Keesokan paginya di kantor ALSON Company...“Bu April, apa benar Anda baru saja menandatangani kontrak kerja sama dengan perusahaan Wesley Corporation milik bapak Stefan?” tanya Andra dengan nada sedikit meninggi seakan menuntut penjelasan.April yang sedang memeriksa dokumen menghentikan aktivitasnya sejenak sambil melirik sekilas ke arah Andra yang tengah berdiri di hadapannya, wajahnya seakan gusar menuntut penjelasan darinya. “Memangnya kenapa?” sahutnya santai lalu melanjutkan kembali membaca isi dokumen yang sedang diperiksanya.“Seharusnya Ibu berdiskusi dulu dengan saya sebelum mengambil keputusan sepenting itu, sejak dulu saya dan bapak Alan selalu menghindari berurusan dengan perusahaan bapak Stefan. Untuk itu kami selalu menolak setiap proposal yang diajukan oleh perusahaannya,” tutur Andra, kini nada bicaranya mulai merendah.April menghela napas, lalu menutup berkas di hadapannya. “Untuk apa saya harus berdiskusi dengan kamu? Memang kamu siapa? Di sini saya CEOnya buk
“Andrew, bagaimana perkembangan hubungan kamu dan Luna. Kapan kalian akan menikah?” tanya pak George pada putra sulungnya itu.“Papa ini bagaimana, Alan saja belum ditemukan sampai sekarang malah membahas soal pernikahan,” protes bu Amelia, ia masih tak terima akan kehilangan putra bungsu kesayangannya itu.“Benar yang dikatakan mama, Pa. Belum saatnya kita membahas hal itu, lagi pula Andrew juga belum siap,” terang Andrew pada papanya dengan hati-hati.“Loh ... memang kenapa? Apa kalian tidak kasihan dengan Luna yang menunggu tanpa kepastian. Pernikahannya tidak perlu yang meriah, cukup akad saja untuk pestanya kan bisa kapan-kapan nanti,” tutur pak George dengan bijak.“Papa ini masih saja tanya kenapa, apa Papa tidak merasa sedih Alan belum juga ketemu,” kata bu Amelia, kini ia mulai terisak karena teringat dengan Alan.Segera Andrew merangkul mamanya itu untuk menenangkannya. “Sudah Ma, tenang saja. Andrew tidak akan menikahi Luna sebelum Alan ditemukan ya,” bujuknya agar mam
Ting tong! Mentari pagi baru saja bersinar, suara bel apartemen berdering dengan nyaringnya membuat April yang sedang menyiapkan sarapan untuknya dan Alana berlarian kecil menuju pintu untuk segera membukanya. Ceklek! Pintu terbuka, tampak seorang pria menggunakan setelan jas rapi yang sedang berdiri dengan membawa sebuket bunga mawar di tangannya. “Selamat pagi,” sapa Stefan dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. April tampak sedikit tercengang dengan kehadiran Stefan yang tiba-tiba di depan apartemennya. “Stefan? Ada perlu apa?” tanyanya langsung. “Untukmu,” kata Stefan sambil memberikan buket bunga mawar merah pada April, wanita itu pun menerimanya dengan wajah yang sedikit bingung. “Apa kamu tidak ingin mengajakku masuk?” “Ah ... ya maaf, silakan,” sahut April seraya memberi jalan lalu Stefan pun segera masuk dengan senyuman yang tak pernah lepas dari wajahnya. April menutup pintu, meletakkan bunga dari Stefan di atas meja lalu berjalan menghampiri pria yang tengah me
Luna mendongak untuk menatap siapa lelaki yang menghampirinya tersebut.“Kamu kan ... suami sahabatnya April.“Lelaki tersebut hanya tersenyum sekilas, lalu duduk di samping Luna setelah memastikan wanita itu telah menerima sapu tangan darinya. Segera Luna mengusap air matanya menggunakan sapu tangan dari lelaki itu.“Terima kasih, nanti akan aku kembalikan setelah mencucinya,” ucap Luna sedikit kikuk.“Santai saja, itu tidak masalah.”Luna mengangguk. “Apa yang sedang Anda lakukan di sini Pak Da— Pak Dafa?”Dafa tertawa ringan. “Jangan terlalu kaku, panggil Dafa saja. Kamu sendiri, kenapa menangis sore-sore begini di sini?” Bukannya menjawab Daffa malah kembali mengajukan pertanyaan.Luna tersenyum getir. “Panjang ceritanya Daf,” sahutnya seraya menghela napas yang terasa berat.“Jika kamu membutuhkan teman untuk bercerita, aku tidak keberatan untuk menjadi pendengar yang baik,” tawar Dafa seraya menatap pada Luna yang mengalihkan pandangan darinya.Sekali lagi Luna menghela
