หน้าหลัก / Romansa / Pesona Panas Sang CEO / BAB 3 : PERPISAHAN YANG SEBENARNYA

แชร์

BAB 3 : PERPISAHAN YANG SEBENARNYA

ผู้เขียน: NightEve
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-03-14 10:44:52

Hari itu berjalan seperti biasa. Anessa sibuk di depan laptopnya, mengetik laporan yang harus diserahkan kepada Pak CEO. Tangannya bergerak cepat di atas keyboard, berusaha kembali menenggelamkan diri dalam pekerjaan.

Namun, sekeras apa pun ia mencoba, pikirannya tetap berantakan. Bayangan Andrean masih menghantuinya.

Suara notifikasi pesan masuk dari ponsel membuatnya berhenti sejenak.

["Kita bisa bicara?"]

Anessa menatap nama pengirimnya.

Andrean.

Ia mengembuskan napas kasar. Satu minggu lebih berlalu sejak kejadian di depan taksi itu dan kini pria itu tiba-tiba menghubunginya, senang rasanya tapi juga kesal.

Anessa menarik nafasnya dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sejenak sebelum membalas.

Namun disisi lain, Anessa ingin mengabaikannya, tapi di dalam hatinya, ada pertanyaan yang belum menemukan jawaban. Dengan berat hati, ia mengetik balasan.

["Di mana?"]

[Di restoran, tempat biasa kita bertemu dulu."]

Anessa hanya membacanya sekilas dan buru-buru menyelesaikan pekerjaannya yang memang harus ia selesaikan hari ini.

Setelah jam kerja berakhir, Anessa langsung pergi ke alamat yang dituju dengan taksi online. Mereka bertemu di sebuah kafe dekat kantor Andrean bekerja.

Kafe itu merupakan tempat pertama kali mereka kencan dan sekarang menjadi tempat dimana Anessa memutuskan semuanya.

Di dalam kafe itu, terlihat dari kejauhan seorang pria berjas abu-abu telah menunggunya di meja pojok sudut kanan kafe.

Ia melangkahkan kaki jenjangnya mendekati pria itu dan perlahan duduk di sebuah kursi empuk.

Anderan hanya diam dan menghindari kontak Anessa yang menatapnya sejak tadi. Firasat Anessa menduga Andrean mungkin sudah tahu.

"Sebenarnya ada suatu hal yang ingin aku tanyakan padamu."

"Apa itu?" tanya Andrean memperhatikan sekilas mata Anessa yang serius.

"Apakah kamu memiliki hubungan khusus dengan Shera?"

Andrean mengusap wajahnya dengan kasar, tangannya terkepal di atas paha. Seketika ia bangkit dan menggebrak meja dengan keras. Suasana menjadi tegang, orang-orang disekitar langsung menatap kearah mereka. Anessa yang kebingungan, hanya duduk diam dan mendongakan kepalanya seolah bertanya-tanya ada apa.

Nafasnya memburu, tatapannya membara ke arah Anessa, "Kenapa kamu tahu hal seperti ini?!"

"Hah? Kan aku cuma tanya aja. Apa tidak boleh jika aku bertanya?" jawab Anessa sedikit ketakutan.

"Nggak usah tanya yang nggak perlu! Kan kamu tahu sendiri kalau aku sibuk mencari uang! Katakan apa yang ingin kamu bicarakan, jangan bertanya pertanyaan seperti itu!"

Sontak ia mengepalkan tangannya seerat-erat mungkin, tubuhnya gemetar dengan air matanya masih tertahan. Semua orang terus memperhatikan dan sebagian orang mulai berbisik-bisik kecil satu sama lain.

Napas Anessa tercekat. Air mata menggenang. Kenapa Andrean bisa sekasar ini?

"Kenapa diam? Katakan!" bentak Andrean dengan nada tinggi.

Anessa mengepalkan tangan di bawah meja. Ini saatnya.

"Aku yakin kamu punya hubungan dengan Shera, kalau kamu punya hubungan dengan Shera atau punya rasa sama dia. Kenapa kamu tidak mengakhiri hubungan ini sejak awal. Kita bahkan sudah mau menikah, kenapa kamu tidak serius dengan komitmenmu sekarang?" cerocos Anessa sambil menyeka air matanya yang terus mengalir.

"Apanya? Aku tidak ada hubungan apapun dengan dia!"

