Tubuh Maira menegang, langkah kakinya terhenti seketika. Hatinya semakin terbakar mendengar lagi dan lagi Alfin mengancamnya. Maira berbalik melayangkan tatapan tajam pada suaminya.
"Jangan pernah bawa-bawa orang tuaku, Mas!" desisnya dengan deru nafas memburu. Lalu segera berbalik dan melanjutkan langkahnya."Makanya jangan sok-sokan jadi nyonya disini! Tahu diri lah, dari mana kamu berasal. Wanita sepertimu memang tak pantas bersanding dengan seorang Alfin Mahendra." cibir Tania.Maira segera berlalu dan tak menghiraukan lagi apapun yang mereka ucapkan, semua cacian juga hinaan dia simpan rapat di dalam hatinya. Maira bersumpah, suatu saat nanti mereka akan mendapatkan balasan atas perbuatannya saat ini.Mengabaikan dua orang manusia yang telah mengukir luka di hatinya, Maira berusaha untuk tetap berpikir waras, dia tak mau membuat pertumbuhan janin di dalam kandungannya terganggu. Teringat tujuan awalnya tadi, Maira segera melangkah ke dapur dan mengambil makan. Ya, dia butuh makan untuk mencukupi nutrisi janinnya. Hatinya resah menatap makanan di hadapannya, Walau hati menolak karena tidak nafsu, Maira tetap menyuap makanan itu demi jabang bayi dalam kandungannya."Sehat-sehat di dalam perut Mama, ya, Sayang." Maira kembali mengelus perutnya yang masih tampak rata. Kepalanya menunduk, seolah janin dalam rahimnya bisa melihat dan mendengarkannya sedang berbicara.Tanpa Maira sadari, ada sepasang mata yang terus mengawasinya sedari tadi. Tidak jauh dari tempat Maira duduk, Tania menatap benci pada lawannya itu. Dia mendengar apa yang dikatakan oleh Maira, kilat kebencian memancar kuat dari manik coklat wanita angkuh itu. Kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya. Tania tak menyangka, janin Maira masih selamat. Itu artinya misinya untuk menyingkirkan Maira akan semakin sulit.Dengan langkah lebar-lebar Tania segera menghampiri Maira. Tangannya terulur menjambak rambut lawannya dari belakang. Maira tersentak dan hampir terjengkang. Beruntung kedua tangan Maira sigap meraih sisi meja untuk berpegangan."Apa-apaan ini! Lepaskan rambutku! Sakit!" Maira memekik, sebelah tangannya mencoba melepaskan jambakan di rambutnya."Heh, dengarkan aku baik-baik! Kalau kamu mau janinmu itu tetap hidup dan selamat, cepat pergi dari keluarga Mahendra, keluar dari rumah ini! Jangan pernah mengadu pada siapa pun! Termasuk pada Alfin," bisik Tania penuh penekanan. Bibir dengan warna merah menyala itu tampak menyeringai."Apa maksudmu?" Maira bertanya sambil meringis menahan sakit pada kulit kepalanya. Tania belum juga melepaskan tangannya dari rambut Maira."Dasar wanita udik! Kalau kamu mau janinmu selamat maka pergilah dari sini. Atau kalau tidak–," Tania tidak melanjutkan ucapannya, tiba-tiba wanita dengan pakaian ngepas di badan itu menjatuhkan tubuhnya sendiri, reflek tangan Maira berusaha memeganginya. Namun tanpa Maira sadari, dari jarak lima meter Alfin tengah berdiri dan menatapnya dengan tajam."Aduhh … sakiiiit!" pekik Tania seraya mengusap tubuh bagian belakangnya dengan begitu dramatis, bahkan wanita itu dengan sangat mudah mengeluarkan air mata."Apa yang telah kau lakukan, Maira?" Suara