mungkin ia sudah menggunakan cara kasar untuk bisa memiliki wanita itu. Tapi menjalani kehidupan miskin selama 6 tahun di luar sana, mengajarinya segala hal. Terutama tentang kesabaran untuk bisa meraih sesuatu.Jika ia
Arfeen masih berdiri dengan tenang di tempatnya, sementara Andrew tampak melakukan gerakan pemanasan ringan. Larena yang duduk bersama Vano dan Viera mulai merasa cemas. "Mama sudah tak sabar melihat gembel itu mengaku kalah dan melepaskan Larena!" ucap Viera dengan angkuh. Larena yang mendengar ucapan mamanya pun hanya diam melirik saja. Ia akan tetap fokus pada Arfeen, bahkan dalam hati ia berdoa agar Arfeen menang. Arfeen tahu kecurangan apa yang Andrew lakukan. Karena itu adalah hal yang biasa dilakukan oleh para pemain yang curang. Yaitu meletakkan besok ke dalam sarung tangan tinju mereka. Oleh karena itu ia tak boleh sampai terkena pukulan Andrew. Wasit memberi aba-aba dan ... mulai!Andrew lekas memasang kuda-kuda sementara Arfeen hanya menggerakkan tubuhnya sedikit saja. Andrew memberikan serangan tinju pertama yang bisa dihindari oleh Arfeen dengan cukup mudah. Geram, Andrew memberikan serangan kedua. Masih sama, mampu dihindari oleh Arfeen dengan mudah. Terang saja
Larena setengah melepas pelukannya, ia menatap wajah Arfeen yang begitu dekat dengannya. Sebenarnya tadi ia mau melepas pelukan itu spontan, namun ia takut semua orang jadi curiga. "Tak apa, yang mereka tahu kita saling mencintai kan?" ucapnya dengan senyum yang memaksa di bibir. Arfeen membenarkan hal itu, yang semua orang tahu pernikahan mereka itu sungguhan. Bukan hanya sebatas kontrak, jadi kemesraan kecil seperti ini wajar saja jika terjadi. "Kau benar, harusnya kita memang terlihat mesra ya!" saut Arfeen setuju. Namun ia jadi memiliki ide jail. "Kalau begitu harusnya bukan hanya sekedar pelukan, tapi juga ciuman panas!" Kedua mata Larena melotot seketika. Ciuman panas? "Ci-ci-ciuman?" beonya terbata. Arfeen memainkan alis matanya, "Satu ciuman panas tidak akan membuatmu rugi kan? Kau tak ingin mereka curiga jika pernikahan ini hanya kontrak kan?" bisik Arfeen dengan nada sensual. "A ...." Larena mati kutu sekarang. Itu salahnya sendiri juga, kenapa harus memberikan ide pe
"Feen, kau dapat undangan dari Freya tidak?" tanya Nathan ketika dirinya mendudukkan diri. "Undangan dari Freya? Dia kan tidak ulang tahun!" "Ck. Undangan pernikahan. Freya dan Robert mau menikah!" "Ouh." "Kok cuma oh!" "Lah aku harus jawab apa? Diundang atau pun tidak memangnya berpengaruh?" "Kita satu angkatan dapat undangan! Tapi Freya tidak menitipkan undangan untukmu makanya aku tanya!" Arfeen memang sempat melirik Freya, bukan jatuh cinta pada wanita itu. Hanya saja hasrat kelelakiannya menggelora setiap menatap Freya yang mengambil kelas modeling. Tapi Freya tak pernah menganggap Arfeen ada. Bahkan ketika wanita itu mengetahui Arfeen sering memperhatikan dirinya, ia dengan sengaja merendahkan pria itu dengan menyuruhnya melakukan ini itu bak seorang pesuruh. Tapi ketika Arfeen tahu bahwa tenaganya hanya dimanfaatkan saja oleh Freya ia langsung tak memedulikan wanita itu lagi. PUK! Sebuah undangan dengan design yang cantik teronggok ke meja. "Undangan untukmu!" uc
Arfeen terpaku menatap sosok di depannya itu. "Bella! Apa yang kau lakukan di sini?" "Menyelamatkanmu dari para gadis itu, apalagi?" jawab wanita itu dengan senyum hangat. "Aku masih bisa mengatasi mereka sendiri!" "Oya, lalu kenapa kau lari?" "Aem!" Arfeen kebingungan untuk menjawab. "Ayolah, Arfeen. Kau memang seorang Casanova, tapi kau benci dikerubungi para gadis. Seharusnya kau menempatkan pengawalan ketat untuk mengantisipasi. Di acara seperti ini sudah pasti jati dirimu akan terbongkar!" Arfeen menghela nafas panjang. "Terima kasih, tapi aku harus pergi!" ia hendak melangkah namun Bella kembali menyandarkan tubuhnya menggunakan telunjuk. "Kau mau aku berteriak bahwa kau sedang melecehkan aku?" Arfeen menyimpulkan senyum miring. "Kau mengancamku?" "Aku hanya ... argh!" kalimat Bella belum berlanjut karena Arfeen sudah lebih dulu membalik tubuh wanita itu yang kini justru dirinya yang bersandar tembok dengan tangan Arfeen di lehernya. "Dengar Bella, sudah aku katakan