"Tidak ada apanya? Mungkin sikapmu berubah dingin karena dia kan?"

"CUKUP!"

Andrean menghantam meja sekali lagi. Anessa semakin terjebak, ia semakin ketakutan saat ini. Andrean lalu mengambil sebuah gelas untuk memukulnya, dengan sigap seorang pria yang duduk di meja sebelah segera berdiri menahan Andrean.

"Jangan buat masalah lebih besar, bro," kata pria itu dingin.

Andrean menggeram, lalu melempar gelasnya ke lantai. Pecahan kaca berserakan.

Anessa tersentak. Ini bukan lagi tentang cinta. Ini sudah berubah jadi ketakutan.

"Tolong jelaskan, Andrean," suaranya bergetar. Berusaha menahan amarah yang kian menumpuk di dalam dadanya.

Dia menghela nafas dengan kasar. Seolah ia tak mau menjelaskan semuanya. Tapi, meminta untuk dimengerti.

"Anessa, kita udah membahas ini sebelumnya."

Anessa mengernyit kebingungan dan mengingat kapan Andrean membahas hal ini. Padahal mereka baru saja meributkannya.

"Belum!" Jawab Anessa tegas. "Yang selama ini kamu lakukan hanya beralasan dan menghindariku saja."

Andrean mengusap kasar wajahnya, nafasnya semakin memburu seolah bersiap menerkam Anessa sampai hancur. "Kenapa diam, hah! Jelaskan kenapa kamu begitu padaku!" tanyanya sedikit berteriak.

Seorang pria menarik mundur bahu kanan Andrean, memintanya untuk menahan diri dan tidak membuat keributan di tempat umum.

"Lepaskan aku! Kamu tidak ada hubungannya dengan ini!" bentak Andrean sambil menunjuk tajam pria itu.

"Apa yang harus dijelaskan sekarang? Bukankah kamu sudah tahu semuanya?" tanyanya, mencoba to the point.

Jantung Anessa seketika terasa mencelos. Semua yang ia duga sejak lama hingga saat ini, semuanya benar!

"Aku tak pernah menyangka … orang yang kucintai bisa menyakitiku sekejam ini."

Andrean terkekeh pelan dengan ekspresi sinis.

"Kejam, katamu? Anessa, kalau aku sampai dekat dengan orang lain, itu karena kau yang berubah. Kau sibuk sendiri, seolah aku ini nggak ada."

Sebuah tawa miris lolos dari bibir Anessa. "Oh, jadi ini salahku? Salahku karena percaya padamu? Salahku karena bekerja keras untuk masa depan kita?"

Andrean tidak menjawab, hanya menatapnya dengan pandangan yang sulit diterjemahkan.

Tangan Anessa terkepal erat. Marah, perih, kecewa, semua bercampur menjadi satu.

"Aku datang ke sini bukan untuk berdebat, tapi untuk menyudahi ini."

Ia melepaskan cincin pertunangan dari jarinya dan melemparkannya ke meja. Cincin itu berguling perlahan sebelum berhenti di depan Andrean.

Andrean menatap cincin itu lama, bibirnya melengkung samar, tapi matanya tetap dingin. Ada kelegaan di sana, tapi juga sesuatu yang sulit dijelaskan.

"Semoga dia bisa mencintaimu lebih dari yang kulakukan."

Tanpa menunggu jawaban, Anessa melangkah pergi meninggalkan kafe dengan orang-orang yang masih memperhatikannya.

Udara malam yang dingin menyambutnya. Langkah kakinya mantap, tapi dadanya terasa begitu kosong.

"Memang aku yang salah ... karena telah memilih dia."

Dari kejauhan terlihat seorang wanita dengan mimik percaya diri, berjalan mendekati Anessa.

Shera.

Gadis itu berdiri tidak jauh dari Anessa, menyilangkan tangan sambil menatap dengan ekspresi penuh kemenangan.

"Jadi, akhirnya beres?" tanya Shera dengan nada puas.

Anessa menatapnya dingin. "Apa maksudmu?"

Shera mendekat, "Dia bilang mau menyelesaikan semuanya hari ini. Dan aku pastikan dia benar-benar melakukannya."

Jadi, Shera tahu soal pertemuan ini?

Anessa tertawa sinis. "Kalian memang cocok."

