“Kamu tahu aku dan dia pacaran lima tahun, tetapi seenaknya kamu mengambilnya begitu saja,” ucap Dimas lagi.
“Mas tolong hentikan, banyak orang menonton di sini, tolong jangan teruskan lagi,” ucap Talita mengatupkan kedua telapak tangannya ia memohon dengan wajah sedih, ia tidak mau ada keributan.
“Aku tidak peduli banyak orang yang melihat. Aku mau bilang pada kakak ipar mu ini . Eh , salah suamimu. Di hari aku ingin melamarmu jadi istriku tetapi mantan kakak iparmu ini menikahimu, apa ini adil?” ucap Dimas dengan rahang mengeras dan urat-urat saling bertarikan.
Emir masih bersikap tenang, bahkan dengan tenang memakan makanan yang dipesan, saat semua orang ramai menonton keributan, dengan tenangnya Emir menikmati makanannya dan membiarkan Dimas marah dan meluapkan amarahnya sendiri.
Sementara Talita sudah gemetaran, ia takut di balik sikap diam dan tenang Emir, ada sesuatu yang kemarahan yang terkunci.
Jika terus dibiarkan, akan ada bahaya, ia takut Emir menarik pistol yang di pinggangnya dan mengarahkan ke Dimas.
Terkadang seseorang pendiam dan tidak bicara, justru yang lebih berbahaya. Talita tidak mau ada keributan, ia bertindak sebelum hal buruk terjadi ….
Paaak …!
“Cukup Mas, cukup, aku yang datang untuk menjadi istrinya Mas Emir, dia tidak pernah memintaku jadi istrinya,” ujar Talita dengan deraian air mata.
Tidak ada niat sedikitpun ingin menampar lelaki yang amat dicintai itu. Tetapi, kalau ia tidak melakukannya, ia takut hal buruk akan terjadi.
“Talita …?”
Wajah Dimas tampak kaget dengan apa yang dilakukan Talita padanya.
Dimas menatap sendu pada Talita, ia mengenal Talita sejak masih kuliah sampai menjadi seorang bidan. Namun, baru kali ini ia melihat wanita berwajah cantik itu berbuat kasar.
Dimas meninggalkan restoran dengan perasaan hancur. Talita mengusap pipinya dengan kasar, ia tidak ingin terlihat lemah di depan Emir, sementara lelaki itu tidak sedikitpun merasa terganggu dengan keributan yang terjadi.
Ia masih dengan sikap tenang menghabiskan makanannya. Sementara Talita tiba-tiba kehilangan selera makan, ia membayar makanan mereka berdua dan membiarkan makanan bagiannya masih diatas meja tidak disentuh sama sekali.
Melihat makanan sudah dibayar, Emir menghabiskan air jeruk hangat di gelasnya, lalu ia berdiri dan meninggalkan restoran, tidak menghiraukan tatapan semua orang yang tertuju padanya, ia tenang, bagai jelmaan iblis.
Saat keluar dari restoran ternyata Dimas masih berdiri di halaman restoran, ditenangkan beberapa teman-temannya, sementara Talita dan Emir masuk ke mobil tanpa menoleh sedikitpun pada Dimas.
Dalam mobil Talita benar-benar tidak bisa menahan diri, ia menatap ke arah kaca membiarkan sungai kecil mengalir deras dari pipinya, tangisan tanpa suara, ia sangat sedih dan tidak tega melukai perasaan Dimas, ia menyesal telah menampar Dimas.
Walau ia menangis sampai mengeluarkan darah, Emir tidak menghiraukannya, ia akan bersikap seperti patung diam dan diam.
Karena terlalu lama menangis Talita tertidur dan membawa rasa lapar dan rasa sedih ke dalam tidurnya, membiarkannya menjadi satu membawanya ke alam mimpi, berharap apa yang ia alami semuanya hanya mimpi buruk yang menyedihkan dan Talita berharap saat ia membuka mata semuanya kembali normal.
Talita berharap melihat Hanum mbak yang ia sayangi tersenyum manis kembali padanya dan membelikan beberapa pakaian bermerek untuknya, dan mengajaknya ke salon kecantikan.