dingin itu menyentak kesadaran Maira. Ya, dirinya tengah dijebak. Dia telah masuk ke dalam perangkap Tania.Terbata-bata Maira berusaha menjelaskan, "a–aku hanya–,""Diam kau! Masih mau membela diri? Di depanku kau bersikap sangat lembut, tapi di belakangku … ternyata kau sangat kasar, Maira! Bahkan kau tega menyakiti sesama wanita." Alfin menuduh Maira tanpa mau mendengar penjelasan dari istrinya dulu.Maira menggeleng cepat, "tidak, Mas! Ini semua tidak seperti yang kau pikirkan. Aku bisa jelaskan, Mas!" sanggah Maira. Suaranya bergetar menahan amarah. Mata indahnya tampak kembali merebak. Dadanya naik turun dengan nafas memburu."Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Mai. Kamu mendorong Tania. Dan sekarang kamu mau mengelak?" Alfin membentak Maira. Setetes bulir bening terjatuh di pipi wanita berparas kalem itu. Kepalanya menggeleng pelan, sudah sejauh itu kah pengaruh Tania pada suaminya? Bahkan kini, pria itu tak mau lagi untuk sekedar mendengar penjelasannya. Suaminya itu telah hilang rasa percaya padanya.Sempat Maira melirik pada Tania yang masih terduduk di bawah, wanita itu tersenyum menyeringai menatap Maira. Lawannya sudah masuk dalam perangkapnya."Mas, aku tadi cuma mau mengambil air putih, aku haus tapi, tiba-tiba saja istrimu mendorongku. Dia juga mengancam ku, Mas! Katanya, kalau aku nekat menikah sama kamu, dia bakal–""Stop!" Maira mendelik menatap Tania, "mau ngomong apa lagi kamu, hah? Mau fitnah aku?" Lalu tatapannya beralih pada suaminya, "kamu harus percaya sama aku, Mas. Aku difitnah, Tania jatuh sendiri!" teriak Maira dengan nafas terengah-engah. Dia tidak terima Tania terus memfitnahnya."Nggak, Mas! Dia bohong! Kamu percaya sama aku, kan, Mas?" sanggahTania dengan mimik wajah dibuat memelas. Alfin segera mengulurkan tangan membantu Tania untuk berdiri.Tatapan dingin dan menusuk Alfin layangkan pada Maira. "Ternyata aku sudah salah menilaimu, Mai! Selain kasar kamu juga bermuka dua, udah jelas salah masih saja mengelak. Awas, ya! Sekali lagi aku lihat kamu menyakiti Tania, aku tidak segan-segan untuk mengusirmu dari sini!"Maira menggeleng, "t-tapi, Mas–""Diam!" Alfin kembali membentak, hancur sudah pertahanan Maira. Kehadiran Tania benar-benar telah menghancurkan rumah tangganya. Susah payah Maira membangun perasaan sayang dan cinta pada suaminya, namun kini nampaknya semua sia-sia saja. Rasa cinta itu melebur layaknya debu yang beterbangan diterpa angin.Terisak sendirian tanpa ada yang peduli, dua manusia yang telah mengukir luka di hatinya itu pergi meninggalkannya sendiri, meninggalkan luka yang begitu dalam di hati Maira. Tidak! Dia tidak boleh menyerah, dia harus bertahan demi anak yang tengah dikandungnya.Mengusap lelehan air mata dengan pelan, Maira meneguhkan kembali hatinya yang telah hancur, dia harus bertahan. Dia tak boleh kalah dengan wanita tak punya harga diri itu. Bagaimanapun, kebenaran harus dia menangkan.