Di perusahaan, Anessa sedang duduk di mejanya dengan pandangan kosong. Otaknya masih berusaha mencerna kejadian semalam. Tidak mungkin atasannya dengan begitu mudah mau melakukan hal seperti itu pada karyawannya sendiri.
Tapi, apa boleh buat jika sudah sama-sama nafsu? Ditambah lagi dengan wajah Anessa yang begitu pucat dan sangat kelelahan. Anessa akui untuk pengalaman pertama melakukan hal seperti itu, Edward cukup perkasa sampai membuatnya kewalahan. Sampai ia sendiri tidak ingat, mereka selesai jam berapa. Ciuman itu, sentuhan itu, tatapan Edward pagi tadi. Membuat napasnya tercekat setiap kali pikirannya berputar kembali ke momen yang seharusnya tidak pernah terjadi. Kepalanya berdenyut pelan, entah karena kelelahan atau karena emosinya yang masih berantakan. "Anessa!" Suara kepala divisi menyadarkannya. Anessa tersentak dan buru-buru menoleh. "Eh? Iya Pak?" "Kalau sakit, jangan masuk kerja!" bentak sang kepala divisi sambil membanting dokumen ke meja Anessa. "Baik Pak, saya akan berusaha berkonsentrasi dengan pekerjaan saya," jawabnya pelan. Kepala divisi mengangkat alis tetapi tidak bertanya lebih jauh, lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya. Anessa menarik napas dalam dan mencoba fokus, tapi pikirannya terus berlari ke arah Edward. Bagaimana pria itu menatapnya pagi tadi sebelum ia kabur. Ada sesuatu di matanya yang tidak bisa ia artikan? Tapi, apakah Edward juga merasakan hal yang sama? Atau itu hanya dirinya saja yang terlalu terbawa perasaan? Sementara itu, di ruangan luas di lantai atas, Edward duduk di belakang meja kerjanya dengan ekspresi datar. Matanya terpaku pada layar ponselnya, mengamati CCTV perusahaan yang menampilkan Anessa di mejanya. Dia tahu betul bahwa Anessa tidak fokus hari ini. Tatapannya kosong, tangannya bahkan beberapa kali berhenti mengetik tanpa sadar. Edward menyesap kopinya perlahan, tetap mengawasi layar. Apakah dia menyesalinya atau terlalu lelah? Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari asistennya. ["Meeting dengan investor jam 1 siang. Anda ingin saya siapkan dokumen?"] ["Siapkan. Dan panggil Anessa ke ruanganku dalam 10 menit."] Ia meletakkan ponselnya dan menatap layar CCTV sekali lagi, sudut bibirnya terangkat tipis. Dia ingin melihat bagaimana Anessa bereaksi saat bertemu dengannya hari ini. TING! Anessa terlonjak kecil ketika layar komputernya menampilkan notifikasi. Sebuah pesan masuk dari asisten Edward. ["CEO ingin Anda ke ruangannya dalam 10 menit."] Tangan Anessa gemetar saat membaca pesan itu. Jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Sejak pagi ia sudah berusaha menghindari kemungkinan bertemu Edward, tapi ternyata pria itu justru memanggilnya. Ia menggigit bibir, mencoba berpikir jernih. Haruskah ia menolak dengan alasan pekerjaan? Tidak, itu tidak mungkin. Alasan seperti itu tidak akan masuk akal, apalagi pesan itu datang dari seorang sekretaris CEO. "Anessa?" panggil Rena yang kelihatan mengkhawatirkan Anessa sedari tadi. "Kamu kenapa sih? Dari tadi bengong terus. Kamu ada masalah ya? Coba cerita sama aku." Anessa menelan ludah, mencoba tersenyum. "Nggak apa-apa. Aku cuma kurang tidur." Rena mendesah pelan. "Kamu harus jaga kesehatan. Kerja boleh, tapi jangan sampai nyusahin diri sendiri. Kalau nanti kamu sakit, siapa yang susah? Kan kamu sendiri yang susah. Nanti siang aku beliin makan ya, kamu mau makan apa?" Anessa hanya mengangguk tanpa benar-benar mendengarkan nasihat itu, "Aku mau makan nasi pakai ayam goreng aja deh." "Baiklah kalau begitu, nanti aku belikan. Aku pergi fotokopi berkas dulu, nanti jam 12 aku membelinya," kata Rena tersenyum lalu pergi meninggalkan kursinya. Anessa kembali membalasnya dengan mengangguk. Sekarang, pikirannya hanya terfokus pada Edward. 