Beranda / Romansa / Pesona Panas Sang CEO / BAB 7 : KETAKUTAN DAN RASA PENASARAN

Share

BAB 7 : KETAKUTAN DAN RASA PENASARAN

Penulis: NightEve
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-19 13:00:58

Siang itu, kantin perusahaan tampak ramai karena banyak karyawan menikmati waktu istirahat mereka. Anessa dan Rena duduk di sudut ruangan, tempat favorit mereka.

Tetapi, entah mengapa pikirannya melayang entah kemana. Sampai nasi yang ada di piringnya dibiarkan dingin dan tangannya sibuk menganduk minuman tanpa berniat meminumnya.

Rena meliriknya sekilas penuh keheranan melihat sikap Anessa yang terlihat murung dari pagi. "Kamu gak apa-apa kan, Nes? Dari tadi diam aja. Kayak orang lagi nelen masalah besar aja."

Anessa menghela napas, lalu tersenyum. "Aku tidak apa-apa, Ren. Cuma kurang tidur aja."

"Apa ini ada hubungannya dengan Pak Edward?" tebak Rena tajam.

"Enggak, ini gak ada hubungannya dengan Pak Edward, Ren," jawab Anessa.

"Masa sih?" tanya Rena penuh kecurigaan. "Aku tadi lihat kamu keluar dari ruangannya lho."

Mata Anessa membelalak kaget, ternyata ada orang yang melihatnya. Tapi, bukankah wajar jika seorang karyawan masuk ke ruangan atasannya. Mungkin saja masalah pekerjaan atau hal penting.

Ia lalu menundukkan kepalanya, berusaha menutupinya. "Lihat wajah kamu aja, aku udah tahu. Dia ngapain lagi? Aku tahu dia itu orangnya licik," lanjut Rena bernada pelan.

Saking terngiang-ngiangnya kata-kata Edward di ruangan tadi masih terngiang di kepalanya, ia tidak memperhatikan perkataan Rena.

Cara pria itu berbicara, nada suaranya yang tenang tapi menusuk, seolah sengaja ingin mengacaukan pikirannya.

"Hei, Nessa. Aku ini ngomong sama kamu lho," kata Rena menyadarkan Anessa yang cepat melamun.

"Iya, maafkan aku, Rena," kata Anessa.

"Iya gak apa-apa. Sepertinya kamu akan tertekan karena dia," kata Rena berusaha memahami.

"Aku nggak ngerti mau dia itu apa," gumannya.

"Dia memang enggak bisa ketebak, Nes. Harusnya kamu berhati-hati dengan dia," ujar Rena.

Anessa mengangguk pelan dan kembali memikirkan maksud perkataan Edward.

===

Setelah istirahat siang berakhir, Anessa kembali ke ruangannya. Namun, belum sempat ia benar-benar fokus pada pekerjaannya, ponselnya di mejanya berbunyi.

Menampilkan nama panggilan yang nomornya tidak Anessa ketahui sejak kapan ada di kontak ponselnya.

["Masuk ke ruangan saya sekarang."]

Belum sempat Anessa menjawab, Edward langsung mengakhiri panggilan tersebut. Jantung Anessa kembali berdebar. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatnya gelisah. Meski berat, dia tetap melangkah menuju ruangannya.

Begitu masuk ke dalam, pintu di belakangnya tertutup rapat. Edward menarik tangannya lalu memeluknya erat, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca.

"Apa kamu sakit? Wajahmu sejak tadi kelihatan pucat," kata Edward berubah khawatir.

"Apakah atasanku ini orang yang normal?" tanya Anessa dalam hati penuh tanda tanya.

Anessa mendorongnya pelan, menegaskan batasan mereka sekarang dan sedang ada dimana mereka. "Maaf, Pak Edward. Ada apa memanggil saya kemari ya?" tanya Anessa canggung.

Edward tersenyum kecil, lalu perlahan berjalan menuju meja dan berbalik memberikan sebuah kantung berisikan beberapa vitamin dan obat.

Tatapan matanya tajam, penuh intensitas yang membuat Anessa mau tak mau harus menerimanya. "Ini diminum obatnya ... aku gak tahu kamu sakit apa. Aku harap ini membantu," ungkap Edward memanggilnya kemari.

Dengan tangan sedikit gemetar, Anessa menerima kantung itu. "Terima kasih atas perhatiannya, Pak Edward. Karena telah mengkhawatirkan keadaan saya."