Tidak lama kemudian ia masuk ke alam yang amat indah dan damai. Dalam mimpi, ia melihat Dimas melambaikan tangannya padanya dari tempat parkiran motor saat menjemputnya pulang kerja setiap sore, Talita juga melihat dalam mimpinya, ia diperlakukan sangat baik sama keluarga Dimas diperlakukan bagai anak sendiri.
Talita terbangun, mencubit lengannya dan berharap mimpi yang ia alami kenyataan, Namun, saat ia melihat ke samping matanya mengerjap-erjap beberapa kali, menyadari semua yang terjadi padanya hanyalah mimpi, kenyataannya, saat ini hidup pahit.
“Kamu sudah bangun, ayo masuk,” ucap Emir lelaki itu membiarkannya tidur dan menunggu.
“Oh, baiklah.” Talita turun dari mobil.
Hal yang pertama yang ia lakukan ke kamar si kembar, ia hanya ingin memastikan kedua anak kembar itu aman.
Ia menarik nafas lega karena keduanya sudah tidur pulas, dengan jalan mengendap-endap ia keluar dari kamar mereka. Lalu ia masuk ke dalam kamar. Emir sedang berganti pakaian, ia mengeluarkan beberapa pakaian dari lemari.
“Kalau kamu ingin mandi, mandilah duluan, setelah kamu, baru aku,” ujar Emir, ia juga tidak mau berganti pakaian sembarangan kalau ada Talita dalam kamar.
“Baiklah, tapi aku juga mau ambil pakaian dari lemari itu,” ujar Talita, ia berdiri di belakang suaminya, saat Emir berbalik badan wajah mereka berdua saling bertemu.
Mata Talita memutar, ia gugup saat wajah suaminya dan wajahnya jaraknya hanya satu jengkal, bahkan ia bisa merasakan nafas hangat Emir menyentuh kulit wajahnya.
“Mas lewat saja,”ujar Talita mundur.
Bukan hanya ia yang membuat jarak dengan suaminya, Emir juga seolah-olah membatasi diri padanya.
‘Baiklah Mas, itu lebih baik, kamu tidak boleh menyentuhku, aku sangat senang dengan hal itu, setidaknya berikan aku waktu untuk menerimamu menjadi suamiku, karena sejujurnya aku masih belum siap untuk melayani mu sebagai istri’ ucap Talita dalam hati.
“Sudah, kamu masuk saja.” Emir mempersilakan Talita masuk kamar mandi.
Hubungan mereka berdua sangat kaku, bagi Talita mantan kakak ipar menjadi suaminya, hal yang sangat berat. Namun, atas permintaan ibunya ia terpaksa mau.
Dalam rumah keluarga suaminya tidak ada satupun yang menerimanya sebagai keluarga, mereka semua memusuhi nya menyebutnya sebagai benalu, sama seperti Hanum kakak perempuannya.
Talita hanya diam, apapun yang dikatakan ibu mertuanya, ia hanya diam menganggap semua itu bagai angin lalu.
Talita sudah bertekad akan bertahan demi kedua keponakannya yang tidak diterima ayah dan nenek nya.
Kini pikirannya hanya disibukkan dengan ucapan Emir yang menyebut Hanum berselingkuh dan akan mencari tahu penyebab kematian Hanum.
‘Mbak, aku berharap apa yang dikatakan orang-orang ini, hanya fitnah belaka, karena aku tahu, mbak orang yang baik, tidak akan melakukan hal seperti itu’
Talita bermonolog dalam hati, matanya menatap foto mbaknya tergantung di dinding.
Saat ia merebahkan tubuhnya, ia meletakkan satu bantal di tengah sebagai pembatas untuk mereka berdua. Emir juga tidak menghiraukan bantal penghalang tersebut.
Saat ia berbaring tidak terasa air matanya menetes deras, ia melihat telapak tangan yang ia gunakan menampar Dimas tadi sore.
Terlalu lelah menangis dan otaknya terlalu capek memikul masalah, membuatnya terlelap dalam tidur.
Bersambung...
