Alfin menajamkan pandangannya pada Tania, lelaki yang wajahnya sudah babak belur itu mendengkus kesal."Kamu pikir menikah tidak perlu persiapan yang matang? Lagian akta ceraiku saja belum keluar!" tolaknya."Aku nggak mau tahu! Kita bisa nikah secara siri dulu! Aku nggak mau kamu terus teringat dengan wanita udik itu!" desak Tania dengan mimik wajah memaksa.Alfin mengabaikan perempuan yang tengah merajuk itu. Pikirannya semakin kacau saat melihat Maira yang semakin terlihat cantik dan segar, tidak seperti saat masih bersamanya. Sedikit banyak, lelaki itu merasakan penyesalan yang begitu menyesakkan dalam hatinya. Dia mengakui itu. Maira memang hanya seorang perempuan lugu. Namun, pesonanya justru kian terpancar saat ikatan suci itu telah terlepas. Ya, Alfin menyesal telah melepaskan pemilik wajah teduh itu, namun dia malu untuk mengakuinya. Egonya terlalu tinggi.Alfin menendang bak sampah yang berada di area toilet hingga terguling, beberapa isinya tercecer di lantai. Amarahnya ti
"Kau hutang penjelasan sama Papa, Fin!" desis Pak Mahendra dengan tatapan nyalang. Ia mendengkus kasar, kemudian langsung berbalik pergi tanpa berpamitan. Pria paruh baya itu segera masuk ke dalam mobilnya. Mati-matian dia menahan perasaan malu di depan mantan besannya. "Apa kamu masih betah berada di sini?" cibir Pak Cahyo ketika Alfin tidak segera undur diri. Lelaki muda itu tersenyum kikuk padanya."Maafkan saya, Pak, saya tahu saya salah. Tapi–" "Pargilah! Jangan pernah tampakkan mukamu lagi disini. Dan satu lagi, jangan pernah kau mengusik ketenangan putriku lagi! Kalian sudah berpisah, lebih baik tak usah saling mengganggu. Bahagia lah dengan pilihanmu itu." tegas Pak Cahyo, sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah meninggalkan Alfin yang masih mematung di tempatnya. Bu Ratih juga segera masuk ke dalam menyusul sang suami.Lelaki bergelar mantan suami Maira itu memandang hampa rumah mantan istrinya. Semakin kesini perasaan menyesal itu kian menjadi-jadi. Tin!Tin!Bunyi klakson
Alfin menghempaskan tubuhnya di ranjang begitu tiba di kamar. Mata elang itu terpejam beberapa saat, angannya kembali melanglang buana."Kenapa jadi kacau begini, sih," gumamnya sendiri."Apa iya, aku harus segera mencari pengganti Maira secepat itu?""Apa aku turuti saja kemauan Papa sama Mama, ya? Siapa tahu gadis itu memang menarik." Alfin bangkit dari rebahan dan duduk menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. "Tapi … bagaimana dengan Tania. Ah, semua ini gara-gara dia, hidupku jadi kacau. Kenapa juga dulu aku bisa tergila-gila sama perempuan sepertinya?""Arrgghhh …." Alfin berteriak frustasi dan mengacak-acak rambutnya. Rasanya percuma saja menyesali yang telah terjadi. Maira–perempuan lemah lembut yang dulu telah berhasil masuk ke dalam hatinya, kini justru dia lepaskan.Alfin tersentak saat ponsel di saku celananya berdering nyaring. Lelaki itu segera merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel dari sana. Sesaat netranya menatap layar yang tengah berkedip-kedip, lalu ia melempar
