“Penyebabnya tidak penting, Ryuga,” jawab Claudia setelah beberapa saat terdiam. Dia memalingkan wajah, menatap keluar jendela mobil.Beberapa detik berikutnya, Claudia bisa merasakan pria itu menggeser posisi duduknya agar lebih mendekat padanya.‘Ryuga mau apa?’ bingung Claudia.Sebuah tangan meraih dagunya pelan dengan lembut. Menggunakan jempol tangan dan jari telunjuknya, Ryuga memutar wajah Claudia ke arah kiri, menghadap wajahnya.Netra mata Claudia langsung bersitatap dengan pemilik tangan tersebut.“Buku mulutmu, Claudia,” ucap Ryuga memandangi bibir cherry wanita itu.Claudia meneguk ludahnya dalam-dalam. Kepalanya menggeleng. Tangannya naik menyentuh tangan Ryuga untuk melepaskannya dari dagu.“Lepas, Ryuga,” pinta Claudia baik-baik. Dia mencoba menarik lengan Ryuga turun. Namun, alih-alih menuruti permintaan Claudia, jari besar Ryuga malah merambat naik menyentuh bibir bawah Claudia.“Aku hanya ingin melihat seberapa parah sariawannya,” tegas Ryuga yang masih bersikukuh.S
Claudia tidak turun sendirian. Bukan Ryuga namanya kalau tidak memaksa ikut. Dia mengkhawatirkan Claudia. Maksudnya bagaimana jika wanita itu tersandung?“Kenapa sekarang jalanmu lebih cepat dariku, Claudia?” tanya Ryuga menaikkan satu alisnya. Dia baru bisa menyamakan langkah karena Claudia buru-buru pergi setelah turun dari mobil.‘Aku menghindarimu, Ryuga,” pekik Claudia dalam batinnya. Kejadian di mobil membuat Claudia seperti kehilangan akal sehatnya. Rasa-rasanya Claudia ingin membenturkan kepalanya ke jendela kaca mobil saja. Tapi, pasti itu akan sangat menyakitkan.Claudia membuka mulut, bersuara, “Tidak kok, Ryuga, aku berjalan seperti biasanya,” alibinya.Detik setelah itu, tahu-tahu Claudia bisa merasakan pundaknya ditarik mendekat ke arah Ryuga. Pria itu merangkulnya.“Hanya khawatir jika kamu tersandung atau jatuh,” jawab Ryuga seakan mengerti tatapan Claudia padanya.Manik hitam Ryuga menatap sebentar ke arah Claudia lantas pandangannya turun ke bawah, melirik high heels
Banyak hal yang berkecamuk dalam benak Claudia. Wanita itu tersenyum lemah ke arah Ryuga.“Benar. Sebaiknya tidak usah datang saja ‘kan, Ryuga?” Claudia menginginkan sebuah validasi. Untuk yang satu itu, dia belum bisa mengambil keputusannya sendiri.“Mmm, tidak usah, Claudia,” angguk Ryuga. Karena situasinya juga tidak tepat mengingat apa yang terjadi di antara Claudia dan Claire. Wanita bernama Glenka itu bilang teman kuliahnya Claudia ‘kan?Claudia mengerti. Dia segera melanjutkan langkah untuk membeli salep. Tiba di hadapan apoteker, Claudia segera mengutarakan niatnya.“Permisi, Mbak. Ada salep buat sariawan?”Apoteker itu menganggukkan kepala. “Ada, biar saya ambilkan dulu.”“Tolong rekomendasikan yang paling bagus,” ucap Ryuga memberikan tambahan yang langsung diangguki lagi oleh apoteker tersebut.Tangan Claudia hendak menurunkan tas di bahunya untuk mengeluarkan dompet. Melihat itu, Ryuga menahan lengan Claudia.“Aku saja yang membayar, Claudia.” Ryuga mengeluarkan dompet dar