Ceklek!“Hai ....”“Bu April ... apa ada yang bisa saya bantu?” tanya Andra saat membuka pintu apartemennya.April mengamati penampilan Andra dengan baju santainya, kaos putih polos, celana jeans, rambut yang sedikit acak-acakan tampak seperti baru bangun tidur dan ... tanpa kaca mata tebal seperti biasanya.“Dia begitu mirip dengan Alan,” batin April seraya mematung di depan Andra.Merasa ada yang aneh karena April menatapnya tanpa berkedip, Andra meneliti kembali penampilannya dan baru menyadari bahwa ia tak memakai kaca mata tebal saat tangannya menyentuh wajah.“Maaf,” ucap Andra seraya menutup pintu lalu bergegas mencari kaca mata tebalnya.“Andra ...” panggil April seraya mengetuk-ngetuk pintu.“Aah ... itu dia.” Andra menemukan kaca matanya yang ia letakkan di atas meja, segera lelaki itu memakainya, merapikan sedikit rambutnya lalu kembali ke pintu untuk membukanya.“Kenapa ditutup pintunya?” protes April saat Andra membukakan kembali pintu untuknya.“Maaf, tadi saya
April menghentikan langkah tiba-tiba lalu membalikkan badan. Membuat tubuhnya berbenturan dengan Andra yang tidak sempat menghindar karena berjalan sambil menunduk sedari kamar tadi.“Awwh!!” pekik April dan Andra bersamaan, tubuh April sedikit terhuyung karena bertabrakan dengan badan Andra yang lebih besar darinya. Namun dengan sigap, tangannya memeluk leher asistennya itu untuk berpegangan sehingga dirinya tidak sampai terjatuh. Andra pun memeluk erat pinggang April, karena tak ingin atasannya itu sampai terluka.Deg...Deg...Deg..Debaran jantung keduanya berpacu bersamaan dengan keras saat mata mereka saling bertukar pandang. Embusan napas terasa sangat dekat karena wajah mereka hanya berjarak sejengkal tangan saja.Tanpa bisa dikendalikan, Andra mendekatkan wajahnya pada April. Pandangannya tertuju pada bibir tipis yang dipoles dengan lipstik berwarna merah menyala yang sedari tadi membuatnya tergoda. April memilih memejamkan mata, menanti sejauh mana keberanian yang akan
“Jadilah suamiku.”“Apa?” pekik Andra tak percaya. “Menjadi suami Bu April?” tanyanya mengulangi.April mengangguk pasti.“Kenapa harus saya?”“Karena aku mau kamu, Andra,” ucap April penuh penekanan saat menyebut nama Andra.“Tapi ... bagaimana kalau bapak Alan nanti kembali?”April tertawa lirih. “Ya kamu bisa pergi dengan bebas.”“Ibu yakin memilih saya?” tanya Andra dengan ragu.“Ya, kalau kamu memang tidak mau aku akan menerima saja dijodohkan dengan lelaki pili—““Tidak, jangan ...” potong Andra cepat.April tersenyum, matanya berbinar menatap asistennya itu. “Jadi ... kamu mau, kan?”Andra mengangguk cepat. “Iya saya mau, tolong jangan terima lamaran dari lelaki lain. Siapa pun itu,” pintanya dengan tegas.“Memang kenapa, apa kamu cemburu?” tanya April menyelidik seraya mendekatkan wajahnya pada Andra, membuat pria itu salah tingkah karenanya.“Ti— tidak, saya hanya mencoba membantu bapak Alan untuk menjaga Anda,” kilah Andra dengan gugup seraya menunduk dan membet
Pasca kejadian itu, kini Luna berubah menjadi gadis yang pendiam dan pemurung. Terkadang ia sulit berkonsentrasi saat bekerja, membuat Andrew bingung dengan perubahan sikap tunangannya itu.“Luna, kamu kenapa?” tanya Andrew dengan lembut, kini ia tengah berada di ruangan kerja Luna.“Aku tidak papa,” balas Luna singkat tanpa menatap wajah Andrew.“Pasti terjadi sesuatu, kan? Ceritakanlah padaku, aku akan mendengarkan dengan baik,” pinta Andrew seraya mengusap kepala Luna dengan lembut.“Tidak ada apa-apa Andrew, sungguh. Mungkin aku hanya sedikit stres menjelang pernikahan saja, kata orang itu hal biasa,” kilah Luna dengan memaksakan senyumnya.“Benar yang kamu katakan? Tidak ada yang kamu sembunyikan dariku, kan?” tanya Andrew menyelidik.Luna menggeleng. “Tidak ada, ya sudah kembalilah ke ruanganmu. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku,” usirnya halus.“Baiklah, jika ada apa-apa denganmu jangan ragu untuk memberi tahuku ya. Aku tidak suka dibohongi,” ucap Andrew penuh penekana