Tin!Tin!Suara klakson mobil berhenti tepat di depan rumah Pak Cahyo. Maira dan ibunya yang sedang menyiapkan pesanan catering untuk makan siang karyawan saling melempar pandangan."Siapa ya, Mai?" tanya Bu Ratih dengan mimik wajah penasaran.Maira mengedikkan bahunya. Sepasang tangan berkulit putih itu tampak sibuk memasuk-masukkan sayuran ke dalam kotak makan."Nggak tahu, Bu. Pelanggan Ibu mau pesen catering mungkin," jawabnya asal sambil merapatkan tutup kotak makan yang sudah terisi lengkap."Yaudah, Ibu tinggal ke depan dulu, ya. Siapa tahu benar, ada orang mau pesan catering lagi. Nanti sekalian hitung udah jadi berapa itu kotaknya, Mai." Perintah Bu Ratih, wanita paruh baya itu segera menanggalkan celemek yang dipakainya, lalu mencuci tangannya di kran air dan segera melangkah ke depan meninggalkan Maira."Iya, Bu," balas Maira, perempuan itu menoleh pada ibunya sekilas, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.Berselang beberapa menit, Bu Ratih kembali ke dapur dengan langkah
Perasaan Maira kian gelisah saat sang Ibu melibatkan bapaknya. Perempuan cantik itu tidak yakin jika bapaknya akan mengizinkannya pergi bersama Rendi. Dalam hati Maira merutuki keberanian Rendi mendekati orang tuanya. Terlalu nekat. Masalahnya dengan Alfin saja belum kelar, ini malah Rendi datang seperti akan membawa masalah baru. Diam-diam Maira melirik kesal pada lelaki yang duduk di sampingnya itu."Nggak masalah, Bu. Dengan senang hati saya akan menunggu izin dari Bapak untuk bisa membawa Maira," ujar Rendi dengan tenang dan lugas. Kedua sudut bibirnya tak pernah lepas dari senyuman.Maira melotot ke arah lelaki itu, dia tidak setuju dengan sikap Rendi yang dinilai terlalu nekat. Namun Rendi justru menatapnya aneh. "Kamu kenapa?" ujarnya dengan kedua alis bertaut, membuat Maira semakin kesal saja.Lagi lagi Maira hanya bisa merutuki Rendi dalam hati, lelaki itu tidak peka dengan apa yang diinginkannya. Maira sungguh merasa takut jika bapaknya murka padanya, belum juga perceraiann
Maira melanjutkan langkahnya, dia kembali ke dapur. Tampak di atas meja kotak-kotak catering sudah tertata rapi, dan sudah dimasukkan ke dalam kantong kresek besar. Pasti ibunya yang telah menyelesaikan.Perempuan berparas teduh itu memilih untuk duduk di kursi kayu depan meja dapur. Tangannya sigap menuang air putih ke dalam gelas kemudian meneguknya hingga tandas. Seketika kerongkongannya terasa basah."Mai, Ibu tahu kamu masih trauma sama pernikahanmu dulu, Ibu paham dengan perasaanmu, tapi Nak … tidak semua orang kaya itu jahat seperti Alfin dan keluarganya. Ibu lihat … Rendi itu orangnya tulus, dia juga punya sopan santun yang bagus sama orang tua. Tidak mentang-mentang sama orang nggak punya." Bu Ratih menyentuh bahu Maira dari belakang. Maira menoleh padanya dengan sorot mata sendu.Lagi-lagi Maira hanya bisa menghembuskan napasnya pelan, entah bagaimana caranya menyampaikan isi hatinya pada sang ibu, Maira ingin ibunya bisa memahami posisinya, tak mudah baginya untuk bisa melu
Bu Rani masih menatap putranya dengan sangat serius. "Mama pasti mendoakan yang terbaik untuk kamu, Ren," ucapnya dengan tulus."Makasih ya, Ma. Mama selalu saja bisa mengerti Rendi. Nggak pernah menuntut Rendi harus ini dan itu. Nggak seperti Tante Riana. Nggak kebayang deh, kalau Rendi jadi anaknya Tante julid itu," balas Rendi sambil bergidik ngeri, seolah Riana adalah monster yang menakutkan baginya."Jangan gitu, Ren! Begitu juga dia tantemu, loh," peringat Bu Rani.Rendi mencebikkan bibir, "iya … iya …."—------------Hari sudah beranjak malam, perasaan Maira semakin gusar saat menatap jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Ibunya telah menceritakan semua yang diminta Rendi tadi siang pada bapaknya. Diluar dugaan, bapaknya justru menyambut antusias niat Rendi untuk membawanya ke acara tasyakuran saudaranya. Tapi dengan syarat, lelaki itu harus meminta izin langsung padanya. Dan kini … lelaki itu justru tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Seusai makan malam tad