Shera tersenyum kecil, lalu melingkarkan lengannya di lengan Andrean yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakangnya. "Kami memang cocok," katanya, seolah ingin menegaskan posisinya.

Anessa menatap mereka berdua. Dulu, di posisi Shera, ia pernah berdiri. Pernah merasa aman. Pernah merasa yakin bahwa Andrean adalah miliknya. Tapi sekarang? Ia hanya seorang tokoh figuran dalam kisah mereka.

"Terserah kalian," kata Anessa akhirnya.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทที่เกี่ยวข้อง

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 4 : INGIN MELUPAKAN

    Malam itu Anessa tidak langsung pulang. Ia butuh sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya. Kakinya membawanya ke sebuah bar kecil di sudut kota. Tempat itu tidak terlalu ramai, hanya beberapa orang yang tenggelam dalam minuman dan percakapan masing-masing. Ia duduk di bangku tinggi dekat bar, lalu memesan segelas wine. Satu tegukan. Dua tegukan. Hangatnya alkohol mulai mengalir dalam tubuhnya. Ia menatap pantaulan dirinya di cermin yang tergantung di belakang bartender. Matanya tampak lelah. Tapi setidaknya, kali ini dia tidak menangis. Di tatapnya lekat-lekat pantulan dirinya sambil tersenyum sendiri. "Apa kurangnya aku hah ... aku cantik dan pekerja keras juga gak beban, masih juga diselingkuhi," gumannya yang terdengar berbisik. "Apa aku bodoh?" gumamnya lagi. "Kalau kamu nanya pertanyaan itu setelah minum, kemungkinan jawabannya iya." Suara berat itu membuatnya menoleh. Edward. Pria itu berdiri di sampingnya, mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung. Tidak ada jas

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-17
  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 5 : TIDAK DIPEDULIKAN

    Sinar matahari perlahan merayap masuk melalui celah tirai, menghangatkan pipi Anessa yang masih terlelap. Matanya bergerak di balik kelopak, seolah tubuhnya enggan terbangun sepenuhnya dari mimpi.Namun, kesadaran perlahan merayap masuk, membawa serta rasa pusing yang berdenyut di kepalanya.Perlahan ia membuka kedua matanya lalu mengerjapkan beberapa kali sebelum terbuka sempurna. Kepalanya terasa sedikit pusing, efek dari wine yang ia minum semalam.Nafasnya tercekat saat melihat sosok pria yang tertidur di sampingnya.Edward.Jantungnya berdebar kencang, ia langsung terduduk dan menepuk kedua pipinya lalu melihat kearah Edward yang tertidur. "Tidak! Ini bukan mimpi!" gumamnya panik.Anessa kemudian mengintip ke dalam selimut dan terkejut melihat dirinya tanpa sehelai benang pun. "Astaga! Apa yang sudah kulakukan!" gumamnya lagi semakin panik.Kepalanya mulai memutar ulang ingatan yang terjadi semalam. Anessa ingat dirinya mabuk, ingat menarik kerah kemeja Edward, ingat ciuman itu .

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-17
  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 6 : GUGUP

    Di perusahaan, Anessa sedang duduk di mejanya dengan pandangan kosong. Otaknya masih berusaha mencerna kejadian semalam. Tidak mungkin atasannya dengan begitu mudah mau melakukan hal seperti itu pada karyawannya sendiri. Tapi, apa boleh buat jika sudah sama-sama nafsu? Ditambah lagi dengan wajah Anessa yang begitu pucat dan sangat kelelahan. Anessa akui untuk pengalaman pertama melakukan hal seperti itu, Edward cukup perkasa sampai membuatnya kewalahan. Sampai ia sendiri tidak ingat, mereka selesai jam berapa. Ciuman itu, sentuhan itu, tatapan Edward pagi tadi. Membuat napasnya tercekat setiap kali pikirannya berputar kembali ke momen yang seharusnya tidak pernah terjadi. Kepalanya berdenyut pelan, entah karena kelelahan atau karena emosinya yang masih berantakan. "Anessa!" Suara kepala divisi menyadarkannya. Anessa tersentak dan buru-buru menoleh. "Eh? Iya Pak?" "Kalau sakit, jangan masuk kerja!" bentak sang kepala divisi sambil membanting dokumen ke meja Anessa. "Bai

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-18
  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 7 : KETAKUTAN DAN RASA PENASARAN

