"Putri bungsu ayah asuhmu?" Bumi mengangguk, membenarkan ketika dirinya memberitahu Praja Gunadi bahwa dia akan melamar kekasihnya. "Sebagai perwakilan dari keluarga kita aku harap kakek dan paman mau melamarkan dia untukku ke Keluarga Jagland," ujar Bumi dengan raut serius. Tidak ada jawaban 'YA' Praja Gunadi terlihat berpikir sambil mengusap dagunya yang ditembuhi jenggot kambing berwarna putih. Kening tuanya makin mengernyit dalam, menambah keriput di kulitnya yang mengendur. "Apa gadis itu tidak terlalu muda?" tanya Praja Gunadi tampak ragu. "Usia Ola saat ini sudah 24 tahun, Kek. Waktu yang ideal untuk menikah. Aku sudah tidak mau menunggu lagi. Kami sudah terlalu lama pacaran."Mata tua Praja mengerjap. Dia tidak menduga bahwa mereka telah pacaran. Jujur dalam pikirannya dia berencana mengenalkan Bumi dengan cucu rekan sejawatnya di bisnis sigaret yang dia tekuni. Tapi kalau sudah begini, sepertinya tidak ada yang bisa dia lakukan lagi. "Kapan rencananya?" "Kalau bisa dal
Delotta meng-curly ujung rambut Ola. Setelah itu memasang mini hairpin di sisi rambut sebelah kanan putrinya. Sentuhan terakhir, dia memulas bibir Ola dengan lipcreame berwarna lembut. Membuat Ola seketika mematung melihat dirinya dari pantulan cermin. Malam ini kata sang mami ada tamu istimewa yang akan datang ke rumah. Tamu istimewa yang berhubungan dengan dirinya. Entah seistimewa apa sampai mami mendandaninya semaksimal ini. Wanita itu sama sekali tidak memberitahu tentang tamu itu. Hal itu yang sampai saat ini membuat Ola curiga. "Nanti kamu juga tau." Jawaban itu yang selalu Delotta kasih ketika Ola bertanya untuk ke sekian kalinya. Jadi wanita itu hanya pasrah saja ketika sang mami mendandaninya malam ini. Saat Ola turun dari lantai dua ternyata yang berpakaian rapi bukan hanya dirinya dan mami papinya. Ola cukup terkejut saat mendapati kakak-kakaknya tengah berkumpul di ruang tengah dengan outfit yang tak kalah rapi. "Sebenarnya ini ada acara apa sih? Tumben banget pada n
Ola tersenyum penuh arti. Tatapnya bergeser ke sisi lain dan melihat Ara tengah berusaha mendekati Gyan. Ketika Gyan bergeser, wanita itu pun ikut bergeser. Dalam hidup Ola, dia tidak akan membiarkan ada wanita tidak tahu malu seperti Ara ada di sekelilingnya dan Bumi. Tidak akan pernah. "Oke. Pertanyaan pertama!" seru Ola, sedikit membuat semua mata di sana tersentak. Termasuk Ara yang tengah mencoba menyentuh lengan Gyan. Ola menatap wajah tenang Bumi, lalu senyum miringnya terbit. "Aku benci poligami," ucapnya tiba-tiba. Sekonyong-konyong mata Bumi mengerjap. "Aku menentang keras poligami. Bumi, kalau kamu mau menikahiku, aku mau menjadi satu-satunya wanita di hati dan hidup kamu. Apa kamu bisa berjanji nggak akan ada wanita lain selain aku?" Sudut bibir Bumi naik. Dia tahu Ola sedang menyindir Ara. Ujung matanya bisa melihat Gyan langsung menyentak tangan nakal Ara dari lengannya. "Sama seperti kamu. Aku juga benci poligami. Meskipun di dunia ini banyak wanita cantik, yang aku
