Suasana di dalam toko perhiasan begitu tenang. Cahaya lampu kristal memantulkan kilau emas dan berlian yang tertata rapi di balik kaca bening. Seorang pegawai toko, pria paruh baya dengan kacamata tipis, meneliti cincin yang baru saja Shera berikan kepadanya.Shera menyilangkan tangan, menunggu dengan penuh percaya diri. Matanya berbinar membayangkan berapa banyak uang yang akan ia dapatkan. Cincin berlian pasti bernilai tinggi.Namun, ekspresi pegawai itu berubah. Dahinya berkerut, lalu menatap Shera dengan ragu."Maaf Nona, … anda yakin cincin ini asli?"Shera mengerutkan kening. "Apa maksud Anda?"Pria itu menimbang cincin itu sekali lagi di antara jari-jarinya sebelum menyerahkannya kembali pada Shera. "Saya sudah memeriksanya. Ini hanya lapisan emas biasa. Berlian ini pun bukan asli, melainkan zirkon berkualitas tinggi."Jantung Shera seakan berhenti berdetak sejenak. "Apa? Anda bercanda, kan?"Pegawai itu tersenyum
Tidak terasa hari sudah gelap ketika Anessa baru saja keluar dari ruang kantor sehabis lembur. Tubuhnya terasa lelah, tapi otak penuh dengan berbagai laporan yang baru saja ia selesaikan.Dengan lelah ia melangkah menuju halte bus dan ponselnya tiba-tiba bergetar.[Halo Nessa, kamu sudah selesai kerjanya?"]Anessa mengernyitkan dahinya. Kenapa Edward tiba-tiba menghubunginya? Hubungan mereka hanya sebatas atasan dan bawahan saja, dan sebelumnya Edward tidak pernah menghubunginya.Tapi ... memang iya kalau menyangkut kejadian malam itu, mereka jadi punya hubungan spesial. Tapi kan tetap saja itu terjadi di luar kendali Anessa."Tidak, itu tidak bisa dijadikan patokan aku punya hubungan lebih dari sekedar itu," kata Anessa dalam hati.[Iya, halo Pak. Ini saya baru selesai lembur. Ada apa ya?"][Tidak usah terlalu formal. Ini sudah di luar jam kerja."]["Baiklah ... ada apa?"["Aku ingin pergi ke supermarket, kebetulan aku butuh seseorang untuk nemenin belanja. Kamu di mana sekarang?"]A
Anessa berdiri di depan lemari pakaian, tangannya gemetar saat menarik koper hitam dari bawah tumpukan baju. Jantungnya berdetak kencang, bukan karena ragu, tapi karena amarah yang masih tersisa.Ia sudah tidak tahan lagi berada di tempat yang selama ini disebutnya rumah. Seumur hidupnya ia selalu mendengarkan orangtuanya dan menjadi anak yang penurut.Sampai semuanya semakin kacau ketika ayahnya terjerat hutang besar. Sehingga membuatnya harus lebih keras mencari uang demi membayar hutang, menjadi tulang punggung keluarga, dan membayar kuliahnya sendiri waktu itu.Namun apa yang ia dapatkan sekarang?Tidak ada yang bisa ia terima, semuanya harus berjalan sesuai kata orangtuanya."Aku harus pergi," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri untuk segera berkemas.Tangannya bergerak cepat, mengambil beberapa pasang pakaian dan memasukkannya ke dalam koper. Dia tidak peduli apakah bajunya sudah terlipat rapi atau tidak. Dia hanya ingin pergi sebelum semuanya bertambah buruk.Diambilny
