Bumi baru menutup pintu ketika mendengar gelak tawa Ola dari dalam kamar rawat inap bersama kedua teman wanita itu. Pria itu mengulum senyum lantas kembali menetapkan langkah menjauhi ruang VIP di mana Ola dirawat. Akhirnya dia bisa mendengar tawa wanita itu lagi setelah lebih dari satu bulan merasa frustrasi dan bahkan sempat kehilangan harapan. Bumi merogoh saku celana untuk mengambil ponselnya yang berdering. Dia tahu itu pasti panggilan dari pamannya. Malam ini keluarga Gunadi dan keluarga ayah asuhnya akan bertemu dalam jamuan makan malam di salah satu restoran yang ada di bilangan Senayan. Priyo Gunadi bilang bahwa kakeknya, Praja Gunadi, sudah sampai Jakarta sejak pagi. Untuk itu dia meminta Yara dan Galen datang untuk menemani Ola selama beberapa dia pergi menemui dua keluarga itu. "Iya, Paman. Aku masih di jalan," ucap Bumi saat dia mengangkat panggilan itu. Bukan hanya Priyo Gunadi, Gyan pun ikut sibuk dengan mengiriminya beberapa pesan. Salah satunya menanyakan tentang k
"Lalu gimana dengan Bumi?" Bumi segera mengangkat wajah dan menatap Delotta. Kedua mata mereka bertemu, dia agak terkejut saat melihat raut tegang ibu asuhnya itu. "Apa kamu percaya begitu saja mereka keluargamu? Tiga puluh empat tahun usiamu sekarang, Bumi. Bagaimana mungkin mereka baru mencari kamu?" Kembali tatapan tajam Delotta mengarah kepada deretan keluarga konglomerat Surabaya itu. "Maaf, Pak Gunadi. Saya tidak bisa percaya begitu saja dengan apa yang Anda katakan. Anda tidak bisa mengklaim putra saya sebagai anak Anda hanya dengan bukti-bukti itu," ujar Delotta seakan tidak terima dengan apa yang mereka katakan. "Baby..." Daniel menyentuh lengan Delotta. "Keep calm oke?" "Keep calm, gimana? Berpuluh-puluh tahun, Pi. Separuh hidupnya di panti dan separuhnya lagi bersama kita, selama ini nggak ada yang nyari dia. Bisa-bisanya sekarang Anda sekalian mengklaim anak kami sebagai bagian dari Anda?" Napas berat Praja Gunadi berembus pelan. Dia menerima jika harus disalahkan se
Di ruang keluarga, selepas acara makan malam itu, semuanya kembali berkumpul. Meski begitu belum ada yang berani memulai angkat suara. Daniel pun terlihat masih mencerna apa yang sudah terjadi. Dia tidak pernah menyangka jika anak yang selama ini dia asuh ternyata memiliki keluarga yang tidak bisa dianggap remeh. Bukan seperti pikirannya selama ini yang selalu menganggap Bumi tidak memiliki asal usul yang jelas. Dan jika dulu Daniel tidak melihat potensi besar pada diri lelaki itu, mungkin dia tidak akan mempertimbangkan mengambil Bumi dari panti untuk tinggal bersamanya. Bumi remaja adalah salah satu siswa berprestasi. Bukan hanya dalam bidang akademik saja. Setelah tahu lelaki itu memiliki beberapa talenta yang berharga, Daniel pun memutuskan mengadopsi remaja tanggung itu. "Kalau hasil tes itu membuktikan kamu bagian dari mereka, apa kamu akan pergi dan ikut mereka?" tanya Delotta dengan pandangan nanar. Semua tahu pertanyaannya ditujukan untuk putra asuhnya. "Kita tidak berhak
