Mata Dirga menyorot dingin saat pria bernama Ryuga menarik Claudia dan membisikkan sesuatu di telinga wanita itu. Jadi, seperti ini rupanya sosok Ryuga.
Tak butuh waktu lama bagi Dirga untuk menarik Claudia agar membuatnya aman di sisinya.“Ada keperluan apa Anda ke sini?”Ryuga sempat mengerutkan dahi mendengar perkataan Dirga lalu melempar pandangan ke arah Claudia.“Mbak sama Ryuga ada urusan kerja, Dirga.” Claudia berucap lebih cepat. Dia membasahi bibir bawahnya.Saat ini pikiran Claudia sedang ribut. Kehadiran Ryuga membuka ingatan Claudia ketika di parkiran tadi. Soal Aruna ….“Gue nggak nanya Mbak,” sahut Dirga ketus. Dia menatap lurus-lurus ke arah Ryuga. “Gue tanya dia.” Tunjuk Dirga dengan dagunya.Ryuga mendengus kasar. Satu tangannya masuk ke dalam saku celana. Manik hitam miliknya menatap tajam Dirga.“Jawabannya sama seperti Claudia.” Ryuga menyahuti Dirga tak kalah ketus.Berani sekali pTanpa ragu Claudia menggelengkan kepalanya. Dia membatin, ‘Untuk apa aku kecewa?’.Claudia sempat menarik napas sebelum menjawab, “Aku cuma … terkejut. Gimana pun Aruna mahasiswa dan aku dosen di sini.” Itu yang menjadi kekhawatiran Claudia.Dia menatap tepat di manik hitam Ryuga. “Apa Aruna tahu soal pertunangan ini?” tanyanya lagi.Giliran Ryuga yang menggelengkan kepala. Pria itu lalu mengucapkan sesuatu yang lagi-lagi membuat jantung Claudia berdegup kencang.“Karena ini pertunangan kontrak, kamu tidak perlu repot-repot mengambil hatinya Aruna,” jeda Ryuga. “Kecuali … kalau kamu memang berniat menikah denganku.”Lidah Claudia kelu untuk sekadar membalas ucapan Ryuga. Dia bahkan tidak menyadari jika sosok Dirga melewatinya untuk menuju parkiran motor.Tapi itu tak luput dari perhatian Ryuga. “Kulihat kamu populer di kalangan pria muda.” Ryuga mengalihkan pandangan dari sosok Dirga yang berjalan menjauh untuk kembali menatap ke
“R-Ryuga.”“Mmm?”Claudia menolehkan wajahnya untuk menatap sepasang manik hitam yang juga tengah menatapnya.Mobil mewah Ryuga melaju meninggalkan area kampus. Tapi, Claudia tak kunjung membuka mulutnya untuk bersuara.“Bicaralah, apa pun yang mau kamu katakan,” tegas Ryuga yang masih menunggu Claudia berucap.Namun, Claudia ragu-ragu. ‘Lebih baik lain kali saja.’ Wanita itu segera memalingkan wajah, “Tidak ada,” geleng Claudia.“Ada apa, Claudia?” desak Ryuga. Claudia membuatnya penasaran. “Soal teman palsumu itu?”Dahi Claudia mengerut samar, ‘Teman palsu? Apa itu nggak terlalu kasar?'“Boleh aku minta satu hal, Ryuga?” Claudia kembali menolehkan wajahnya.Sorot matanya terlihat nanar. Wajah murung yang Claudia perlihatkan membuat Ryuga enggan menatap wanita itu.“Sudah kubilang, katakan saja,” ucap Ryuga ketus.“Soal Claire, biar itu menjadi urusanku.” Dengan kata lain, Claudia mem
