Esoknya, Siang itu, Aluna mengenakan setelan blazer putih yang mempertegas aura ketegasannya. Di sisi kirinya, Hansen berdiri tenang dengan berkas perceraian di tangannya, sementara beberapa bodyguard mengikuti di belakang mereka. Langkah Aluna mantap menuju apartemen sederhana tempat Betran dan Kania tinggal. Hansen mengetuk pintu apartemen dengan tegas, lalu pintu terbuka, memperlihatkan wajah Kania yang tampak terkejut dan tidak siap menerima tamu tak diundang seperti ini. "Aluna?" Kania mengerutkan dahi, suaranya terdengar ragu. "Apa yang kau lakukan di sini?" "Aku ingin ini selesai," jawab Aluna dengan nada dingin. Ia melirik Hansen, yang langsung menyerahkan berkas perceraian itu pada Kania. "Betran ada di dalam, kan? Aku butuh tanda tangannya sekarang." Kania mendengus sambil memegang berkas itu, lalu mempersilakan mereka masuk. Ruangan kecil itu terasa sempit dengan kehadiran banyak orang, tapi Aluna tetap berdiri tegak, tatapannya tajam. Betran muncul dari balik pi
Betran menatap ibunya dengan wajah penuh amarah, napasnya tersengal-sengal menahan emosi. "Mommy, kenapa kau melakukan itu? Lima miliar?! Kau benar-benar keterlaluan!" suaranya meninggi, menggema di ruangan kecil itu. Kania tetap tenang, seolah tidak terganggu oleh kemarahan Betran. Ia mengangkat alis, menatap putranya dengan pandangan yang penuh perhitungan. "Betran, kau pikir aku meminta itu tanpa alasan? Kau benar-benar bodoh kalau tidak mengerti apa yang sedang aku coba lakukan di sini." "Meminta uang sebesar itu hanya akan membuat Aluna semakin membenciku, Mommy! Kau tidak berpikir panjang," balas Betran dengan nada getir. Kania mendesah panjang dan melipat tangan di dadanya. "Kau tidak pernah mengerti cara kerja dunia, ya? Kau pikir Aluna akan tetap membencimu selamanya kalau kau berhasil kembali menjadi seseorang yang sukses? Dengarkan aku, Nak. Dengan uang itu, kau bisa membangun kembali reputasimu. Kalau kau kembali menjadi seorang pengusaha yang dihormati, dia tidak akan
Esok harinya, Betran berdiri di depan cermin kecil di apartemennya, merapikan dasi dengan raut wajah penuh semangat. Setelah sekian lama merasa terpuruk, ia akhirnya mendapat panggilan kerja. Walau posisi yang ditawarkan belum dijelaskan secara rinci, Betran yakin reputasinya sebagai mantan pengusaha besar akan membuatnya mendapatkan posisi yang cukup layak. Kania, yang duduk di sofa sembari menyeruput teh, memandang putranya dengan bangga. "Betran, ingat, ini awal dari kebangkitan kita. Jangan lupa tunjukkan kalau kamu masih punya kemampuan untuk menguasai dunia bisnis." Betran tersenyum penuh percaya diri. "Tentu, Mom. Aku tahu aku akan mendapatkan posisi strategis. Mungkin mereka akan mulai dari manajer menengah, tapi itu hanya batu loncatan." Kania mengangguk puas. "Dan ketika kamu berhasil, kita akan membuat Aluna menyesal sudah meninggalkanmu. Dia akan sadar, kamu jauh lebih pantas daripada pria itu." Dengan langkah tegap, Betran keluar dari apartemen kecil mereka, memb
