Bab 25Semua kami mendekat ke arah Bapak, kecuali kak Desi yang tetap duduk di tempatnya.Bapak tiba-tiba pucat, wajahnya berubah-ubah, sebentar pucat sebentar gelap. "Sakit Mak!" ucapnya lemas menoleh pada Ibu mertua."Linggom pegangin bapakmu, biar Mamak ambil dulu obat bapak di kamar." Bang Linggom mengambil alih kepala bapak di letakkan di pahanya, ibu segera bangkit mengambil obat."Ti-tidak usaah Mak, mungkin sekarang sudah ajal ku, duduklah dulu, Bapak mau bicara." bapak meraih tangan ibu agar duduk kembali."Iya, tapi biar kuambil dulu obatmu." ucap ibu dengan mata berkaca-kaca menahan tangis."Sepertinya hidupku tidak lama lagi, sabar lah sebentar, du-duduklah dulu di dekatku." Bapak seperti memohon kepada ibu.Ya Tuhan, tolong jangan ambil nyawa mertuaku. Sembuhkan beliau dari segala penyakitnya Tuhan. Ampuni hamba atas semua kesalahan hamba, tolong sembuhkan bapak mertuaku ini Tuhan, doaku dalam hati.Air mataku mengalir tanpa bisa dibendung lagi, aku tak sanggup melihat ke
Bab 26"Kumpulkan bajumu, Aku akan mengantarmu pulang ke rumah orang tuamu, tunggu surat cerai dariku di sana" jelas Bang Tigor mengulangi ucapannya. "Akh kamu Bang Tigor, dikit-dikit cerai! Aku perhatikan bela kali Kau sama adik iparmu itu ya? Sudah masuk juga peletnya sama Kau?" tantang Kak Desi tidak mau diam."Aku masih bicara baik-baik ini ya Desi! Kalau Kau tidak mau ku permalukan di kampung ini lekas kumpulin pakaianmu agar ku antar Kau pulang kepada orangtuamu." Wajah Bang Tigor sudah merah padam tandanya marah telah menguasai dirinya."Sudah deh Bang, jangan diperpanjang lagi. Lebih baik nanti Abang dan Kak Desi bicara setelah berdua saja." pinta Bang Linggom memohon."Kau pilih, Kau ku antar atau Kau pulang sendiri kepada orang tuamu?" Bang Tigor tidak menggubris ucapan Bang Linggom.Aduh, bakal perang lagi ini kayaknya, kak Desi kenapa ya tidak ada capek-capek nya nyari masalah terus."Aku heran sama Kau Bang! Harusnya, kak Susi lah yang di usir dari rumah ini, bukan malah
Bab 27Sepanjang perjalanan pulang, Ibu mertua hanya diam saja. Sesekali bersuara saat kami bertanya sesuatu. Ibu Bahkan tidak mau makan, minum hanya sedikit, kelihatan bangat wajahnya lelah dan capek, bahkan yang biasa dia sangat akrab sama Dinda, sama sekali pemandangan itu tidak terlihat, Ibu hanya melirik sesaat saat Dinda menangis minta susu, Ibu sama sekali tidak berniat untuk sekedar menghibur Dinda, kasihan ibu, pasti hatinya sangat sedih sekarang."Yok Mak, kita sudah nyampai." Suara Bang Linggom membuatku terjaga, setelah 14 jam menempuh perjalanan, dari kampung ke Bagan Batu ini."Kita sudah nyampai Dedek, kita turun yok sayang." Aku bicara kepada putri kecil kami yang ada dalam gendonganku.Aku turun dari mobil, dan membawa tas tempat baju-baju Dinda. Sementara Ibu mertua juga turun dari pintu sebelahku."Inang dapat tidur ngak tadi di mobil Nang?" tanyaku sekalian mencairkan kekakuan."Tidak bisa aku tidur Nak." jawab Ibu masih saja tidak ada gairah, dapat dimaklumi, cap
Bab 2810 tahun kemudian."Lae, ladang orang Lae yang 4 hektar, sudah perlu racun dan pupuk. Tolong Kirimkan uangnya ya Lae, sekalian saja sama upah kerjanya." Saut suami Mitha pagi ini telpon kepada Bang Linggom suamiku."Oke, baiklah Lae, nanti biar ku suruh di kirim oleh Mama nya Dinda," ucap Bang Linggom mengakhiri pembicaraannya di telepon.Saut suami Mita adalah makelar tanah di Ujung Batu, terhitung dari 5 tahun yang lalu kami membeli 10 hektar ladang disana. Kebetulan karena Saut makelar tanah jadi selalu dapat informasi tanah yang dijual cepat oleh pemiliknya.Yang 4 ha tadi adalah pertama kali kami beli, katanya saat ini sudah dalam tahap buah pasir, tapi sampai saat ini belum pernah ada hasilnya yang kami terima, karena menurut Mitha dan suaminya buah pasir itu belum laku dijual. Sementara pupuk, racun dan juga upah pekerja selalu rutin kami berikan. Pekerjaan kami yang tidak bisa kami tinggalkan sehingga kami percayakan penuh ladang itu kepada Mitha dan suaminya, lagipula