10 Menit Kemudian Anessa berdiri di depan pintu ruangan CEO. Tangannya yang dingin mengepal di sisi tubuhnya, hatinya berdebar kencang. "Tarik napas, Anessa. Tenang ..." gumamnya dalam hati. Setelah menarik napas dalam, ia mengetuk pintu dua kali. "Masuk." Suara Edward terdengar dari dalam. Dalam sekejap, suara itu saja sudah cukup untuk membuat perutnya terasa mual sehabis jalan jauh. Anessa menarik nafas sebanyak-banyaknya. Kemudian ia membuka pintu perlahan dan melangkah masuk dengan penuh kehati-hatian. Dan pintu mulai tertutup di belakangnya, meninggalkan mereka berdua dalam ruangan yang hanya diterangi cahaya dari jendela besar di belakang Edward. Kakinya tiba-tiba membeku di tempat. Pria itu duduk di kursinya dengan ekspresi dingin, tetapi matanya tajam, mengunci gerakan Anessa begitu ia berdiri di depan meja. "Duduk," perintahnya singkat. Anessa berjalan mendekat dan menuruti tanpa berkata-kata. Tangannya semakin kuat mengepal di pangkuannya, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Edward sendiri berusaha menyembunyikannya tawanya dibalik wajah datar, karena melihat baru kali ini Anessa gemetar ketakutan. "Sial, kenapa tatapan itu membuatnya gugup?" kata Anessa dalam hati sambil agak tertunduk. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Edward tidak langsung bicara, hanya menatapnya dengan intens. "Apa kau menyesal?" tanya Edward seketika memecah keheningan. Pertanyaan itu menghantamnya begitu saja. Anessa langsung mengangkat wajah, menatap Edward dengan mata terbelalak. "Apa?" tanyanya, seakan tidak yakin dengan apa yang baru saja ia dengar. Edward menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya tetap sulit ditebak. "Kejadian semalam ... apa kau menyesalinya?" tanyanya pelan. Anessa terdiam. Pertanyaan itu terlalu langsung, terlalu menusuk. Ia kembali menundukkan kepalanya dan mulai berpikir. Jika, menjawab 'iya' berarti ia menolak perasaan yang kini campur aduk dan sangat sulit dijelaskan dalam dirinya. Tapi, jika ia berkata 'tidak' ... Edward bangkit dari kursinya dan berjalan mendekat, menunggu jawaban yang akan keluar. Anessa menghembus kasar nafasnya, "Aku ... " Ia menutup matanya sejenak, lalu kembali mengangkat kepala dan menatap Edward yang sudah berdiri di depannya. "Aku tidak tahu." Sontak Edward mengangkat alisnya, bukan jawaban itu yang ingin ia dengar. "Tidak tahu?" tanya Edward. Anessa menggigit bibirnya, merasa frustasi dengan perasaannya sendiri. Haruskah ia mengatakan yang sejujurnya padahal dirinya masih bingung. "Aku hanya ... aku tidak tahu harus bilang apa" Keheningan kembali mengisi ruangan, membuat Anessa semakin gugup. "Kalau begitu ... biarkan aku mencari membantumu mencari tahu," kata Edward mengangkat perlahan dagu Anessa. Anessa menahan napas sesaat. Ia sudah menduga sejak awal melangkahkan kaki ke ruangan ini, hidupnya mulai tidak aman. Ia dapat merasakan dengan jelas hawa panas dari nafas Edward, membuat jarak diantara mereka terasa