    Siang itu, kantin perusahaan tampak ramai karena banyak karyawan menikmati waktu istirahat mereka. Anessa dan Rena duduk di sudut ruangan, tempat favorit mereka.Tetapi, entah mengapa pikirannya melayang entah kemana. Sampai nasi yang ada di piringnya dibiarkan dingin dan tangannya sibuk menganduk minuman tanpa berniat meminumnya.Rena meliriknya sekilas penuh keheranan melihat sikap Anessa yang terlihat murung dari pagi. "Kamu gak apa-apa kan, Nes? Dari tadi diam aja. Kayak orang lagi nelen masalah besar aja."Anessa menghela napas, lalu tersenyum. "Aku tidak apa-apa, Ren. Cuma kurang tidur aja.""Apa ini ada hubungannya dengan Pak Edward?" tebak Rena tajam."Enggak, ini gak ada hubungannya dengan Pak Edward, Ren," jawab Anessa. "Masa sih?" tanya Rena penuh kecurigaan. "Aku tadi lihat kamu keluar dari ruangannya lho."Mata Anessa membelalak kaget, ternyata ada orang yang melihatnya. Tapi, bukankah wajar jika seorang karyawan masuk ke ruangan atasannya. Mungkin saja masalah pekerjaan

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-19
  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 8 : PEMBOHONG DAN PENIPU

    Suasana di dalam toko perhiasan begitu tenang. Cahaya lampu kristal memantulkan kilau emas dan berlian yang tertata rapi di balik kaca bening. Seorang pegawai toko, pria paruh baya dengan kacamata tipis, meneliti cincin yang baru saja Shera berikan kepadanya.Shera menyilangkan tangan, menunggu dengan penuh percaya diri. Matanya berbinar membayangkan berapa banyak uang yang akan ia dapatkan. Cincin berlian pasti bernilai tinggi.Namun, ekspresi pegawai itu berubah. Dahinya berkerut, lalu menatap Shera dengan ragu."Maaf Nona, … anda yakin cincin ini asli?"Shera mengerutkan kening. "Apa maksud Anda?"Pria itu menimbang cincin itu sekali lagi di antara jari-jarinya sebelum menyerahkannya kembali pada Shera. "Saya sudah memeriksanya. Ini hanya lapisan emas biasa. Berlian ini pun bukan asli, melainkan zirkon berkualitas tinggi."Jantung Shera seakan berhenti berdetak sejenak. "Apa? Anda bercanda, kan?"Pegawai itu tersenyum

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-20
  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 9 : MENGENAL LEBIH JAUH

    Tidak terasa hari sudah gelap ketika Anessa baru saja keluar dari ruang kantor sehabis lembur. Tubuhnya terasa lelah, tapi otak penuh dengan berbagai laporan yang baru saja ia selesaikan.Dengan lelah ia melangkah menuju halte bus dan ponselnya tiba-tiba bergetar.[Halo Nessa, kamu sudah selesai kerjanya?"]Anessa mengernyitkan dahinya. Kenapa Edward tiba-tiba menghubunginya? Hubungan mereka hanya sebatas atasan dan bawahan saja, dan sebelumnya Edward tidak pernah menghubunginya.Tapi ... memang iya kalau menyangkut kejadian malam itu, mereka jadi punya hubungan spesial. Tapi kan tetap saja itu terjadi di luar kendali Anessa."Tidak, itu tidak bisa dijadikan patokan aku punya hubungan lebih dari sekedar itu," kata Anessa dalam hati.[Iya, halo Pak. Ini saya baru selesai lembur. Ada apa ya?"][Tidak usah terlalu formal. Ini sudah di luar jam kerja."]["Baiklah ... ada apa?"["Aku ingin pergi ke supermarket, kebetulan aku butuh seseorang untuk nemenin belanja. Kamu di mana sekarang?"]A

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-20
  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 10 : KEPUTUSAN TERBAIK