“Arghhhhh,” teriak Claudia sambil menelusupkan wajahnya ke dalam selimut. Dia merasa hampir gila mengingat apa yang Ryuga ucapkan semalam.‘Sejak awal, kita sudah cocok … dalam urusan ranjang.’Belum lagi reaksi dirinya yang berlebihan. Saat itu, entah mendapatkan keberanian darimana, Claudia juga mendekatkan wajahnya untuk berbisik balik di telinga Ryuga. Claudia bahkan sengaja mengembuskan napasnya keras-keras di area telinga Ryuga.“Aku rasa kamu juga melupakan satu hal, Ryuga. Kamu bilang, aku amatir. Jadi, dimana letak kecocokan kita yang kamu maksud barusan?!” ucap Claudia merengut kesal.Astaga. Claudia tidak memercayai dirinya sendiri yang berani membalas perkataan Ryuga.Posisi keduanya sekarang seolah Ryuga tengah memeluk Claudia. Dia bisa merasakan ketegangan dalam setiap ucapan Claudia. Ryuga tersenyum menyeringai.“Apa kamu kesal?” Ryuga kemudian sedikit tergelak. Namun, tak mengubah posisinya sedikit pun. Terdengar
“Jangan ganggu Mbak Claudia, Aruna.”Tiba-tiba saja Dirga datang dan hendak mengambil kotak susu kemasan tersebut. Tapi, tidak jadi karena Claudia lebih dulu mengambilnya.“Aruna nggak ganggu Mbak,” beritahu Claudia menatap tajam Dirga. Dia teringat bagaimana cara Dirga memperlakukan Aruna tadi. Sangat kasar.Sekarang, Claudia menatap Aruna. Sekeras apa pun Claudia berusaha mengenyahkan bayang-bayang Ryuga dalam sosok Aruna, sepertinya tidak akan pernah bisa.“Maafin sikap Dirga tadi ya, Aruna.” Mewakili Dirga, Claudia berucap maaf.“Kenapa jadi Mbak yang–“Siapa suruh kamu sekasar itu sama Aruna? Dia itu perempuan, Dirga. Perasaannya bisa dengan mudah terluka,” omel Claudia belum selesai. “Apa kamu selalu sekasar ini pada kekasihmu sendiri?!”Begini, Claudia menegaskan pada dirinya sendiri bahwa dia tidak membela Aruna karena dia putrinya Ryuga. Tapi, sikap Dirga sudah keterlaluan.Pemuda itu tak membalas, mani
Sepanjang perjalanan menuju kampus, Aruna menutup mulutnya rapat-rapat. Biasanya pasti Aruna akan sangat berisik dan mengganggu ketenangan Dirga.‘Ini Dirga betulan nggak ada inisiatif ngajak aku ngomong duluan?’ Aruna membatin sambil menatap punggung Dirga dengan senyum yang terlihat sedih.Sementara Dirga sendiri menyadari jika Aruna bersikap berbeda. Mungkin gara-gara hal di dapur tadi. Dirga sedikit menyesal dengan perbuatannya yang dipergoki secara tak sengaja oleh Claudia.Dirga takut Claudia berpikir lain-lain tentang dirinya.Sampai keduanya tiba di parkiran, Aruna menyodorkan helm tanpa suara cerianya. Keduanya sempat bersinggungan mata.“Aku pulangnya minta dijemput daddy aja.” Padahal Aruna hanya mengetes Dirga.Namun, dengan entengnya Dirga mengiyakan. “Ya udah.”Aruna sangat kesal mendengarnya. Dia menghentakkan kaki ke tanah dan memprotes, “Kamu nggak coba maksa aku buat pulang sama kamu, Dirga?!”
Seumur hidupnya, Claudia banyak menghabiskan waktu bertahun-tahun dengan Claire, teman dekatnya dari semasa SMA. Banyak hal yang telah dilalui oleh keduanya.Maka saat melihat dua sosok mahasiswa yang sedang tertawa-tiwi: yang satu terlihat bersikap manja dengan menggelayuti lengan sahabatnya, yang satunya lagi berusaha menepis, itu membuat Claudia teringat bagaimana dirinya dan Claire di masa lalu.‘Sadarlah, Claudia! Kamu hanya merindukan kenangannya saja!’ tekan Claudia dalam batinnya.Dia merengut, menanti dengan sabar kedatangan Ryuga yang akan menjemputnya Sabtu siang ini. Belasan menit lalu Ryuga mengirimkan pesan akan segera tiba di kampus. Jadi Claudia memutuskan menunggu Ryuga di gedung fakultas tempat dia mengajar.