Talita terbangun saat suara tangisan keras dari kedua bayi kembar, mereka berdua menangis kencang seolah-olah habis di cubit. Iaberlari ke kamar, alangkah kagetnya dirinya saat melihat Ibu mertuanya dan kakak perempuan Emir.“Apa yang kalian lakukan?” tanya Talita dengan suara meninggi. Mata bulat itu tampak membesar segede jengkol, karena kaget dengan apa yang ia lihat saat itu.“Itu bukan urusanmu, kamu diam saja,” ujar ipar perempuannya dan terus memegang gunting.“Mbak jangan begitu, hentikan!” teriak Talita marah.“Kenapa …? kamu takut kalau kakakmu main gila dengan lelaki lain?” ujar ibu mertua Talita, ia wanita yang egois dan mudah dipengaruhi orang lain.“Ibu jangan menuduh seperti itu, Ibu keluar dari sini, biarkan mereka tidur, apa yang kalian lakukan pada kedua bayi malang ini, apapun yang terjadi antara kalian dan mbak ku, mereka tidak tahu apa-apa dan tidak sepantasnya kalian bersikap seperti pada mereka,” ujar Talita dengan suara bergetar, dengan sikap memasang tubuhnya
Sejak pertengkaran Dimas dan Emir sifat Emir semakin dingin melebihi dinginnya bongkahan es di kutub utara. Sifat dinginnya seakan-akan mampu membekukan seisi kamar yang ia tempati bersama Talita.Susah memang menghadapi sikap pendiam,lautan bisa diukur berapa kedalamannyaNamun, hati dan pikiran seseorang tidak ada yang tahu.Hanya sang pemilik kehidupan yang bisa mengetahui.Maka karena itu, Talita hanya bisa berdoa dan bersikap pasrah dan menyerahkan semuanya sama yang Kuasa.Saat pagi tiba, Emir tampak mondar-mandir mencari sesuatu, tetapi ia tidak mau bertanya pada Talita yang saat itu sedang membereskan pakaian si kembar,ia selalu memeriksa keperluan si kembar setiap pagi sebelum berangkat ke rumah sakit.Emir masih dengan sikap diam tetapi tubuhnya terus bergerak mencari sesuatu.Tidak ingin kepalanya bertambah pusing, karena melihat suaminya yang seperti setrikaan mondar-mandir. Talita memutuskan bertanya.“Mas Emir, cari apa?” tanya Talita dengan suaranya yang amat lembut.
Setelah pertengkaran Talita dengan Emir pagi itu, Talita berangkat kerja lebih awal.Pertengkarannya dengan Emir pagi itu membuat suasana hati Talita tidak baik.Ia tidak ingin memulai pekerjaan dengan suasana yang buruk, apalagi profesinya sebagai bidan.Ia meminta teman seprofesinya untuk menggantikan ia pagi itu,Talita ingin mencari udara segar untuk menenangkan pikirannya.Talita menghentikan taxi membawanya ke pemakaman Hanum. Ia ingin mencurahkan semua kesedihan hatinya di gundukan tanah yang sudah mulai ditumbuhi rumput itu, tanah tempat sang kakak di makamkan.Taxi membawanya ke pemakaman umum di daerah Pondok Ranggon Jakarta timur. Sebuah pemakaman umum yang sangat luas. Setelah membeli bunga dan air mawar, Talita berjalan menyusuri deretan makam-makam yang berbaris rapi. Melihat banyak tanah kuburan yang ia lewati mengingatkannya pada diri sendiri. “Semua manusia akan mati pada akhirnya, dunia yang fana ini, hanya tempat sementara,” ucap Talita menatap sebuah makam yang m