Hari demi hari terus berganti, hingga tibalah kini acara tasyakuran anak Riana–tantenya Rendi, akan diadakan malam nanti.Sore hari usai pulang dari praktek di rumah sakit Rendi tidak langsung kembali ke rumah. Lelaki tampan itu memilih pergi ke mall terlebih dahulu, tujuannya ingin membelikan baju untuk Maira pakai nanti malam. Selesai memarkirkan mobilnya, Rendi segera turun dari mobil dan berjalan menuju mall. Dengan melangkah tegap penuh wibawa, lelaki tampan itu mengayunkan kakinya menyusuri mall menuju store pakaian wanita. Tangannya mulai sibuk memilah satu demi satu gaun yang menurutnya pantas dipakai Maira. Satu deret pertama tidak ada yang cocok di hatinya. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Senyumnya tersungging saat netranya melihat satu buah gaun berwarna mint yang dipasangkan pada sebuah manekin. Buru-buru Rendi menghampiri patung yang menyerupai wanita itu. Namun disaat yang bersamaan datang seorang wanita paruh baya bersama seorang lelaki muda yang ikut meraba g
Daniel tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya, saat mendengar papanya menyambut kedatangannya sangat antusias. Pria muda dengan pakaian sederhana itu menunduk lalu berbisik di dekat telinga Tiara. “Itu Kakek. Ayo, Salim dulu sama Kakek,” pintanya, Tiara langsung mengangguk dengan senyum tak pernah pudar dari bibirnya. Gadis kecil itu sedikit berlari menghampiri ranjang pasien, di mana Pak Gunawan tengah menatap mereka dengan wajah berseri-seri.“Siapa namanya, Cantik?” Pak Gunawan meraih wajah Tiara dengan satu tangan. Mata tuanya menatap lekat wajah gadis kecil berkuncir dua itu. “Namaku Tiara, Kek,” balas Tiara dengan wajah polos. Pak Gunawan terkikik mendengar kata sapaan gadis kecil itu padanya. “Apa papamu yang mengajari kamu memanggil Opa dengan sebutan ‘kakek’?” tanya Pak Gunawan, masih menatap wajah cantik cucu pertamanya. Gadis kecil itu mengangguk. “Iya, Kek.” Lalu, Pak Gunawan menatap anak dan menantunya yang berdiri sedikit jauh dari ranjang. Ia juga melihat bagaim
“Tunggu, Daniel!” Suara papanya yang serak dan lemah berhasil membuat langkah Daniel terhenti. “Tidakkah kamu kangen dengan Papa?” tanya Pak Gunawan dengan raut sedihnya.Dia tahu telah bersalah. Tidak seharusnya dia membuang putranya sendiri hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya masih bisa dimaafkan. Sejatinya, manusia tidak ada yang luput dari dosa, begitu juga dengan Daniel yang pernah berbuat salah. Namun, tuntutan kehormatan yang harus selalu terjaga membuatnya menutup mata saat itu. Daniel menoleh dan tersenyum tipis. “Aku sudah menemukan keluarga baru yang benar-benar menerimaku apa adanya, Pa,” ujarnya. Seolah kembali menegaskan dia sudah tidak butuh pengakuan dari papanya. Pak Gunawan manggut-manggut masih dengan ekspresi sedih. “Syukurlah, Papa senang mendengarnya. Mungkin … sekarang kamu yang malu memiliki seorang Papa narapidana.”Daniel mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu tidak akan berpengaruh dalam kehidupan keluargaku, Pa.” Sakit, pedih. Lagi-lagi perka