Walaupun hanya pertunangan kontrak, Claudia merasa Ryuga memperlakukannya dengan baik dan tampak layaknya tunangan sungguhan.Pertanyaan sebelumnya yang ditanyakan Claudia dijawab tegas oleh Ryuga, “Sudah kubilang sebelumnya jika kamu berbeda, Claudia.”Seolah-olah Ryuga dapat menerima kepribadian Claudia dengan perbedaan yang ada pada dirinya sendiri. Tapi, perbedaan yang ada di antara keduanya terlalu kontras.‘Untuk apa aku memikirkan pantas atau tidak? Ryuga bilang, itu urusannya. Tugasku hanya menerima.’Lagipula menolak Ryuga adalah sebuah hal yang sia-sia. Pria itu selalu tampak mengintimidasi dan memaksakan kehendaknya. Seperti yang satu ini; pakaian yang dikenakan Claudia adalah pilihan Ryuga. Dress beludru berwarna maroon di bawah lutut yang tampak pas di tubuhnya. Malam ini Claudia tidak perlu repot-repot mendandani dirinya sendiri karena Ryuga mempermudah persiapan Claudia.“Sudah siap bertemu keluargaku, Claudia?”Di sampingnya, sosok Ryuga muncul dengan pakaian yang sen
Ini namanya bunuh diri. Claudia baru saja menyadari jika apa yang dilakukannya barusan adalah kebodohan.“Kyaaakk~ apa yang kamu lakukan, Claudia!’ rutuknya pada diri sendiri. Dia pasti tampak konyol di mata pasangan ayah dan anak itu. Alih-alih menunjukkan kepercayaan diri, dia malah bisa saja merusak reputasinya sendiri.Claudia memutar kepalanya ke belakang, melihat Ryuga. Bibirnya berucap tanpa suara, “A-aku harus gimana?” Tak lupa, wajahnya juga memelas. “Tolong aku, Ryuga.”Bibir tipis Ryuga menyeringai. Dia memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana dan menghampiri Claudia dengan santai.Di saat yang bersamaan, Aruna juga mendekat setelah beberapa saat mematung. Dia terkejut mendapati dosen baru yang juga kenalan Dirga, tiba-tiba saja berada di mansion keluarganya.“Daddy,” panggil Aruna pelan. Gadis itu menatap Ryuga serius. Sejurus kemudian, tiba-tiba Aruna melemparkan satu pukulan lemah di dada Ryuga.“Daddy jahat banget, sih, sama Aruna ….”Melihat itu jelas Claudia ter
Panggilan telepon tersambung.Namun, alih-alih suara Ryuga yang terdengar, suara lembut Claudia yang menyapa, “Halo, Diana.”Ketika Claudia sedang asyik-asyiknya memainkan sebuah permainan salon di ponsel Ryuga, nama Diana tertera di layar. Tanpa berpikir panjang, Claudia menggeser ibu jarinya ke arah tombol berwarna hijau.“Kamu masih di sana, Diana? Mau berbicara dengan Ryuga, ya?” Karena tidak ada respons dari lawan bicaranya, Claudia bertanya lagi. “Ryuga sedang di kamar mandi. Nanti aku sampaikan jika kamu menghubungi.”“E–eh, kalau begitu, aku bicara dengan Mbak Clau saja,” ucap Diana dengan suara yang terdengar serak.Hal itu disadari Claudia. Sesaat dia terdiam sebelum kembali menyahut, “Ada apa, Diana?”Entah karena mendapati pertanyaan singkat itu atau karena mendengar suara Claudia yang khawatir, Diana hampir menangis dalam sambungan telepon.Dengan satu tangan yang memegang ponsel dan tangan lainnya meremas gaun di bagian dadanya yang terasa sesak, Diana menimpali, “B–bis
Sepanjang perjalanan pulang, Diana benar-benar mengunci mulutnya rapat. Kepalanya menghadap ke arah jendela mobil, enggan menatap Riel yang sedang menyetir. Isi pikirannya sedang membuat keributan sehingga Diana memutuskan diam.‘Tidak bisa, Diana. Tidak bisa kalau begini!’Sementara Riel terus-menerus melirik ke arah Diana dengan perasaan khawatir. Pria itu mengembuskan napas berat saat mobil yang dikendarainya tiba di parkiran flat. Lantas Riel membuka suara, “Beritahu aku apa yang membuatmu tidak nyaman.”Mendengar Riel menyeletuk demikian, Diana menyunggingkan senyum getirnya. “Kamu masih boleh berubah pikiran, Riel.”Usai mengatakan hal tersebut, baru Diana menolehkan wajah. Riel menatapnya tidak mengerti. Dan reaksi itu membuat Diana tiba-tiba saja tertawa dengan miris.Pada satu titik, Diana merasa tidak bisa menahan kegilaannya. Tubuhnya mulai bergetar, menahan tangis yang ingin wanita itu ledakan. Belakangan, Diana terlalu dibuat bahagia. Sekarang, Diana tahu jika kebahagian
