"Sudah cukup! Hentikan!" Gerakan tangan Pak Cahyo terhenti seketika. Dia menoleh ke arah sumber suara, dengan nafas yang masih memburu.Disana Pak Mahendra berdiri menatap tajam Pak Cahyo. Tak ingin melewatkan kesempatan itu, Alfin pun segera melepaskan paksa dirinya dari Pak Cahyo."Jangan pernah sentuh putraku atau kau akan kujebloskan ke dalam penjara! Sekalian saja dengan putrimu itu, aku yakin jika video asusilanya sampai diketahui aparat maka akan mudah untuk menjebloskannya ke penjara. Jika kamu mau, kalian bisa reuni di dalam penjara," ancam Pak Mahendra, seringai jahat terlihat di wajahnya yang mulai dihiasi keriput.Pak Cahyo semakin murka, dengan lantang dia kembali berujar, "itu tidak akan pernah terjadi! Justru sebaliknya aku akan melaporkan kalian atas kasus pencemaran nama baik. Aku akan mencari bukti bahwa putriku tidak bersalah." Tania mulai terlihat tidak nyaman dan gelisah, namun sebisa mungkin dia tetap tenang di depan mereka. Wanita itu memasang ekspresi wajah d
"Masih berani nunjukkin muka ya, kamu? Bener-bener mental baja. Nggak tahu malu! Kalau aku jadi kamu, udah nggak berani keluar kemana-mana," ucap seseorang yang tiba-tiba datang, dan berdiri di samping tempat duduk Maira.Mendengar suaranya saja, Maira sudah tahu siapa orang yang tengah menyindirnya itu.Maira menoleh dan mendongak, tak ada reaksi terkejut sama sekali. Kemudian Maira memilih untuk mengabaikannya dan melanjutkan makan.Begitu juga dengan Bu Rani, awalnya dia sedikit terkejut, namun melihat Maira biasa saja. Bu Rani pun ikut mengabaikan kehadiran perempuan yang baginya masih asing itu.Merasa diabaikan Tania menjadi geram sendiri, perempuan itu berdecak kesal, seraya menghentakan kakinya."Eh, kamu budek, ya? Nggak dengar aku ngomong?" Tangannya terulur mendorong bahu Maira.Sontak saja Maira tersedak oleh makanannya, buru-buru dia mengambil air minum di depannya.Bu Rani mendelik menatap tak suka pada Tania. "Nggak sopan banget, sih! Datang-datang gangguin orang lain.
"A–apa, Bu? T–tapi kan aku malu kalau harus berpasangan dengan Dokter Rendi," ujar Maira gugup setengah mati. Bagaimana bisa dia harus berpasangan dengan Dokter Rendi, berada satu ruangan dengannya saja Maira merasa segan. Maira merasa tidak pantas untuk dekat-dekat dengan lelaki tampan itu. Apalagi dengan statusnya sebagai seorang janda, rasanya semakin tinggi saja benteng pemisah di antara mereka.Bu Rani tersenyum penuh arti, "nggak apa-apa, Mai. Kenapa harus malu? Toh, kalian sudah saling kenal 'kan?" sanggah Bu Rani. Wanita paruh baya itu bersikeras membujuk Maira.Maira menggeleng pelan."Saya merasa nggak pantas saja, Bu," ujar Maira, kemudian kepalanya tertunduk lesu.Bu Rani mendekat dan merangkul pundak Maira, "hei! Apanya yang tidak pantas? Justru ini kesempatan kamu untuk membuktikan pada orang-orang yang telah menghinamu, bahwa kamu bisa tanpa mereka. Kamu bisa sukses di bawah kakimu sendiri."Perempuan berparas teduh itu mengangkat kepalanya, dia tampak terdiam dan berf