sempit. "Aku tidak tahu apa yang kamu maksud, Pak Edward," jawab Anessa mencoba menjaga profesionalitasnya. Edward menyunggingkan senyum miring nan tipis. Tatapannya begitu tajam dan dalam, seolah mencari tahu lebih apa isi pikiran Anessa. "Aku akan memberimu waktu untuk memikirkannya," katanya lalu mendekati telinga Anessa. "Tapi satu hal yang harus kamu tahu ... aku tidak akan berpura-pura." Anessa yang mendengar itu langsung mengalihkan pandangannya dan beranjak dari tempat duduk. Ia harus segera pergi, sebelum keadaan semakin diluar kendali. "Saya mengerti, Pak Edward. Kalau tidak ada hal yang lain, saya akan kembali bekerja." "Tidak ada," jawab Edward kembali menatapnya beberapa detik lalu mempersilahkan Anesaa keluar dari ruangannya. "Lama-lama bisa gila aku," gumam Anessa mengatur nafas.Siang itu, kantin perusahaan tampak ramai karena banyak karyawan menikmati waktu istirahat mereka. Anessa dan Rena duduk di sudut ruangan, tempat favorit mereka.Tetapi, entah mengapa pikirannya melayang entah kemana. Sampai nasi yang ada di piringnya dibiarkan dingin dan tangannya sibuk menganduk minuman tanpa berniat meminumnya.Rena meliriknya sekilas penuh keheranan melihat sikap Anessa yang terlihat murung dari pagi. "Kamu gak apa-apa kan, Nes? Dari tadi diam aja. Kayak orang lagi nelen masalah besar aja."Anessa menghela napas, lalu tersenyum. "Aku tidak apa-apa, Ren. Cuma kurang tidur aja.""Apa ini ada hubungannya dengan Pak Edward?" tebak Rena tajam."Enggak, ini gak ada hubungannya dengan Pak Edward, Ren," jawab Anessa. "Masa sih?" tanya Rena penuh kecurigaan. "Aku tadi lihat kamu keluar dari ruangannya lho."Mata Anessa membelalak kaget, ternyata ada orang yang melihatnya. Tapi, bukankah wajar jika seorang karyawan masuk ke ruangan atasannya. Mungkin saja masalah pekerjaan
Suasana di dalam toko perhiasan begitu tenang. Cahaya lampu kristal memantulkan kilau emas dan berlian yang tertata rapi di balik kaca bening. Seorang pegawai toko, pria paruh baya dengan kacamata tipis, meneliti cincin yang baru saja Shera berikan kepadanya.Shera menyilangkan tangan, menunggu dengan penuh percaya diri. Matanya berbinar membayangkan berapa banyak uang yang akan ia dapatkan. Cincin berlian pasti bernilai tinggi.Namun, ekspresi pegawai itu berubah. Dahinya berkerut, lalu menatap Shera dengan ragu."Maaf Nona, … anda yakin cincin ini asli?"Shera mengerutkan kening. "Apa maksud Anda?"Pria itu menimbang cincin itu sekali lagi di antara jari-jarinya sebelum menyerahkannya kembali pada Shera. "Saya sudah memeriksanya. Ini hanya lapisan emas biasa. Berlian ini pun bukan asli, melainkan zirkon berkualitas tinggi."Jantung Shera seakan berhenti berdetak sejenak. "Apa? Anda bercanda, kan?"Pegawai itu tersenyum
Tidak terasa hari sudah gelap ketika Anessa baru saja keluar dari ruang kantor sehabis lembur. Tubuhnya terasa lelah, tapi otak penuh dengan berbagai laporan yang baru saja ia selesaikan.Dengan lelah ia melangkah menuju halte bus dan ponselnya tiba-tiba bergetar.[Halo Nessa, kamu sudah selesai kerjanya?"]Anessa mengernyitkan dahinya. Kenapa Edward tiba-tiba menghubunginya? Hubungan mereka hanya sebatas atasan dan bawahan saja, dan sebelumnya Edward tidak pernah menghubunginya.Tapi ... memang iya kalau menyangkut kejadian malam itu, mereka jadi punya hubungan spesial. Tapi kan tetap saja itu terjadi di luar kendali Anessa."Tidak, itu tidak bisa dijadikan patokan aku punya hubungan lebih dari sekedar itu," kata Anessa dalam hati.[Iya, halo Pak. Ini saya baru selesai lembur. Ada apa ya?"][Tidak usah terlalu formal. Ini sudah di luar jam kerja."]["Baiklah ... ada apa?"["Aku ingin pergi ke supermarket, kebetulan aku butuh seseorang untuk nemenin belanja. Kamu di mana sekarang?"]A