Namun, gerakan Edward semakin mendekat. Dengan santai, ia melonggar dasi di lehernya, lalu melepas jasnya, melemparnya ke sofa yang tidak jauh dari mereka berdiri.

"Pak?" panggil Anessa yang refleks mundur ke belakang.

"Tahu nggak, Anessa?" suaranya terdengar rendah, penuh tekanan. "Aku suka melihat ekspresi kamu saat merasa terpojok."

Anessa menegang. "Pak Edward, ini tidak pantas."

Pria itu terkekeh pelan, lalu mencondongkan tubuhnya lebih dekat. "Kenapa? Kamu takut?"

Anessa menggigit bibir, mencoba mempertahankan kewaspadaannya. Edward tidak menyentuhnya, tapi gerakan dan tatapannya cukup untuk membuat napasnya tercekat.

Menurutnya, pria itu ingin memancingnya, menguji seberapa lama dirinya bisa bertahan sebelum kehilangan kendali.

Dengan hati-hati, jari tangan Edward menyentuh sudut bibir Anessa. Seketika, tubuh Anessa menegang, refleksnya memejamkan mata, seolah bersiap menghadapi sesuatu yang tak terduga.

Satu detik, dua detik, tiga detik berlalu, tidak ada terjadi. Ia perlahan membuka matanya dan melihat Edward yang menatapnya heran.

"Ada sisa saus di sudut bibirmu," katanya. Anessa langsung menyentuh sudut bibirnya.

Edward menyipitkan matanya, lalu tersenyum kecil, "Kamu boleh pergi sekarang."

Tanpa berkata apapun, Anessa segera keluar dan berlari menuju ruangannya. "Ada-ada saja, tidak mungkin aku mau melakukannya disini, Anessa," gumam Edward kembali duduk sambil tersenyum.

Anessa berjalan cepat menuju ruangannya, dadanya masih terasa sesak akibat pertemuannya dengan Edward.

Tangannya menggenggam kantung kecil berisi vitamin dan obat yang tadi diberikan pria itu. Dia menatap benda itu dengan ekspresi campur aduk, antara bingung, kesal, dan ... sedikit tersentuh.

Ia menggeleng cepat kepalanya, "Tidak, Anessa. Jangan terpengaruh," gumamnya pada diri sendiri, buru-buru memasukkan kantung itu ke dalam laci.

Dia menghela napas panjang, mencoba mengalihkan pikirannya kembali ke pekerjaan. Namun, pikirannya masih dipenuhi oleh sosok Edward. Tatapan tajamnya. Cara dia berbicara. Dekatnya jarak di antara mereka barusan, membuatnya tidak bisa berpikir jernih.

Anessa meremas jemarinya, merasa frustrasi dengan dirinya sendiri. "Kenapa harus bereaksi berlebihan? Itu hanya trik liciknya!" katanya dalam hati.

Belum sempat dia benar-benar fokus, suara notifikasi ponselnya kembali berbunyi. Sebuah pesan dari Edward.

["Jangan lupa minum obatnya. Aku tidak mau melihatmu lemas saat bekerja."]

Anessa memelototi layar ponselnya, lalu menaruhnya kembali di meja dengan kasar.

"Apa maunya pria itu, sih?" gerutunya kesal.

Seakan semesta tidak membiarkannya tenang, pintu ruangannya terbuka sedikit. Rena mengintip dengan tatapan penuh kecurigaan. "Jujur ... aku yakin tadi kamu dipanggil sama dia lagi. Ngapain aja?" tanyanya sambil masuk dan duduk di kursi depan meja Anessa.

Anessa ragu sejenak, lalu menggeleng. "Nggak ada yang aneh. Dia cuma ... kasih file dokumen untuk aku periksa."

Rena menatapnya curiga. "Cuma itu?"

Anessa mengangguk, tidak ingin membahas lebih jauh. "Oke, baiklah ... " jawab Rena kembali duduk di kursinya. Anessa menghela nafas, memikirkan bagaimana nasibnya untuk hari-hari ke depan, belum lagi keluarganya.

"Aku benar-benar bingung," katanya dalam hati.

Anessa menghela napas panjang, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Namun, pikirannya tetap berputar-putar, terjebak dalam kebingungan antara ketakutan dan rasa penasaran terhadap Edward.

