Maira terlihat salah tingkah ketika Dokter Rendi semakin mendekat berjalan ke arahnya."Dokter Rendi, Dokter sedang apa di sini? Apa Dokter juga sedang mencari rumah kontrakan?" tanya Maira polos. Rendi mengulas senyumnya."Tidak, Bu. Saya yang punya rumah ini," terang Rendi, "Bu Maira sendiri sedang apa di sini?" Maira melebarkan netranya dan menjadi salah tingkah. Rendi terus saja memperhatikannya."Oh, jadi ini rumahnya, Dokter? S–saya mau mengontrak di sini, Dok," ucap Maira gugup dan menundukkan kepalanya.Gurat keterkejutan terlihat jelas pada wajah tampan Rendi. Detik berikutnya dia segera menormalkan kembali ekspresinya. Berbagai spekulasi buruk berkecamuk di dalam benaknya."Bu, Maira mau mengontrak rumah saya? Sama siapa, Bu?" Rendi kembali bertanya untuk memastikan.Maira kembali menunduk dalam, "saya sendiri, Dok."Alis Rendi terlihat naik sebelah, dengan dahi yang berkerut dalam, "hanya sendiri? Suami Ibu kemana?" Maira mendongak menatap dokter berwajah tampan di depann
Brakk ….Maira terjingkat saat tiba-tiba terdengar suara benda pecah dari arah belakang. Sontak saja dia menoleh, dan tambah terkejut lagi saat netranya melihat ke arah belakang, sebuah pot bunga telah pecah, tanah dan bunganya berhamburan kemana-mana. Menoleh ke kanan dan ke kiri tidak ada satupun orang yang melintas. Sedikit merasa takut, Maira melangkah pelan menuju pot yang sudah pecah berserakan itu. Perasaan gelisah seketika menyusup dalam hati wanita berparas teduh itu. Netranya menatap awas ke sekeliling. "Siapa sih, yang iseng lempar-lempar pot begini? Kurang kerjaan banget!" gumam Maira kesal, Tanganya masih sibuk memunguti pecahan pot yang sudah hancur itu.Maira segera kembali ke dalam rumah setelah selesai membersihkan pecahan pot yang berhamburan itu. Perasaan was-was tengah menyelimuti hatinya, seperti ada orang yang tengah mengawasinya. Dia segera mengunci pintu dari dalam, dan mulai membersihkan area kamar terlebih dahulu agar bisa segera digunakan untuk istirahat.
Pukul 08.00 pagi, di sebuah kamar VIP rumah sakit, Pak Mahendra dengan setia menemani sang istri yang masih tergolek lemah di atas ranjang pasien. Wanita paruh baya yang tak lain adalah Bu Sofia itu masih enggan untuk membuka matanya. "Maira …"Pak Mahendra tersentak saat istrinya menyebutkan satu nama yang sangat dibenci olehnya saat ini. Perlahan jemari tangan istrinya bergerak-gerak, seiring dengan kelopak mata yang mulai bergerak dan terbuka perlahan. Hati pak Mahendra lega seketika. Pria paruh baya itu mengucap syukur berkali-kali kepada Tuhan."Ma, Mama sudah sadar?" ucap Pak Mahendra penuh haru, netranya merebak, bulir bening mulai mendesak untuk keluar dari singgasananya.Sofia memijit pelan pelipisnya, "dimana Maira, Pa?" ujarnya seraya menatap ke sekitarnya.Mahendra menghela nafas panjang, dia menyesalkan kenapa sang istri justru mencari Maira–seseorang yang telah membuatnya jatuh sakit."Papa panggilkan dokter dulu ya, Ma. Mama baru sadar dari koma, jangan memikirkan hal