"Maira … kamu kenapa, Nak?" tanyanya dengan perasaan panik luar biasa. "Maafkan, saya, Bu. Sepertinya saya tidak bisa melanjutkan pekerjaan saya," ucap Maira dengan suara parau. Deg …Seketika itu jantung Bu Rani seperti loncat dari tempatnya. Perasaan sesak mulai menjalar ke rongga dadanya, berkali-kali wanita paruh baya itu menghela nafas dan mengeluarkannya kembali.Setelah merasa tenang, barulah Bu Rani kembali bertanya, "ada apa, Mai? Kamu ada masalah?"Terdengar kembali suara helaan nafas dari seberang, "tidak, Bu. Tapi … sepertinya saya memang harus berhenti." Lanjut Maira tanpa memberikan alasan yang detail.Lutut Bu Rani terasa lemas seketika itu, ingin dia menahan Maira agar tidak berhenti menjadi modelnya, namun lidah Bu Rani terasa kelu. Ia tak berani mengungkapkan itu. Mati-matian wanita paruh baya itu berusaha untuk bersikap bijaksana."Oke, baiklah, semoga kamu selalu sukses ya, walaupun tidak lagi bekerja dengan saya," balas Bu Rani setelah terdiam cukup lama, walaup
"Kamu nggak ada hubungan apa-apa 'kan sama yang punya rumah ini?" Pak Cahyo memandang Maira dengan tatapan penuh selidik, hingga sebelah alisnya terlihat naik.Maira terkesiap, dia menatap bapaknya dan menggeleng pelan."Astaghfirullah, Pak. Bapak ini pikirannya buruk terus ya, sama Maira," gerutunya. Mana mungkin juga Maira berani menjalin hubungan dengan yang punya rumah. Status sosial mereka jauh berbeda, batin Maira."Bapak ini cuma tanya, Mai." tegas Pak Cahyo Kembali. Kini raut wajahnya sudah lebih tenang."Kemarin Bapak sangat kaget saat tiba-tiba mantan mertuamu memberi surat pemberhentian kerja sama Bapak." Pak Cahyo menjeda ucapannya, pria paruh baya itu menghela nafasnya sebentar, "Bapak nggak menyangka mereka tega mengusirmu, Mai. Perasaan Bapak begitu sakit mengetahui kamu telah difitnah. Bapak menyesal sudah pernah menyerahkanmu pada mereka. Maafkan Bapak ya, Mai …," kepala pak Cahyo terdunduk dalam."Sudahlah, Pak. Tidak usah disesali apa yang sudah terjadi, pengalaman
"Sebelumnya … saya mengucapkan banyak terima kasih pada Mas Rendi yang sudah begitu memperhatikan keadaan putri saya, tapi …,"Pak Cahyo kembali menghela nafasnya. Sedangkan yang lain, semua diam ikut menyimak. "Tapi saya pikir … Mas Rendi tidak perlu berlebihan, apalagi sekarang Maira sudah ada kami, orang tuanya." jelas Pak Cahyo dengan halus.Baik Rendi maupun Maira, mereka sama-sama menundukkan kepala, sibuk dengan pikiran masing-masing.Terasa seperti ada tembok pemisah yang mulai didirikan oleh Pak Cahyo. Rendi merasakan dadanya ikut sesak, namun lelaki tampan itu berusaha untuk bersikap tenang. Dia tidak akan menyerah sebelum berjuang.Rendi berdehem untuk mengurangi perasaan sesak yang kian memenuhi rongga dadanya."Maafkan saya, Pak, jika saya lancang," ucap Rendi masih dengan kepala menunduk. Lelaki muda nan tampan itu tiba-tiba merasa kecil juga di depan orang tua Maira. "Nggak apa-apa Mas, saya juga hanya mengingatkan saja, lebih baik kalian saling menjaga jarak, apalagi
Alfin menatap lekat Tania, "kamu nggak mau menerima orang tuaku?"Perempuan berambut coklat itu tampak gelagapan, bola matanya bergerak-gerak bingung mencari alasan. Sejurus kemudian dia memalingkan muka lalu kembali menatap manik hitam lelakinya."B–bukan gitu, sayang. Aku cuma nggak mau kamu kecapekan aja, udah sibuk ngurusin kantor, eh … dirumah masih harus jagain Mama kamu. Aku kasihan aja lihat kamu begitu, Mas," ujar Tania dengan mimik wajah sendu. Perempuan itu berusaha meraih kembali lengan Alfin. Namun ditepis oleh sang empunya."Kalau kamu kasihan sama aku, harusnya kamu malah dukung aku, bukannya terkesan malah menjauhkan aku dengan Mama!" ketus Alfin.Berusaha menekan emosinya, Tania semakin memepet tubuh Alfin. Jemarinya yang lentik mengusap-usap punggung tangan sang lelaki. "Yaudah, maaf deh, kalau aku ada salah kata, tapi beneran aku nggak bermaksud jauhin kamu dengan mamamu, Mas." Tania memasang wajah memelas untuk menarik simpati Alfin. "Yaudah, kita pulang sekarang