Malam semakin larut, ketika mobil hitam yang dikendarai Edward membelah jalanan kota. Di kursi penumpang, Anessa hanya terduduk diam, menatap jendela dengan tatapan kosong.Pikirannya masih sedikit kacau dan masih bergelut dengan kejadian yang baru ia alami. Pipinya yang lebam masih terasa perih dan sudut bibir yang sobek mulai terasa sedikit kaku.Edward meliriknya sekilas sebelum akhirnya mengarahkan mobil ke bahu jalan di depan apotik kecil yang masih buka. Tanpa mengatakan apa-apa, ia melepas sabuk pengaman dan membuka pintu."Tunggu di sini," katanya singkat sebelum keluar dari mobil.Anessa menatap punggung pria itu yang perlahan menjauh. Ia tahu pasti Edward akan membelikannya sesuatu untuk mengobati lukanya.Hatinya kembali bergetar, mengingat hanya sedikit orang yang memperlakukannya seperti ini. Perhatian yang diberikan Edward terasa berbeda, hangat, tulus, dan membuatnya merasa dihargai.Beberapa menit kemudian, Edward kembali dengan sebuah kantong plastik kecil di tanganny
Matahari bahkan belum menampakkan sinarnya, Anessa sudah melangkah keluar dari apartemennya. Jalanan masih sepi, hanya sesekali terdengar suara deru mobil yang melintas. Udara pagi memang dingin, tetapi pikirannya lebih tenang dibanding semalam. Dengan langkah cepat, ia menuju supermarket 24 jam di sudut jalan. Hanya beberapa langkah dari apartemen. Suasana di supermarket masih sepi. Hanya ada beberapa pegawai yang sibuk menata barang di rak. Anessa mengambil troli lalu menyusuri lorong-lorong rak. Ia mengambil beberapa bahan makan seperti, keju, roti, sayur-sayuran, daging, dan barang-barang kebutuhan lainnya. Setelah itu, Anessa berjalan ke kasir dan membayar barang belanjaannya lalu segera kembali ke apartemen, berniat membuatkan Edward sarapan juga bekal makan siang sebagai tanda terima. Sampainya di apartemen, ia segera berjalan ke dapur meletakkan barang belanjaannya dan mulai memasak. Tangannya bergerak cekatan, meski pikirannya masih berkecamuk teringat kejadian semalam.
Anessa duduk di meja kerjanya, mencoba fokus pada layar komputer di depannya. Namun, pikirannya terus melayang ke insiden yang baru saja terjadi di lobi. Kejadian itu terjadi di depan banyak orang dan Anessa bisa merasakan tatapan mata orang-orang yang ingin tahu lebih lanjut masalahnya. Bisikan-bisikan mulai terdengar dari berbagai sudut ruangannya. Membuatnya semakin risih, tapi harus bersikap tenang. "Tadi aku liat mantannya Anessa datang, ya? Gila! Berani banget buat keributan di perusahaan kita." "Iya, kayaknya dia masih belum move on. Tapi, Anessa gak ada reaksi apa-apa sih. Cuek aja." "Mana ada cuek ... Anessa kesannya jadi cewek yang gak bisa menghargai cowok lho. Sekiranya terima aja pemberian mantannya itu." "Tapi serem juga, kalo punya mantan kek gitu. Yang gak bisa lepas dari masa lalu." Anessa menghela napas dalam-dalam, rasanya ingin sekali ia menutup gendang telinganya. Ia sungguh tidak ingin mendengar gosip itu. Tangan Anessa terkepal tanpa sadar, ia ingin memba
Edward menghela napas setelah menutup laptopnya. Hari ini ia cukup sibuk, untungnya ia bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu dan mungkin waktu sudah lewat setengah jam dari jam operasional.Matanya melirik meja di sebelah, di mana tempat bekal makan siang yang tadi diberikan Anessa sudah kosong. Teringat akan kejadian pagi tadi, ia tersenyum kecil. "Kayaknya aku harus balas budi," gumamnya langsung membereskan barang-barangnya ke dalam tas kerja.Dengan cepat ia meraih ponselnya dan memesan makanan untuk dibawah pulang ke apartemennya. Tidak butuh waktu lama, hanya beberapa menit makanan yang ia pesan sudah selesai.Ia berjalan meninggalkan ruangannya dan berjalan menuju ruangan Anessa bekerja. Edward sedikit heran karena tidak seperti biasanya ruangan itu kosong. Biasanya selalu ada Anessa yang masih sibuk di depan komputer. "Mungkin saja dia selesai lebih awal," gumamnya lanjut berjalan keluar perusahaan.Edward melaju dengan mobilnya dan berhenti di depan restoran untuk mengambi