"Posternya sudah dipasang, Ma. Rendi pamit dulu, ya," ucap Rendi seraya menghampiri sang mama di ruangannya. Sebuah ruangan berukuran cukup besar, yang dibuat khusus untuk mengerjakan desain-desain busana yang tengah dirancang.Rani–Mama Rendi, mendongak dan meletakkan bolpoin yang sedang dia pegang. Seulas senyum manis dia suguhkan untuk putra kesayangannya–Rendi Prayoga."Makasih ya, Sayang." Rani beranjak berdiri dan menghampiri putranya."Mau langsung pulang ke rumah?" tanyanya."Iya, Ma. Kebetulan dapat jadwal praktek siang," balas Rendi.Rani menatap lekat putra kesayangannya, "anak Mama sibuk terus rupanya." Tangan wanita itu terulur mengusap lembut pipi sang putra."Ma … Rendi bukan anak kecil lagi." Rendi merengek sambil melepaskan tangan mamanya dari pipi, namun tak mengurangi rasa hormatnya pada sang mama.Bukan risih atau apa, hanya saja Rendi takut kalau-kalau ada yang tiba-tiba masuk dan melihat adegan itu, bisa hancur harga dirinya karena dianggap anak Mama. Padahal usi
"Papa tenang saja, Tania yakin Alfin tidak akan bisa lepas dari Tania. Secara Tania kan cinta pertamanya, tidak mungkin Alfin melupakanku begitu saja. Terbukti kan? Dia lebih memilih membelaku daripada istri udiknya itu," balas Tania dan disambut tawa oleh papa dan mamanya.Sinta mengangguk antusias, "anak Mama memang hebat!" Wanita paruh baya itu mengacungkan dua jempolnya di depan Tania.***********Satu minggu telah berlalu, saat ini kondisi Bu Sofia sudah lebih baik. Dia juga sudah diizinkan untuk pulang. Namun masih harus kontrol kembali untuk beberapa waktu kedepan.Pagi ini, Pak Mahendra telah bersiap kembali mengurus kantornya yang beberapa hari dia tinggalkan.Hari ini, Pak Mahendra juga berencana untuk memecat ayah Maira dari kantornya. Pak Mahendra benar-benar sudah tidak mau berhubungan dengan keluarga Maira lagi.Begitu juga dengan Alfin, dia juga akan mengajukan gugatan cerai di pengadilan agama, dia ingin memulai hidup baru tanpa bayang-bayang Maira lagi. Saat ini Alf
"Sudah cukup! Hentikan!" Gerakan tangan Pak Cahyo terhenti seketika. Dia menoleh ke arah sumber suara, dengan nafas yang masih memburu.Disana Pak Mahendra berdiri menatap tajam Pak Cahyo. Tak ingin melewatkan kesempatan itu, Alfin pun segera melepaskan paksa dirinya dari Pak Cahyo."Jangan pernah sentuh putraku atau kau akan kujebloskan ke dalam penjara! Sekalian saja dengan putrimu itu, aku yakin jika video asusilanya sampai diketahui aparat maka akan mudah untuk menjebloskannya ke penjara. Jika kamu mau, kalian bisa reuni di dalam penjara," ancam Pak Mahendra, seringai jahat terlihat di wajahnya yang mulai dihiasi keriput.Pak Cahyo semakin murka, dengan lantang dia kembali berujar, "itu tidak akan pernah terjadi! Justru sebaliknya aku akan melaporkan kalian atas kasus pencemaran nama baik. Aku akan mencari bukti bahwa putriku tidak bersalah." Tania mulai terlihat tidak nyaman dan gelisah, namun sebisa mungkin dia tetap tenang di depan mereka. Wanita itu memasang ekspresi wajah d
"Masih berani nunjukkin muka ya, kamu? Bener-bener mental baja. Nggak tahu malu! Kalau aku jadi kamu, udah nggak berani keluar kemana-mana," ucap seseorang yang tiba-tiba datang, dan berdiri di samping tempat duduk Maira.Mendengar suaranya saja, Maira sudah tahu siapa orang yang tengah menyindirnya itu.Maira menoleh dan mendongak, tak ada reaksi terkejut sama sekali. Kemudian Maira memilih untuk mengabaikannya dan melanjutkan makan.Begitu juga dengan Bu Rani, awalnya dia sedikit terkejut, namun melihat Maira biasa saja. Bu Rani pun ikut mengabaikan kehadiran perempuan yang baginya masih asing itu.Merasa diabaikan Tania menjadi geram sendiri, perempuan itu berdecak kesal, seraya menghentakan kakinya."Eh, kamu budek, ya? Nggak dengar aku ngomong?" Tangannya terulur mendorong bahu Maira.Sontak saja Maira tersedak oleh makanannya, buru-buru dia mengambil air minum di depannya.Bu Rani mendelik menatap tak suka pada Tania. "Nggak sopan banget, sih! Datang-datang gangguin orang lain.