"Nggak usah sok suci deh! Aku bisa kok kembali menghangatkan ranjangmu kalau kamu mau." Lanjut Alfin dengan suara berbisik, seperti takut kekasihnya ikut mencuri dengar. Darah Maira seketika terasa mendidih, Alfin benar-benar telah berubah menjadi lelaki br3ngs3k, kini hatinya semakin mantap untuk berpisah dengan Alfin. Tidak ada lagi yang perlu diragukan, tidak ada sisa perasaan apapun untuk untuk mantan suaminya itu."Simpan saja khayalanmu itu! Aku tidak akan pernah sudi merendahkan diri didepanmu. Sudah cukup dua tahun aku menemanimu, dan kini semua memang harus segera diakhiri," ucap Maira dengan tegas, tanpa menoleh pada Alfin.Alfin mengatupkan rahangnya, mendadak wajahnya terasa panas, Maira telah berani menolaknya. Dan Alfin sangat benci penolakan.Pagi itu sidang berjalan dengan lancar, baik dari pihak Maira maupun Alfin sepakat tidak ada mediasi. Hingga akhirnya palu diketuk oleh ketua hakim tiga kali sebagai tanda acara selesai.Maira segera beranjak, dan berjalan menemui
Daniel tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya, saat mendengar papanya menyambut kedatangannya sangat antusias. Pria muda dengan pakaian sederhana itu menunduk lalu berbisik di dekat telinga Tiara. “Itu Kakek. Ayo, Salim dulu sama Kakek,” pintanya, Tiara langsung mengangguk dengan senyum tak pernah pudar dari bibirnya. Gadis kecil itu sedikit berlari menghampiri ranjang pasien, di mana Pak Gunawan tengah menatap mereka dengan wajah berseri-seri.“Siapa namanya, Cantik?” Pak Gunawan meraih wajah Tiara dengan satu tangan. Mata tuanya menatap lekat wajah gadis kecil berkuncir dua itu. “Namaku Tiara, Kek,” balas Tiara dengan wajah polos. Pak Gunawan terkikik mendengar kata sapaan gadis kecil itu padanya. “Apa papamu yang mengajari kamu memanggil Opa dengan sebutan ‘kakek’?” tanya Pak Gunawan, masih menatap wajah cantik cucu pertamanya. Gadis kecil itu mengangguk. “Iya, Kek.” Lalu, Pak Gunawan menatap anak dan menantunya yang berdiri sedikit jauh dari ranjang. Ia juga melihat bagaim
“Tunggu, Daniel!” Suara papanya yang serak dan lemah berhasil membuat langkah Daniel terhenti. “Tidakkah kamu kangen dengan Papa?” tanya Pak Gunawan dengan raut sedihnya.Dia tahu telah bersalah. Tidak seharusnya dia membuang putranya sendiri hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya masih bisa dimaafkan. Sejatinya, manusia tidak ada yang luput dari dosa, begitu juga dengan Daniel yang pernah berbuat salah. Namun, tuntutan kehormatan yang harus selalu terjaga membuatnya menutup mata saat itu. Daniel menoleh dan tersenyum tipis. “Aku sudah menemukan keluarga baru yang benar-benar menerimaku apa adanya, Pa,” ujarnya. Seolah kembali menegaskan dia sudah tidak butuh pengakuan dari papanya. Pak Gunawan manggut-manggut masih dengan ekspresi sedih. “Syukurlah, Papa senang mendengarnya. Mungkin … sekarang kamu yang malu memiliki seorang Papa narapidana.”Daniel mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu tidak akan berpengaruh dalam kehidupan keluargaku, Pa.” Sakit, pedih. Lagi-lagi perka