Seberapa besarnya dendam Daniel pada papanya, jika sudah menyinggung tentang kondisi kesehatan sang papa hatinya tersentuh juga. Namun, lagi-lagi egonya kembali menguasai. Bagaimana kalau papanya belum menerima dirinya kembali? Juga … apakah hatinya sudah baik-baik saja?“Kamu benar-benar mau melihat Papa kalau sudah nggak bernyawa?” sengit Adrian, menatap jengkel ke arah Daniel yang berdiri kaku di ambang pintu tanpa ekspresi khawatir sedikitpun.“Mas.” Tania baru saja kembali ke depan setelah mendengar suara Adrian yang cukup keras. Wanita itu meraih lengan Daniel dan mengusap pelan.“Ikut saja, Mas. Kamu beruntung masih memiliki orang tua. Jangan sampai menyesal seperti aku. Aku bahkan tidak sempat membahagiakan orang tuaku hingga ajal mereka menjemput.” Mata Tania berkaca-kaca saat mengatakan hal itu membuat Daniel kembali berpikir.Benar. Yang namanya kehilangan selalu membuat penyesalan yang tiada ujungnya. Daniel mengangguk sementara Adrian melihatnya sudah sangat geram. Masih
Seperti pagi menjelang siang saat itu. Adrian baru saja sampai di gedung rumah sakit. Sedikit berlari pria itu mencari lift yang akan mengantarkannya ke lantai tiga. Di mana ruangan meeting para direksi berada.Melirik sisi lift yang mengkilap bagai kaca. Adrian lalu memperhatikan penampilannya sendiri. Bibirnya mencebik kesal menyadari kemejanya sedikit berantakan di bagian pinggang. “Gini amat ribetnya jadi pemimpin rumah sakit,” gerutunya sambil merapikan kemejanya yang masuk ke bagian celana. Lift berdenting, Adrian segera keluar dan berjalan tergesa menuju ruangan meeting. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum membuka pintu besar yang di dalamnya telah berkumpul beberapa orang penting.“Selamat pagi semuanya,” sapa Adrian begitu kepalanya muncul dari balik pintu dan sapaan itu otomatis membuat seisi ruangan memusatkan perhatian padanya. Adrian tersenyum berwibawa.Seperti biasa beberapa orang yang memang tidak suka padanya akan melirik sinis sambil komat-kamit tidak
Hampir tujuh tahun sudah berlalu. Rupanya, sakit hati yang telah Pak Gunawan tancapkan di hati Daniel tak pernah memudar sama sekali. Bukan pria itu tak mau mencoba memaafkan, namun ingatannya selalu menolak lupa dengan bagaimana arogannya sang papa ketika itu. Daniel selalu terjebak dalam rasa sakit yang sangat dalam. Keluarganya sendiri yang telah membuatnya kehilangan harga diri hingga hancur. Ia telah kehilangan banyak hal dalam rentang waktu yang berdekatan. Kehilangan keluarga, cinta, juga kepercayaan.Beberapa menit berselang, Tania kembali ke kamar membawa kabar yang cukup mengusik ketenangan dalam sudut hatinya.“Mas, Pak Adrian bilang kondisi Kak Mita semakin parah. Kamu nggak mau melihatnya barang sebentar saja?” Tania mengusap lengannya dengan lembut. Daniel terdiam cukup lama, batinnya sedang berperang. Apakah ini sudah saatnya ia berdamai dengan keluarganya?“Mas, setidaknya bicaralah sendiri sama Pak Adrian. Aku nggak enak kalau kamu menghindar begini,” keluh Tania, la
Nasib Mita ….“Apa nggak ada cara lain lagi, Dok? Saya nggak mungkin terus menerus meminta Dokter Rendi mengunjungi pasien.” Adrian terduduk lemas di depan dokter kejiwaan yang memiliki paras tenang itu. “Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.” Dokter itu menatap lawan bicaranya serius. “Berbagai macam obat-obatan telah masuk ke tubuhnya. Saya khawatir kesehatannya semakin menurun. Berat badannya saja sudah turun sebanyak sepuluh kilogram dari awal dia masuk ke sini.”Adrian terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh dokter. Entah apa yang harus ia lakukan lagi demi menyembuhkan kondisi mental Mita. Pagi itu, Adrian memaksa dokter untuk mengizinkannya masuk ke ruangan Mita di rawat.“Saya izinkan dengan satu syarat.”“Apa, Dok?” “Anda tidak boleh menuntut apa-apa pada pihak rumah sakit jiwa jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda sendiri.”“Oke, saya setuju,” sahut Adrian, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin mendekati Mita lalu mengajak