Di malam harinya, ponsel Anessa kembali bergetar di atas meja samping tempat tidur. Layar ponselnya menampilkan nomor yang tidak dikenal terus berusaha menghubunginya. Ia sudah tahu siapa pemilik nomor itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Andrean. Namun, ia tetap membiarkannya sampai ponselnya berhenti berdering dengan sendirinya. Beberapa pesan singkat masuk setelah panggilan itu berakhir. Anessa menatapnya sebentar, lalu membalikkan ponsel dan menarik selimut hingga setinggi dadanya. Ia lelah dengan semua masalah yang terjadi belakangan ini, sudah cukup membuat hari-harinya berjalan tidak maksimal. Sementara itu, di kamarnya, Andrean termenung di dalam kamar kontrakannya. Ia menatap layar ponselnya dengan gelisah. Ia masih mengingat jelas bagaimana satpam apartemen elite itu menyebutkan satu nama yang membuatnya curiga. "Edward." Nama itu bukan nama yang asing baginya. Dulu, saat ia masih kuliah, Edward adalah mahasiswa paling populer dan terkenal sebagai orang terpintar dalam
Edward memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Perdebatan dengan Ayahnya sangat menguras energi dan pikirannya. Edward tidak pernah memahami, mengapa Ayahnya begitu keras kepala dalam urusan ini. Padahal Edward hanya ingin menjalankan perusahaan dengan profesional. "Ayah, Pak Harto itu sudah tidak bisa bekerja seperti dulu. Beliau sendiri pernah bilang ingin menghabiskan waktu dengan cucunya," kata Edward menjelaskan ulang. Namun, Samuel tidak peduli. Pria paruh baya itu tetap bersikeras agar Edward memperkerjakan Pak Harto kembali dan menggantikan Anessa dari posisi sebagai sekretaris pribadi.Menurut Samuel, wanita muda seperti Anessa tidak cukup pantas berada di posisi strategis perusahaan."Menurut Ayah, dia terlalu muda ... terlalu kaku, bukan orang yang bisa dipercaya di lingkungan bisnis," kata Samuel dingin. Perkataan itu menusuk hati Edward. Ia tahu maksud Ayahnya, bahwa dia tidak menyukai Anessa, tapi juga menilainya tanpa memberi kesempatan dalam kapasitas diri. Berka
Pagi ini Edward selesai merapikan penampilannya di depan cermin. Kemeja putih yang disetrika rapi dipadukan dengan jas hitam klasik dan menyemprotkan sedikit parfum, membuat aura profesionalnya semakin memancar keluar. Ia mengambil kunci mobil, lalu melangkah keluar dari apartemennya, berjalan menuju unit Anessa. Anessa yang sudah siap menunggunya di depan pintu dengan senyum hangat dan sebuah tas bekal di tangannya. "Sarapan dan bekal spesial, untuk orang yang spesial," kata Anessa menyodorkan tas bekal itu kepada Edward. "Salad, buah, terus nasi ayam tim, dan telur dadar spesial," jelas Anessa. Edward tersenyum kecil, menerima tas bekal itu, lalu menggenggam tangan Anessa dengan lembut, "Terima kasih. Kamu tahu aja cara membuat hariku terasa sempurna," kata Edward. "Tentu saja, bisa," jawab Anessa semakin mengeratkan genggaman tangannya. Tanpa memperdulikan orang yang berlalu-lalang, mereka lewati lorong apartemen, mereka berjalan bergandengan tangan menuju parkiran. N