Betran berdiri di depan gerbang Mansion Aluna, wajahnya dipenuhi amarah yang sulit ia bendung. Para bodyguard yang berjaga segera menghadangnya, seperti biasa. "Saya ingin bertemu Aluna," kata Betran dengan nada tegas. "Maaf, Tuan Betran, Anda tidak diizinkan masuk," jawab salah satu bodyguard dengan nada datar namun tegas. Betran mengepalkan tangannya. "Katakan pada Aluna, kalau dia tidak mau keluar, aku akan menunggu di sini sampai dia muncul!" Setelah beberapa saat, salah seorang asisten Aluna datang mendekat, menyampaikan pesan. "Nona Aluna bilang Anda boleh masuk, tapi hanya untuk bicara sebentar. Jangan buat masalah." Betran menghela napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk. Tatapannya tajam, penuh rasa frustasi yang ia bawa sejak keluar dari wawancara pekerjaan. Ketika Betran akhirnya tiba di ruang tamu Mansion, Aluna sudah menunggunya dengan sikap tenang namun penuh kewaspadaan. Ia duduk di sofa mewah, menyilangkan kaki dengan anggun. Wajahnya menunjukkan ketenang
Pagi itu, Betran melangkah kembali ke perusahaan tempat ia melamar sebelumnya. Wajahnya tampak lesu, tapi kali ini ia telah memutuskan untuk menelan ego dan menerima pekerjaan yang ditawarkan, meskipun hanya sebagai cleaning service. Ia memasuki gedung dengan langkah berat, berusaha menyembunyikan rasa malu. Di sisi lain, Aluna berdiri anggun di depan terminal keberangkatan bandara. Hari itu, ia dijadwalkan untuk menghadiri konferensi bisnis besar di luar negeri. Hansen dan beberapa asisten sibuk memastikan segala kebutuhan perjalanan Aluna terpenuhi. Namun, di tengah keramaian bandara, sesuatu membuat Aluna terhenti. Di kejauhan, ia melihat seorang pria tinggi dengan tubuh tegap yang sangat dikenalnya. Mata Aluna membelalak. **Kaisar?** pikirnya. Aluna tanpa pikir panjang melangkah cepat, hampir berlari. "Kaisar!" teriaknya, namun pria itu terus berjalan menuju sebuah mobil mewah yang terparkir di depan bandara. Saat Aluna berhasil mendekat, langkahnya terhenti mendadak. Ia me
Raja duduk di balik kemudi, matanya terpaku ke jalan, tetapi pikirannya melayang jauh. Wajah wanita yang tadi ia temui di bandara terus terlintas di pikirannya. Ada sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak, seolah-olah kenangan yang terkubur tentang wanita itu. Namun, setiap kali ia berusaha mengingat, pikirannya terasa buntu."Sayang, kenapa kamu melamun seperti itu?" suara lembut Ratu memecah keheningan. Wanita itu duduk di kursi penumpang dengan senyum kecil di wajahnya. Raja mengerjap dan segera menguasai dirinya. "Tidak ada. Aku hanya memikirkan pekerjaan," jawabnya sambil berusaha tersenyum tipis. Ratu memiringkan kepalanya, menatap Raja dengan rasa ingin tahu. "Benarkah? Kau terlihat seperti memikirkan sesuatu yang serius." Raja menggeleng sambil mencoba tertawa kecil. "Aku baik-baik saja, istriku. Hanya lelah, itu saja." Namun, Ratu tidak begitu saja percaya. Ia memperhatikan gerak-gerik Raja dengan seksama, tapi memutuskan untuk tidak mendesak lebih jauh. Ia tahu jik
Di kamar hotel, Aluna duduk di sofa, mengenakan piyama santai berwarna pastel. Wajahnya lelah setelah perjalanan panjang, tetapi hatinya merasa lebih tenang setelah berhasil video call dengan babysitter yang sedang menjaga Baby Alva di rumah. Di layar ponsel, Baby Alva tampak tertidur pulas di ranjang kecilnya, wajah mungilnya membuat hati Aluna menghangat. "Pastikan tidak ada yang masuk tanpa izin, terutama Betran," tegas Aluna kepada babysitter. "Kunci semua pintu, dan selalu pastikan bodyguard ada di sekitar." "Baik, Nona. Semua terkendali," jawab babysitter sambil menoleh ke arah bodyguard yang berjaga di luar kamar Baby Alva. "Kalau ada hal sekecil apa pun yang mencurigakan, segera hubungi saya atau Hansen," tambah Aluna, nada suaranya serius. Babysitter mengangguk dengan tegas. "Saya mengerti, Nona. Jangan khawatir. Baby Alva aman bersama kami." Setelah menutup panggilan, Aluna menyandarkan tubuhnya ke sofa, memandang ke luar jendela yang memperlihatkan pemandangan kot