Satu hal yang Claudia syukuri adalah Ryuga pria yang mau mendengarkan. Sebenarnya itu satu dari banyak hal. Claudia mencoba untuk tetap terlihat tenang. Dia juga tidak mengalihkan pandangan dari Ryuga. Meskipun Claudia cukup terintimidasi oleh manik hitam Ryuga saat ini. “Aku dan Pak Dimi memang sempat mengobrol tadi,” ucap Claudia membuka awal ceritanya. Kedua tangannya mengepal erat di atas pahanya. Jantung Claudia berdebar bukan main. Kali ini dia benar-benar takut untuk memberitahu Ryuga. Berbagai pikiran berkecamuk dalam isi kepalanya. Sementara Ryuga dengan kesabarannya yang setipis tissue dibagi dua berusaha menahan diri untuk tidak mendesak Claudia menceritakan isi pembicaraannya dengan Dimitri. Meskipun tunangannya, Claudia tetaplah manusia yang memiliki privasi. Ryuga tidak berhak mengusik kehidupan Claudia terlalu jauh. “Pak Dimi mengaku kalau dia menyukaiku, tapiiii hanya sebatas itu saja kok, Ryuga.” Claudia menganggukkan kepala, berusaha meyakinkan Ryuga yang sudah
Sekitar hampir satu jam kurang, Ryuga dan Claudia tiba di mansion keluarga Daksa. Padahal ini bukan kunjungan pertama, tapi Claudia masih merasakan gugupnya seperti pertama kali berkunjung.“T-tunggu dulu, Ryuga,” cegah Claudia menahan lengan Ryuga yang hendak turun dari mobil.Kepala Ryuga menoleh, menatap Claudia dengan bingung. “Ada apa, Claudia?”“Penampilanku … tidak berantakan ‘kan?” tanya Claudia memastikan.Manik hitam Ryuga mulai memindai penampilan Claudia. Mulai dari rambut, tangan Ryuga naik untuk menyelipkan poni Claudia dibalik telinga kanannya. Lalu tangan besar itu merambat turun dan berhenti di kancing kedua Claudia yang tidak dikaitkan.‘Bisakah Ryuga menyingkirkan tangannya dari sana?’ teriak Claudia yang merinding sendiri dengan apa yang dilakukan Ryuga.“Sepertinya sudah rapi,” ucap Claudia mencoba melepaskan tangan Ryuga dari kancing kemejanya. Tapi, tenaga Ryuga jauh lebih besar sehingga percuma saja usaha Claudia.“Kancingkan dulu, Claudia.” Itu jelas perintah.
Melihat Claudia mematung, Aruna merasa tidak enak sendiri karena memanggil Claudia ‘Mommy’ tanpa seizin wanita yang berstatus sebagai tunangan Daddy-nya itu.Aruna buru-buru menambahkan ucapannya, “Maksudku, calon Mommy he he he,” cengirnya.Menyadari Aruna tampak salah tingkah dan kikuk, sebagai Sang nenek, Emma ikut bersuara, “Maaf ya, Claudia. Aruna kayaknya udah nggak sabar kepengin kamu jadi Mommynya dia,” kekehnya.Claudia menunjukkan senyumnya, tampak tulus. Sejujurnya, dia hanya terkejut dengan panggilan Aruna yang spontan. Jantung Claudia bahkan berdebar mendengarnya.“Nggak apa-apa, Tan,” sahut Claudia. Kepalanya menoleh ke arah Aruna. Dia menunjuk kursi di sebelah gadis itu yang kosong. “Boleh duduk di situ nggak, Aruna?” tanya Claudia meminta izin.Mata besar Aruna membola serta terpancar aura binar kesenangannya. “Eh?bB-boleh kok, Bu Clau.” Selepas itu, Aruna menundukkan wajahnya. Rasanya canggung sendiri mengingat dirinya yang lepas kendali.‘Aruna bodoh! Kenapa mulutnya
Seharusnya Claudia tidak perlu memberitahu hal itu.Claudia tidak berhenti merutuk dirinya sendiri yang kini sudah berada di mobil untuk melanjutkan perjalanan ke kantor polisi. Ada sekitar setengah jam Claudia mengisi energi dengan menyantap makanan buatan Emma.*Setengah jam laluTampaknya Aruna yang paling merasa bersalah karena menanyakan itu. Dia merasa tidak enak. “Maaf, aku nggak bermaksud–“Uhm nggak apa-apa, Aruna,” potong Claudia dengan senyum di bibirnya. Ekspresi wajah Claudia tidak memperlihatkan gurat kesedihan.Dia mengangkat sendok yang berisikan potongan wortel dan kentang beserta sedikit kuah sop. “Sop iga Tante Em enak, cukup mengobati rasa kangenku sama masakan Mama. Terima kasih … Tante Em.”Netra Claudia memandang Emma penuh tatapan haru. Dia merasakan semua orang memandanginya, termasuk … Ryuga. Manik pria itu menyorot dalam ke arah Claudia.“Tinggal di sini saja, Claudia,” jawab Ryuga enteng. “Kamu bisa merasakan masakan Ibuku setiap hari,” pikirnya. Ah, modusn