"Rena, apa kau tega pada Kakek?" seru Ferano yang mencoba membujuk cucunya. Dua orang polisi sudah memegangi lengannya kanan dan kiri. "Larena, Papa sudah tua. Tega sekali kalian lalukan itu?" seru Arland tak terima. "Kami masih keluargamu!""Keluarga!" desis Arfeen dengan kecut, "Keluarga tidak menumbalkan anggota keluarganya sendiri."Arland menatap tajam kepada Arfeen. "Ini pasti ulahmu kan?" ia hendak menyerang nalun lekas digentikan oleh anak buah Arfeen. Kedua tangannya dicengkeram dan langsung diborgol ke belakang. "Lepaskan aku!"Buk!Satu tinju mendarat di wajah Arland. Nyaris semua anggota keluarga Jayendra sudah ditahan. "Arfeen!""Lancang kau hanya menyebutkan nama saja, panggil Tuan Zagan!" seru Gray. Mereka semua membeliak, Tuan Zagan?Jadi Arfeen ... Arfeen adalah Tuan Muda Mahesvara? Kenapa Lyra tak pernah memberitahu? "Tuan Muda, kami tidak melakukan kesalahan apa pun padamu. Tolong ampuni kami!" pinta Radika. Arfeen mengeraskan rahang. "Korban kecelakaan Papa
"Ahk, jangan terlalu kencang. Itu menyakitiku!"Seketika kedua mata Larena mendelik, ia melepas peluknya dna menatap wajah di bawahnya. Mata pemuda itu sudah membuka, tengah menatapnya. "Kau ... kau sudah siuman?" beonya. Arfeen mengulum senyum. "Jadi ... pesonaku begitu mengagumkan ya, sampai kau jatuh cinta berkali-kali?" celetuknya memainkan satu alis. "Sejak kapan kau sadar?" tanya Larena mencubit perut Arfeen. "Argh ... sakit, Wife. Sakit, aku masih sakit kenapa kau menganiaya aku?" protesnya mengelus bekas cubitan sang istri. Larena menatap wajah di depannya masih dengan tatapan tak percaya. "Sejak kapan kau sadar? Kau sengaja ingin membuatku takut? Hah?" air mata langsung mengalir deras di pipinya. Arfeen menyentuh pipi sang istri, mengusap cairan hangat itu dengan ibu jarinya. "Maaf!" ucapnya lirih. Larena pun langsung merebahkan diri ke pelukannya."Kenapa kau lakukan itu?" isaknya, "Aku pikir ... kau akan benar-benar meninggalkan aku ... jangan seperti itu lagi ...
"Keluarga Adipradana?" seru Vano. "Kau dan Arfeen?""Iya, Tuan. Saya dan Presdir sama-sama mimiliki darah kleuarga Adipradana. Presdir ... adalah cucu dari Jenderal Wira Adipradana!"Vano menghela nafas dalam. Pantas saja Arfeen berbeda dari semua keluarga Mahesvara yang lainnya. Anak itu jelas memiliki jiwa seorang pemimpin. Ternyata di dalam darahnya mengalir darah orang hebat. Larena sangat beruntung bisa menikahi dengannya. "Golongan darah Anda sama dengan pasien?" tanya si dokter. "Iya, Dok. Anda bisa mengambil sebanyak yang dibutuhkan!" jawabnya dengan iklas. "Mari ikut saya!"Jordi tetap harus melakukan mengecekan terlebih dahulu, setelah cocok baru transfusi bisa dilakukan. Beruntung Arfeen hanya membutuhkan dua kantung darah, sehingga masih bisa mengambil dari tubuh Jordi. Di luar ruangan, Larena masih menangis. Bahkan tangisnya kian pilu. Arfeen rela mengorbankan nyawa demi dirinya, pemuda itu membuktikan kata-kata yang rela mati demi dirinya. Sementara ia ... apa yang
"Arfeen!" suara Larena bergetar. Ia menggengam erat tangan pemuda itu yang terasa sangat dingin. Biasanya tangan Arfeen sangat hangat! Sekarang, ia benar-benar takut jika pemuda itu akan pergi untuk selamanya. Larena meletakan telapak tangan itu ke pipinya yang basah oleh cairan hangat yang tak bisa ia bendung. Berharap tangan dingin itu akan menghangat, nyatanya justru kian dingin. Ia bahkan menggosok telapak tangan Arfeen dengan kedua tangannya lalu kembali menempelkan pada pipinya. Tapi tetap tak berhasil. Dokter sedang mencoba menghentikan pendarahan di luka Arfeen. Peluru yang mengenainya berkaliber cukup besar, itu mengakibatkan darah terus mengalir keluar meski posisi Arfeen terngkurap. Tapi tak mungkin melakukan tindakan untuk mengeluarkan pelurunya di dalam helikopter. Sang dokter tak ingin mengambil resiko. Larena sungguh tak tega melihat kondisi punggung pemuda itu, tangisnya semakin menjadi. Berkali-kali ia mengecupi telapak tangan Arfeen yang ia genggam. Bahkan keti