Beberapa kali Ola mengecek jam di pergelangan tangan. Sudah hampir satu jam Bumi belum juga datang padahal dia sudah siap melakukan fitting baju pengantin. Ola tidak tahu apa yang pria itu lakukan sampai telat datang ke butik. Jauh-jauh hari Ola sudah memberitahu bahwa hari ini mereka akan fitting baju pengantin. Betapa kesalnya Ola ketika dirinya menghubungi, tapi ternyata pria itu masih mengurus pekerjaan. Persiapan pernikahan Ola sudah hampir 70 persen selesai. Meskipun semua biaya dibebankan kepada Bumi sesuai permintaan pria itu, yang lebih banyak mengurus tetek bengek pernikahan maminya dan Kavia. Kedua wanita itu sangat excited dengan pernikahan si bungsu. Semua yang menjadi pilihan mereka benar-benar perfect. Apalagi Daniel menginginkan pernikahan putrinya harus berkesan. "Sayang...." Ola menoleh mendengar suara familiar itu. Wajahnya yang cemberut makin bersungut-sungut melihat Bumi yang baru saja tiba. Napas pria itu tampak terengah seperti baru saja menyelesaikan lari ma
Bumi mengerjap ketika melihat Ola keluar dengan gaun panjang off shoulder berwarna putih. Gaun itu memiliki belahan panjang hingga hampir mencapai setengah paha. Mempertontonkan dengan jelas tungkai mulus sebelah kirinya. Tidak hanya itu. Sepanjang garis punggungnya pun terekspos begitu terbuka. Malam ini Ola tampil begitu dewasa dan berani. Makeup minimalis yang biasa dia pakai raib berganti dengan makeup bold yang menambah kesan menantang. Bumi tidak tahu konsep prewedding yang Ola pilih ini temanya apa. Bahkan dirinya saja hanya memakai setelan jas semi formal, ditambah aksesoris kacamata hitam untuk memperkuat karakter. Heels tujuh senti silver mengetuk lantai dengan nyaring ketika Ola beranjak mendekat. "Apa ini nggak terlalu berlebihan?" tanya Bumi seraya berbisik. Rasanya tidak rela melihat calon istrinya berpakaian begitu terbuka. "Berlebihan gimana?" Dari belakang tangan Bumi sengaja menyentuh punggung wanita itu. "Punggung kamu sangat terbuka. Lalu kaki kamu." "Ini kan
Seorang wanita muda berlari kencang sambil mengangkat roknya tinggi-tinggi. Napasnya terengah-engah seperti tengah berlari sejauh ratusan kilometer. Rambut panjangnya yang di kuncir kuda bergoyang seiring dengan langkah kakinya yang makin cepat. Kaki panjangnya menapaki tanah area panti dengan cepat, dan menuju balé. Di sana dia menghentikan larinya saat melihat seseorang yang sangat ingin dia temui. "Itu Kak Dira!" seru salah seorang anak, membuat anak lain menoleh. Juga Bumi yang sedang bersama Bu Tina. Bumi bisa melihat napas wanita itu terengah. Dia tersenyum melihat kedatangan perempuan yang sudah dia anggap adik itu. Baru beberapa hari lalu Bumi mendengar bahwa adiknya dari panti itu tahun ini akan ikut yudisium. Pria itu bahkan sudah memberinya saran agar segera melamar pekerjaan ke perusahaan milik Daniel. "Kamu temui dia. Mendengar kamu mau menikah, dia terus murung," ucap Bu Tina tersenyum kecil. "Ibu bingung bagaimana membujuknya agar tidak sedih. Dia bukan hanya mengagu
"E-eh, ada yang patah tuh!" Seruan Yara dengan mata tertuju ke bawah kaki Galen, membuat pria itu sontak menunduk mencari sesuatu dengan muka bodoh. "Hatimu!" seru Yara lagi lantas tertawa. Melihat itu Galen mendengus kesal. Yara bukan hanya mengolok-ngoloknya, tapi mengerjainya. "Nggak lucu!" tukas Galen sebal. Dia bersedekap tangan sambil menatap panggung pelaminan. Sudah hampir setengah jam dia berada di lokasi acara resepsi pernikahan Ola, tapi pria itu masih saja belum mau beranjak dari kursinya. Dia bahkan belum mengucapkan selamat pada kedua mempelai. Galen berdecak saat melihat Yara masih saja tertawa. Seolah patah hatinya menjadi hal terlucu sedunia. Wanita itu benar-benar kurang ajar. Mentang-mentang hari ini dia datang bersama tunangannya. Sementara Galen hanya sendirian. "Belum puas ketawa lo? Hati-hati mulut lo sobek," ujar Galen dengan mimik muka kecut. "Sori deh." Yara berusaha menghentikan tawanya. Dia ingin prihatin sebenarnya, tapi yang keluar malah semburan ta