Ola mendesah ketika melihat bagian kepala yang ditutupi perban. Bagian rambutnya ada yang sengaja dicukur oleh para medis saat menjahit lukanya. Dia tahu nantinya akan tumbuh bekas luka yang mungkin bisa sukar ditumbuhi rambut. "Kenapa muka kamu cemberut gitu?" tanya Bumi yang tengah sibuk mengeluarkan pasta gigi dari tube. Kegiatan rutin sehari-harinya, membantu Ola bersih-bersih. Dia bahkan baru saja selesai membersihkan muka Ola dengan facial wash. "Bekas luka di kepala nanti bakal jelek banget karena nggak bisa ditumbuhi rambut, Kak," ujar Ola dengan bibir cemberut. Bumi tersenyum kecil, lantas meminta wanita itu meringis agar dia bisa dengan mudah menggosok giginya. "Cuma sedikit. Kalau nggak tumbuh rambut nggak masalah buatku," sahutnya enteng sambil menggosok lembut gigi Ola. Namun jawaban pria itu membuat alis melintang Ola menyatu. Pangkal alisnya berkerut samar. Dia ingin menjawab, tapi buih-buih di dalam mulutnya membuat wanita itu kesulitan ngomong. "Buka mulut kamu,"
Praja Gunadi menepuk pundak Bumi, lalu memeluk pria itu. Hasil tes DNA baru saja keluar dan pengujian menggunakan sampel darah milik Bumi dan Kakek Praja secara akurat menyatakan bahwa Bumi positif cucu dari salah satu konglomerat Surabaya tersebut. "Tidak terbantahkan lagi, kalau kamu memang cucuku," ujar Praja Gunadi merasa bahagia luar biasa. Bukan hanya pria tua itu yang memeluk erat Bumi, Priyo juga ikut merasa senang dengan hasil yang didapatkan. "Saya sangat yakin. Kamu memang anak Riana dari sejak pertama kita bertemu," ujar Priyo saat memeluk keponakannya itu. "Welcome to The Gunadi Kingdom, My Brother," seru Ara ikut merentangkan tangan dan memeluk Bumi juga setelah ayahnya. "Kita perlu ngadain acara syukuran di rumah ntar. Iya nggak, Kek." "Pasti itu, pasti."Meski reaksi Bumi tidak se-excited mereka dia juga tampak bahagia karena pada akhirnya benar-benar menemukan keluarganya. Setidaknya dia memiliki garis keturunan yang jelas. Kontras dengan kebahagiaan keluarga Gun
"Apa Mbak Ola masih sering merasa pusing?" "Masih sering nyeri di bagian kepala?" "Atau ada keluhan lain akhir-akhir ini? Semua pertanyaan dokter satu per satu hanya dijawab gelengan kepala oleh Ola. Kondisi Ola makin hari makin membaik sehingga dokter membolehkan wanita itu pulang dengan beberapa catatan. Hasil pemerikasaan tulang lengan bagian kanan pun bagus. Tulang-tulang yang patah mulai menyatu. Itulah sebabnya rasa nyeri yang kerap datang jika dia telat minum obat perlahan menghilang. Hanya saja dia belum boleh melepas gips untuk mengantipasi hal-hal yang tidak diinginkan sebelum patah tulang itu bisa sembuh total. "Besok aku harus ke Surabaya. Nggak apa-apa kan?" tanya Bumi ketika dia dan Delotta membereskan barang-barang milik Ola yang akan dibawa pulang. "Ke Surabaya? Ngapain?" tanya Ola agak melirik Bumi dengan tatap yang tampak keberatan. Pasalnya dia sudah membayangkan bisa santai di rumah sembari bermanja-manja dengan lelaki itu. Delotta mendekat dan tersenyum. Tan
Ternyata sebuah pesta yang lumayan besar. Lebih tepatnya pesta penyambutan Bumi serta memperkenalkan pria itu sebagai cucu laki-laki dari Praja Gunadi. Pentolan Saguna Grup yang namanya tersohor di pelosok negeri. Bumi pikir hanya tasyakuran kecil-kecilan. Namun yang terjadi benar-benar di luar prediksi. Banyak kolega dari kakek dan pamannya yang turut hadir. Dan secera resmi sang kakek memperkenalkan dirinya di depan semua tamu undangan. Ini seperti tengah bermimpi di siang bolong. Dalam hidupnya Bumi tidak pernah sedikit pun membayangkan akan berada di momen seperti sekarang. Harapan melihat orang tuanya memang ada. Tapi berdiri di atas stage dengan dihujani tatapan para tamu luar biasa begini sama sekali tidak pernah terpikir olehnya. Tidak banyak yang Bumi ucapkan saat itu. Jujur baginya ini terlalu berlebihan. Dia tahu kakeknya bahagia menemukan dirinya, tapi pesta besar begini benar-benar tidak pernah terlintas dalam benaknya. "Hm, jadi ternyata kamu beneran cucu Kakek Praj