Anessa berdiri di depan lemari pakaian, tangannya gemetar saat menarik koper hitam dari bawah tumpukan baju. Jantungnya berdetak kencang, bukan karena ragu, tapi karena amarah yang masih tersisa.Ia sudah tidak tahan lagi berada di tempat yang selama ini disebutnya rumah. Seumur hidupnya ia selalu mendengarkan orangtuanya dan menjadi anak yang penurut.Sampai semuanya semakin kacau ketika ayahnya terjerat hutang besar. Sehingga membuatnya harus lebih keras mencari uang demi membayar hutang, menjadi tulang punggung keluarga, dan membayar kuliahnya sendiri waktu itu.Namun apa yang ia dapatkan sekarang?Tidak ada yang bisa ia terima, semuanya harus berjalan sesuai kata orangtuanya."Aku harus pergi," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri untuk segera berkemas.Tangannya bergerak cepat, mengambil beberapa pasang pakaian dan memasukkannya ke dalam koper. Dia tidak peduli apakah bajunya sudah terlipat rapi atau tidak. Dia hanya ingin pergi sebelum semuanya bertambah buruk.Diambilny
Malam semakin larut, ketika mobil hitam yang dikendarai Edward membelah jalanan kota. Di kursi penumpang, Anessa hanya terduduk diam, menatap jendela dengan tatapan kosong.Pikirannya masih sedikit kacau dan masih bergelut dengan kejadian yang baru ia alami. Pipinya yang lebam masih terasa perih dan sudut bibir yang sobek mulai terasa sedikit kaku.Edward meliriknya sekilas sebelum akhirnya mengarahkan mobil ke bahu jalan di depan apotik kecil yang masih buka. Tanpa mengatakan apa-apa, ia melepas sabuk pengaman dan membuka pintu."Tunggu di sini," katanya singkat sebelum keluar dari mobil.Anessa menatap punggung pria itu yang perlahan menjauh. Ia tahu pasti Edward akan membelikannya sesuatu untuk mengobati lukanya.Hatinya kembali bergetar, mengingat hanya sedikit orang yang memperlakukannya seperti ini. Perhatian yang diberikan Edward terasa berbeda, hangat, tulus, dan membuatnya merasa dihargai.Beberapa menit kemudian, Edward kembali dengan sebuah kantong plastik kecil di tanganny
Matahari bahkan belum menampakkan sinarnya, Anessa sudah melangkah keluar dari apartemennya. Jalanan masih sepi, hanya sesekali terdengar suara deru mobil yang melintas. Udara pagi memang dingin, tetapi pikirannya lebih tenang dibanding semalam. Dengan langkah cepat, ia menuju supermarket 24 jam di sudut jalan. Hanya beberapa langkah dari apartemen. Suasana di supermarket masih sepi. Hanya ada beberapa pegawai yang sibuk menata barang di rak. Anessa mengambil troli lalu menyusuri lorong-lorong rak. Ia mengambil beberapa bahan makan seperti, keju, roti, sayur-sayuran, daging, dan barang-barang kebutuhan lainnya. Setelah itu, Anessa berjalan ke kasir dan membayar barang belanjaannya lalu segera kembali ke apartemen, berniat membuatkan Edward sarapan juga bekal makan siang sebagai tanda terima. Sampainya di apartemen, ia segera berjalan ke dapur meletakkan barang belanjaannya dan mulai memasak. Tangannya bergerak cekatan, meski pikirannya masih berkecamuk teringat kejadian semalam.