Talita berlari setelah keluar dari taxi, ia langsung menuju kamar si kembar.Emir berdiri di sisi ranjang berpagar milik si kembar.“Apa yang mas lakukan?” Wajah Talita berkeringat dan nafas terengah-engah saat tiba di kamar si kembar.“Kenapa? Apa aku tidak bisa melihat mereka?” tanya Emir, tatapan itu jelas tatapan kemarahan.“Tidak, Mas tidak pernah mau melihat mereka, lalu kenapa sekarang-”“Apa kamu menuduh ku!” teriak Emir membuat kedua anak kembar itu menangis, karena terkejut mendengar suara keras Emir.“Mas, apa yang kamu lakukan?”Talita menggendong Hasan dan Desi menggendong Hasna.“Justru aku yang harus bertanya itu padamu,dari mana kamu?” tatapan itu membuat Talita terkejut.‘Apa Mas Emir tahu kalau aku bertemu dengan lelaki itu tadi?’ Talita membatin.“Kenapa diam?”“Mas bisa tidak gak usah teriak-teriak, anak-anak jadi menangis mendengar suara Mas.”Talita memberikannya pada Bu Retno, wanita yang membantu merawat kedua baby kembar itu, lalu Talita mengajak Emir untuk bi
“Kamu itu tidak becus. Aku akan mencarikan wanita untuk mengurus putraku karena kamu tidak bisa melakukannya, kamu tidak berguna jadi seorang istri.”‘Aku memang tidak berguna untuk putramu, tetapi aku sangat berguna untuk kedua keponakanku’ ucap Talita dalam hati.“Aku mau katakan sekali lagi sama , jika ibu melakukan itu, karier mas Emir akan akan dipertanyakan nantinya, sebagai seorang polisi, mana boleh polisi memiliki dua istri?”Talita meninggalkan ibu mertuanya yang aneh itu, walau Talita sudah meninggalkannya, wanita tua itu tetap mengoceh seolah-olah ia tahu segalanya.Ia berpikir semua harus di bawah kendalinya. Namun, Talita wanita yang tangguh, ia tidak mau melakukan apa yang diinginkan Ibu mertuanya.Suasana dalam rumah itu benar-benar seperti neraka. Emir pulang malam tetapi setiap kali ia pulang akan keadaan mabuk. Talita bukannya tidak mau peduli, tetapi, Emir sendiri yang meminta agar jangan ikut campur dalam hidupnya.“Ibu dan Mbak, jangan mencampuri kehidupanku lag
Banyak masalah yang dihadapi Talita mempengaruhi pekerjaannya.Ia tidak ingin melakukan hal buruk dalam pekerjaannya, maka itu ia terpaksa beberapa kali izin pulang lebih awal.Baik hari itu setelah mendapat tamparan dari ibu mertuanya, ia masuk ke ruangannya dan ia menangis, walau ia bersikap sangat tegar dan kuat. Namun, ada kalanya ia merasa rapuh dan tidak berdaya sama seperti saat itu.Ia hanya bekerja setengah hari dan ijin pulang dengan alasan tidak enak badan, bukan badannya yang sakit melainkan hatinya yang terasa sangat sakit.Saat ia ingin pulang entah satu kebetulan atau ia sengaja menunggu tapi yang pasti lelaki yang saat ini sudah menjadi mantan ya berdiri di sampingnya mengendarai motor yang dulu selalu ia naiki.“Lita, kamu mau pulang?”“Iya Mas.” Talita hanya bisa menunduk menahan air mata yang sangat ia tahan, ia tidak ingin menangis ataupun kelihatan sedih di hadapan Dimas.“Mari aku antar pulang.”“Mas , tolong jangan seperti ini.”“Ta, aku hanya meminta mengantarm
Hari itu ia mulai melakukan penyelidikan tentang perselingkuhan Hanum. Talita memulai dari dr. Irfan, ia ingin mendatangi rumah sakit di mana lelaki itu bertugas sebagai dokter. Tetapi sebelum bertemu Talita menelepon terlebih dulu bertanya apa lelaki itu punya waktu luang.“Halo, selamat siang, Mas Irfan saya Talita. Apa Mas punya waktu untuk bertemu?”“Oh, kebetulan hari ini saya lagi cuti, saya kehilangan barang, jadi saya melapor ke kantor polisi, kalau mau kita bertemu di sini saja, nanti saya kirim alamatnya.”“Baik Mas.”Irfan mengirim alamat ke ponsel Talita, tetapi melihat hal itu, Talita, merasa keberatan karena tempat itu tempat dimana Emir bertugas.“Aduh, disini lagi alamatnya, ini kantor polisi di mana Mas Emir bertugas yang ada nanti dia melihatku dan menuduhku hal yang bukan-bukan. Namun, kalau tidak pergi sekarang, kapan