"Putri bungsu ayah asuhmu?" Bumi mengangguk, membenarkan ketika dirinya memberitahu Praja Gunadi bahwa dia akan melamar kekasihnya. "Sebagai perwakilan dari keluarga kita aku harap kakek dan paman mau melamarkan dia untukku ke Keluarga Jagland," ujar Bumi dengan raut serius. Tidak ada jawaban 'YA' Praja Gunadi terlihat berpikir sambil mengusap dagunya yang ditembuhi jenggot kambing berwarna putih. Kening tuanya makin mengernyit dalam, menambah keriput di kulitnya yang mengendur. "Apa gadis itu tidak terlalu muda?" tanya Praja Gunadi tampak ragu. "Usia Ola saat ini sudah 24 tahun, Kek. Waktu yang ideal untuk menikah. Aku sudah tidak mau menunggu lagi. Kami sudah terlalu lama pacaran."Mata tua Praja mengerjap. Dia tidak menduga bahwa mereka telah pacaran. Jujur dalam pikirannya dia berencana mengenalkan Bumi dengan cucu rekan sejawatnya di bisnis sigaret yang dia tekuni. Tapi kalau sudah begini, sepertinya tidak ada yang bisa dia lakukan lagi. "Kapan rencananya?" "Kalau bisa dal
"Kamu nggak bosan seumur hidup bareng aku terus? Dari kecil, dari kamu umur lima tahun." Ola menggeleng dan tersenyum kecil mendapat pertanyaan dari suaminya. Dia makin merapatkan diri. "Meski hubungan kita nggak mulus, tapi aku bahagia seumur hidup sama kamu. Justru yang harusnya tanya itu aku. Emang kamu nggak capek ngadepin sifat childish aku dari dulu sampai sekarang?""Sebenarnya sih capek." Jawaban Bumi sontak membuat Ola menjauhkan kepala dan menatap lelaki ituu dengan alis tertaut. "kok gitu?!" Reaksi Ola membuat Bumi terkekeh. Pria itu kembali meraih kepala Ola untuk bersandar di pundaknya lagi. "Nggak dong, Sayang. Kalau capek mana mungkin bisa bertahan sampai anak tiga." Mendengar itu Ola ikut terkekeh dan makin merapatkan diri. Matanya terpejam saat tangan Bumi menyentuh perutnya yang sudah makin besar. "Nggak nyangka anak manja seperti kamu bisa melahirkan anak-anak hebat seperti mereka." "Sekarang aku udah nggak manja lagi loh, Kak." "Iya, sekarang Ola si manja da
Jika biasanya Ola liburan ke Eropa bersama keluarganya, kali ini dia memilih destinasi New Zealand. Sesuatu yang tidak dia rencanakan karena terlintas begitu saja. Bumi bilang itu kado kehamilan ketiganya. Ola membuang napas, rasanya jahitan di perut baru saja kering. Membayangkan perutnya akan dibedah ketiga kalinya membuat Ola merinding. "Kamu ibu yang kuat, kamu pasti bisa," ucap Bumi menyemangati dan menenangkan saat Ola gelisah dengan segala pikiran buruk yang ada. "Tapi janji ini yang terakhir ya." "Hu-üm." Kehamilan Ola kali ini tidak seperti kehamilan sebelumnya. Dia menjadi gampang lelah, dan haus. Bahkan morning sick tidak bisa dihindari. Jadi, selama seminggu liburan dia tidak bisa menikmati dengan maksimal. Lebih banyak tinggal di hotel daripada berwisata musim semi. "Aku nggak mau tau, setelah anak ini lahir kamu harus mengajakku ke sini lagi," rengek Ola saat baru keluar dari kamar mandi memuntahkan isi perutnya. Wajahnya memucat, keringat dingin keluar begitu deras