Anessa duduk di meja kerjanya, mencoba fokus pada layar komputer di depannya. Namun, pikirannya terus melayang ke insiden yang baru saja terjadi di lobi. Kejadian itu terjadi di depan banyak orang dan Anessa bisa merasakan tatapan mata orang-orang yang ingin tahu lebih lanjut masalahnya. Bisikan-bisikan mulai terdengar dari berbagai sudut ruangannya. Membuatnya semakin risih, tapi harus bersikap tenang. "Tadi aku liat mantannya Anessa datang, ya? Gila! Berani banget buat keributan di perusahaan kita." "Iya, kayaknya dia masih belum move on. Tapi, Anessa gak ada reaksi apa-apa sih. Cuek aja." "Mana ada cuek ... Anessa kesannya jadi cewek yang gak bisa menghargai cowok lho. Sekiranya terima aja pemberian mantannya itu." "Tapi serem juga, kalo punya mantan kek gitu. Yang gak bisa lepas dari masa lalu." Anessa menghela napas dalam-dalam, rasanya ingin sekali ia menutup gendang telinganya. Ia sungguh tidak ingin mendengar gosip itu. Tangan Anessa terkepal tanpa sadar, ia ingin memba
Edward menghela napas setelah menutup laptopnya. Hari ini ia cukup sibuk, untungnya ia bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu dan mungkin waktu sudah lewat setengah jam dari jam operasional.Matanya melirik meja di sebelah, di mana tempat bekal makan siang yang tadi diberikan Anessa sudah kosong. Teringat akan kejadian pagi tadi, ia tersenyum kecil. "Kayaknya aku harus balas budi," gumamnya langsung membereskan barang-barangnya ke dalam tas kerja.Dengan cepat ia meraih ponselnya dan memesan makanan untuk dibawah pulang ke apartemennya. Tidak butuh waktu lama, hanya beberapa menit makanan yang ia pesan sudah selesai.Ia berjalan meninggalkan ruangannya dan berjalan menuju ruangan Anessa bekerja. Edward sedikit heran karena tidak seperti biasanya ruangan itu kosong. Biasanya selalu ada Anessa yang masih sibuk di depan komputer. "Mungkin saja dia selesai lebih awal," gumamnya lanjut berjalan keluar perusahaan.Edward melaju dengan mobilnya dan berhenti di depan restoran untuk mengambi
Suasana di ruang rapat utama terasa tegang. Karyawan-karyawan yang berada di dalamnya bertanya ada apa dan tiba-tiba sekali. Semua karyawan sudah duduk dengan rapi di kursi, tetapi suara bisikan semakin menjadi ketika Edward dan Anessa ke dalamnya.Mereka semakin penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh Edward dan mengapa ada Anessa yang berdiri di sampingnya?Ada di mana Pak Harto?Pria itu berdiri tegap dengan tatapan mata serius, matanya terus menyapu seluruh ruangan ampai semuanya sunyi tidak bersuara."Selamat pagi menjelang siang, hari ini saya akan mengumumkan sesuatu yang penting bagi perusahaan ini," kata Edward suara menggema ke seluruh penjuru ruangan."Mulai hari ini Pak Harto sudah tidak bekerja di sini dan beliau meminta agar tidak melakukan salam perpisahan dikarenakan ia hari ini berangkat menemui anaknya dan yang akan menggantikan Pak Harto adalah Anessa. Mulai sekarang, dia adalah sekretaris pribadi saya," lanjut Edward yang membuat beberapa orang melongo kage
Fajar baru menyingsing ketika Anessa terbangun dari tidurnya. Perlahan ia mengusap kedua matanya yang masih berat, sisa kantuk masih menggantung di pelupuk matanya.Dengan semangat, ia berjalan ke dapur dan mulai mengeluarkan bahan-bahan makanan dari dalam kulkasnya. Anessa mengambil ayam yang sudah dimarinasi semalam, aroma bumbu rempah langsung menyeruak saat ia mengeluarkannya dari kulkas.Hari ini, ia menyiapkan ayam panggang, lengkap dengan nasi hangat, sayuran, dan buah-buah segar.Hampir saja ia lupa mempersiapkan kotak bekal khusus untuk Edward. Mungkin ini adalah bentuk kebiasaan baru, sebagai bentuk tanda terima kasih atas semua yang Edward lakukan untuknya. Dengan cekatan, ia menyelesaikan semuanya tepat waktu. Tidak lupa memasukkan bekal dalam tas, lalu Anessa bergegas mandi dan mengenakan pakaian yang sudah ia siapkan semalam.Anessa menatap pantulan dirinya di cermin, yang mengenakan rok hitam dengan atasan merah muda. Rambutnya dibiarkan terurai dengan sentuhan gelomba