**********"Kamu nggak papa, kan, Sayang?" Alfin bertanya pada Tania, sorot matanya menyiratkan sebuah kekhawatiran yang begitu besar. Tangan besar pria itu terulur menggosok punggung pujaan hatinya.Tania tersenyum semanis mungkin, "nggak papa, kok, Mas. Cuma pinggang aja yang sedikit sakit." Tania mengeluh seraya menggosok pinggangnya sendiri."Yaudah, aku pijitin mau?" Tawar Alfin.Tania mengulum senyumnya. Ya, ini kesempatan bagus untuk menjerat Alfin lebih jauh. Malu-malu wanita itu mengangguk."Yaudah, ke kamar tamu aja, yuk." Mereka pun gegas melangkah menuju kamar tamu, sebuah ruangan yang sebenarnya hanya diperuntukkan untuk keluarga yang datang menginap.Alfin terperanjat ketika tiba-tiba saja Tania memeluknya dari belakang, tangan yang tadi akan menutup pintu menjadi urung seketika. H4srat kelelakiannya terpancing, dia berbalik dan membalas mendekap tubuh Tania. Menghirup aroma tubuh yang telah lama dia dambakan. Melupakan Maira yang dua tahun terakhir telah mewarnai hari-harinya.Dari saling mendekap, perlahan dua insan itu mulai hanyut dan saling menc3cap, deburan h4srat yang begitu menghentak membuat Alfin lupa diri. Pria itu membaringkan tubuh Tania di atas ranjang, lalu kembali saling mendekap dan menc3cap. Layaknya pasangan halal yang saling mendamba, mereka benar-benar telah lupa diri.Tanpa mereka sadari, sepasang mata bulat Maira tengah menatap mereka dengan pandangan nanar. Mengintip lewat celah pintu yang tidak tertutup dengan sempurna. Sekuat hati Maira menahan diri untuk tidak limbung. Hancur sudah harapannya, rumah tangganya benar-benar sudah di ujung tanduk. Rasanya dia sudah tidak bisa lagi untuk bertahan lebih lama.Dia menggeleng keras, batinnya terus berperang. Di satu sisi, dia mengatakan harus mundur demi menjaga kewarasannya, namun disisi lain dia juga takut seandainya benar-benar berpisah dengan suaminya, apa yang harus dia katakan pada kedua orang tuanya. Tidak tega rasanya untuk berbicara jujur. Maira takut melukai perasaan mereka jika tahu Alfin telah mengkhianati kepercayaan mereka. Kepercayaan seorang Ayah dan Ibu, yang telah menyerahkan putrinya untuk dijaga dan disayangi kepada seorang pria yang bergelar suami.Perlahan Maira melangkah mundur, dia tak sanggup untuk melihat lebih lama aksi suami bersama mantan tunangannya itu. Namun s1al, sebelah kakinya menyenggol pot bunga yang berada di sampingnya.Bruakk ….Tubuh Maira menegang, dengan tangan gemetar, dia kembalikan posisi pot itu sebelum Alfin menyadari keberadaannya yang tengah mengintip aktivitasnya.Bersamaan dengan itu suara derap langkah kaki kian terdengar mendekat. Maira semakin gugup. Dengan cepat dia segera melangkah menjauh dari kamar tamu."Berhenti Maira!""Berhenti Maira!" Langkah Maira terhenti, tubuhnya terasa gemetar saat suara Alfin menggelegar menerobos masuk gendang telinganya. Dia berbalik dan melihat sesosok pria jangkung telah menyembul dari balik pintu. Sesaat pandangan mereka saling bertemu. Tak sanggup lagi menatap manik suaminya lebih lama, Maira segera menundukkan kepalanya."Apa yang sedang kamu lakukan disini, Mai?" Suara yang begitu dingin menembus indera pendengaran Maira. Wanita berwajah kalem itu menggeleng pelan, "nggak ada, Mas. Aku hanya tak sengaja menyenggol pot bunga itu saat lewat." jelasnya sambil menunjuk sebuah pot bunga yang tampak sedikit berantakan. Alfin mengikuti arah telunjuk Maira, kemudian menatap kembali istrinya dengan tatapan penuh intimidasi. Sorot mata tak bersahabat terus menghujam, seolah mampu membaca kebohongan Maira. Pria itu tak lekas menjawab. Matanya memicing penuh selidik."Jangan bohong! Apa yang sedang kamu lakukan disini, Mai?" Lagi, pertanyaan penuh intimidasi dia layangkan pada