Bumi menyentak tangan Ola yang berdiri di dekatnya hingga wanita itu jatuh di pangkuannya. Niat Ola menghampiri anak-anaknya yang sedang asyik main pasir pantai pun urung lantaran Bumi memeluknya begitu erat. Terlebih dengan iseng pria itu mulai mengendus pundaknya yang terbuka. "Kak, nanti anak-anak liat," tegur Ola ketika tangan Bumi menyelinap ke balik kain pantai yang dia pakai. "Anak-anak lagi sibuk sendiri," sahut Bumi, lantas mengecup lembut punggung Ola. Dia terkekeh ketika tubuh istrinya berjengit. Ola masih begitu sensitif dengan sentuhannya. "Kak, udah. Aku harus temeni anak-anak main." Ola berusaha menyingkirkan tangan Bumi yang masih bergerak naik turun di atas pahanya. Alih-alih berhenti pria itu makin menjadi. Ola sampai melebarkan mata saat merasakan tangan Bumi merambat ke dadanya. Buru-buru dia menjauhkan tangan nakal itu dari sana dan menggeram. "Ada Gyan dan Javas, mereka aman. Kita kembali ke cottage dulu, ya," bujuk Bumi saat Ola berusaha lepas dari kungkung
Kaki-kaki kecil berlarian di lantai rumah besar milik Daniel. Suara celotehan anak-anak terdengar meriah di setiap penjuru ruangan. Sesekali suara tangisan saling bersahutan saat mereka saling berebut mainan. Sebentar kemudian tawa-tawa lucu mereka bersusulan. Pemandangan itu-lah yang Daniel inginkan. Menghabiskan masa tua dengan cucu-cucunya yang melimpah ruah. Daniel sedang menikmati teh hangat yang sudah Delotta sajikan saat suara tangisan Vyora--anak kedua Ola--melengking. Hampir saja dia menyemburkan isi mulutnya sebelum bergegas meletakkan cangkirnya kembali. Dengan cepat pria tua itu melangkah mendekati sang cucu yang mukanya sudah memerah. "Hei, hei, cucu kesayangan Opa kenapa?" tanya pria itu sambil menggendong anak perempuan berusia satu tahun itu. "Adek digigit semut, Opa," jawab Vion--anak pertama Ola--seraya sibuk dengan mainan di tangannya. "Digigit semut? Mana coba Opa liat." Vion langsung meninggalkan mainannya lalu menunjuk paha chubbi Vyora yang memerah. "Tuh li
Tepuk tangan bersahutan ketika Bumi berhasil memotong pita, tanda dibukanya bengkel baru di Kota Surabaya. Senyum lebar serta ucapan terima kasih dia layangkan. Jabatan tangan bersama pemilik perusahaan otomotif yang bekerjasama dengannya pun terayun erat. Setelah pemotongan pita para tamu yang hadir lantas berkeliling untuk melihat area bengkel. Area bengkel yang luas serta peralatan yang lengkap membuat bengkel ini bisa menampung lebih banyak mobil yang akan diservis. Fasilitas juga ditambah, seperti ruang tunggu yang nyaman juga area play ground. Selain memperkenalkan bengkel baru, mereka juga memperkenalkan tipe mobil keluaran terbaru yang beberapa bulan lalu launching. Banyak promo yang ditawarkan baik dari showroom mau pun bengkel di acara grand opening ini. Ola memilih duduk di sofa lantaran merasa kelelahan. Sejak bangun pagi tadi, sebenarnya dia merasa kurang enak badan. Namun karena ini hari penting bagi Bumi, dia bersikap seolah tidak ada masalah. Sejauh ini dia bisa men
Ola meletakkan satu gelas susu hangat di meja kerja Daniel ketika pria tua itu tengah fokus membaca sebuah dokumen. Daniel mengangkat wajah, dan sontak tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Langkah Ola lantas bergerak ke belakang kursi sang papi dan melihat apa yang yang tengah pria itu baca. "Apa nggak sebaiknya papi istirahat aja?" tanya Ola saat tahu apa yang papinya baca itu sebuah proposal pendirian perusahaan baru milik Bumi. "Papi akan istirahat setelah baca proposal milik suamimu ini. Kenapa kamu nggak tidur?" "Sebenarnya aku sudah tidur. Aku tadi haus jadi kebangun. Terus liat ruang kerja papi lampunya masih nyala." Ola menunduk, lantas mengambil alih proposal itu dari tangan Daniel. "Papi minum susu itu terus pergi tidur." Kepalanya menggeleng ketika mulut Daniel terbuka dan terlihat ingin mengambil kembali proposal tersebut. Ola tidak memberi kesempatan papinya untuk protes. Dia tersenyum menang ketika Daniel tampak menyerah. "Oke, papi akan minum susu buatan my