Ia kembali membuka lacinya dan menatap kantung obat sekali lagi sebelum menutupnya dengan cepat.

Kenapa dia repot-repot peduli?

Di luar, suara obrolan rekan kerja samar-samar terdengar, tapi rasanya seperti dunia Anessa hanya berisi dia dan bayang-bayang Edward saja hari ini.

Ponselnya bergetar lagi. Pesan dari Edward.

["Jangan berpikir terlalu banyak. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja."]

Anessa menggigit bibir bawahnya. Ia hanya membaca tanpa membalasnya. Dan dari mana pria itu tahu semuanya? Apakah ia bisa membaca pikiran?

Satu hal yang pasti, Edward adalah badai yang sulit dihindari.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 8 : PEMBOHONG DAN PENIPU

    Suasana di dalam toko perhiasan begitu tenang. Cahaya lampu kristal memantulkan kilau emas dan berlian yang tertata rapi di balik kaca bening. Seorang pegawai toko, pria paruh baya dengan kacamata tipis, meneliti cincin yang baru saja Shera berikan kepadanya.Shera menyilangkan tangan, menunggu dengan penuh percaya diri. Matanya berbinar membayangkan berapa banyak uang yang akan ia dapatkan. Cincin berlian pasti bernilai tinggi.Namun, ekspresi pegawai itu berubah. Dahinya berkerut, lalu menatap Shera dengan ragu."Maaf Nona, … anda yakin cincin ini asli?"Shera mengerutkan kening. "Apa maksud Anda?"Pria itu menimbang cincin itu sekali lagi di antara jari-jarinya sebelum menyerahkannya kembali pada Shera. "Saya sudah memeriksanya. Ini hanya lapisan emas biasa. Berlian ini pun bukan asli, melainkan zirkon berkualitas tinggi."Jantung Shera seakan berhenti berdetak sejenak. "Apa? Anda bercanda, kan?"Pegawai itu tersenyum

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-20
  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 9 : MENGENAL LEBIH JAUH

    Tidak terasa hari sudah gelap ketika Anessa baru saja keluar dari ruang kantor sehabis lembur. Tubuhnya terasa lelah, tapi otak penuh dengan berbagai laporan yang baru saja ia selesaikan.Dengan lelah ia melangkah menuju halte bus dan ponselnya tiba-tiba bergetar.[Halo Nessa, kamu sudah selesai kerjanya?"]Anessa mengernyitkan dahinya. Kenapa Edward tiba-tiba menghubunginya? Hubungan mereka hanya sebatas atasan dan bawahan saja, dan sebelumnya Edward tidak pernah menghubunginya.Tapi ... memang iya kalau menyangkut kejadian malam itu, mereka jadi punya hubungan spesial. Tapi kan tetap saja itu terjadi di luar kendali Anessa."Tidak, itu tidak bisa dijadikan patokan aku punya hubungan lebih dari sekedar itu," kata Anessa dalam hati.[Iya, halo Pak. Ini saya baru selesai lembur. Ada apa ya?"][Tidak usah terlalu formal. Ini sudah di luar jam kerja."]["Baiklah ... ada apa?"["Aku ingin pergi ke supermarket, kebetulan aku butuh seseorang untuk nemenin belanja. Kamu di mana sekarang?"]A

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-20
  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 10 : KEPUTUSAN TERBAIK

    Anessa berdiri di depan lemari pakaian, tangannya gemetar saat menarik koper hitam dari bawah tumpukan baju. Jantungnya berdetak kencang, bukan karena ragu, tapi karena amarah yang masih tersisa.Ia sudah tidak tahan lagi berada di tempat yang selama ini disebutnya rumah. Seumur hidupnya ia selalu mendengarkan orangtuanya dan menjadi anak yang penurut.Sampai semuanya semakin kacau ketika ayahnya terjerat hutang besar. Sehingga membuatnya harus lebih keras mencari uang demi membayar hutang, menjadi tulang punggung keluarga, dan membayar kuliahnya sendiri waktu itu.Namun apa yang ia dapatkan sekarang?Tidak ada yang bisa ia terima, semuanya harus berjalan sesuai kata orangtuanya."Aku harus pergi," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri untuk segera berkemas.Tangannya bergerak cepat, mengambil beberapa pasang pakaian dan memasukkannya ke dalam koper. Dia tidak peduli apakah bajunya sudah terlipat rapi atau tidak. Dia hanya ingin pergi sebelum semuanya bertambah buruk.Diambilny