Bab 8."Bu, Ibu baik-baik saja?" Seperti baru tersadar dari lamunan, Maira tersenyum kikuk menatap Dokter Rendi. "Ah, ya. Saya baik-baik saja, Dok," jawab Maira lugas. Dokter Rendi mengulas senyum tipis. "Baiklah, saya permisi dulu, Dok. Terima kasih atas sarannya," ucap Maira sungkan."Sama-sama, Bu." balas Dokter Rendi.*******Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Maira terus diliputi kegelisahan. Cintanya pada Alfin memang semakin terkikis habis, tapi jika dia berpisah, Maira bingung harus pergi kemana. Dia tak ingin pulang ke rumah orang tuanya untuk sementara waktu. Maira terlalu takut membuat hati orang tuanya kecewa.Dia tak sanggup membayangkan wajah-wajah bahagia kedua orang tuanya harus sirna karena dia bercerai dari Alfin. Wanita berparas teduh itu memijat pelan pelipisnya. Menghela nafas lalu kembali mengeluarkannya. Sampai suara sopir taksi yang tengah dia tumpangi menyadarkannya dari lamunan."Sudah sampai, Mbak." Sopir taksi menoleh pada Maira."Oh, iya, Pak. Terima k
Pukul lima sore, sebuah mobil Pajero sport berwarna hitam, masuk ke dalam pekarangan rumah yang tengah dihuni oleh Maira.Seorang lelaki jangkung dengan setelan celana bahan berwarna hitam serta atasan kemeja berwarna biru muda terlihat turun dari mobil, dengan langkah lebar-lebar lelaki itu segera masuk ke dalam rumah. "Maira!" teriaknya saat sudah berada di ruang tamu.Suasana rumah tampak lenggang. Alfin segera melangkahkan kakinya menuju ke dapur, tempat dimana biasanya sang istri sedang memasak menyiapkan makan malam.Langkahnya terhenti, di dapur kosong, tidak terlihat siapa-siapa. Lelaki itu segera berbalik badan dan melangkah menuju kamarnya. Dengan tergesa dia menaiki anak tangga, karena kamarnya terletak di lantai dua.Tepat saat Alfin berada di depan pintu kamar, seseorang dari dalam membuka pintu tersebut. Sejenak netra mereka saling bertemu. Nafas Alfin semakin memburu menatap nyalang sosok di depannya."Kamu kenapa, Mas?" tanya Maira dengan dahi mengernyit, perasaan w
"Astaghfirullah," pekiknya, tubuh Bu Sofia limbung dengan tangan memegangi dadanya. Pak Mahendra yang duduk di sampingnya begitu panik dan segera memegangi sang istri."Ma, Mama kenapa?" tanya Pak Mahendra dengan raut cemas."I–ini, nggak mungkin, kan, Pa? Maira anak baik-baik. M–mama nggak percaya Maira melakukan hal serendah itu," ucap Bu Sofia terbata-bata. Pak Mahendra segera meraih kertas foto yang dipegang oleh istrinya. Tangannya tampak gemetar dengan rahang yang mulai mengetat. Netranya memerah menatap tajam pada Tania. "Apa maksud kamu memberikan foto ini? Kamu pikir saya akan percaya begitu saja? Saya bukan orang bodoh Tania!" Pak Mahendra menatap nyalang Tania.Netra Tania melebar mendengar ucapan Pak Mahendra, wanita muda dengan riasan tebal itu, tampak tak gentar oleh gertakan pria paruh baya itu. Bukannya takut wanita itu malah tersenyum meremehkan."Tapi aku punya bukti lain, Om. Tidak hanya foto-foto itu saja. Apa Om mau melihatnya juga?" sangkalnya, kemudian tangan