    Anessa berdiri di depan lemari pakaian, tangannya gemetar saat menarik koper hitam dari bawah tumpukan baju. Jantungnya berdetak kencang, bukan karena ragu, tapi karena amarah yang masih tersisa.Ia sudah tidak tahan lagi berada di tempat yang selama ini disebutnya rumah. Seumur hidupnya ia selalu mendengarkan orangtuanya dan menjadi anak yang penurut.Sampai semuanya semakin kacau ketika ayahnya terjerat hutang besar. Sehingga membuatnya harus lebih keras mencari uang demi membayar hutang, menjadi tulang punggung keluarga, dan membayar kuliahnya sendiri waktu itu.Namun apa yang ia dapatkan sekarang?Tidak ada yang bisa ia terima, semuanya harus berjalan sesuai kata orangtuanya."Aku harus pergi," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri untuk segera berkemas.Tangannya bergerak cepat, mengambil beberapa pasang pakaian dan memasukkannya ke dalam koper. Dia tidak peduli apakah bajunya sudah terlipat rapi atau tidak. Dia hanya ingin pergi sebelum semuanya bertambah buruk.Diambilny

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-21
  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 11 : AWAL YANG BARU

    Malam semakin larut, ketika mobil hitam yang dikendarai Edward membelah jalanan kota. Di kursi penumpang, Anessa hanya terduduk diam, menatap jendela dengan tatapan kosong.Pikirannya masih sedikit kacau dan masih bergelut dengan kejadian yang baru ia alami. Pipinya yang lebam masih terasa perih dan sudut bibir yang sobek mulai terasa sedikit kaku.Edward meliriknya sekilas sebelum akhirnya mengarahkan mobil ke bahu jalan di depan apotik kecil yang masih buka. Tanpa mengatakan apa-apa, ia melepas sabuk pengaman dan membuka pintu."Tunggu di sini," katanya singkat sebelum keluar dari mobil.Anessa menatap punggung pria itu yang perlahan menjauh. Ia tahu pasti Edward akan membelikannya sesuatu untuk mengobati lukanya.Hatinya kembali bergetar, mengingat hanya sedikit orang yang memperlakukannya seperti ini. Perhatian yang diberikan Edward terasa berbeda, hangat, tulus, dan membuatnya merasa dihargai.Beberapa menit kemudian, Edward kembali dengan sebuah kantong plastik kecil di tanganny

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-03-21

บทล่าสุด

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 22 : PANTASKAH

    Suasana di ruang rapat utama terasa tegang. Karyawan-karyawan yang berada di dalamnya bertanya ada apa dan tiba-tiba sekali. Semua karyawan sudah duduk dengan rapi di kursi, tetapi suara bisikan semakin menjadi ketika Edward dan Anessa ke dalamnya.Mereka semakin penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh Edward dan mengapa ada Anessa yang berdiri di sampingnya?Ada di mana Pak Harto?Pria itu berdiri tegap dengan tatapan mata serius, matanya terus menyapu seluruh ruangan ampai semuanya sunyi tidak bersuara."Selamat pagi menjelang siang, hari ini saya akan mengumumkan sesuatu yang penting bagi perusahaan ini," kata Edward suara menggema ke seluruh penjuru ruangan."Mulai hari ini Pak Harto sudah tidak bekerja di sini dan beliau meminta agar tidak melakukan salam perpisahan dikarenakan ia hari ini berangkat menemui anaknya dan yang akan menggantikan Pak Harto adalah Anessa. Mulai sekarang, dia adalah sekretaris pribadi saya," lanjut Edward yang membuat beberapa orang melongo kage

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 21 : JARAK YANG TERLALU DEKAT

    Fajar baru menyingsing ketika Anessa terbangun dari tidurnya. Perlahan ia mengusap kedua matanya yang masih berat, sisa kantuk masih menggantung di pelupuk matanya.Dengan semangat, ia berjalan ke dapur dan mulai mengeluarkan bahan-bahan makanan dari dalam kulkasnya. Anessa mengambil ayam yang sudah dimarinasi semalam, aroma bumbu rempah langsung menyeruak saat ia mengeluarkannya dari kulkas.Hari ini, ia menyiapkan ayam panggang, lengkap dengan nasi hangat, sayuran, dan buah-buah segar.Hampir saja ia lupa mempersiapkan kotak bekal khusus untuk Edward. Mungkin ini adalah bentuk kebiasaan baru, sebagai bentuk tanda terima kasih atas semua yang Edward lakukan untuknya. Dengan cekatan, ia menyelesaikan semuanya tepat waktu. Tidak lupa memasukkan bekal dalam tas, lalu Anessa bergegas mandi dan mengenakan pakaian yang sudah ia siapkan semalam.Anessa menatap pantulan dirinya di cermin, yang mengenakan rok hitam dengan atasan merah muda. Rambutnya dibiarkan terurai dengan sentuhan gelomba