"Ada opening bengkel baru di Surabaya, kamu mau ikut?" Enam bulan belakangan, selain sibuk mengurus tetek bengek pembukaan pabrik, Bumi juga sibuk mengurus pembukaan cabang bengkelnya yang baru di Surabaya. Satu per satu bengkel miliknya didirikan secara berkala di kota-kota besar bergabung dengan sebuah showroom perusahaan mobil yang bekerjasama dengannya. "Kapan?" "Pekan depan. Sekalian berkunjung ke rumah Kakek Gunadi.""Boleh, tapi aku nggak bisa lama. Kamu kan tahu aku masih belum diizinin Mas Gyan buat ambil cuti."Bumi terkekeh kecil lantas menekan kakinya agar ayunan yang dirinya tempati bersama Ola bergoyang. Saat ini keduanya memang tengah bersantai menikmati sore di taman belakang yang berdampingan dengan kolam renang. Biasanya tempat ini dikuasai Daniel dan Delotta jika sore menjelang. Namun kali ini sepasang suami istri itu sedang tidak ada di rumah. "Gyan itu masih pelit banget kalau ngasih cuti. Harus ada alasan yang urgent banget baru bisa dikabulin permohonan cuti
"Aku tau akhirnya pasti begini." Kekehan Bumi terdengar lirih saat mendengar kalimat itu. Sekarang ini dirinya masih merebah di atas kasur dengan Ola yang memeluknya seperti guling. Salah satu paha wanita itu menindih perutnya. Sehingga Bumi bisa dengan bebas mengusap paha terbuka itu dengan mudah. "Nggak sabaran," ucap Ola lagi. Dia bergerak menarik kakinya, tapi dengan cepat Bumi menahannya. "Kak!" "Sebentar, kamu mau ke mana sih?" "Sebentar lagi pasti Bibi nyuruh kita turun buat makan malam. Terus kita mau selimutan terus begini?" Ola menyingkir karena dia merasakan milik Bumi sudah kembali menegang. Kalau harus tambah satu permainan lagi, dia akan lebih lama terkurung di kamar. Akibatnya papi pasti ngomel karena mereka tidak ikut makan malam lagi. Lagi? Ya, karena kejadian seperti itu tidak cuma sekali dua kali sejak mereka pulang dari Raja Ampat. Bumi memiliki hobi baru yaitu mengurung Ola di kamar setelah wanita itu pulang kerja. Dengan gemas Bumi mencium pipi Ola. "Ngga
"Memang kalian nggak bosan ke Raja Ampat? Atau suami lo nggak mampu biayain honeymoon? Ola, kalau lo butuh sponsor, bilang dong!" Kalimat itu terlontar dari mulut seorang Galen. Pria itu memasang wajah meremehkan saat Ola bilang baru balik dari Raja Ampat. Terang saja hal itu membuat Ola jengkel dan rasanya ingin menyiram muka sohibnya itu dengan air kobokan. "Bukannya laki gue nggak mampu, ya. Tapi kami emang udah janji mau balik ke sana kalau kami dapat izin nikah. Jadi ini tuh semacam utang yang wajib kami penuhi," ujar Ola dengan nada gemas. Dengan kesal dia menyambar jus jeruknya. Langit Jakarta mulai gelap lantaran mau hujan, tapi dada Ola malah kepanasan. "Poinnya itu, bukan ke mana kita pergi. Tapi dengan siapa kita pergi," timpal Yara. "Meski perginya ke surga, tapi kalau ke sananya sama lo, jelas nggak bakal bikin happy si Ola." "Nah!" Merasa dapat pembelaan, Ola kembali bersemangat. Dia kembali tersenyum puas ketika melihat wajah Galen memberengut. "Asyik enggak kemari