Seberapa besarnya dendam Daniel pada papanya, jika sudah menyinggung tentang kondisi kesehatan sang papa hatinya tersentuh juga. Namun, lagi-lagi egonya kembali menguasai. Bagaimana kalau papanya belum menerima dirinya kembali? Juga … apakah hatinya sudah baik-baik saja?“Kamu benar-benar mau melihat Papa kalau sudah nggak bernyawa?” sengit Adrian, menatap jengkel ke arah Daniel yang berdiri kaku di ambang pintu tanpa ekspresi khawatir sedikitpun.“Mas.” Tania baru saja kembali ke depan setelah mendengar suara Adrian yang cukup keras. Wanita itu meraih lengan Daniel dan mengusap pelan.“Ikut saja, Mas. Kamu beruntung masih memiliki orang tua. Jangan sampai menyesal seperti aku. Aku bahkan tidak sempat membahagiakan orang tuaku hingga ajal mereka menjemput.” Mata Tania berkaca-kaca saat mengatakan hal itu membuat Daniel kembali berpikir.Benar. Yang namanya kehilangan selalu membuat penyesalan yang tiada ujungnya. Daniel mengangguk sementara Adrian melihatnya sudah sangat geram. Masih
Seperti pagi menjelang siang saat itu. Adrian baru saja sampai di gedung rumah sakit. Sedikit berlari pria itu mencari lift yang akan mengantarkannya ke lantai tiga. Di mana ruangan meeting para direksi berada.Melirik sisi lift yang mengkilap bagai kaca. Adrian lalu memperhatikan penampilannya sendiri. Bibirnya mencebik kesal menyadari kemejanya sedikit berantakan di bagian pinggang. “Gini amat ribetnya jadi pemimpin rumah sakit,” gerutunya sambil merapikan kemejanya yang masuk ke bagian celana. Lift berdenting, Adrian segera keluar dan berjalan tergesa menuju ruangan meeting. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum membuka pintu besar yang di dalamnya telah berkumpul beberapa orang penting.“Selamat pagi semuanya,” sapa Adrian begitu kepalanya muncul dari balik pintu dan sapaan itu otomatis membuat seisi ruangan memusatkan perhatian padanya. Adrian tersenyum berwibawa.Seperti biasa beberapa orang yang memang tidak suka padanya akan melirik sinis sambil komat-kamit tidak
Hampir tujuh tahun sudah berlalu. Rupanya, sakit hati yang telah Pak Gunawan tancapkan di hati Daniel tak pernah memudar sama sekali. Bukan pria itu tak mau mencoba memaafkan, namun ingatannya selalu menolak lupa dengan bagaimana arogannya sang papa ketika itu. Daniel selalu terjebak dalam rasa sakit yang sangat dalam. Keluarganya sendiri yang telah membuatnya kehilangan harga diri hingga hancur. Ia telah kehilangan banyak hal dalam rentang waktu yang berdekatan. Kehilangan keluarga, cinta, juga kepercayaan.Beberapa menit berselang, Tania kembali ke kamar membawa kabar yang cukup mengusik ketenangan dalam sudut hatinya.“Mas, Pak Adrian bilang kondisi Kak Mita semakin parah. Kamu nggak mau melihatnya barang sebentar saja?” Tania mengusap lengannya dengan lembut. Daniel terdiam cukup lama, batinnya sedang berperang. Apakah ini sudah saatnya ia berdamai dengan keluarganya?“Mas, setidaknya bicaralah sendiri sama Pak Adrian. Aku nggak enak kalau kamu menghindar begini,” keluh Tania, la
Nasib Mita ….“Apa nggak ada cara lain lagi, Dok? Saya nggak mungkin terus menerus meminta Dokter Rendi mengunjungi pasien.” Adrian terduduk lemas di depan dokter kejiwaan yang memiliki paras tenang itu. “Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.” Dokter itu menatap lawan bicaranya serius. “Berbagai macam obat-obatan telah masuk ke tubuhnya. Saya khawatir kesehatannya semakin menurun. Berat badannya saja sudah turun sebanyak sepuluh kilogram dari awal dia masuk ke sini.”Adrian terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh dokter. Entah apa yang harus ia lakukan lagi demi menyembuhkan kondisi mental Mita. Pagi itu, Adrian memaksa dokter untuk mengizinkannya masuk ke ruangan Mita di rawat.“Saya izinkan dengan satu syarat.”“Apa, Dok?” “Anda tidak boleh menuntut apa-apa pada pihak rumah sakit jiwa jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda sendiri.”“Oke, saya setuju,” sahut Adrian, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin mendekati Mita lalu mengajak