"Kamu!" ucap seseorang yang tak sengaja di tabrak oleh Maira. Raut wajahnya tampak terkejut."Dokter Rendi!" Maira tak kalah terkejut, bertemu dengan dokter kandungan langganannya di rumah sakit yang lain. "Ah, iya … maafkan saya Dokter, saya nggak sengaja menabrak, nggak lihat tadi," ucap Maira menahan malu, dengan kepala kembali menunduk.Seseorang di depan Maira tampak mengulum senyumnya, "Ah, iya nggak apa-apa. Ini Bu Maira kan? Sedang apa di sini, Bu? Apakah ada keluarga Ibu yang sedang sakit? Atau–," Dokter Rendi tak melanjutkan kalimatnya. Maira dengan cepat segera menyahut."Mantan Ibu mertua saya sedang dirawat di sini, Dok. Makanya saya berada di sini." sahut Maira cepat.Dokter Rendi tampak mengernyitkan dahinya. Gurat keheranan tampak jelas di wajahnya yang tampan."Mantan mertua ya? Memangnya sudah berapa kali Bu Maira menikah?" Sebuah pertanyaan konyol tiba-tiba saja keluar dari mulut dokter itu. Sadar dengan pertanyaannya yang tidak pantas dia segera mengoreksinya."
Maira terlihat salah tingkah ketika Dokter Rendi semakin mendekat berjalan ke arahnya."Dokter Rendi, Dokter sedang apa di sini? Apa Dokter juga sedang mencari rumah kontrakan?" tanya Maira polos. Rendi mengulas senyumnya."Tidak, Bu. Saya yang punya rumah ini," terang Rendi, "Bu Maira sendiri sedang apa di sini?" Maira melebarkan netranya dan menjadi salah tingkah. Rendi terus saja memperhatikannya."Oh, jadi ini rumahnya, Dokter? S–saya mau mengontrak di sini, Dok," ucap Maira gugup dan menundukkan kepalanya.Gurat keterkejutan terlihat jelas pada wajah tampan Rendi. Detik berikutnya dia segera menormalkan kembali ekspresinya. Berbagai spekulasi buruk berkecamuk di dalam benaknya."Bu, Maira mau mengontrak rumah saya? Sama siapa, Bu?" Rendi kembali bertanya untuk memastikan.Maira kembali menunduk dalam, "saya sendiri, Dok."Alis Rendi terlihat naik sebelah, dengan dahi yang berkerut dalam, "hanya sendiri? Suami Ibu kemana?" Maira mendongak menatap dokter berwajah tampan di depann
Brakk ….Maira terjingkat saat tiba-tiba terdengar suara benda pecah dari arah belakang. Sontak saja dia menoleh, dan tambah terkejut lagi saat netranya melihat ke arah belakang, sebuah pot bunga telah pecah, tanah dan bunganya berhamburan kemana-mana. Menoleh ke kanan dan ke kiri tidak ada satupun orang yang melintas. Sedikit merasa takut, Maira melangkah pelan menuju pot yang sudah pecah berserakan itu. Perasaan gelisah seketika menyusup dalam hati wanita berparas teduh itu. Netranya menatap awas ke sekeliling. "Siapa sih, yang iseng lempar-lempar pot begini? Kurang kerjaan banget!" gumam Maira kesal, Tanganya masih sibuk memunguti pecahan pot yang sudah hancur itu.Maira segera kembali ke dalam rumah setelah selesai membersihkan pecahan pot yang berhamburan itu. Perasaan was-was tengah menyelimuti hatinya, seperti ada orang yang tengah mengawasinya. Dia segera mengunci pintu dari dalam, dan mulai membersihkan area kamar terlebih dahulu agar bisa segera digunakan untuk istirahat.