Di sebuah rumah mewah bergaya minimalis, Ratu berdiri di balkon sambil memandang Raja yang sedang duduk di halaman belakang, sibuk dengan laptopnya.. “Raja,” panggil Ratu, berjalan mendekat. Suaranya lembut, tetapi ada nada resah di sana. Raja mengangkat kepalanya dari layar laptop, menatap wanita itu. “Ada apa, Ratu?”Ratu duduk di kursi di hadapannya, mencoba menenangkan diri. “Aku berpikir... bagaimana kalau kita kembali ke Singapura saja? Kehidupan di sana lebih tenang. Lagipula, aku merasa kau lebih cocok tinggal di tempat seperti itu.”Raja menghela napas panjang, menutup laptopnya dengan lembut. “Aku mengerti maksudmu, tapi aku tidak bisa. Proyek yang sedang aku kerjakan di sini terlalu besar. Aku harus menyelesaikannya sebelum memikirkan untuk pindah ke mana pun.”“Tapi, Raja...” Nada suara Ratu sedikit memohon. “Aku hanya ingin kau jauh dari tempat ini. Aku takut kau terjebak dengan sesuatu yang tidak baik.” “Apa maksudmu? Kenapa kau tiba-tiba khawatir seperti ini?” Raja m
Aluna turun dari mobil dengan wajah lelah. Hari ini benar-benar panjang, ditambah pikirannya masih kacau setelah berbicara dengan Kaisar. Begitu melangkah masuk ke dalam mansion, ia langsung disambut oleh babysitter yang terlihat panik. "Nyonya Aluna, Baby Alva rewel sejak tadi. Susah makan, susah minum susu juga," ujar babysitter itu cemas. Aluna mengerutkan kening. "Kenapa? Apa dia demam?" Babysitter menggeleng. "Tidak demam, tapi terus menangis. Saya sudah mencoba berbagai cara, tapi tetap saja dia menolak makan." Tanpa menunggu lebih lama, Aluna segera menuju kamar Baby Alva. Sesampainya di sana, ia melihat putranya yang masih terisak di tempat tidur. Wajahnya tampak lelah, matanya sembab karena menangis. "Sayang, Mama di sini," ujar Aluna lembut, segera mengangkat tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. Baby Alva mengusap matanya dengan tangan mungilnya, kemudian menyandarkan kepalanya ke bahu Aluna. "Ada apa, hm?" Aluna membelai rambutnya pelan. "Kenapa tidak mau maka
Aluna mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum membuka topik yang sejak tadi mengganggu pikirannya. “Kaisar, sebenarnya ada hal lain yang ingin aku bicarakan,” ujar Aluna dengan nada serius. Kaisar mengangkat alis, memusatkan perhatiannya pada Aluna. “Apa itu, Aluna?” “Perusahaanku, Chandra Grup, sedang dalam masalah.” Aluna menyerahkan laporan yang sudah ia siapkan di dalam tasnya. “Ada penurunan signifikan dalam pasar penjualan kita. Setelah diselidiki, ada kejanggalan. Tampaknya seseorang mencoba merusak reputasi perusahaan dari dalam.” Kaisar membuka laporan itu, membaca dengan seksama. Wajahnya berubah serius. “Ini bukan sekadar kejatuhan pasar biasa. Tampaknya ada sabotase.” “Itulah yang aku khawatirkan,” Aluna mengangguk. “Aku sudah meminta tim investigasi internal, tapi hasilnya nihil. Sepertinya mereka yang terlibat sangat pandai menutupi jejak.” Kaisar menatapnya dalam. “Aku akan mencoba membantu menyelidiki. Mungkin dari sisi lain, kita bisa me