Daniel terdiam, ada keraguan dalam hatinya.“Aku pikir kalian pernah ada sesuatu. Tadi aku lihat kamu gugup banget waktu pertama kali Bu Maira mendekat,” ujar Daniel, matanya tidak fokus melihat acara televisi sebab pikirannya sedang berkelana dengan berbagai kemungkinan yang ia yakini sendiri.“Kamu nggak bohong, kan?” Tiba-tiba Daniel memiringkan wajahnya, menatap Tania yang bersandar di bahunya.“Enggak, kok, Mas,” dusta Tania. Daniel manggut-manggut meskipun hatinya merasa ada yang janggal. Bertanya lebih detail pada Tania sepertinya hanya akan membuatnya bertengkar lagi. Daniel diam dan memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya telah terjadi. satu rencana sudah ia susun dalam kepalanya.***“Apa rencanamu selanjutnya, Mas?” Maira bertanya seraya mengusap-usap kepala suaminya yang berada di pangkuannya. Mereka tengah menikmati semilir angin sore di balkon kamar yang di bawahnya ada taman bunga yang berisi koleksi bonsai mahal.“Seperti rencana semula. Setelah ini M
Meskipun cukup lama tidak berjumpa, Maira merasa pernah mengenal sosok istri Daniel. Pelan-pelan kakinya melangkah mendekati perempuan yang sebagian wajahnya tertutup rambut hitam nan lurus sebahu.Tania beringsut mundur membuat Maira mengerutkan keningnya. “Mbak?” Maira justru semakin mendekatinya. “Nia,” panggil Daniel, memutar tubuh dan mendekati istrinya. “Ini Bu Maira, istrinya Pak Rendi. Pemilik butik ini,” lanjutnya, meraih tangan istrinya dengan sedikit memaksa. Ada rasa tak enak hati ketika istrinya seperti enggan berkenalan dengan Maira.Daniel semakin memepet tubuh istrinya. “Nia, jangan buat aku malu,” bisik Daniel tajam tepat di telinga istrinya. Semakin terdesak, sambil menahan rasa malu dan juga minder luar biasa, Tania akhirnya pasrah mengangkat wajah. Tubuhnya gemetar saat manik matanya langsung beradu pandang dengan Maira. Maira mundur selangkah, menutup mulutnya sendiri, kaget. Matanya membulat, tak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan perempuan yang per
Daniel mencoba berjalan dengan percaya diri walaupun pakaian yang ia kenakan jauh dari merk mahal. Sedikit aneh memang. Di acara cukup besar seperti itu, dia nekat memakai pakaian apa adanya. Undangan dari Rendi yang cukup spesial membuatnya mau tak mau harus menghadiri acara peresmian butik itu. Tak ada pekerja kasar lain yang diundang, hanya dirinya. Mungkin itu karena Rendi telah mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Namun sebenarnya, Daniel tak peduli tentang itu. Ia datang ke acara peresmian butik itu lebih karena rasa berterima kasihnya pada Rendi dan Maira. Rencananya, ia akan diangkat menjadi karyawan yang mengurus barang keluar masuk di sana. Ketangkasan Daniel dalam berhitung dan juga kecerdasan berpikirnya membuat Rendi dan Maira tak berpikir lebih banyak untuk memberikan pekerjaan padanya. “Selamat pagi, Pak, Bu.” Daniel sedikit membungkukkan badan ketika tiba di hadapan Rendi dan Maira. Pria itu memasang senyum sewajarnya.Seketika, sekumpulan keluarga besar itu ter