Diana hanya pernah bertemu wanita itu satu kali di malam resepsi pernikahan Ryuga Claudia. Untuk pertama dan terakhir kali itu, wanita tersebut sudah menegaskan bahwa dia dan Riel tidak memiliki hubungan apa pun.“Kenapa Lilia juga ada di sini, Yel?” tanya Diana tidak bisa menahan rasa penasarannya.“Aku belum menceritakan padamu soal Lilia dan Kak Nuel. Nanti saja, Diana,” jawab Riel seadanya karena langkahnya sudah semakin dekat di meja makan. Tangan Riel menggenggam tangan Diana lebih erat daripada sebelumnya seiring semua pandangan mata tertuju ke arah keduanya.Memberanikan diri, Diana membalas tatapan itu satu persatu hingga terakhir Diana bertukar tatapan dengan Lilia Lua Latesha. Refleks, Diana juga melemparkan senyum.Kala itu Lilia bereaksi di luar kendalinya. Dia membuang wajah karena tidak sengaja menatap ke arah tangan Diana dan Riel yang saling bertautan. Lilia membatin, ‘Ada apa sama lo sebenarnya, Li!’Karena entah ada apa masalahnya, perasaannya seperti tengah dicubit
Sesi perpisahan Aruna dan Dirga sudah berakhir. Pemuda itu melerai pelukannya pada tubuh Aruna dengan berat hati. Kedua sudut Dirga tertarik ke atas, memperlihatkan senyum yang Aruna inginkan sejak dulu.Merasa diperhatikan, refleks Aruna ingin menolehkan wajah. Akan tetapi, aksinya tertahan oleh tangan besar yang mendarat di puncak kepalanya. Suara Dirga mengudara, “Berani menolehkan wajah, aku akan menganggapmu ingin kembali padaku, Aruna.”Mata besar Aruna menyipit. ‘Apaan, sih, Dirga,’ ucapnya tidak habis pikir.Detik berikutnya, Aruna merasakan kepalanya diusap dengan sayang. Sesuatu yang tidak pernah Dirga lakukan sekali pun. Mata besar Aruna memejam, dia mengepalkan kedua tangan. Dengan sikap tegas dan berani, dia menepis lengan Dirga, membuatnya cukup terkejut dengan reaksi Aruna.“Udah ‘kan? Aku mau masuk.” Aruna tidak ingin terbawa suasana hanya karena sikap Dirga yang satu itu.Sementara Dirga tampak mengembuskan napas berat. “Kamu bisa masuk sekarang.” Karena Dirga tidak m
Tampan tapi tidak berperasaan. Julukan itu cocok disematkan untuk seorang Dirga Disastra. Akan tetapi, sejujurnya Dirga hanya cukup payah mengakui apa yang dia rasakan. Apa dia cemburu melihat kedekatan Aruna dan Pras? Dirga hanya menautkan kedua alisnya sambil mendengus kasar begitu mobil yang dikendarainya berhenti tepat di posisi Aruna dan Pras berdiri. Tanpa menatap Aland, Dirga berkata, “Turun duluan, Al.” Suara rendahnya terdengar dingin. Pun, ekspresinya. Mengembuskan napas, Aland menganggukkan kepala, “Oke.” Sementara di luar mobil, Aruna terang-terangan melihat ke arah jendela kaca mobil yang terbuka. Dia tidak menyadari jika Pras sudah menurunkan kepala untuk berbisik rendah di telinganya, “Kamu berhutang penjelasan, Aruna.” Kedua tangan Aruna mengepal di sisi tubuh. Dia sama sekali tidak menyesali tindakannya pada Pras. Gadis itu membatin, ‘Cuma ini satu-satunya cara.’ “Apalagi, Al?” tanya Dirga keheranan melihat Aland yang tidak kunjung ke luar dari mobil. Saat Dirga