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-21
  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 11 : AWAL YANG BARU

    Malam semakin larut, ketika mobil hitam yang dikendarai Edward membelah jalanan kota. Di kursi penumpang, Anessa hanya terduduk diam, menatap jendela dengan tatapan kosong.Pikirannya masih sedikit kacau dan masih bergelut dengan kejadian yang baru ia alami. Pipinya yang lebam masih terasa perih dan sudut bibir yang sobek mulai terasa sedikit kaku.Edward meliriknya sekilas sebelum akhirnya mengarahkan mobil ke bahu jalan di depan apotik kecil yang masih buka. Tanpa mengatakan apa-apa, ia melepas sabuk pengaman dan membuka pintu."Tunggu di sini," katanya singkat sebelum keluar dari mobil.Anessa menatap punggung pria itu yang perlahan menjauh. Ia tahu pasti Edward akan membelikannya sesuatu untuk mengobati lukanya.Hatinya kembali bergetar, mengingat hanya sedikit orang yang memperlakukannya seperti ini. Perhatian yang diberikan Edward terasa berbeda, hangat, tulus, dan membuatnya merasa dihargai.Beberapa menit kemudian, Edward kembali dengan sebuah kantong plastik kecil di tanganny

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-21
  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 12 : LANGKAH MENJAUH

    Matahari bahkan belum menampakkan sinarnya, Anessa sudah melangkah keluar dari apartemennya. Jalanan masih sepi, hanya sesekali terdengar suara deru mobil yang melintas. Udara pagi memang dingin, tetapi pikirannya lebih tenang dibanding semalam. Dengan langkah cepat, ia menuju supermarket 24 jam di sudut jalan. Hanya beberapa langkah dari apartemen. Suasana di supermarket masih sepi. Hanya ada beberapa pegawai yang sibuk menata barang di rak. Anessa mengambil troli lalu menyusuri lorong-lorong rak. Ia mengambil beberapa bahan makan seperti, keju, roti, sayur-sayuran, daging, dan barang-barang kebutuhan lainnya. Setelah itu, Anessa berjalan ke kasir dan membayar barang belanjaannya lalu segera kembali ke apartemen, berniat membuatkan Edward sarapan juga bekal makan siang sebagai tanda terima. Sampainya di apartemen, ia segera berjalan ke dapur meletakkan barang belanjaannya dan mulai memasak. Tangannya bergerak cekatan, meski pikirannya masih berkecamuk teringat kejadian semalam.

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-24
  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 13 : MULAI KEHILANGAN KESABARAN

    Anessa duduk di meja kerjanya, mencoba fokus pada layar komputer di depannya. Namun, pikirannya terus melayang ke insiden yang baru saja terjadi di lobi. Kejadian itu terjadi di depan banyak orang dan Anessa bisa merasakan tatapan mata orang-orang yang ingin tahu lebih lanjut masalahnya. Bisikan-bisikan mulai terdengar dari berbagai sudut ruangannya. Membuatnya semakin risih, tapi harus bersikap tenang. "Tadi aku liat mantannya Anessa datang, ya? Gila! Berani banget buat keributan di perusahaan kita." "Iya, kayaknya dia masih belum move on. Tapi, Anessa gak ada reaksi apa-apa sih. Cuek aja." "Mana ada cuek ... Anessa kesannya jadi cewek yang gak bisa menghargai cowok lho. Sekiranya terima aja pemberian mantannya itu." "Tapi serem juga, kalo punya mantan kek gitu. Yang gak bisa lepas dari masa lalu." Anessa menghela napas dalam-dalam, rasanya ingin sekali ia menutup gendang telinganya. Ia sungguh tidak ingin mendengar gosip itu. Tangan Anessa terkepal tanpa sadar, ia ingin memba

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-25
  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 14 : PENDEKATAN