Aluna duduk di kursi kerjanya dengan wajah tegang. Sudah seminggu berlalu sejak terakhir kali ia mencoba menemui Kaisar di rumah sakit, namun selalu gagal. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan, tapi tetap saja bayangan Kaisar terus muncul di kepalanya. "Asisten," panggil Aluna dengan suara tegas. Seorang wanita muda bernama Siska segera masuk ke dalam ruangannya, membawa setumpuk dokumen.Ya, sudah tiga hari ini Aluna mengganti asistennya. Asisten sebelumnya sedang cuti beberapa bulan, tugasnya ia serahkan pada Siska, sepupunya. "Ada perkembangan dari laporan yang aku minta?" tanya Aluna, menyandarkan punggungnya ke kursi. Siska mengangguk, meletakkan beberapa lembar kertas di meja. "Setelah saya dan tim melakukan penyelidikan, kami menemukan adanya kejanggalan dalam pasar." Aluna mengambil laporan itu dan mulai membacanya dengan seksama. Dahinya mengernyit. "Penjualan turun drastis di beberapa wilayah utama, terutama yang sebelumnya menjadi pasar terbesar kita
Aluna melangkah dengan cepat memasuki lobi rumah sakit, dadanya berdebar kencang. Setelah mendengar kabar bahwa Kaisar—atau sekarang dikenal sebagai Raja—sudah dipindahkan dari ICU ke ruang rawat biasa, ia tak bisa lagi menahan diri untuk menemuinya. Namun, baru saja ia hendak menuju lift, langkahnya terhenti ketika seseorang berdiri menghadangnya. “Jangan harap kau bisa menemuinya,” suara dingin Ratu menyentak telinga Aluna. Aluna menatap wanita itu dengan tajam. Ia tahu sejak awal Ratu bukan wanita sembarangan, tapi tak disangka, Ratu bisa sekejam ini. “Aku datang bukan untuk bertengkar, aku hanya ingin melihatnya,” ucap Aluna, mencoba menahan emosinya. Ratu menyilangkan tangan di dadanya. “Tidak perlu. Dia sudah punya aku. Dia tidak butuh kau lagi.” Aluna tersenyum miring. “Raja adalah Kaisar, bukan?” tanyanya tegas. Ratu mendengus. “Lalu?” “Kaisar adalah tunanganku,” lanjut Aluna, tatapannya semakin tajam. Ratu terkekeh sinis. “Benar, dia memang Kaisar. Tapi kau
Beberapa hari berlalu. Raja terbaring tak berdaya di ruang ICU rumah sakit. Meski matanya terpejam dan tubuhnya lemah, ada perasaan yang menggelora dalam dirinya. Ingatannya yang hilang perlahan kembali, seperti sepotong puzzle yang mulai tersusun. Ketika perlahan matanya terbuka, rasa sakit di kepalanya terasa amat perih. Ia mengerjapkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya yang begitu terang. Sensasi itu seolah mengingatkan dirinya pada kejadian beberapa hari lalu, kecelakaan yang menyebabkan semuanya menjadi kacau. Raja menatap langit-langit rumah sakit, mencoba mengingat dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi. Perlahan, bayangan-bayangan dalam memorinya yang hilang kini mulai muncul kembali. Sosok dirinya—Kaisar Amartha—muncul dalam pikirannya, begitu jelas dan begitu nyata. "Aku... Kaisar Amartha," gumamnya pelan, kebingungan dan kebahagiaan bercampur dalam hatinya. Namun, perasaan itu tak bisa bertahan lama. Di tengah kebingungannya, ia mendengar suara langkah kak
Raja menyetir mobilnya dengan kecepatan sedang setelah keluar dari rumah Raini. Pikirannya dipenuhi berbagai hal—tentang Aluna, Baby Alva, dan perasaannya yang semakin jelas. Ia tak menyadari sebuah truk besar di depannya tiba-tiba berhenti mendadak. “BRAK!” Benturan keras terdengar ketika mobil Raja menabrak bagian belakang truk. Kepalanya membentur setir dengan keras meskipun airbag terbuka. Darah segar mengalir di pelipisnya, tubuhnya lemas, dan kesadarannya mulai menghilang. Orang-orang di sekitar tempat kejadian segera berlari mendekat. “Panggil ambulans!” teriak seseorang. Tak lama kemudian, ambulans datang dan membawa Raja ke rumah sakit. Wajahnya penuh darah, dan kondisinya terlihat mengkhawatirkan. Saat tiba di rumah sakit, dokter langsung membawanya ke ruang operasi karena benturan di kepalanya cukup parah. *** Di ruang tunggu rumah sakit, Ratu mondar-mandir dengan wajah panik. Air matanya terus mengalir, tak bisa disembunyikan lagi. Ia menggenggam ponselnya erat