Aku skip scene pernikahan yak. Bosan nulis adegan itu. Wkwkwk.=================Sebuah usapan lembut membuat Ola menggerakkan kelopak mata. Lalu suara kapten pesawat yang mereka naiki mulai terdengar jelas masuk ke telinganya. Secara perlahan dia pun terjaga. Hal pertama yang dia lihat adalah wajah Bumi yang tersenyum padanya. Di dahi pria itu terdapat penutup mata miliknya. Dari wajahnya sepertinya Bumi juga baru bangun tidur. "Bentar lagi kita landing. Pake sabuk pengaman," ujar Bumi kemudian dan mulai sibuk membantu Ola yang nyawanya belum ngumpul mengenakan sabuk pengaman. Kuapan panjang wanita itu terdengar meskipun dia menguap sambil menutup mulutnya. Badannya masih terasa lelah setelah dari kemarin hingga malam melakukan serangkaian acara pernikahan. Ola sama sekali belum istirahat dengan benar, dan paginya harus pergi ke bandara untuk melakukan penerbangan ke Sorong. Dibanding dirinya mungkin Bumi jauh lebih capek. Pria itu bahkan sempat mengepak baju yang harus mereka ba
"Kamu nggak bosan seumur hidup bareng aku terus? Dari kecil, dari kamu umur lima tahun." Ola menggeleng dan tersenyum kecil mendapat pertanyaan dari suaminya. Dia makin merapatkan diri. "Meski hubungan kita nggak mulus, tapi aku bahagia seumur hidup sama kamu. Justru yang harusnya tanya itu aku. Emang kamu nggak capek ngadepin sifat childish aku dari dulu sampai sekarang?""Sebenarnya sih capek." Jawaban Bumi sontak membuat Ola menjauhkan kepala dan menatap lelaki ituu dengan alis tertaut. "kok gitu?!" Reaksi Ola membuat Bumi terkekeh. Pria itu kembali meraih kepala Ola untuk bersandar di pundaknya lagi. "Nggak dong, Sayang. Kalau capek mana mungkin bisa bertahan sampai anak tiga." Mendengar itu Ola ikut terkekeh dan makin merapatkan diri. Matanya terpejam saat tangan Bumi menyentuh perutnya yang sudah makin besar. "Nggak nyangka anak manja seperti kamu bisa melahirkan anak-anak hebat seperti mereka." "Sekarang aku udah nggak manja lagi loh, Kak." "Iya, sekarang Ola si manja da
Jika biasanya Ola liburan ke Eropa bersama keluarganya, kali ini dia memilih destinasi New Zealand. Sesuatu yang tidak dia rencanakan karena terlintas begitu saja. Bumi bilang itu kado kehamilan ketiganya. Ola membuang napas, rasanya jahitan di perut baru saja kering. Membayangkan perutnya akan dibedah ketiga kalinya membuat Ola merinding. "Kamu ibu yang kuat, kamu pasti bisa," ucap Bumi menyemangati dan menenangkan saat Ola gelisah dengan segala pikiran buruk yang ada. "Tapi janji ini yang terakhir ya." "Hu-üm." Kehamilan Ola kali ini tidak seperti kehamilan sebelumnya. Dia menjadi gampang lelah, dan haus. Bahkan morning sick tidak bisa dihindari. Jadi, selama seminggu liburan dia tidak bisa menikmati dengan maksimal. Lebih banyak tinggal di hotel daripada berwisata musim semi. "Aku nggak mau tau, setelah anak ini lahir kamu harus mengajakku ke sini lagi," rengek Ola saat baru keluar dari kamar mandi memuntahkan isi perutnya. Wajahnya memucat, keringat dingin keluar begitu deras