Malam itu di dalam kontrakan yang terasa semakin sempit oleh tekanan yang menghimpit pikirannya, Shera terduduk di pojokan kamar. Menatap kosong layar ponselnya yang tergeletak di lantai, kembali menampilkan pesan Andrean kali ini dengan nomor lain.["Aku nggak main-main, Sher. Kalau kamu nggak mau gantikan lima puluh juta itu. Aku tidak akan segan membuat hidupmu seperti di neraka. Jangan coba-coba ngilang dariku."]Kepalanya terasa berat, air matanya sudah habis, yang tersisa hanya jejak air mata di wajah yang lelah. Shera meraih ponselnya dan tangannya kembali gemetar menekan tombol blokir kontak tersebut. Ia benar-benar merasa sendirian. Kedua orangtuanya sudah tiada dan satu-satunya orang yang membantunya dulu, kini berubah menjadi seorang yang asing tidak saling mengenal.Tapi, mengingat sikap kasar dan dingin Anessa tadi sore. Membuatnya sangat kesal dan merutuki Anessa sebagai orang yang membuatnya menderita."Kenapa dia berubah?" gumamnya lirih.Shera mengusap kasar wajahnya
Saat Edward sudah lebih dulu pergi ke parkiran, Anessa sedikit ragu untuk menyusulnya. Ia memantapkan langkah kakinya, mencoba agar tidak kelihatan terburu-buru. Begitu sampai di mobil Edward, ia membuka pintunya, tapi belum sempat berkata apa-apa, Edward sudah lebih dulu menyambutnya dengan senyuman tipis."Hari ini aku mau ajak kamu makan lagi. Mau kan?" tanya Edward santai.Anessa sempat terdiam, karena sudah sering Edward mengajaknya makan. Tempat yang mereka kunjungi juga bukan sembarang tempat makan, tapi restoran mahal.Anessa kemudian mengangguk pelan, "Eh? Makan lagi?"Edward terkekeh, "Anggap saja ini ucapan terima kasih karena kamu sudah menemukan flashdiskku, membuatkanku bekal nasi goreng, dan mengobati lukaku."Anessa mengernyitkan keningnya, "Jadi, kemarin itu ... bukan kode ya? Aku pikir kamu benar-benar ingin aku buatkan."Edward hanya tersenyum, lalu tanpa menunggu lagi, ia menyalakan mobil dan melaju. Selama perjalanan, Anessa mencoba merilekskan pikirannya dan meng
Sudah setengah hari Shera menundukkan kepala terus, demi menghindari tatapan-tatapan penuh selidik dari rekan kerjanya. Sejak insiden Andrean mengamuk tadi, namanya seketika langsung menjadi bahan perbincangan banyak orang. Beberapa orang bahkan berbisik ketika ia berjalan dan sementara beberapa temannya yang biasanya akrab kini tampak menjauh. Ia menghela napas perlahan, berusaha bersikap biasa saja. Namun, semua itu berubah saat seorang staf atasannya mendekatinya. "Shera, tolong ikut saya sebentar ke ruang atasan," pintanya staf itu bernada datar. Shera sedikit terkejut, tetapi ia tidak punya pilihan selain mengikuti langkah kaki staf itu menuju ruang atasan. Langkahnya semakin lama semakin berat, rasa ketakutan itu kian menjalar, membuatnya terasa mual. Ketika ia sampai di depan pintu atasannya, ia menarik napas dalam-dalam dan menyakinkan dirinya bahwa semua akan berjalan baik-baik saja. Ia mengetuk pintu itu dengan pelan dan dipersilahkan masuk oleh atasannya. Keti