    Edward menghela napas setelah menutup laptopnya. Hari ini ia cukup sibuk, untungnya ia bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu dan mungkin waktu sudah lewat setengah jam dari jam operasional.Matanya melirik meja di sebelah, di mana tempat bekal makan siang yang tadi diberikan Anessa sudah kosong. Teringat akan kejadian pagi tadi, ia tersenyum kecil. "Kayaknya aku harus balas budi," gumamnya langsung membereskan barang-barangnya ke dalam tas kerja.Dengan cepat ia meraih ponselnya dan memesan makanan untuk dibawah pulang ke apartemennya. Tidak butuh waktu lama, hanya beberapa menit makanan yang ia pesan sudah selesai.Ia berjalan meninggalkan ruangannya dan berjalan menuju ruangan Anessa bekerja. Edward sedikit heran karena tidak seperti biasanya ruangan itu kosong. Biasanya selalu ada Anessa yang masih sibuk di depan komputer. "Mungkin saja dia selesai lebih awal," gumamnya lanjut berjalan keluar perusahaan.Edward melaju dengan mobilnya dan berhenti di depan restoran untuk mengambi

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-26
  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 15 : EDWARD

    Di malam harinya, ponsel Anessa kembali bergetar di atas meja samping tempat tidur. Layar ponselnya menampilkan nomor yang tidak dikenal terus berusaha menghubunginya. Ia sudah tahu siapa pemilik nomor itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Andrean. Namun, ia tetap membiarkannya sampai ponselnya berhenti berdering dengan sendirinya. Beberapa pesan singkat masuk setelah panggilan itu berakhir. Anessa menatapnya sebentar, lalu membalikkan ponsel dan menarik selimut hingga setinggi dadanya. Ia lelah dengan semua masalah yang terjadi belakangan ini, sudah cukup membuat hari-harinya berjalan tidak maksimal. Sementara itu, di kamarnya, Andrean termenung di dalam kamar kontrakannya. Ia menatap layar ponselnya dengan gelisah. Ia masih mengingat jelas bagaimana satpam apartemen elite itu menyebutkan satu nama yang membuatnya curiga. "Edward." Nama itu bukan nama yang asing baginya. Dulu, saat ia masih kuliah, Edward adalah mahasiswa paling populer dan terkenal sebagai orang terpintar dalam

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-27

Bab terbaru

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 22 : PANTASKAH

    Suasana di ruang rapat utama terasa tegang. Karyawan-karyawan yang berada di dalamnya bertanya ada apa dan tiba-tiba sekali. Semua karyawan sudah duduk dengan rapi di kursi, tetapi suara bisikan semakin menjadi ketika Edward dan Anessa ke dalamnya.Mereka semakin penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh Edward dan mengapa ada Anessa yang berdiri di sampingnya?Ada di mana Pak Harto?Pria itu berdiri tegap dengan tatapan mata serius, matanya terus menyapu seluruh ruangan ampai semuanya sunyi tidak bersuara."Selamat pagi menjelang siang, hari ini saya akan mengumumkan sesuatu yang penting bagi perusahaan ini," kata Edward suara menggema ke seluruh penjuru ruangan."Mulai hari ini Pak Harto sudah tidak bekerja di sini dan beliau meminta agar tidak melakukan salam perpisahan dikarenakan ia hari ini berangkat menemui anaknya dan yang akan menggantikan Pak Harto adalah Anessa. Mulai sekarang, dia adalah sekretaris pribadi saya," lanjut Edward yang membuat beberapa orang melongo kage

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 21 : JARAK YANG TERLALU DEKAT

    Fajar baru menyingsing ketika Anessa terbangun dari tidurnya. Perlahan ia mengusap kedua matanya yang masih berat, sisa kantuk masih menggantung di pelupuk matanya.Dengan semangat, ia berjalan ke dapur dan mulai mengeluarkan bahan-bahan makanan dari dalam kulkasnya. Anessa mengambil ayam yang sudah dimarinasi semalam, aroma bumbu rempah langsung menyeruak saat ia mengeluarkannya dari kulkas.Hari ini, ia menyiapkan ayam panggang, lengkap dengan nasi hangat, sayuran, dan buah-buah segar.Hampir saja ia lupa mempersiapkan kotak bekal khusus untuk Edward. Mungkin ini adalah bentuk kebiasaan baru, sebagai bentuk tanda terima kasih atas semua yang Edward lakukan untuknya. Dengan cekatan, ia menyelesaikan semuanya tepat waktu. Tidak lupa memasukkan bekal dalam tas, lalu Anessa bergegas mandi dan mengenakan pakaian yang sudah ia siapkan semalam.Anessa menatap pantulan dirinya di cermin, yang mengenakan rok hitam dengan atasan merah muda. Rambutnya dibiarkan terurai dengan sentuhan gelomba