Pukul 00:30Sussana terasa sangat sunyi, dan hanya suara detak jam yang terdengar di kamar Aluna. Dia terbangun karena suara tangisan Baby Alva. Dengan cepat, Aluna bangkit dari tempat tidur dan mendekati ranjang bayi yang ada di sudut kamarnya.“Alva sayang, kenapa?” Aluna menyentuh kening bayi itu, lalu ia terkejut mendapati kening Alva terasa sangat panas. “Astaga, panas sekali…” gumamnya panik.Ia langsung mengambil termometer dari laci samping tempat tidur. Tangannya sedikit gemetar saat memasukkan ujung termometer ke bawah ketiak Baby Alva yang masih menangis.“37,9°… Ini terlalu tinggi!” Suaranya mulai bergetar. Aluna segera mengambil ponselnya, menelepon babysitter yang tidur di kamar sebelah.“ Lina, tolong ke kamar saya sekarang juga! Alva demam tinggi,” katanya cepat.Tak sampai satu menit, babysitter yang bernama Lina muncul dengan wajah cemas. “Ya ampun, Nona. Panasnya tinggi sekali, ya? Kita harus membawanya ke rumah sakit.”“Saya setuju. Tolong siapkan tas bayi dan perl
Malam itu, Mansion Aluna diterangi lampu-lampu taman yang temaram, memberikan suasana hangat meski hati Aluna terasa kacau. Ia tengah duduk di ruang keluarga, memangku Baby Alva yang tertidur lelap di pelukannya. Pandangannya terus tertuju pada wajah mungil itu, meskipun pikirannya melayang jauh. Tiba-tiba, suara bel pintu mengalihkan perhatian Aluna. Seorang pelayan datang dan membisikkan sesuatu. “Nona, Tuan Raja datang.”Jantung Aluna berdetak lebih cepat. Ia mencoba menenangkan dirinya, lalu menyerahkan Baby Alva kepada babysitter yang sudah menunggu. “Bawa Alva ke kamar, dan pastikan dia nyaman,” ucapnya.Setelah memastikan Baby Alva aman, Aluna berjalan ke ruang tamu. Di sana, Raja sudah berdiri, mengenakan setelan kasual namun tetap memancarkan wibawa. Sorot matanya langsung tertuju pada Aluna, seolah tidak ada yang lain di ruangan itu.“Tuan Raja,” sapa Aluna pelan, mencoba menjaga formalitas meskipun hatinya bergemuruh.“Aluna,” balas Raja, suaranya terdengar lebih lembut da
Pukul empat subuh, suasana di kamar terasa begitu sunyi hingga suara langkah kecil Ratu yang tergesa menuju kamar mandi terdengar jelas. Raja, yang biasanya tidur cukup lelap, langsung terbangun mendengar suara muntah dari dalam kamar mandi.“Ratu?” panggil Raja dengan nada penuh kekhawatiran. Ia bergegas menuju kamar mandi, membuka pintunya dan melihat istrinya yang terduduk lemas di lantai. Wajah Ratu pucat, keringat dingin membasahi dahinya.“Aku… mual,” gumam Ratu lemah, tangannya gemetar memegang wastafel untuk mencoba berdiri.Tanpa pikir panjang, Raja segera mengangkat tubuh Ratu dan membawanya kembali ke tempat tidur. “Tunggu di sini, aku akan panggil dokter,” kata Raja sambil meletakkan Ratu dengan hati-hati.“Tidak… tidak usah,” cegah Ratu, memegang lengan Raja dengan sisa tenaganya. “Aku tahu ini kenapa.”“Kamu tahu?” Raja mengernyit, bingung. “Maksudmu apa?”Ratu menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kekuatannya. “Aku… aku terlambat haid. Coba kamu ambil tes kehamil