Hujan turun pelan membasahi trotoar kota yang mulai lenggang. Di bangku panjang yang berdiri di bawah lampu jalan, Andren duduk membisu. Jaket hitam yang dipakainya, basah kuyup menempel di tubuhnya. Ia menunduk, membiarkan setetes air hujan menelusuri wajahnya, menyatu dengan emosi yang menbanjiri dadanya.Di tangannya tergenggam botol minuman keras yang hampir habis. Rasanya pahit, namun tidak sepahit kenyataan yang harus ia teguk malam ini.Edward.Nama itu terus terngiang dalam benaknya. Nama orang yang seharusnya tidak muncul dalam hidupnya. "Anessa ... semua ini terjadi karena dia," bisik Andrean nyaris tidak terdengar.Perlahan, potongan-potongan kejadian mulai terangkai dari banyaknya informasi yang ia ketahui. Anessa meninggalkan rumah, tinggal di tempat yang kini jauh lebih mewah, jabatan barunya yang begitu cepat, semuanya masuk akal. Dan semua itu mengarah pada satu orang.Edward. Rasa iri menyelinap seperti duri di bawah kulit, dengan rasa pedih yang begitu menyiksa. Ed
Anessa duduk di sebrang Edward dalam sebuah restoran kecil yang suasananya tenang, namun hatinya tidak seiring suasana sekitar.Wajahnya terlihat lesu, matanya redup, seolah pikirannya masih terjebak pada masalah yang seakan punya kejutan di hari esok.Tatapan kosongnya menatap meja makan, bahkan sudah lima belas menit berlalu, daging steak di depannya masih terlihat sepenuhnya utuh. Sejak ia terbangun dari tidur siang tadi, pikirannya tidak berhenti memikirkan Shera. Ia yakin, masalah itu sudah menyebar di perusahaan. Bukan cuma ia dan Edward saja yang tahu, ada seseorang bahkan lebih yang ikut memperkeruh suasana. Edward menatap Anessa dengan khawatir. Ia tidak pernah melihatnya setenang itu dalam artian yang negatif. Diam-diam ia mengulurkan tangan dan menyentuh jari Anessa, mencoba mengalihkan pikirannya. "Nggak nafsu makan, ya? Mau aku pesankan yang lain?" tanya Edward pelan. Anessa hanya menggeleng kecil tanpa suara, Edward yang tidak mengerti hanya tersenyum kecil. Edward me
Dulu, Shera adalah gadis biasa yang duduk di samping Anessa sewaktu duduk di bangku SMP. Mereka bersahabat, tapi dalam hatinya, Shera tahu bahwa dunia lebih condong pada Anessa.Anessa dikenal sebagai siswi yang cerdas, cekatan, dan selalu punya jawaban untuk semua pertanyaan guru. Sementara Shera, meskipun ia mencoba, seringkali terlambat dalam memahami pelajaran dan sering gugup saat bicara di depan kelas.Dalam hening pikirannya, Shera menyadari bahwa ia bukan pemeran utama dari kisah hidup setiap peristiwa yang terjadi di sekolah. Bahkan gurunya sendiri lebih mengapresiasi tugas yang diselesaikan oleh Anessa, ketimbang dirinya."Anessa, kamu luar biasa!""Anessa, Ibu nanti mau daftarin kamu ikut lomba cerdas cermat buat mewakili sekolah kita, ya.""Anessa, tolong bantu Shera. Mungkin ada bagian yang tidak dimengerti olehnya."Kalimat itu terekam jelas dalam ingatannya dan semakin sering terdengar, semakin samar keberadaan dirinya di dalam kelas. Tapi ada di saat-saat di mana She
Anessa menggigit bibirnya keras saat tubuh Edward terus menghantamnya dari belakang, satu tangannya menahan kepala ranjang, dan tangan satunya lagi mencengkeram pinggang Anessa erat."Lihat aku, Anessa ... " suara Edward terdengar berat, penuh hasrat. "Aku mau lihat wajahmu pas ngerasain semua ini."Edward menarik rambut Anessa lembut hingga wajah mereka berhadapan lewat pantulan cermin besar di sisi ranjang. "Kamu lihat itu" bisiknya dengan senyum setan. "Kalung itu ... jadi saksi gimana kamu jadi milikku malam ini."Anessa hanya bisa mengangguk lemah, napasnya putus-putus. Tubuhnya sudah tidak mampu lagi menolak tiap gerakan Edward yang semakin dalam dan cepat. Rintihannya tumpah tanpa bisa dikontrol."Ahh Edward ... cukup ... " Desah Anessa sambil memejamkan matanya, kenikmatan.Di balik rintihannya, Anessa tahu bahwa ia tidak lagi bisa menyangkal perasaannya pada Edward. Ini lebih dari sekadar kenikmatan fisik.Tidak lama, Edward membalik tubuhnya, menarik Anessa dalam pelukannya
