Bab 26"Kumpulkan bajumu, Aku akan mengantarmu pulang ke rumah orang tuamu, tunggu surat cerai dariku di sana" jelas Bang Tigor mengulangi ucapannya. "Akh kamu Bang Tigor, dikit-dikit cerai! Aku perhatikan bela kali Kau sama adik iparmu itu ya? Sudah masuk juga peletnya sama Kau?" tantang Kak Desi tidak mau diam."Aku masih bicara baik-baik ini ya Desi! Kalau Kau tidak mau ku permalukan di kampung ini lekas kumpulin pakaianmu agar ku antar Kau pulang kepada orangtuamu." Wajah Bang Tigor sudah merah padam tandanya marah telah menguasai dirinya."Sudah deh Bang, jangan diperpanjang lagi. Lebih baik nanti Abang dan Kak Desi bicara setelah berdua saja." pinta Bang Linggom memohon."Kau pilih, Kau ku antar atau Kau pulang sendiri kepada orang tuamu?" Bang Tigor tidak menggubris ucapan Bang Linggom.Aduh, bakal perang lagi ini kayaknya, kak Desi kenapa ya tidak ada capek-capek nya nyari masalah terus."Aku heran sama Kau Bang! Harusnya, kak Susi lah yang di usir dari rumah ini, bukan malah
Bab 27Sepanjang perjalanan pulang, Ibu mertua hanya diam saja. Sesekali bersuara saat kami bertanya sesuatu. Ibu Bahkan tidak mau makan, minum hanya sedikit, kelihatan bangat wajahnya lelah dan capek, bahkan yang biasa dia sangat akrab sama Dinda, sama sekali pemandangan itu tidak terlihat, Ibu hanya melirik sesaat saat Dinda menangis minta susu, Ibu sama sekali tidak berniat untuk sekedar menghibur Dinda, kasihan ibu, pasti hatinya sangat sedih sekarang."Yok Mak, kita sudah nyampai." Suara Bang Linggom membuatku terjaga, setelah 14 jam menempuh perjalanan, dari kampung ke Bagan Batu ini."Kita sudah nyampai Dedek, kita turun yok sayang." Aku bicara kepada putri kecil kami yang ada dalam gendonganku.Aku turun dari mobil, dan membawa tas tempat baju-baju Dinda. Sementara Ibu mertua juga turun dari pintu sebelahku."Inang dapat tidur ngak tadi di mobil Nang?" tanyaku sekalian mencairkan kekakuan."Tidak bisa aku tidur Nak." jawab Ibu masih saja tidak ada gairah, dapat dimaklumi, cap
Bab 2810 tahun kemudian."Lae, ladang orang Lae yang 4 hektar, sudah perlu racun dan pupuk. Tolong Kirimkan uangnya ya Lae, sekalian saja sama upah kerjanya." Saut suami Mitha pagi ini telpon kepada Bang Linggom suamiku."Oke, baiklah Lae, nanti biar ku suruh di kirim oleh Mama nya Dinda," ucap Bang Linggom mengakhiri pembicaraannya di telepon.Saut suami Mita adalah makelar tanah di Ujung Batu, terhitung dari 5 tahun yang lalu kami membeli 10 hektar ladang disana. Kebetulan karena Saut makelar tanah jadi selalu dapat informasi tanah yang dijual cepat oleh pemiliknya.Yang 4 ha tadi adalah pertama kali kami beli, katanya saat ini sudah dalam tahap buah pasir, tapi sampai saat ini belum pernah ada hasilnya yang kami terima, karena menurut Mitha dan suaminya buah pasir itu belum laku dijual. Sementara pupuk, racun dan juga upah pekerja selalu rutin kami berikan. Pekerjaan kami yang tidak bisa kami tinggalkan sehingga kami percayakan penuh ladang itu kepada Mitha dan suaminya, lagipula
Bab 29Aku mencoba menghubungi Bang Linggom, tapi nomor tadi, yang dia pakai telpon sudah tidak aktif lagi. Aku juga heran kenapa nomor Bang Linggom tidak aktif, kemana sebenarnya ponselnya dan apa yang terjadi disana?"Dinda, darimana Kakak tahu kalau Ayah hendak dibunuh?"Rasa penasaran ku memaksa mulut ku untuk bertanya."Amangboru itu tadi yang telpon aku Ma, katanya Mama harus kesana karena malam ini Ayah mau di bunuh, Bou Mitha juga ikut berkata demikian Ma, terus aku bilang, Mama lagi sakit."Tanpa bertanya lagi, aku lihat jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, berarti aku pingsan tadi lumayan lama juga. Soalnya anak-anak selesai kerjakan PR masih aku lihat sekitar pukul 8 malam tadi sebelum aku terima telpon dari Bang Linggom.Kalau seandainya aku berangkat sekarang, bagaimana anak-anak? Kalau aku disini menunggu, bagaimana nasib suamiku?, tidak ada yang membantunya. Paling tidak kalau aku ada disana emosi Bang Linggom bisa terkontrol. Uh... Rasanya jadi serba salah. Tuhan,