Daniel terdiam, ada keraguan dalam hatinya.“Aku pikir kalian pernah ada sesuatu. Tadi aku lihat kamu gugup banget waktu pertama kali Bu Maira mendekat,” ujar Daniel, matanya tidak fokus melihat acara televisi sebab pikirannya sedang berkelana dengan berbagai kemungkinan yang ia yakini sendiri.“Kamu nggak bohong, kan?” Tiba-tiba Daniel memiringkan wajahnya, menatap Tania yang bersandar di bahunya.“Enggak, kok, Mas,” dusta Tania. Daniel manggut-manggut meskipun hatinya merasa ada yang janggal. Bertanya lebih detail pada Tania sepertinya hanya akan membuatnya bertengkar lagi. Daniel diam dan memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya telah terjadi. satu rencana sudah ia susun dalam kepalanya.***“Apa rencanamu selanjutnya, Mas?” Maira bertanya seraya mengusap-usap kepala suaminya yang berada di pangkuannya. Mereka tengah menikmati semilir angin sore di balkon kamar yang di bawahnya ada taman bunga yang berisi koleksi bonsai mahal.“Seperti rencana semula. Setelah ini M
Meskipun cukup lama tidak berjumpa, Maira merasa pernah mengenal sosok istri Daniel. Pelan-pelan kakinya melangkah mendekati perempuan yang sebagian wajahnya tertutup rambut hitam nan lurus sebahu.Tania beringsut mundur membuat Maira mengerutkan keningnya. “Mbak?” Maira justru semakin mendekatinya. “Nia,” panggil Daniel, memutar tubuh dan mendekati istrinya. “Ini Bu Maira, istrinya Pak Rendi. Pemilik butik ini,” lanjutnya, meraih tangan istrinya dengan sedikit memaksa. Ada rasa tak enak hati ketika istrinya seperti enggan berkenalan dengan Maira.Daniel semakin memepet tubuh istrinya. “Nia, jangan buat aku malu,” bisik Daniel tajam tepat di telinga istrinya. Semakin terdesak, sambil menahan rasa malu dan juga minder luar biasa, Tania akhirnya pasrah mengangkat wajah. Tubuhnya gemetar saat manik matanya langsung beradu pandang dengan Maira. Maira mundur selangkah, menutup mulutnya sendiri, kaget. Matanya membulat, tak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan perempuan yang per
Daniel mencoba berjalan dengan percaya diri walaupun pakaian yang ia kenakan jauh dari merk mahal. Sedikit aneh memang. Di acara cukup besar seperti itu, dia nekat memakai pakaian apa adanya. Undangan dari Rendi yang cukup spesial membuatnya mau tak mau harus menghadiri acara peresmian butik itu. Tak ada pekerja kasar lain yang diundang, hanya dirinya. Mungkin itu karena Rendi telah mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Namun sebenarnya, Daniel tak peduli tentang itu. Ia datang ke acara peresmian butik itu lebih karena rasa berterima kasihnya pada Rendi dan Maira. Rencananya, ia akan diangkat menjadi karyawan yang mengurus barang keluar masuk di sana. Ketangkasan Daniel dalam berhitung dan juga kecerdasan berpikirnya membuat Rendi dan Maira tak berpikir lebih banyak untuk memberikan pekerjaan padanya. “Selamat pagi, Pak, Bu.” Daniel sedikit membungkukkan badan ketika tiba di hadapan Rendi dan Maira. Pria itu memasang senyum sewajarnya.Seketika, sekumpulan keluarga besar itu ter