Begitu sampai di kantor polisi, Claudia kembali dibuat gugup. Dia menarik lengan Ryuga untuk menghentikan sejenak langkah mereka yang sudah tiba di depan pintu masuk.“Sebentar, Ryuga. Aku ingin mengatur napasku dulu,” pinta Claudia.Wajah putihnya terlihat pucat.Tangan yang ada dalam genggaman Ryuga terasa dingin. Tubuh Ryuga menghadap ke arah Claudia agar manik hitamnya bisa tepat menatap netra mata wanita itu.“Lihat aku, Claudia,” pinta Ryuga dengan tegas. Claudia menurut. Pandangannya naik untuk bisa bersitatap dengan Ryuga.“Aku tahu kamu bukan wanita pemberani,” ucap Ryuga membuka kalimat awalnya dengan suara yang tegas. Namun, belum apa-apa Claudia merasa sudah dijatuhkan oleh pria yang selalu mengatakan jika mereka bertunangan. Claudia merengut pelan. Alisnya naik sebelah.‘Ryuga ingin bilang aku pengecut?’ batin Claudia mendadak kesal.Ayolah … Ryuga sudah mengatainya wanita konyol, wanita aneh, bahkan pernah menyebutnya bodoh, dan sekarang … bukan wanita pemberani?Mana Ry
Jika Anjani sudah sampai di komplek perumahannya, maka Aruna masih dalam setengah perjalanan. Ryuga mengemudikan mobilnya dengan penuh kehati-hatian.“Pundakmu pasti pegal, Claudia,” ucap Ryuga selagi manik hitamnya memperhatikan dibalik spion tengah mobil.Claudia menggelengkan kepalanya. “Aku masih bisa menahannya, Ryuga,” balasnya sambil menundukkan pandangan agar bisa menatap wajah menggemaskan Aruna yang tampak damai.Bibir Claudia menyunggingkan senyum. Tangannya gatal untuk tidak menyentuh ujung hidung Aruna. Meskipun bukan putri kandung Ryuga, tapi Claudia rasa hidung Aruna dan Ryuga sangat mirip.Dan siapa sangka sentuhan jari telunjuk Claudia di hidung Aruna membuat gadis itu mengerutkan dahinya samar.“Aruna …,” panggil Claudia mengerjapkan matanya. Karena detik setelah itu, gadis yang sedang menyandarkan kepalanya di pundak Claudia mulai membuka mata.Suara erangan pelan terdengar. “Daddy ….” Pandangan Aruna yang sedikit mengabur mulai tampak jelas. Dia melihat Ryuga duduk
Claudia gamang. Dia ingin menjawab, tapi takut salah. Tapi, tidak dijawab sepertinya lebih salah lagi. Ekor mata Claudia melirik Ryuga, ‘Bisa-bisanya Ryuga menanyakan itu di saat seperti ini?’Kepala Ryuga menatap lurus ke depan. Dia mendengus tidak percaya. Rasa-rasanya Ryuga tidak akan berpikir selama itu jika Claudia menanyakan hal yang serupa.“Akan aku pikir-pikir dulu, Ryuga,” jawab Claudia pada akhirnya. Tepat setelah Claudia meluruskan pandangannya, matanya memicing untuk melihat dua orang gadis yang terlihat duduk di bawah pohon, lebih tepatnya yang satu tengah berbaring.Mulut Ryuga terbuka, hendak menimpali. Namun, tertahan oleh suara Claudia. Wanita itu juga mengarahkan jari telunjuknya ke depan, membuat manik hitam Ryuga bergerak mengikutinya.“I-itu Aruna dan Anjani, Ryuga!” seru Claudia. Wanita itu sama sekali tidak sedang berusaha mengalihkan topik. Karena untuk sekarang, lebih baik fokus pada Aruna.Ryuga memarkirkan mobilnya di tepi jalan tidak jauh dari tempat Aruna