Karena Aku Tidak Bisa Memberinya Anak.“Mau makan apa?”tanya Emir.“Haaa?” Talita menatap dengan kaget.‘Ada apa dengannya, apa ia memberiku makan dulu biar ada tenaga untuk bertengkar dengannya?’ Talita membatin, melihat raut wajah Emir, Talita yakin kalau lelaki bertampang dingin itu sedang marah.“Kamu belum makan, kan?”“Iya.”“Maka itu, mari makan." Emir memanggil pelayan restoran. "Mau mau makan, apa?" Emir menatap Talita.“Oh, sama saja sama punya Mas,” ucap Talita ter gagap, ia terkejut dengan sikap baik Emir. Tetapi, justru sikap baik itu yang membuat Talita terus bertanya dalam hati. Apa yang akan Emir lakukan padanya nanti.‘Habis makan ,apa yang ingin Emir katakan padaku, apa dia ingin mengusirku setelah melihatku dengan Irfan? Apa ia akan memaki-makiku?’Saat makan pun, Talita sudah merasa sesak napas, pikirannya tidak fokus lagi ke makanan yang ia masukkan ke mulutnya. Tetapi, otaknya dipenuhi banyak pertanyaan dan mencoba menimang -nimang apa yang akan dilakukan Emir pa
Saat Dimas berangkat ke kerja menggunakan motor, tiba-tiba sebuah mobil menabrak dari belakang.Dimas merasakan benturan keras yang membuat tubuhnya terpental ke aspal. Motor yang ia kendarai terseret beberapa meter sebelum akhirnya berhenti di pinggir jalan. Rasa nyeri menyebar ke seluruh tubuhnya, terutama di lengan dan kakinya yang terbentur aspal kasar.Beberapa orang yang menyaksikan kejadian itu segera berlari mendekat. Pengemudi mobil yang menabraknya melarikan diri.Terlihat jelas kalau dia ingin mencelakai Dimas. Dimas masih sempat melihat warna mobil sebelum tubuhnya terhembas ke aspal.‘Siapa mereka? Apa itu orang-orang suruhan Arjuna?” tanya Dimas dalam hati.Seorang bapak berlari menghampiri tubuh Dimas yang tergelatak, lukanya sangat parah.“Pak. Apa Bapak bisa mendengar saya?” Pria itu membantu Dimas untuk duduk.Dimas mencoba menggerakkan tubuhnya, cairan merah mengalir di wajahnya. Rasa sakit menjalar di bagian kakinya, tangannya. Lalu rasa sakit itu menguasai selu
“Jangan khawatir aku orang yang menepati janji.”Sebelum Dimas melangkah pergi, ia berbalik badan lagi.“Aku harap kalian bisa bersama lagi.”Emir terdiam, ia tidak tahu mengambarkan ekpresi wajah Dimas, apakah laki-laki itu bicara dari hati atau ia hanya pura-pura tegar.“Pak Dimas, terimakasih sudah menjaga keluargaku. Aku berhutang banyak padamu. Aku berharap suatu saat aku bisa membalasnya,” ujar Emir.“Aku berterimakasih, sebab Bapak memberiku kesempatan menjaga Talita dan tinggal satu atap bersamanya, walau hanya pura-pura pasangan suami istri itu sudah cukup bagiku. Aku berharap Pak Emir sembuh,” ucap Dimas, wajahnya terlihat sangat sendu.“Apa Pak Dimas baik-baik aja?” tanya Emir menatap begitu dalam.“Iya, aku baik. Kami pulang dulu. Aku takut Talita marah karena kami lama,” ucapnya melambaikan tangan pada Emir.Dalam hati Emir ada rasa yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata saat Dimas dan si kembar ke dalam mobil. Tidak lama kemudian mobil itu melaju dan menghilan