Pukul 08.00 pagi, di sebuah kamar VIP rumah sakit, Pak Mahendra dengan setia menemani sang istri yang masih tergolek lemah di atas ranjang pasien. Wanita paruh baya yang tak lain adalah Bu Sofia itu masih enggan untuk membuka matanya. "Maira …"Pak Mahendra tersentak saat istrinya menyebutkan satu nama yang sangat dibenci olehnya saat ini. Perlahan jemari tangan istrinya bergerak-gerak, seiring dengan kelopak mata yang mulai bergerak dan terbuka perlahan. Hati pak Mahendra lega seketika. Pria paruh baya itu mengucap syukur berkali-kali kepada Tuhan."Ma, Mama sudah sadar?" ucap Pak Mahendra penuh haru, netranya merebak, bulir bening mulai mendesak untuk keluar dari singgasananya.Sofia memijit pelan pelipisnya, "dimana Maira, Pa?" ujarnya seraya menatap ke sekitarnya.Mahendra menghela nafas panjang, dia menyesalkan kenapa sang istri justru mencari Maira–seseorang yang telah membuatnya jatuh sakit."Papa panggilkan dokter dulu ya, Ma. Mama baru sadar dari koma, jangan memikirkan hal
Daniel tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya, saat mendengar papanya menyambut kedatangannya sangat antusias. Pria muda dengan pakaian sederhana itu menunduk lalu berbisik di dekat telinga Tiara. “Itu Kakek. Ayo, Salim dulu sama Kakek,” pintanya, Tiara langsung mengangguk dengan senyum tak pernah pudar dari bibirnya. Gadis kecil itu sedikit berlari menghampiri ranjang pasien, di mana Pak Gunawan tengah menatap mereka dengan wajah berseri-seri.“Siapa namanya, Cantik?” Pak Gunawan meraih wajah Tiara dengan satu tangan. Mata tuanya menatap lekat wajah gadis kecil berkuncir dua itu. “Namaku Tiara, Kek,” balas Tiara dengan wajah polos. Pak Gunawan terkikik mendengar kata sapaan gadis kecil itu padanya. “Apa papamu yang mengajari kamu memanggil Opa dengan sebutan ‘kakek’?” tanya Pak Gunawan, masih menatap wajah cantik cucu pertamanya. Gadis kecil itu mengangguk. “Iya, Kek.” Lalu, Pak Gunawan menatap anak dan menantunya yang berdiri sedikit jauh dari ranjang. Ia juga melihat bagaim
“Tunggu, Daniel!” Suara papanya yang serak dan lemah berhasil membuat langkah Daniel terhenti. “Tidakkah kamu kangen dengan Papa?” tanya Pak Gunawan dengan raut sedihnya.Dia tahu telah bersalah. Tidak seharusnya dia membuang putranya sendiri hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya masih bisa dimaafkan. Sejatinya, manusia tidak ada yang luput dari dosa, begitu juga dengan Daniel yang pernah berbuat salah. Namun, tuntutan kehormatan yang harus selalu terjaga membuatnya menutup mata saat itu. Daniel menoleh dan tersenyum tipis. “Aku sudah menemukan keluarga baru yang benar-benar menerimaku apa adanya, Pa,” ujarnya. Seolah kembali menegaskan dia sudah tidak butuh pengakuan dari papanya. Pak Gunawan manggut-manggut masih dengan ekspresi sedih. “Syukurlah, Papa senang mendengarnya. Mungkin … sekarang kamu yang malu memiliki seorang Papa narapidana.”Daniel mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu tidak akan berpengaruh dalam kehidupan keluargaku, Pa.” Sakit, pedih. Lagi-lagi perka