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 20 : HAMPIR FRUSTASI

    Malam itu di dalam kontrakan yang terasa semakin sempit oleh tekanan yang menghimpit pikirannya, Shera terduduk di pojokan kamar. Menatap kosong layar ponselnya yang tergeletak di lantai, kembali menampilkan pesan Andrean kali ini dengan nomor lain.["Aku nggak main-main, Sher. Kalau kamu nggak mau gantikan lima puluh juta itu. Aku tidak akan segan membuat hidupmu seperti di neraka. Jangan coba-coba ngilang dariku."]Kepalanya terasa berat, air matanya sudah habis, yang tersisa hanya jejak air mata di wajah yang lelah. Shera meraih ponselnya dan tangannya kembali gemetar menekan tombol blokir kontak tersebut. Ia benar-benar merasa sendirian. Kedua orangtuanya sudah tiada dan satu-satunya orang yang membantunya dulu, kini berubah menjadi seorang yang asing tidak saling mengenal.Tapi, mengingat sikap kasar dan dingin Anessa tadi sore. Membuatnya sangat kesal dan merutuki Anessa sebagai orang yang membuatnya menderita."Kenapa dia berubah?" gumamnya lirih.Shera mengusap kasar wajahnya

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 19 : SEKRETARIS PRIBADI

    Saat Edward sudah lebih dulu pergi ke parkiran, Anessa sedikit ragu untuk menyusulnya. Ia memantapkan langkah kakinya, mencoba agar tidak kelihatan terburu-buru. Begitu sampai di mobil Edward, ia membuka pintunya, tapi belum sempat berkata apa-apa, Edward sudah lebih dulu menyambutnya dengan senyuman tipis."Hari ini aku mau ajak kamu makan lagi. Mau kan?" tanya Edward santai.Anessa sempat terdiam, karena sudah sering Edward mengajaknya makan. Tempat yang mereka kunjungi juga bukan sembarang tempat makan, tapi restoran mahal.Anessa kemudian mengangguk pelan, "Eh? Makan lagi?"Edward terkekeh, "Anggap saja ini ucapan terima kasih karena kamu sudah menemukan flashdiskku, membuatkanku bekal nasi goreng, dan mengobati lukaku."Anessa mengernyitkan keningnya, "Jadi, kemarin itu ... bukan kode ya? Aku pikir kamu benar-benar ingin aku buatkan."Edward hanya tersenyum, lalu tanpa menunggu lagi, ia menyalakan mobil dan melaju. Selama perjalanan, Anessa mencoba merilekskan pikirannya dan meng

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 18 : ITU MASALAHMU

    Sudah setengah hari Shera menundukkan kepala terus, demi menghindari tatapan-tatapan penuh selidik dari rekan kerjanya. Sejak insiden Andrean mengamuk tadi, namanya seketika langsung menjadi bahan perbincangan banyak orang. Beberapa orang bahkan berbisik ketika ia berjalan dan sementara beberapa temannya yang biasanya akrab kini tampak menjauh. Ia menghela napas perlahan, berusaha bersikap biasa saja. Namun, semua itu berubah saat seorang staf atasannya mendekatinya. "Shera, tolong ikut saya sebentar ke ruang atasan," pintanya staf itu bernada datar. Shera sedikit terkejut, tetapi ia tidak punya pilihan selain mengikuti langkah kaki staf itu menuju ruang atasan. Langkahnya semakin lama semakin berat, rasa ketakutan itu kian menjalar, membuatnya terasa mual. Ketika ia sampai di depan pintu atasannya, ia menarik napas dalam-dalam dan menyakinkan dirinya bahwa semua akan berjalan baik-baik saja. Ia mengetuk pintu itu dengan pelan dan dipersilahkan masuk oleh atasannya. Keti