Satu tahun kemudian. Setelah berpikir panjang dan butuh waktu yang lama Emir akhirnya mengikuti saran Seno untuk mengganti wajahnya. Ia akan pulang kembali ke Indonesia dengan identitas yang baru.Hubungannya dan Dimas masih tetap baik. Lelaki yang berprofesi sebagai tentara itu menepati janjinya menjaga Talita dan anak kembarnya. Walau semua keluarga melarang Dimas bersama Talita. Namun ia tetap berpura-pura sebagai suami untuk Talita, semua itu ia lakukan supaya tidak ada yang menganggu Talita dan kedua anak kembarnya. Musuh yang mengincar Emir masih berkeliaran di sekitar mereka. Arjuna masih curiga kalau Emir masih hidup.Kali ini Dimas janjian akan bertemu seseorang.Terkadang kedua pengasuh mereka kewalahan mengawasi Hasan, Hasna masih mau nurut kalau dilarang, tetapi kalau Hasan semakin dilarang semakin di lakukan, rasa ingin tahunya lebih besar dari adiknya. Kedua anak kembar itu tumbuh menjadi anak y
Emir masih di Batam, Pak Seno dan Brata yang memintanya datang untuk urusan pekerjaan yang akan mereka kerjakan bersama, sebab Emir juga ikut terlibat dalam menangani kasus yang pernah di pegang Pak Brata, sebelum ia di mutasi ke daerah.Tadinya kedua orang itu meminta akan bertemu Emir kembali di Singapura, tetapi, bapak dua anak itu tidak enak hati karena Pak Brata mantan atasannya yang selalu datang menjenguk, jadi Emir mengusulkan untuk bertemu di Batam, biar sama-sama enak. Seperti kita ketahui Batam ke Singapura sudah sangat dekat, tinggal menyebrang dengan kapal saja sudah sampai.Mereka setuju, baru juga Emir tiba di hotel dan akan makan siang di resto hotel, tetapi siapa yang menduga, kalau Talita juga ada di hotel tersebut , hotel yang sama dengan dengan Brata, karena Talita juga ada seminar di sana.Untung Brata mengenal Talita, jadi ia buru-buru menelepon Emir, meminta Emir menghindar, saat itu Talita masih mencari di halaman hotel sementara Emir bersembun
Talita berdiri di trotoar luar hotel, matanya memindai setiap orang yang lewat. Jantungnya berdegup kencang, seakan firasatnya benar bahwa pria yang ia lihat tadi adalah Emir. Rasa rindu pada sang suami yang sudah meninggalkanya.‘Ya Allah aku sangat merindukannya, maafkan hamba kalau belum iklas. Hati ini rasanya berat untuk mengiklaskannya’ ucapnya dalam hati.Hatinya seolah-olah berkata kalau ia akab bertemu Emir di sana. Mulutnyah menolak namun hatinya berkata iya.“Tidak mungkin. Tapi … aku tidak bisa mengabaikan perasaanku,” gumamnya sambil terus berjalan ke arah yang ia kira menjadi tujuan pria itu pergi.Di sisi lain, Emir yang mengenakan topeng karet dan jaket hitam duduk di sebuah kafe kecil di pinggir jalan bersama anak buah Pak Brata. Mata Emir terus memperhatikan keluar jendela, waspada kalau Talita masih mencarinya.“Kamu harus berhati-hati, Emir. Talita wanita cerdas. Kalau dia tahu siapa kamu, penyamaran kita bisa hancur,” ujar Pak Brata di ujung teleponsambil menyer
Setelah pulang dari rumah orang tua Dimas, Talita dan Dimas hanya diam di dalam mobil.“Aku tidak ingin kamu pergi Mas,” ucap Talita kemudian.“Lalu kamu ingin aku melakukan apa?”“Ya jangan ikut ke tempat konflik itu, mereka kan sangat kejam,” ujar Talita.“Itu sudah jadi tugasku sebagai abdi negara Talita.”“Ya, tapi kenapa harus kamu?”“Bukan hanya aku, ada banyak orang yang akan ikut , itu sudah jadi tugas kami menjaga keamanan negara ini,” ujar Dimas.“Tapi kamu pergi saat kita ada masalah.”“Jangan khawatir , dengan begitu bunda tidak akan mengusik kamu lagi, aku juga tidak ingin kamu pergi dari rumah. Aku sudah berjanji pada Emir kalau aku akan menjaga kamu.”“Lalu bagaimana?”“Kamu tetap tinggal di rumah itu dengan anak-anak, biarkan aku yang pergi.”Talita tidak bisa bicara lagi, ia hanya diam, ia bahkan tidak tahu harus berkata apa, tetapi ia berpikir mungkin itu hal yang tepat untuk mereka, Dimas menepati janjinya.Setelah tiba di rumah, ia mengumpulkan pakaiannya da