Seberapa besarnya dendam Daniel pada papanya, jika sudah menyinggung tentang kondisi kesehatan sang papa hatinya tersentuh juga. Namun, lagi-lagi egonya kembali menguasai. Bagaimana kalau papanya belum menerima dirinya kembali? Juga … apakah hatinya sudah baik-baik saja?“Kamu benar-benar mau melihat Papa kalau sudah nggak bernyawa?” sengit Adrian, menatap jengkel ke arah Daniel yang berdiri kaku di ambang pintu tanpa ekspresi khawatir sedikitpun.“Mas.” Tania baru saja kembali ke depan setelah mendengar suara Adrian yang cukup keras. Wanita itu meraih lengan Daniel dan mengusap pelan.“Ikut saja, Mas. Kamu beruntung masih memiliki orang tua. Jangan sampai menyesal seperti aku. Aku bahkan tidak sempat membahagiakan orang tuaku hingga ajal mereka menjemput.” Mata Tania berkaca-kaca saat mengatakan hal itu membuat Daniel kembali berpikir.Benar. Yang namanya kehilangan selalu membuat penyesalan yang tiada ujungnya. Daniel mengangguk sementara Adrian melihatnya sudah sangat geram. Masih
Seperti pagi menjelang siang saat itu. Adrian baru saja sampai di gedung rumah sakit. Sedikit berlari pria itu mencari lift yang akan mengantarkannya ke lantai tiga. Di mana ruangan meeting para direksi berada.Melirik sisi lift yang mengkilap bagai kaca. Adrian lalu memperhatikan penampilannya sendiri. Bibirnya mencebik kesal menyadari kemejanya sedikit berantakan di bagian pinggang. “Gini amat ribetnya jadi pemimpin rumah sakit,” gerutunya sambil merapikan kemejanya yang masuk ke bagian celana. Lift berdenting, Adrian segera keluar dan berjalan tergesa menuju ruangan meeting. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum membuka pintu besar yang di dalamnya telah berkumpul beberapa orang penting.“Selamat pagi semuanya,” sapa Adrian begitu kepalanya muncul dari balik pintu dan sapaan itu otomatis membuat seisi ruangan memusatkan perhatian padanya. Adrian tersenyum berwibawa.Seperti biasa beberapa orang yang memang tidak suka padanya akan melirik sinis sambil komat-kamit tidak
Hampir tujuh tahun sudah berlalu. Rupanya, sakit hati yang telah Pak Gunawan tancapkan di hati Daniel tak pernah memudar sama sekali. Bukan pria itu tak mau mencoba memaafkan, namun ingatannya selalu menolak lupa dengan bagaimana arogannya sang papa ketika itu. Daniel selalu terjebak dalam rasa sakit yang sangat dalam. Keluarganya sendiri yang telah membuatnya kehilangan harga diri hingga hancur. Ia telah kehilangan banyak hal dalam rentang waktu yang berdekatan. Kehilangan keluarga, cinta, juga kepercayaan.Beberapa menit berselang, Tania kembali ke kamar membawa kabar yang cukup mengusik ketenangan dalam sudut hatinya.“Mas, Pak Adrian bilang kondisi Kak Mita semakin parah. Kamu nggak mau melihatnya barang sebentar saja?” Tania mengusap lengannya dengan lembut. Daniel terdiam cukup lama, batinnya sedang berperang. Apakah ini sudah saatnya ia berdamai dengan keluarganya?“Mas, setidaknya bicaralah sendiri sama Pak Adrian. Aku nggak enak kalau kamu menghindar begini,” keluh Tania, la
Nasib Mita ….“Apa nggak ada cara lain lagi, Dok? Saya nggak mungkin terus menerus meminta Dokter Rendi mengunjungi pasien.” Adrian terduduk lemas di depan dokter kejiwaan yang memiliki paras tenang itu. “Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.” Dokter itu menatap lawan bicaranya serius. “Berbagai macam obat-obatan telah masuk ke tubuhnya. Saya khawatir kesehatannya semakin menurun. Berat badannya saja sudah turun sebanyak sepuluh kilogram dari awal dia masuk ke sini.”Adrian terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh dokter. Entah apa yang harus ia lakukan lagi demi menyembuhkan kondisi mental Mita. Pagi itu, Adrian memaksa dokter untuk mengizinkannya masuk ke ruangan Mita di rawat.“Saya izinkan dengan satu syarat.”“Apa, Dok?” “Anda tidak boleh menuntut apa-apa pada pihak rumah sakit jiwa jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda sendiri.”“Oke, saya setuju,” sahut Adrian, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin mendekati Mita lalu mengajak