"A–apa, Bu? T–tapi kan aku malu kalau harus berpasangan dengan Dokter Rendi," ujar Maira gugup setengah mati. Bagaimana bisa dia harus berpasangan dengan Dokter Rendi, berada satu ruangan dengannya saja Maira merasa segan. Maira merasa tidak pantas untuk dekat-dekat dengan lelaki tampan itu. Apalagi dengan statusnya sebagai seorang janda, rasanya semakin tinggi saja benteng pemisah di antara mereka.Bu Rani tersenyum penuh arti, "nggak apa-apa, Mai. Kenapa harus malu? Toh, kalian sudah saling kenal 'kan?" sanggah Bu Rani. Wanita paruh baya itu bersikeras membujuk Maira.Maira menggeleng pelan."Saya merasa nggak pantas saja, Bu," ujar Maira, kemudian kepalanya tertunduk lesu.Bu Rani mendekat dan merangkul pundak Maira, "hei! Apanya yang tidak pantas? Justru ini kesempatan kamu untuk membuktikan pada orang-orang yang telah menghinamu, bahwa kamu bisa tanpa mereka. Kamu bisa sukses di bawah kakimu sendiri."Perempuan berparas teduh itu mengangkat kepalanya, dia tampak terdiam dan berf
Daniel tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya, saat mendengar papanya menyambut kedatangannya sangat antusias. Pria muda dengan pakaian sederhana itu menunduk lalu berbisik di dekat telinga Tiara. “Itu Kakek. Ayo, Salim dulu sama Kakek,” pintanya, Tiara langsung mengangguk dengan senyum tak pernah pudar dari bibirnya. Gadis kecil itu sedikit berlari menghampiri ranjang pasien, di mana Pak Gunawan tengah menatap mereka dengan wajah berseri-seri.“Siapa namanya, Cantik?” Pak Gunawan meraih wajah Tiara dengan satu tangan. Mata tuanya menatap lekat wajah gadis kecil berkuncir dua itu. “Namaku Tiara, Kek,” balas Tiara dengan wajah polos. Pak Gunawan terkikik mendengar kata sapaan gadis kecil itu padanya. “Apa papamu yang mengajari kamu memanggil Opa dengan sebutan ‘kakek’?” tanya Pak Gunawan, masih menatap wajah cantik cucu pertamanya. Gadis kecil itu mengangguk. “Iya, Kek.” Lalu, Pak Gunawan menatap anak dan menantunya yang berdiri sedikit jauh dari ranjang. Ia juga melihat bagaim
“Tunggu, Daniel!” Suara papanya yang serak dan lemah berhasil membuat langkah Daniel terhenti. “Tidakkah kamu kangen dengan Papa?” tanya Pak Gunawan dengan raut sedihnya.Dia tahu telah bersalah. Tidak seharusnya dia membuang putranya sendiri hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya masih bisa dimaafkan. Sejatinya, manusia tidak ada yang luput dari dosa, begitu juga dengan Daniel yang pernah berbuat salah. Namun, tuntutan kehormatan yang harus selalu terjaga membuatnya menutup mata saat itu. Daniel menoleh dan tersenyum tipis. “Aku sudah menemukan keluarga baru yang benar-benar menerimaku apa adanya, Pa,” ujarnya. Seolah kembali menegaskan dia sudah tidak butuh pengakuan dari papanya. Pak Gunawan manggut-manggut masih dengan ekspresi sedih. “Syukurlah, Papa senang mendengarnya. Mungkin … sekarang kamu yang malu memiliki seorang Papa narapidana.”Daniel mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu tidak akan berpengaruh dalam kehidupan keluargaku, Pa.” Sakit, pedih. Lagi-lagi perka