Sisa makanan berserakan di atas meja makan rumah itu. Hendra menyandarkan tubuh di kursi reyot sambil menyeruput sebotol minuman keras yang baru saja ia beli, sementara Mila duduk di seberangnya dengan wajah puas, mengunyah ayam goreng yang didapatkan dari dalam kantong merah besar, kantong yang dibawa Anessa tadi. "Anak itu cuman membuat masalah," gumam Hendra dengan suara serak. "Melihatnya saja aku sudah muak." Mila mendengus, menyeka tangan berminyak ke kain lap kotor di pangkuannya. "Harusnya dia nggak usah balik kalau cuma bawa uang sedikit dan aib, dibelain sama orang luar lagi." "Amplop isiannya gede juga, ya," kata Hendra menyeringai dan mengayunkan amplop putih ke udara. "Lumayan buat stok rokok sama minum minggu ini." Tanpa ada rasa bersalah di hati mereka, mereka hanya kenikmatan sesaat yang mereka reguk tanpa mengingat luka yang baru saja mereka ciptakan. "Aku curiga, deh," suara Mila mulai merendah, alisnya bertaut. "Pria tadi ... yang bawa dia pergi. Wajahnya ngg
Edward melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, membiarkan kesunyian menyelimuti kabin mobil. Lampu jalan menyinari wajah Anessa yang pucat dan setiap kali ia melirik, hati Edward seperti diremas. Tatapan kosong pada mata Anessa bukan hanya karena lelah. Ada luka yang tak kasat mata yang begitu menghunus begitu dalam. "Aku antar kamu ke rumah sakit, ya?" tanyanya dengan nada pelan. Edward bermaksud tidak mau menambah beban pikiran Anessa, tapi kondisinya jelas mengkhawatirkan.Anessa menggeleng lemah, "Nggak usah ... aku cuma ingin pulang dan istirahat."Edward menatapnya sejenak, enggan menyerah, "Tapi Anessa ... ""Aku nggak apa-apa, Edward," jawab Anessa lebih tegas yang terdengar lirih. Ia tidak ingin diperiksa dokter, ia hanya ingin merasa aman dan sekarang satu-satunya tempat yang terasa demikian bukan rumahnya, tapi Edward. Edward dengan berat hati menuruti keinginannya. Begitu sampai di apartemen, ia turun dulu, lalu membuka pintu untuk Anessa.Namun, sebelum Anessa sem
Anessa menghentikan langkah kakinya saat seorang karyawan wanita yang tak dikenalinya memanggil namanya. Suaranya terdengar ramah, namun sorot matanya yang membuat Anessa merasa sedikit waspada. "Selamat atas kenaikan jabatanmu, Anessa," ujarnya sambil tersenyum tipis dan mengulurkan tangan.Anessa menjabat tangan karyawan wanita itu sebelum akhirnya membalas dengan anggukan kecil, "Iya, terima kasih. Maaf, aku belum mengenalmu, kamu siapa?"Wanita itu menarik tangan dan menyilangkannya di depan dada. "Aku bekerja di divisi A. Namaku Karin."Anessa mengangguk perlahan, Karin kemudian memiringkan kepalanya sedikit. Matanya terus menelisik wajah Anessa. "Aku hanya penasaran ... sudah berapa lama kamu dan Pak Edward berhubungan? Kalian sangat dekat sekali," katanya yang berubah nada sinis.Seketika Anessa terasa sedikit kesal. Sejak awal, ia sudah tahu bahwa kedekatannya dengan Edward bisa menimbulkan pembicaraan. Anessa menghela napas sebelum akhirnya menjawab, "Aku dan Pak Edward hany