Bumi menyentak tangan Ola yang berdiri di dekatnya hingga wanita itu jatuh di pangkuannya. Niat Ola menghampiri anak-anaknya yang sedang asyik main pasir pantai pun urung lantaran Bumi memeluknya begitu erat. Terlebih dengan iseng pria itu mulai mengendus pundaknya yang terbuka. "Kak, nanti anak-anak liat," tegur Ola ketika tangan Bumi menyelinap ke balik kain pantai yang dia pakai. "Anak-anak lagi sibuk sendiri," sahut Bumi, lantas mengecup lembut punggung Ola. Dia terkekeh ketika tubuh istrinya berjengit. Ola masih begitu sensitif dengan sentuhannya. "Kak, udah. Aku harus temeni anak-anak main." Ola berusaha menyingkirkan tangan Bumi yang masih bergerak naik turun di atas pahanya. Alih-alih berhenti pria itu makin menjadi. Ola sampai melebarkan mata saat merasakan tangan Bumi merambat ke dadanya. Buru-buru dia menjauhkan tangan nakal itu dari sana dan menggeram. "Ada Gyan dan Javas, mereka aman. Kita kembali ke cottage dulu, ya," bujuk Bumi saat Ola berusaha lepas dari kungkung
Kaki-kaki kecil berlarian di lantai rumah besar milik Daniel. Suara celotehan anak-anak terdengar meriah di setiap penjuru ruangan. Sesekali suara tangisan saling bersahutan saat mereka saling berebut mainan. Sebentar kemudian tawa-tawa lucu mereka bersusulan. Pemandangan itu-lah yang Daniel inginkan. Menghabiskan masa tua dengan cucu-cucunya yang melimpah ruah. Daniel sedang menikmati teh hangat yang sudah Delotta sajikan saat suara tangisan Vyora--anak kedua Ola--melengking. Hampir saja dia menyemburkan isi mulutnya sebelum bergegas meletakkan cangkirnya kembali. Dengan cepat pria tua itu melangkah mendekati sang cucu yang mukanya sudah memerah. "Hei, hei, cucu kesayangan Opa kenapa?" tanya pria itu sambil menggendong anak perempuan berusia satu tahun itu. "Adek digigit semut, Opa," jawab Vion--anak pertama Ola--seraya sibuk dengan mainan di tangannya. "Digigit semut? Mana coba Opa liat." Vion langsung meninggalkan mainannya lalu menunjuk paha chubbi Vyora yang memerah. "Tuh li
Tepuk tangan bersahutan ketika Bumi berhasil memotong pita, tanda dibukanya bengkel baru di Kota Surabaya. Senyum lebar serta ucapan terima kasih dia layangkan. Jabatan tangan bersama pemilik perusahaan otomotif yang bekerjasama dengannya pun terayun erat. Setelah pemotongan pita para tamu yang hadir lantas berkeliling untuk melihat area bengkel. Area bengkel yang luas serta peralatan yang lengkap membuat bengkel ini bisa menampung lebih banyak mobil yang akan diservis. Fasilitas juga ditambah, seperti ruang tunggu yang nyaman juga area play ground. Selain memperkenalkan bengkel baru, mereka juga memperkenalkan tipe mobil keluaran terbaru yang beberapa bulan lalu launching. Banyak promo yang ditawarkan baik dari showroom mau pun bengkel di acara grand opening ini. Ola memilih duduk di sofa lantaran merasa kelelahan. Sejak bangun pagi tadi, sebenarnya dia merasa kurang enak badan. Namun karena ini hari penting bagi Bumi, dia bersikap seolah tidak ada masalah. Sejauh ini dia bisa men
Ola meletakkan satu gelas susu hangat di meja kerja Daniel ketika pria tua itu tengah fokus membaca sebuah dokumen. Daniel mengangkat wajah, dan sontak tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Langkah Ola lantas bergerak ke belakang kursi sang papi dan melihat apa yang yang tengah pria itu baca. "Apa nggak sebaiknya papi istirahat aja?" tanya Ola saat tahu apa yang papinya baca itu sebuah proposal pendirian perusahaan baru milik Bumi. "Papi akan istirahat setelah baca proposal milik suamimu ini. Kenapa kamu nggak tidur?" "Sebenarnya aku sudah tidur. Aku tadi haus jadi kebangun. Terus liat ruang kerja papi lampunya masih nyala." Ola menunduk, lantas mengambil alih proposal itu dari tangan Daniel. "Papi minum susu itu terus pergi tidur." Kepalanya menggeleng ketika mulut Daniel terbuka dan terlihat ingin mengambil kembali proposal tersebut. Ola tidak memberi kesempatan papinya untuk protes. Dia tersenyum menang ketika Daniel tampak menyerah. "Oke, papi akan minum susu buatan my