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 20 : HAMPIR FRUSTASI

    Malam itu di dalam kontrakan yang terasa semakin sempit oleh tekanan yang menghimpit pikirannya, Shera terduduk di pojokan kamar. Menatap kosong layar ponselnya yang tergeletak di lantai, kembali menampilkan pesan Andrean kali ini dengan nomor lain.["Aku nggak main-main, Sher. Kalau kamu nggak mau gantikan lima puluh juta itu. Aku tidak akan segan membuat hidupmu seperti di neraka. Jangan coba-coba ngilang dariku."]Kepalanya terasa berat, air matanya sudah habis, yang tersisa hanya jejak air mata di wajah yang lelah. Shera meraih ponselnya dan tangannya kembali gemetar menekan tombol blokir kontak tersebut. Ia benar-benar merasa sendirian. Kedua orangtuanya sudah tiada dan satu-satunya orang yang membantunya dulu, kini berubah menjadi seorang yang asing tidak saling mengenal.Tapi, mengingat sikap kasar dan dingin Anessa tadi sore. Membuatnya sangat kesal dan merutuki Anessa sebagai orang yang membuatnya menderita."Kenapa dia berubah?" gumamnya lirih.Shera mengusap kasar wajahnya

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 19 : SEKRETARIS PRIBADI

    Saat Edward sudah lebih dulu pergi ke parkiran, Anessa sedikit ragu untuk menyusulnya. Ia memantapkan langkah kakinya, mencoba agar tidak kelihatan terburu-buru. Begitu sampai di mobil Edward, ia membuka pintunya, tapi belum sempat berkata apa-apa, Edward sudah lebih dulu menyambutnya dengan senyuman tipis."Hari ini aku mau ajak kamu makan lagi. Mau kan?" tanya Edward santai.Anessa sempat terdiam, karena sudah sering Edward mengajaknya makan. Tempat yang mereka kunjungi juga bukan sembarang tempat makan, tapi restoran mahal.Anessa kemudian mengangguk pelan, "Eh? Makan lagi?"Edward terkekeh, "Anggap saja ini ucapan terima kasih karena kamu sudah menemukan flashdiskku, membuatkanku bekal nasi goreng, dan mengobati lukaku."Anessa mengernyitkan keningnya, "Jadi, kemarin itu ... bukan kode ya? Aku pikir kamu benar-benar ingin aku buatkan."Edward hanya tersenyum, lalu tanpa menunggu lagi, ia menyalakan mobil dan melaju. Selama perjalanan, Anessa mencoba merilekskan pikirannya dan meng

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 18 : ITU MASALAHMU

    Sudah setengah hari Shera menundukkan kepala terus, demi menghindari tatapan-tatapan penuh selidik dari rekan kerjanya. Sejak insiden Andrean mengamuk tadi, namanya seketika langsung menjadi bahan perbincangan banyak orang. Beberapa orang bahkan berbisik ketika ia berjalan dan sementara beberapa temannya yang biasanya akrab kini tampak menjauh. Ia menghela napas perlahan, berusaha bersikap biasa saja. Namun, semua itu berubah saat seorang staf atasannya mendekatinya. "Shera, tolong ikut saya sebentar ke ruang atasan," pintanya staf itu bernada datar. Shera sedikit terkejut, tetapi ia tidak punya pilihan selain mengikuti langkah kaki staf itu menuju ruang atasan. Langkahnya semakin lama semakin berat, rasa ketakutan itu kian menjalar, membuatnya terasa mual. Ketika ia sampai di depan pintu atasannya, ia menarik napas dalam-dalam dan menyakinkan dirinya bahwa semua akan berjalan baik-baik saja. Ia mengetuk pintu itu dengan pelan dan dipersilahkan masuk oleh atasannya. Keti