Bab 30Aku melihat suamiku dikerumuni warga, mukanya sudah bonyok dengan lebam dimana-mana. Aku bahkan bisa melihat goresan luka sabet di lengan kanannya. Kakinya juga penuh dengan darah-darah segar."Ayah..." Sayup-sayup kudengar suara Feri memanggil ayahnya. Tapi aku tidak melihat dari arah mana suara anakku itu datang.Mataku tertuju kepada Mitha dengan tangisan yang pilu. Lalu aku lihat suami Mitha masih berusaha lepas dari pelukan seorang orang tua yan berusaha menenangkannya. Ku tatap mereka berdua bergantian, meski aku tidak tau awal mula permasalahannya, tapi menurutku sudah tidak lagi wajar, kalau satu membawa pedang dan satunya dengan tangan kosong.Perlahan tapi pasti, aku berjalan mendekati suaminya Mitha. "Katakan padaku! apa yang sedang Kau lakukan kepada Ayah dari anak-anakku?"Aku sama sekali tidak lagi menghargainya sebagai saudara, kemarahan ku telah membuat dia terlihat kecil di mataku, bahkan sekecil biji korek api, aku terus mendekatinya, ilmu bela diri yang dulu
Bab 31Semua yang melihat, hanya diam mendengarkan sumpahku. Aku ingin, Mitha merasakan bagaimana perasaan Ibu mertua, sekiranya tahu bahwa anak perempuan nya ini telah menipu abangnya sendiri. Bahkan suaminya hendak membunuh saudaranya, namun anak perempuannya ini membiarkan begitu saja dan merasa apa yang sudah dilakukan suaminya itu sudah benar."Baiklah, sedikit banyaknya kami sudah mulai tahu permasalahan kalian, untuk itu mari kita duduk bersama dan menyelesaikan ini di rumah Pak Kepala Desa dengan tokoh masyarakat yang ada di tempat ini." ucap seorang Bapak perwalian dari tokoh masyarakat yang ada disini.Sementara luka suamiku sudah di obati oleh petugas medis, entah siapa yang memanggil petugas medis datang kesini aku juga tidak tahu, yang pasti aku berterimakasih kasih pada mereka, yang telah perduli kepada suamiku.Kami berangkat ke rumah Bapak Kepala Desa, disana ada khusus tempat semacam balai pertemuan dan diskusi warganya. Tapi saat tiba disana aku merasa ada yang kura
Bab 32Dari dalam mobil, kami melihat Ibu mertua sudah duduk di teras rumah. Tidak biasanya Ibu datang tanpa pemberitahuan. Semoga saja kedatangan ibu, tidak karena ada masalah yang terjadi. "Inang, sudah lama nyampainya?" Aku mendekati Ibu dan menyalami serta mencium pipi kanan dan pipi kirinya, yang kini keriput termakan usia."Baru 15 menit Nak, itu... anaknya Pak Burhan pulang kampung minggu lalu, ada pesta saudaranya. Aku lihat mobilnya kosong, makanya aku ikut sama mereka." sahutnya dengan suara datar."Inang diantar sampai kesini tadi?""Tidak Nak, cucunya cengeng terus, makanya aku minta turun disimpang saja, dari simpang naik becak motor.""Oh, kita masuk yok Inang, pasti Inang sudah capek kan?."'Iya Nak, tadi kalian dari mana?" ucap ibu bertanya dan masih tetap duduk di kursi teras."Dari rumah Mami, Inang."Anak-anak turun dari mobil, lalu bergantian mencium neneknya. Aku dengar suara mesin mobil belum juga dimatikan oleh Bang Linggom, aku tahu sepertinya Bang Linggom sen
Bab 33"Terus bagaimana keadaan suamimu itu sekarang Mitha?, apa sudah kau bawa berobat?" Wah, Ibu Mertua bisa saja, keren! Biar kita bisa dengar apa lagi yang akan diceritakan si Mitha tukang bohong itu selanjutnya."Sudah Mak, syukurlah ada tadi yang menolong hela'mu, kalau ngak sudah dibunuh tuh sama Bang Linggom. Itulah Mak, pengaruh kak Riska itu, Abang jadinya ikut-ikutan memusuhi kami kan, padahal tanahnya hanya beli 4 hektar nya, tapi ngotot minta lebih, daripada ribut-ribut akhirnya kami kasih lah 2 hektar lagi, di pinggir pasar hitam lagi Mak, bagus kali lah tanahnya itu." Mitha semangat dengan cerita karangan dia sendiri."Kenapa kau bodoh sekali, kalau hanya 4 hektar nya di beli orang itu, kenapa kau mau memberinya 2 hektar lagi?""Aduh Mamak, kayak gak kenal sajalah kak Riska, serakah dan sok berkuasa, kalau dilawan malu lah Mak, sementara bang Saut disini sudah termasuk orang yang disegani, masak karena tanah 2 hektar saja jadi ribut lagi, adanya nanti bukan hanya bang