Karena pertolongan dua pemuda itu, Aruna dibaringkan di sisi lapangan tepat di bawah pohon yang cukup rindang sehingga tidak terpapar sinar matahari secara langsung.Usai membaringkan Aruna, Aland menatap ke arah gadis yang diduga sebagai teman larinya Aruna.“Kenapa Aruna bisa sampai pingsan segala?!” protesnya.Ditodong pertanyaan seperti itu, siapa yang tidak kesal? Anjani tidak merasa dirinya salah, alhasil dia menyahut santai. “Mana aku tahu. Kamu tanya Aruna saja.”Aland yang hendak menyahut lagi tertahan karena tangannya disentuh oleh pemuda yang bersamanya. “Tidak perlu marah-marah segala, Al. Mending kamu belikan Aruna minuman hangat.”“Sekalian sama minyak kayu putih, ya!” tambah Anjani. Takut disemprot lagi, Anjani menambahkan, “Biar Aruna cepet sadar ‘kan?!”Kalau bukan untuk Aruna, Aland mana mau. Mengembuskan napas berat, Aland pun berdiri lalu pergi meninggalkan keduanya.Entah kenapa Anjani merasa lucu melihat wajah kesal Aland yang tertahankan. Namun, fokusnya langsun
Tidak ingin menyia-nyiakan hari terakhir libur sebelum masuk perkuliahan, Aruna dan Anjani pagi-pagi sekali sudah siap dengan setelan training dan sweater rajut.Ya, keduanya memutuskan untuk berjalan sehat mengitari lapangan lari yang jaraknya tidak jauh dari kampus.“Nggak diantar Daddy kamu, Runa?” tanya Anjani begitu melihat Aruna yang datang turun dari ojek online.Aruna menggelengkan kepalanya. “Daddy lagi nggak ada.”“Emang Daddy kamu ke mana?” tanya Anjani lagi. Dia merasa penasaran. Anjani mengimbangi langkah Aruna untuk berjalan santai. Bukan berarti Anjani memutuskan tidak berlari seperti orang-orang di sekitarnya karena tahu Aruna memiliki asma, tapi itu karena Anjani malas saja. Dasar.Mata besar Aruna melirik teman dekatnya dengan senyum yang terlihat mengerikan. “Cari Mommy baru buat aku.”TUKKK“Aww, Anjani sakit!” ringis Aruna saat mendapatkan jitakan di pinggir dahinya.Tidak ada tanda-tanda Anjani menunjukkan perasaan bersalahnya. Dia malah mengajukan pertanyaan lag
Jika bukan karena alarm yang sudah menjerit-jerit, sepasang pria dan wanita yang tidur dalam satu ranjang itu tidak akan terbangun dalam bersamaan.Sang wanita berhasil membuka matanya lebih dulu. Dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, dia merasakan pergerakan dari sisi ranjangnya yang memang tidak begitu besar.Begitu menoleh, dia mendapati sesosok pria tampan yang tanpa mengenakan atasan juga tengah menolehkan kepalanya. Keduanya bertukar pandangan.“Saya bisa jelaskan–“Nggak perlu, gue inget apa yang terjadi semalam kok,” selanya dengan santai. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Dia kembali berucap, “Gue nggak akan minta pertanggung jawaban apa pun dari lo.” Nada bicaranya terdengar sangat serius sehingga membuat Sang pria mengerutkan dahinya samar.“Seharusnya saya bisa membantu Anda dengan cara yang lain, Nona Lilia.” Sang pria menyebutkan nama wanita yang terbaring di sebelahnya.‘Cara lain?’ batin Lilia sambil mendengus kasar. Satu-satunya cara yang ampuh untuk melep
Dilihat dari sudut mana pun, jika dari luar Claudia tampak baik-baik saja. Wanita itu baru saja berdiri dari kursi meja riasnya dan tengah memunguti kapas kotor untuk dibuangnya ke dalam tong sampah kecil di sudut ruangan.Namun, belum sempat beranjak pergi, ada sepasang tangan yang melingkari perutnya.“Ryuga,” tegur Claudia dengan suara yang mengalun lembut.Alih-alih mengerti maksud teguran halus itu, Ryuga malah sengaja mengeratkan pelukannya pada pinggang ramping Claudia.“Biarkan seperti ini dulu. Aku masih merindukanmu, Claudia.” Suara rendah Ryuga yang berbisik tepat di belakang cuping telinga Claudia membuat wanita itu merasa kegelian.Pandangan keduanya beradu tatap melalui cermin rias milik Claudia. Manik hitam pria itu menyorotnya lembut. Dan sudah bisa dipastikan itu memicu debar di dada Claudia.Untuk mengalihkan itu, Claudia memutuskan bertanya selagi dirinya teringat, “Apa aku tidak salah dengar kamu menyebut nama Lilia, Ryuga? Apa terjadi sesuatu padanya?”Ryuga mende