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 17 : MASALAH KECIL

    Setelah Andrean pergi, ruangan terasa hening. Anessa berdiri menatap Edward dengan tatapan penuh pertanyaan. Sudut bibir pria itu masih mengeluarkan darah dan ia tampak tenang, seperti tidak merasakan sakit. Anessa menghela napas, lalu berkata, "Ayo ke ruanganmu, aku tidak mau ada orang-orang berpikir yang aneh-aneh." Edward menatap Anessa sejenak sebelum mengangguk dan melangkah lebih dulu. Anessa mengikuti dari belakang, sesekali melirik pria itu yang berjalan dengan wibawa khasnya, meskipun baru saja berkelahi. Begitu saja di ruangan Edward, Anessa segera mencari kotak P3K. Ia membukanya dan mengambil kapas serta antiseptik untuk membersihkan luka di bibir Edward. Edward sendiri merasa tidak enak dengan Anessa karena sudah membuatnya khawatir. "Duduk," perintah Anessa lembut. Edward menurut, membiarkan Anessa mendekat dan mulai merawat lukanya. Saat kapas menyentuh lukanya, Edward sedikit meringis. Refleks, tangan Anessa menyentuh dagunya, menahannya agar tidak bergerak

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 16 : MELAPORKAN FAKTA

    Anessa yang baru tiba langsung berjalan menuju ruang Edward lalu mengetuk pintu besar itu. Terdengarlah suara sahutan Edward dari dalam ruangan itu. Ia pun masuk dan meletakkan tas bekal yang ia bawa di atas meja kerja Edward. "Kamu sedang cari apa?" tanya Anessa heran. "Aku sedang mencari flashdiskku. Perasaan tadi pagi sudah aku masukan ke dalam saku jasku," jawab Edward masih sibuk mengobrak-abrik. Anessa pun mengeluarkan flashdisk yang ia temukan dari dalam tasnya. "Edward, apa ini flashdisknya?" Edward langsung berbalik badan, pria itu menatap benda kecil itu sejenak sebelum mengambilnya dengan ekspresi penuh kelegaan. "Di mana kamu menemukannya?" "Di depan pintu apartemenmu," jawab Anessa jujur. Edward menghela napas lega. "Aku baru sadar flashdisk ini saat sampai di perusahaan. Di dalam flashdisk ini berisikan file penting untuk rapat hari ini." Anessa tersenyum kecil. "Untung ketemu kan?" Edward mengangguk, lalu berbalik untuk kembali ke meja kerjanya. Namun, sa

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 15 : EDWARD

    Di malam harinya, ponsel Anessa kembali bergetar di atas meja samping tempat tidur. Layar ponselnya menampilkan nomor yang tidak dikenal terus berusaha menghubunginya. Ia sudah tahu siapa pemilik nomor itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Andrean. Namun, ia tetap membiarkannya sampai ponselnya berhenti berdering dengan sendirinya. Beberapa pesan singkat masuk setelah panggilan itu berakhir. Anessa menatapnya sebentar, lalu membalikkan ponsel dan menarik selimut hingga setinggi dadanya. Ia lelah dengan semua masalah yang terjadi belakangan ini, sudah cukup membuat hari-harinya berjalan tidak maksimal. Sementara itu, di kamarnya, Andrean termenung di dalam kamar kontrakannya. Ia menatap layar ponselnya dengan gelisah. Ia masih mengingat jelas bagaimana satpam apartemen elite itu menyebutkan satu nama yang membuatnya curiga. "Edward." Nama itu bukan nama yang asing baginya. Dulu, saat ia masih kuliah, Edward adalah mahasiswa paling populer dan terkenal sebagai orang terpintar dalam

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 14 : PENDEKATAN

    Edward menghela napas setelah menutup laptopnya. Hari ini ia cukup sibuk, untungnya ia bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu dan mungkin waktu sudah lewat setengah jam dari jam operasional.Matanya melirik meja di sebelah, di mana tempat bekal makan siang yang tadi diberikan Anessa sudah kosong. Teringat akan kejadian pagi tadi, ia tersenyum kecil. "Kayaknya aku harus balas budi," gumamnya langsung membereskan barang-barangnya ke dalam tas kerja.Dengan cepat ia meraih ponselnya dan memesan makanan untuk dibawah pulang ke apartemennya. Tidak butuh waktu lama, hanya beberapa menit makanan yang ia pesan sudah selesai.Ia berjalan meninggalkan ruangannya dan berjalan menuju ruangan Anessa bekerja. Edward sedikit heran karena tidak seperti biasanya ruangan itu kosong. Biasanya selalu ada Anessa yang masih sibuk di depan komputer. "Mungkin saja dia selesai lebih awal," gumamnya lanjut berjalan keluar perusahaan.Edward melaju dengan mobilnya dan berhenti di depan restoran untuk mengambi

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status