Emir terpaksa menceritakan semuanya pada Dimas, karena lelaki itu hampir menyerah, menghadapi sikap Talita.“Apa kamu punya waktu?” tanya Emir.“Besok, aku ingin istirahat beberapa hari”“Apa latihan di luar kota melelahkan?”“Latihan seberat apapun tidak pernah berarti untukku, yang membuatku tidak bisa berdaya tidak bisa menghadapi sikap dingin istrimu,” ucap Dimas.Emir memikirkan satu hal, ia baru ingat kalau Talita orang yang sangat patuh pada orang tua, terlihat dari sikapnya yang tidak bisa menolak pernikahan mereka berdua saat itu.“Ya, masih … apa orang tuamu menolak Talita?”Dimas diam, ia bahkan tidak memberikan waktu untuk Talita memberikan alasan.“Tunggu … apa bapak pikir orang tuaku menemui Talita lagi?”“Bisa jadi, kenapa kamu tidak bertanya pada Talita”“Kamu benar … mungkin bunda datang lagi membuat masalah, dia sudah pernah melakukannya juga.”Dimas terdiam, ia baru ingat, sehari setelah ia tiba di luar kota Farida kakaknya menelepon dan bertanya dirinya sedang d
Di saat Dimas tidak punya teman dan keluarga yang bisa diajak bertukar pikiran, ia terpaksa menelepon Emir, menceritakan semua padanya, bukan hanya tentang Talita ia juga menceritakan tentang tekanan pekerjaan dan desakan keluarga agar ia menikah.“Sebenarnya aku tidak tahan lagi Pak,” ujar Dimas lagi.“Jangan menyerah Pak Dimas.”“Aku bukannya gampang menyerah Pak, tapi terkadang aku merasa bersalah karena aku membohongi Talita tentang kematian bapak, dia sangat mencintai Pak Emir, hingga tidak ada tersisa sedikitpun untukku, itu juga yang membuatku iri.”“Pak Dimas, kamu lebih mengenalnya dari pada aku, kamu pasti sudah tau bagaimana sifatnya, dia wanita baik dan tegas pada dirinya sendiri”“Justru karena aku sudah lama mengenalnya Pak, makanya aku tau kalau hatinya sudah pindah sama Pak Emir, semakin lama tinggal denganku aku yang akan mati karena tersiksa karena perasaan,” ujar Dimas.Untuk sesaat, Emir sempat merasa sangat tersentuh saat ia mengetahui kalau Talita akhirnya jat
Pak Seno dan Brata masih di Singapura untuk bertemu Emir, ia merasa sayang kalau Emir harus melepaskan profesinya sebagai polisi, padahal ia mengalami hal seperti itu demi membongkar kasus korupsi di instansinya.“Bagaimana pak Emir? Apa tawaran saya diterima?”“Saya akan memikirkannya kembali Pak, sebenarnya saya sudah berniat meninggalkan kepolisian dan beralih jadi pengusaha,” ujar Emir.“Sangat disayangkan kalau kepolisian akan menyia-nyiakan anak seperti kamu Emir.” Pak Brata menatap Emir, lelaki mantan polisi itu mendukung Emir kembali bertugas.“Tenang saya akan memberikan promosi naik jabatan dan saya akan menjamin keamanan untuk kamu juga,” ujar Pak Seno membujuk.“Saya tidak bisa kembali sebagai Emir Pak Seno, karena semua orang sudah menganggapku sudah meninggal”“Saya akan membiayai operasi wajah untuk kamu, yang penting kamu bisa kembali. Akan aku pastikan tidak ada yang mengenal kamu, kita akan ganti identitas menjadi yang baru,” usul Seno dengan yakin.Setelah dibuju