Aruna memiliki niatan akan pergi menemui Diana setelah kepulangan Ryuga ke rumah. Karena sekarang ini, Aruna akan fokus menjaga Claudia. Meskipun Emma juga ikut menemani, Aruna tetap ingin bersama Claudia. Bahkan ketika Claudia berbaring dan tertidur, Aruna juga ada di sampingnya. Dia memeluk Claudia dari samping dan menunjukkan sisi manjanya, membuat Emma yang baru kembali dari dapur menggelengkan kepala. “Grammie lihat-lihat kamu nempel terus sama Mommy-mu.” Mendengar itu, Aruna menjawab dengan santai, “Aruna lagi puas-puasin momen, Grammie. Besok-besok, pasti yang nempelin Mommy adik bayi.” Pandangan Aruna turun untuk melihat perut rata Claudia. Dia juga mengangkat sedikit kepalanya. Menyadari satu hal, Aruna mengembuskan napas berat. Dia menambahkan, “Belum Daddy ….” Suaranya terdengar lesu. Meskipun Ryuga adalah Daddy-nya, tetapi pria itu juga adalah saingan terberatnya. “Cari pengganti Dirga sana, biar nggak kesepian,” celetuk Emma dengan entengnya. Dia bertukar pandangan de
Ada banyak hal yang terjadi dan tidak diketahui Garvi kala dirinya dalam keadaan koma. Pun, persahabatan yang terjalin di antara dirinya, Dirga, Pras, dan Aland yang sudah banyak mengalami perubahan.Dia menatap Aland dan Dirga bergantian. Keduanya sudah tampak jauh lebih dewasa dan juga keren. Salah satu sudut bibir Garvi terangkat, tersenyum menyeringai.Aland berdeham melihat Garvi tampak memiliki dunianya sendiri. “Eh, Kak, gimana keadaan lo?” tanyanya. Dia tidak lupa jika kedatangannya kembali ke Indonesia untuk menjenguk Garvi. Mengenai Anjani bisa diurus nanti.Garvi pun menjelaskan secara singkat mengenai kondisinya. Dia hanya harus menjalani pemulihan selama beberapa waktu.Begitu mendengarnya, terbesit perasaan bersalah dalam benak Dirga. Pemuda itu menyeletuk, “Gue usahakan balik ke sini kalau waktunya libur–“Ck, nggak usah!” sela Garvi disertai kekehan geli. Dia tidak ingin merepotkan teman dekatnya itu. “Fokus aja sama studi lo di sana. Gue ada yang jagain kok.” Saat men
“Boleh diulangi lagi nggak, Kak?”Barangkali Anjani salah mendengar. Dia perlu memastikannya sekali lagi. Dan supaya tidak mencurigakan, Anjani mau membagikan tentang pikirannya. “Namanya familier dengan seseorang yang aku kenal–“Dimitrio, ya?” potong Garvi dengan senyum menyeringai di salah satu sudut bibirnya.Anjani mengerjapkan mata. Dia menganggukkan kepalanya kuat-kuat hingga membuat poninya mengayun, tampak menggemaskan di mata Garvi. Suaranya yang halus mengudara, “Pak Dimitri– maksudku Pak Dimitrio dosen di kampusku. Kak Garvi kenal?”Di tengah pergerakan Garvi yang terbatas, tangannya gatal untuk tidak menyentuh poni Anjani lantas mengacaknya pelan.“Eh–Sentuhan tangan besar Garvi seketika membuat Anjani terkejut. Gadis itu terdiam dengan mata yang membola.Garvi terkekeh pelan. “Aku tidak mengenali Dimitrio. Tapi, aku kenal Dimitrian–pemuda barusan yang kamu lihat … dia temanku.” Hanya sebatas itu Garvi bisa memberitahu.Mata Anjani memicing lantas menganggukkan kepalanya
Mata besar Aruna menatap ke arah Garvi, seolah meminta penjelasan tentang kehadiran sosok pemuda tersebut.“Dia siapa, Kak Garvi?”Pertanyaan Aruna langsung dijawab kontan oleh sosok pemuda itu. “Nggak perlu tahu,” jawabnya tidak ramah.Lalu dia menepuk bahu Garvi dan mengatakan, “Cepat sembuh.”Usai mengatakan hal tersebut, dia berlalu pergi melewati Aruna dan Anjani tanpa meliriknya sedikit pun. Pemuda itu malah semakin menurunkan topinya.Anjani memicingkan mata, ‘Sepertinya aku pernah melihat dia. Tapi, di mana?’ Mata bulatnya tampak familier. Dan juga, tato di lengannya.Sementara Anjani fokus mengingat-ngingat, Aruna sudah mendekat ke arah Garvi yang tengah duduk sambil bersandar. Gadis itu langsung mengajukan sejumlah pertanyaan, “Teman Kakak ya itu? Siapa namanya? Tadi aku ketemu dia loh di rumah dosenku. Iya ‘kan, Jani?”Barulah saat namanya dipanggil, Anjani mengerjapkan mata lantas menganggukkan kepala. Garvi menyunggingkan senyum kecilnya. “Sudah mengocehnya?”Padahal nad