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 17 : MASALAH KECIL

    Setelah Andrean pergi, ruangan terasa hening. Anessa berdiri menatap Edward dengan tatapan penuh pertanyaan. Sudut bibir pria itu masih mengeluarkan darah dan ia tampak tenang, seperti tidak merasakan sakit. Anessa menghela napas, lalu berkata, "Ayo ke ruanganmu, aku tidak mau ada orang-orang berpikir yang aneh-aneh." Edward menatap Anessa sejenak sebelum mengangguk dan melangkah lebih dulu. Anessa mengikuti dari belakang, sesekali melirik pria itu yang berjalan dengan wibawa khasnya, meskipun baru saja berkelahi. Begitu saja di ruangan Edward, Anessa segera mencari kotak P3K. Ia membukanya dan mengambil kapas serta antiseptik untuk membersihkan luka di bibir Edward. Edward sendiri merasa tidak enak dengan Anessa karena sudah membuatnya khawatir. "Duduk," perintah Anessa lembut. Edward menurut, membiarkan Anessa mendekat dan mulai merawat lukanya. Saat kapas menyentuh lukanya, Edward sedikit meringis. Refleks, tangan Anessa menyentuh dagunya, menahannya agar tidak bergerak

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 16 : MELAPORKAN FAKTA

    Anessa yang baru tiba langsung berjalan menuju ruang Edward lalu mengetuk pintu besar itu. Terdengarlah suara sahutan Edward dari dalam ruangan itu. Ia pun masuk dan meletakkan tas bekal yang ia bawa di atas meja kerja Edward. "Kamu sedang cari apa?" tanya Anessa heran. "Aku sedang mencari flashdiskku. Perasaan tadi pagi sudah aku masukan ke dalam saku jasku," jawab Edward masih sibuk mengobrak-abrik. Anessa pun mengeluarkan flashdisk yang ia temukan dari dalam tasnya. "Edward, apa ini flashdisknya?" Edward langsung berbalik badan, pria itu menatap benda kecil itu sejenak sebelum mengambilnya dengan ekspresi penuh kelegaan. "Di mana kamu menemukannya?" "Di depan pintu apartemenmu," jawab Anessa jujur. Edward menghela napas lega. "Aku baru sadar flashdisk ini saat sampai di perusahaan. Di dalam flashdisk ini berisikan file penting untuk rapat hari ini." Anessa tersenyum kecil. "Untung ketemu kan?" Edward mengangguk, lalu berbalik untuk kembali ke meja kerjanya. Namun, sa

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 15 : EDWARD

    Di malam harinya, ponsel Anessa kembali bergetar di atas meja samping tempat tidur. Layar ponselnya menampilkan nomor yang tidak dikenal terus berusaha menghubunginya. Ia sudah tahu siapa pemilik nomor itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Andrean. Namun, ia tetap membiarkannya sampai ponselnya berhenti berdering dengan sendirinya. Beberapa pesan singkat masuk setelah panggilan itu berakhir. Anessa menatapnya sebentar, lalu membalikkan ponsel dan menarik selimut hingga setinggi dadanya. Ia lelah dengan semua masalah yang terjadi belakangan ini, sudah cukup membuat hari-harinya berjalan tidak maksimal. Sementara itu, di kamarnya, Andrean termenung di dalam kamar kontrakannya. Ia menatap layar ponselnya dengan gelisah. Ia masih mengingat jelas bagaimana satpam apartemen elite itu menyebutkan satu nama yang membuatnya curiga. "Edward." Nama itu bukan nama yang asing baginya. Dulu, saat ia masih kuliah, Edward adalah mahasiswa paling populer dan terkenal sebagai orang terpintar dalam

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 14 : PENDEKATAN

    Edward menghela napas setelah menutup laptopnya. Hari ini ia cukup sibuk, untungnya ia bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu dan mungkin waktu sudah lewat setengah jam dari jam operasional.Matanya melirik meja di sebelah, di mana tempat bekal makan siang yang tadi diberikan Anessa sudah kosong. Teringat akan kejadian pagi tadi, ia tersenyum kecil. "Kayaknya aku harus balas budi," gumamnya langsung membereskan barang-barangnya ke dalam tas kerja.Dengan cepat ia meraih ponselnya dan memesan makanan untuk dibawah pulang ke apartemennya. Tidak butuh waktu lama, hanya beberapa menit makanan yang ia pesan sudah selesai.Ia berjalan meninggalkan ruangannya dan berjalan menuju ruangan Anessa bekerja. Edward sedikit heran karena tidak seperti biasanya ruangan itu kosong. Biasanya selalu ada Anessa yang masih sibuk di depan komputer. "Mungkin saja dia selesai lebih awal," gumamnya lanjut berjalan keluar perusahaan.Edward melaju dengan mobilnya dan berhenti di depan restoran untuk mengambi

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status