Daniel terdiam, ada keraguan dalam hatinya.“Aku pikir kalian pernah ada sesuatu. Tadi aku lihat kamu gugup banget waktu pertama kali Bu Maira mendekat,” ujar Daniel, matanya tidak fokus melihat acara televisi sebab pikirannya sedang berkelana dengan berbagai kemungkinan yang ia yakini sendiri.“Kamu nggak bohong, kan?” Tiba-tiba Daniel memiringkan wajahnya, menatap Tania yang bersandar di bahunya.“Enggak, kok, Mas,” dusta Tania. Daniel manggut-manggut meskipun hatinya merasa ada yang janggal. Bertanya lebih detail pada Tania sepertinya hanya akan membuatnya bertengkar lagi. Daniel diam dan memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya telah terjadi. satu rencana sudah ia susun dalam kepalanya.***“Apa rencanamu selanjutnya, Mas?” Maira bertanya seraya mengusap-usap kepala suaminya yang berada di pangkuannya. Mereka tengah menikmati semilir angin sore di balkon kamar yang di bawahnya ada taman bunga yang berisi koleksi bonsai mahal.“Seperti rencana semula. Setelah ini M
Meskipun cukup lama tidak berjumpa, Maira merasa pernah mengenal sosok istri Daniel. Pelan-pelan kakinya melangkah mendekati perempuan yang sebagian wajahnya tertutup rambut hitam nan lurus sebahu.Tania beringsut mundur membuat Maira mengerutkan keningnya. “Mbak?” Maira justru semakin mendekatinya. “Nia,” panggil Daniel, memutar tubuh dan mendekati istrinya. “Ini Bu Maira, istrinya Pak Rendi. Pemilik butik ini,” lanjutnya, meraih tangan istrinya dengan sedikit memaksa. Ada rasa tak enak hati ketika istrinya seperti enggan berkenalan dengan Maira.Daniel semakin memepet tubuh istrinya. “Nia, jangan buat aku malu,” bisik Daniel tajam tepat di telinga istrinya. Semakin terdesak, sambil menahan rasa malu dan juga minder luar biasa, Tania akhirnya pasrah mengangkat wajah. Tubuhnya gemetar saat manik matanya langsung beradu pandang dengan Maira. Maira mundur selangkah, menutup mulutnya sendiri, kaget. Matanya membulat, tak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan perempuan yang per
Daniel mencoba berjalan dengan percaya diri walaupun pakaian yang ia kenakan jauh dari merk mahal. Sedikit aneh memang. Di acara cukup besar seperti itu, dia nekat memakai pakaian apa adanya. Undangan dari Rendi yang cukup spesial membuatnya mau tak mau harus menghadiri acara peresmian butik itu. Tak ada pekerja kasar lain yang diundang, hanya dirinya. Mungkin itu karena Rendi telah mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Namun sebenarnya, Daniel tak peduli tentang itu. Ia datang ke acara peresmian butik itu lebih karena rasa berterima kasihnya pada Rendi dan Maira. Rencananya, ia akan diangkat menjadi karyawan yang mengurus barang keluar masuk di sana. Ketangkasan Daniel dalam berhitung dan juga kecerdasan berpikirnya membuat Rendi dan Maira tak berpikir lebih banyak untuk memberikan pekerjaan padanya. “Selamat pagi, Pak, Bu.” Daniel sedikit membungkukkan badan ketika tiba di hadapan Rendi dan Maira. Pria itu memasang senyum sewajarnya.Seketika, sekumpulan keluarga besar itu ter