Seberapa besarnya dendam Daniel pada papanya, jika sudah menyinggung tentang kondisi kesehatan sang papa hatinya tersentuh juga. Namun, lagi-lagi egonya kembali menguasai. Bagaimana kalau papanya belum menerima dirinya kembali? Juga … apakah hatinya sudah baik-baik saja?“Kamu benar-benar mau melihat Papa kalau sudah nggak bernyawa?” sengit Adrian, menatap jengkel ke arah Daniel yang berdiri kaku di ambang pintu tanpa ekspresi khawatir sedikitpun.“Mas.” Tania baru saja kembali ke depan setelah mendengar suara Adrian yang cukup keras. Wanita itu meraih lengan Daniel dan mengusap pelan.“Ikut saja, Mas. Kamu beruntung masih memiliki orang tua. Jangan sampai menyesal seperti aku. Aku bahkan tidak sempat membahagiakan orang tuaku hingga ajal mereka menjemput.” Mata Tania berkaca-kaca saat mengatakan hal itu membuat Daniel kembali berpikir.Benar. Yang namanya kehilangan selalu membuat penyesalan yang tiada ujungnya. Daniel mengangguk sementara Adrian melihatnya sudah sangat geram. Masih
Seperti pagi menjelang siang saat itu. Adrian baru saja sampai di gedung rumah sakit. Sedikit berlari pria itu mencari lift yang akan mengantarkannya ke lantai tiga. Di mana ruangan meeting para direksi berada.Melirik sisi lift yang mengkilap bagai kaca. Adrian lalu memperhatikan penampilannya sendiri. Bibirnya mencebik kesal menyadari kemejanya sedikit berantakan di bagian pinggang. “Gini amat ribetnya jadi pemimpin rumah sakit,” gerutunya sambil merapikan kemejanya yang masuk ke bagian celana. Lift berdenting, Adrian segera keluar dan berjalan tergesa menuju ruangan meeting. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum membuka pintu besar yang di dalamnya telah berkumpul beberapa orang penting.“Selamat pagi semuanya,” sapa Adrian begitu kepalanya muncul dari balik pintu dan sapaan itu otomatis membuat seisi ruangan memusatkan perhatian padanya. Adrian tersenyum berwibawa.Seperti biasa beberapa orang yang memang tidak suka padanya akan melirik sinis sambil komat-kamit tidak
Hampir tujuh tahun sudah berlalu. Rupanya, sakit hati yang telah Pak Gunawan tancapkan di hati Daniel tak pernah memudar sama sekali. Bukan pria itu tak mau mencoba memaafkan, namun ingatannya selalu menolak lupa dengan bagaimana arogannya sang papa ketika itu. Daniel selalu terjebak dalam rasa sakit yang sangat dalam. Keluarganya sendiri yang telah membuatnya kehilangan harga diri hingga hancur. Ia telah kehilangan banyak hal dalam rentang waktu yang berdekatan. Kehilangan keluarga, cinta, juga kepercayaan.Beberapa menit berselang, Tania kembali ke kamar membawa kabar yang cukup mengusik ketenangan dalam sudut hatinya.“Mas, Pak Adrian bilang kondisi Kak Mita semakin parah. Kamu nggak mau melihatnya barang sebentar saja?” Tania mengusap lengannya dengan lembut. Daniel terdiam cukup lama, batinnya sedang berperang. Apakah ini sudah saatnya ia berdamai dengan keluarganya?“Mas, setidaknya bicaralah sendiri sama Pak Adrian. Aku nggak enak kalau kamu menghindar begini,” keluh Tania, la
Nasib Mita ….“Apa nggak ada cara lain lagi, Dok? Saya nggak mungkin terus menerus meminta Dokter Rendi mengunjungi pasien.” Adrian terduduk lemas di depan dokter kejiwaan yang memiliki paras tenang itu. “Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.” Dokter itu menatap lawan bicaranya serius. “Berbagai macam obat-obatan telah masuk ke tubuhnya. Saya khawatir kesehatannya semakin menurun. Berat badannya saja sudah turun sebanyak sepuluh kilogram dari awal dia masuk ke sini.”Adrian terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh dokter. Entah apa yang harus ia lakukan lagi demi menyembuhkan kondisi mental Mita. Pagi itu, Adrian memaksa dokter untuk mengizinkannya masuk ke ruangan Mita di rawat.“Saya izinkan dengan satu syarat.”“Apa, Dok?” “Anda tidak boleh menuntut apa-apa pada pihak rumah sakit jiwa jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda sendiri.”“Oke, saya setuju,” sahut Adrian, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin mendekati Mita lalu mengajak