Dibalik Ryuga dan Claudia yang kini sudah tiba di flat, lain lagi Riel yang harus terjebak bersama Idellia. Pria itu kesulitan mencari celah untuk melarikan diri sebab Idellia yang kini setengah mabuk tampak gelonjotan di lengannya.Kewarasan Idellia pasti berkurang sebab dia dengan berani menyentuh lengan bisep Riel yang tampak berotot. Idellia bergumam, “Wow, ototmu besar juga!”Ekspresi Riel menunjukkan kerisihannya. Dia belum pernah bertemu wanita seagresif Idellia. Maka, sehalus mungkin Riel mencoba menepis lengan Idellia.Selain dia tidak suka bersikap kasar pada wanita, Idellia adalah teman dari Claudia.“Saya harus pergi, Nona Idellia. Sepertinya Pak Ryuga dan Bu Claudia juga sudah tidak lagi di Club,” beritahu Riel sambil menundukkan wajah untuk melihat ke arah kepala Idellia yang sekarang tengah bersandar di sebelah pundaknya.Pria itu mengembuskan napas beratnya. Kalau seperti ini, bagaimana caranya agar dia pergi?“Kamu … pergi?” lirih Idellia. “Jangannnn~,” jawabnya denga
Untuk apa menghindar jika tidak mempunyai salah? Lagipula … percuma saja menghindari Ryuga. Ditambah posisi untuk Claudia kabur sangat tidak memungkinkan karena kedua tangan Ryuga mencengkram sisi-sisi kursi yang diduduki Claudia. Wanita itu merasakan detak jantungnya meningkat kala bersinggungan mata dengan manik hitam Ryuga. Sesaat Claudia memejamkan matanya, ‘Astaga … jantungku.’ Rasanya seperti ingin meledak. Bertepatan Claudia membuka mata, suara berat Ryuga mengudara, “Ikut aku sekarang, Claudia!” Ucapannya jelas tidak ingin dibantah. Begitu tangan kiri Ryuga menyentuh lengannya, pandangan Claudia turun untuk melihat. Entah sejak kapan gips di tangan Ryuga berhasil dilepaskan. Tapi, yang pasti Claudia merasa bersyukur. Claudia tidak terlalu memperhatikan saat acara pameran berlangsung tadi. Sekarang, tahu-tahu saja Ryuga melepaskan lengan Claudia. Manik hitamnya menyorot Claudia tajam. “Mau aku gendong atau berjalan sendiri, Claudia?” tanyanya tidak sabar. Ditambah kedua
Pencahayaan lampu yang berkelap-kelip itu tidak terbiasa dilihat oleh netra mata Claudia sehingga dia membutuhkan waktu untuk bisa beradaptasi. Selain itu, ada hal lain yang membuat Claudia tiba-tiba saja menolak bergabung ke lantai dansa.“Nanti aku menyusul. Aku merasa haus, ingin pesan minuman,” beritahu Claudia beralibi.Untung saja yang lain tidak curiga. Zoya menyahut, “Oke, Clau.” Lantas Zoya, Praya, dan Fanya berlalu pergi. Meninggalkan Claudia dan Lilia yang berdiri bersisian.Claudia menolehkan wajahnya ke arah Lilia. “Kamu … mau pesan minuman juga, Lilia?”Wanita itu merespons dengan menganggukkan kepala. Lalu Lilia baru menolehkan wajahnya. Tanpa mengatakan apa pun, dia menyambar lengan Claudia dan menariknya pergi menuju meja bartender.Claudia pasrah saja tangannya ditarik karena sejujurnya dia sudah tidak memiliki energi apa pun. Pandangannya tampak kosong dan Claudia tidak memperhatikan kondisi sekitar, termasuk ekspresi wajah Lilia yang tampak berubah sedikit gelisah.