Setelah Andrean pergi, ruangan terasa hening. Anessa berdiri menatap Edward dengan tatapan penuh pertanyaan. Sudut bibir pria itu masih mengeluarkan darah dan ia tampak tenang, seperti tidak merasakan sakit. Anessa menghela napas, lalu berkata, "Ayo ke ruanganmu, aku tidak mau ada orang-orang berpikir yang aneh-aneh." Edward menatap Anessa sejenak sebelum mengangguk dan melangkah lebih dulu. Anessa mengikuti dari belakang, sesekali melirik pria itu yang berjalan dengan wibawa khasnya, meskipun baru saja berkelahi. Begitu saja di ruangan Edward, Anessa segera mencari kotak P3K. Ia membukanya dan mengambil kapas serta antiseptik untuk membersihkan luka di bibir Edward. Edward sendiri merasa tidak enak dengan Anessa karena sudah membuatnya khawatir. "Duduk," perintah Anessa lembut. Edward menurut, membiarkan Anessa mendekat dan mulai merawat lukanya. Saat kapas menyentuh lukanya, Edward sedikit meringis. Refleks, tangan Anessa menyentuh dagunya, menahannya agar tidak bergerak
Anessa yang baru tiba langsung berjalan menuju ruang Edward lalu mengetuk pintu besar itu. Terdengarlah suara sahutan Edward dari dalam ruangan itu. Ia pun masuk dan meletakkan tas bekal yang ia bawa di atas meja kerja Edward. "Kamu sedang cari apa?" tanya Anessa heran. "Aku sedang mencari flashdiskku. Perasaan tadi pagi sudah aku masukan ke dalam saku jasku," jawab Edward masih sibuk mengobrak-abrik. Anessa pun mengeluarkan flashdisk yang ia temukan dari dalam tasnya. "Edward, apa ini flashdisknya?" Edward langsung berbalik badan, pria itu menatap benda kecil itu sejenak sebelum mengambilnya dengan ekspresi penuh kelegaan. "Di mana kamu menemukannya?" "Di depan pintu apartemenmu," jawab Anessa jujur. Edward menghela napas lega. "Aku baru sadar flashdisk ini saat sampai di perusahaan. Di dalam flashdisk ini berisikan file penting untuk rapat hari ini." Anessa tersenyum kecil. "Untung ketemu kan?" Edward mengangguk, lalu berbalik untuk kembali ke meja kerjanya. Namun, sa
Di malam harinya, ponsel Anessa kembali bergetar di atas meja samping tempat tidur. Layar ponselnya menampilkan nomor yang tidak dikenal terus berusaha menghubunginya. Ia sudah tahu siapa pemilik nomor itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Andrean. Namun, ia tetap membiarkannya sampai ponselnya berhenti berdering dengan sendirinya. Beberapa pesan singkat masuk setelah panggilan itu berakhir. Anessa menatapnya sebentar, lalu membalikkan ponsel dan menarik selimut hingga setinggi dadanya. Ia lelah dengan semua masalah yang terjadi belakangan ini, sudah cukup membuat hari-harinya berjalan tidak maksimal. Sementara itu, di kamarnya, Andrean termenung di dalam kamar kontrakannya. Ia menatap layar ponselnya dengan gelisah. Ia masih mengingat jelas bagaimana satpam apartemen elite itu menyebutkan satu nama yang membuatnya curiga. "Edward." Nama itu bukan nama yang asing baginya. Dulu, saat ia masih kuliah, Edward adalah mahasiswa paling populer dan terkenal sebagai orang terpintar dalam
Edward menghela napas setelah menutup laptopnya. Hari ini ia cukup sibuk, untungnya ia bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu dan mungkin waktu sudah lewat setengah jam dari jam operasional.Matanya melirik meja di sebelah, di mana tempat bekal makan siang yang tadi diberikan Anessa sudah kosong. Teringat akan kejadian pagi tadi, ia tersenyum kecil. "Kayaknya aku harus balas budi," gumamnya langsung membereskan barang-barangnya ke dalam tas kerja.Dengan cepat ia meraih ponselnya dan memesan makanan untuk dibawah pulang ke apartemennya. Tidak butuh waktu lama, hanya beberapa menit makanan yang ia pesan sudah selesai.Ia berjalan meninggalkan ruangannya dan berjalan menuju ruangan Anessa bekerja. Edward sedikit heran karena tidak seperti biasanya ruangan itu kosong. Biasanya selalu ada Anessa yang masih sibuk di depan komputer. "Mungkin saja dia selesai lebih awal," gumamnya lanjut berjalan keluar perusahaan.Edward melaju dengan mobilnya dan berhenti di depan restoran untuk mengambi