Daniel terdiam, ada keraguan dalam hatinya.“Aku pikir kalian pernah ada sesuatu. Tadi aku lihat kamu gugup banget waktu pertama kali Bu Maira mendekat,” ujar Daniel, matanya tidak fokus melihat acara televisi sebab pikirannya sedang berkelana dengan berbagai kemungkinan yang ia yakini sendiri.“Kamu nggak bohong, kan?” Tiba-tiba Daniel memiringkan wajahnya, menatap Tania yang bersandar di bahunya.“Enggak, kok, Mas,” dusta Tania. Daniel manggut-manggut meskipun hatinya merasa ada yang janggal. Bertanya lebih detail pada Tania sepertinya hanya akan membuatnya bertengkar lagi. Daniel diam dan memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya telah terjadi. satu rencana sudah ia susun dalam kepalanya.***“Apa rencanamu selanjutnya, Mas?” Maira bertanya seraya mengusap-usap kepala suaminya yang berada di pangkuannya. Mereka tengah menikmati semilir angin sore di balkon kamar yang di bawahnya ada taman bunga yang berisi koleksi bonsai mahal.“Seperti rencana semula. Setelah ini M
Meskipun cukup lama tidak berjumpa, Maira merasa pernah mengenal sosok istri Daniel. Pelan-pelan kakinya melangkah mendekati perempuan yang sebagian wajahnya tertutup rambut hitam nan lurus sebahu.Tania beringsut mundur membuat Maira mengerutkan keningnya. “Mbak?” Maira justru semakin mendekatinya. “Nia,” panggil Daniel, memutar tubuh dan mendekati istrinya. “Ini Bu Maira, istrinya Pak Rendi. Pemilik butik ini,” lanjutnya, meraih tangan istrinya dengan sedikit memaksa. Ada rasa tak enak hati ketika istrinya seperti enggan berkenalan dengan Maira.Daniel semakin memepet tubuh istrinya. “Nia, jangan buat aku malu,” bisik Daniel tajam tepat di telinga istrinya. Semakin terdesak, sambil menahan rasa malu dan juga minder luar biasa, Tania akhirnya pasrah mengangkat wajah. Tubuhnya gemetar saat manik matanya langsung beradu pandang dengan Maira. Maira mundur selangkah, menutup mulutnya sendiri, kaget. Matanya membulat, tak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan perempuan yang per
Daniel mencoba berjalan dengan percaya diri walaupun pakaian yang ia kenakan jauh dari merk mahal. Sedikit aneh memang. Di acara cukup besar seperti itu, dia nekat memakai pakaian apa adanya. Undangan dari Rendi yang cukup spesial membuatnya mau tak mau harus menghadiri acara peresmian butik itu. Tak ada pekerja kasar lain yang diundang, hanya dirinya. Mungkin itu karena Rendi telah mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Namun sebenarnya, Daniel tak peduli tentang itu. Ia datang ke acara peresmian butik itu lebih karena rasa berterima kasihnya pada Rendi dan Maira. Rencananya, ia akan diangkat menjadi karyawan yang mengurus barang keluar masuk di sana. Ketangkasan Daniel dalam berhitung dan juga kecerdasan berpikirnya membuat Rendi dan Maira tak berpikir lebih banyak untuk memberikan pekerjaan padanya. “Selamat pagi, Pak, Bu.” Daniel sedikit membungkukkan badan ketika tiba di hadapan Rendi dan Maira. Pria itu memasang senyum sewajarnya.Seketika, sekumpulan keluarga besar itu ter