"Ada opening bengkel baru di Surabaya, kamu mau ikut?" Enam bulan belakangan, selain sibuk mengurus tetek bengek pembukaan pabrik, Bumi juga sibuk mengurus pembukaan cabang bengkelnya yang baru di Surabaya. Satu per satu bengkel miliknya didirikan secara berkala di kota-kota besar bergabung dengan sebuah showroom perusahaan mobil yang bekerjasama dengannya. "Kapan?" "Pekan depan. Sekalian berkunjung ke rumah Kakek Gunadi.""Boleh, tapi aku nggak bisa lama. Kamu kan tahu aku masih belum diizinin Mas Gyan buat ambil cuti."Bumi terkekeh kecil lantas menekan kakinya agar ayunan yang dirinya tempati bersama Ola bergoyang. Saat ini keduanya memang tengah bersantai menikmati sore di taman belakang yang berdampingan dengan kolam renang. Biasanya tempat ini dikuasai Daniel dan Delotta jika sore menjelang. Namun kali ini sepasang suami istri itu sedang tidak ada di rumah. "Gyan itu masih pelit banget kalau ngasih cuti. Harus ada alasan yang urgent banget baru bisa dikabulin permohonan cuti
"Aku tau akhirnya pasti begini." Kekehan Bumi terdengar lirih saat mendengar kalimat itu. Sekarang ini dirinya masih merebah di atas kasur dengan Ola yang memeluknya seperti guling. Salah satu paha wanita itu menindih perutnya. Sehingga Bumi bisa dengan bebas mengusap paha terbuka itu dengan mudah. "Nggak sabaran," ucap Ola lagi. Dia bergerak menarik kakinya, tapi dengan cepat Bumi menahannya. "Kak!" "Sebentar, kamu mau ke mana sih?" "Sebentar lagi pasti Bibi nyuruh kita turun buat makan malam. Terus kita mau selimutan terus begini?" Ola menyingkir karena dia merasakan milik Bumi sudah kembali menegang. Kalau harus tambah satu permainan lagi, dia akan lebih lama terkurung di kamar. Akibatnya papi pasti ngomel karena mereka tidak ikut makan malam lagi. Lagi? Ya, karena kejadian seperti itu tidak cuma sekali dua kali sejak mereka pulang dari Raja Ampat. Bumi memiliki hobi baru yaitu mengurung Ola di kamar setelah wanita itu pulang kerja. Dengan gemas Bumi mencium pipi Ola. "Ngga
"Memang kalian nggak bosan ke Raja Ampat? Atau suami lo nggak mampu biayain honeymoon? Ola, kalau lo butuh sponsor, bilang dong!" Kalimat itu terlontar dari mulut seorang Galen. Pria itu memasang wajah meremehkan saat Ola bilang baru balik dari Raja Ampat. Terang saja hal itu membuat Ola jengkel dan rasanya ingin menyiram muka sohibnya itu dengan air kobokan. "Bukannya laki gue nggak mampu, ya. Tapi kami emang udah janji mau balik ke sana kalau kami dapat izin nikah. Jadi ini tuh semacam utang yang wajib kami penuhi," ujar Ola dengan nada gemas. Dengan kesal dia menyambar jus jeruknya. Langit Jakarta mulai gelap lantaran mau hujan, tapi dada Ola malah kepanasan. "Poinnya itu, bukan ke mana kita pergi. Tapi dengan siapa kita pergi," timpal Yara. "Meski perginya ke surga, tapi kalau ke sananya sama lo, jelas nggak bakal bikin happy si Ola." "Nah!" Merasa dapat pembelaan, Ola kembali bersemangat. Dia kembali tersenyum puas ketika melihat wajah Galen memberengut. "Asyik enggak kemari