"Larena!"Larena menghentikan langkah dua meter di hadapan Arfeen. Arfeen langsung berhambur memeluk wanita itu, Larena sama sekali tak memberikan respon apa pun. wanita itu hanya mematung, membiarkan sang suami memeluk tubuhnya. Karena mungkin saja itu akan menjadi pelukan terakhir mereka. Jujur saja Larena merasa merindukan pelukan itu. Ketika berada di dalam pelukan Arfeen ia merasa sangat tenang. Tapi ia hanya memikirkan bayi yang ada dalam kandungannya. Lyra bilang jika bayi itu lahir laki-laki maka itu akan menjadi ancaman, maka wanita itu akan datang untuk menghabisi putranya. Untuk itu ia harus menjauh dari Arfeen. Lagipula apa yang dilakukan lelaki itu juga banyak membuatnya kecewa. "Kau baik-baik saja kan? Lyra tidak menyakitimu?"Larena hanya menggeleng. Arfeen tampak sangat bahagia lalu memeluknya sekali lagi namun kali ini Larena menolak pelukannya. Hal itu membuat Arfeen terpaku. "Ada apa?""Aku ingin kita tetap berpisah!" pinta Larena. "Berpisah? Sayang!""Jang
Suara lembut itu membuat Tantra terpaku, rahangnya langsung mengeras menatap sepupunya. Wanita itu! Darah keluarga Wijaya rupanya lebih kuat di tubuh Lyra daripada keluarga Mahesvara. "Kau tak sepantasnya melakukan ini terhadap Kakek, Lyra.""Apakah aku meminta pendapatmu?" tanya Lyra sinis. Tentu saja hal itu membuat tangan terasa sedikit marah. Tapi Tantra tahu harusnya ia tak berdebat dengan Lyra. Sejak awal Lyra memang yang selalu menghasut dirinya untuk merasa iri kepada Arfeen. Bahkan selalu mendorongnya untuk membenci sepupunya itu. Tapi rupanya itu semua ada niat picik! Lyra hanya memanfaatkann dirinya untuk membenci Arfeen. Karena wanita itu membutuhkan dukungan. Tantra yang saat itu masih polos selalu berhasil termakan oleh bujukan dari Lyra untuk membenci Arfeen. Sejak kecil Lyra selalu berpura-pura baik di depan Arfeen dan juga selalu keluarga. Tapi di belakang ia selaku menatap Arfeen penuh benci. "Lyra, Seharusnya kau tak perlu melakukan ini!" ucap Radika. "Aku t
"Tantra!" desis Radika dengan bibir gemetar. Meski Tantra tak memiliki kelebihan seperti Arfeen, tapi pemuda itu tetap cucunya. "Tuan Muda, Tantra!" desis Liam."Kakek, jangan pikirkan aku!" seru Tantra yang sama sekali tak ada rasa takut. "Kelangsungan Klan Mahesvara jauh lebih penting dari nyawaku yang sama sekali tak berharga!" Tantra memberanikan diri berucap demikian. Ia masih ingin hidup, tapi jika hanya karena dirinya akuenya klan Mahesvara harus hancur, ia tidak akan pernah rela. Seumur hidupnya ia belum bisa memberikan kontribusi apa pun untuk keluarganya. Paling tidak nyawanya bisa berarti untuk bisa menyelamatkan kekuasaan klan Mahesvara. Ia yakin Arfeen mampu membawa keluarga Mahesvara menjadi lebih berjaya. Apalagi jika dalam pertarungan ini mereka menang. Maka ia tidak akan menyesal mati untuk itu. "Sepertinya kakekmu tidak menyayangimu, Tuan Muda Tantra. Sayang sekali ... harusnya kau memilih pihak yang benar untuk bisa mendapatkan hakmu!" Maher sengaja mengatakan
Arfeen memutuskan untuk mendekat. "Jadi kalian semua bersatu untuk menjatuhkan aku? Ini sangat menarik!" Dewa menyimpulkan senyum getir. "Andai saja sejak awal kau mau mengalah, ini tidak akan terjadi. Aku pasti akan memberikan dukungan kepada klan Mahesvara, dan kita bisa bersama menjadi lebih besar!" Arfeen menimpai dengan tawa ringan yang getir. "Maaf, Tuan Dewa Wijaya. Aku tidak membutuhkan dukunganmu untuk bisa berjaya. Aku masih memiliki kemampuan!" "Sombong sekali, kau hanya beruntung karena terlahir sebagai anak lelaki, Arfeen. Jika tidak! Kau pasti sudah buang ke tong sampah!""Yakin? Aku ragukan itu, Kakek memiliki alasan kuat kenapa mempertahankan aku. Karena pada kenyataannya ... akulah yang kelak akan membuat nama Mahesvara semakin besar. Kau tidak percaya itu?""Jangan pernah bermimpi, karena hari ini ... akan menjadi hari terakhirmu menghela nafas!"Arfeen menaruh telunjuk di bibirnya seolah sedang berfikir. "Sayangnya setelah aku pikirkan ... hari ini tidak akan me