Bab 29Aku mencoba menghubungi Bang Linggom, tapi nomor tadi, yang dia pakai telpon sudah tidak aktif lagi. Aku juga heran kenapa nomor Bang Linggom tidak aktif, kemana sebenarnya ponselnya dan apa yang terjadi disana?"Dinda, darimana Kakak tahu kalau Ayah hendak dibunuh?"Rasa penasaran ku memaksa mulut ku untuk bertanya."Amangboru itu tadi yang telpon aku Ma, katanya Mama harus kesana karena malam ini Ayah mau di bunuh, Bou Mitha juga ikut berkata demikian Ma, terus aku bilang, Mama lagi sakit."Tanpa bertanya lagi, aku lihat jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, berarti aku pingsan tadi lumayan lama juga. Soalnya anak-anak selesai kerjakan PR masih aku lihat sekitar pukul 8 malam tadi sebelum aku terima telpon dari Bang Linggom.Kalau seandainya aku berangkat sekarang, bagaimana anak-anak? Kalau aku disini menunggu, bagaimana nasib suamiku?, tidak ada yang membantunya. Paling tidak kalau aku ada disana emosi Bang Linggom bisa terkontrol. Uh... Rasanya jadi serba salah. Tuhan,
Bab 30Aku melihat suamiku dikerumuni warga, mukanya sudah bonyok dengan lebam dimana-mana. Aku bahkan bisa melihat goresan luka sabet di lengan kanannya. Kakinya juga penuh dengan darah-darah segar."Ayah..." Sayup-sayup kudengar suara Feri memanggil ayahnya. Tapi aku tidak melihat dari arah mana suara anakku itu datang.Mataku tertuju kepada Mitha dengan tangisan yang pilu. Lalu aku lihat suami Mitha masih berusaha lepas dari pelukan seorang orang tua yan berusaha menenangkannya. Ku tatap mereka berdua bergantian, meski aku tidak tau awal mula permasalahannya, tapi menurutku sudah tidak lagi wajar, kalau satu membawa pedang dan satunya dengan tangan kosong.Perlahan tapi pasti, aku berjalan mendekati suaminya Mitha. "Katakan padaku! apa yang sedang Kau lakukan kepada Ayah dari anak-anakku?"Aku sama sekali tidak lagi menghargainya sebagai saudara, kemarahan ku telah membuat dia terlihat kecil di mataku, bahkan sekecil biji korek api, aku terus mendekatinya, ilmu bela diri yang dulu
Bab 31Semua yang melihat, hanya diam mendengarkan sumpahku. Aku ingin, Mitha merasakan bagaimana perasaan Ibu mertua, sekiranya tahu bahwa anak perempuan nya ini telah menipu abangnya sendiri. Bahkan suaminya hendak membunuh saudaranya, namun anak perempuannya ini membiarkan begitu saja dan merasa apa yang sudah dilakukan suaminya itu sudah benar."Baiklah, sedikit banyaknya kami sudah mulai tahu permasalahan kalian, untuk itu mari kita duduk bersama dan menyelesaikan ini di rumah Pak Kepala Desa dengan tokoh masyarakat yang ada di tempat ini." ucap seorang Bapak perwalian dari tokoh masyarakat yang ada disini.Sementara luka suamiku sudah di obati oleh petugas medis, entah siapa yang memanggil petugas medis datang kesini aku juga tidak tahu, yang pasti aku berterimakasih kasih pada mereka, yang telah perduli kepada suamiku.Kami berangkat ke rumah Bapak Kepala Desa, disana ada khusus tempat semacam balai pertemuan dan diskusi warganya. Tapi saat tiba disana aku merasa ada yang kura
Bab 32Dari dalam mobil, kami melihat Ibu mertua sudah duduk di teras rumah. Tidak biasanya Ibu datang tanpa pemberitahuan. Semoga saja kedatangan ibu, tidak karena ada masalah yang terjadi. "Inang, sudah lama nyampainya?" Aku mendekati Ibu dan menyalami serta mencium pipi kanan dan pipi kirinya, yang kini keriput termakan usia."Baru 15 menit Nak, itu... anaknya Pak Burhan pulang kampung minggu lalu, ada pesta saudaranya. Aku lihat mobilnya kosong, makanya aku ikut sama mereka." sahutnya dengan suara datar."Inang diantar sampai kesini tadi?""Tidak Nak, cucunya cengeng terus, makanya aku minta turun disimpang saja, dari simpang naik becak motor.""Oh, kita masuk yok Inang, pasti Inang sudah capek kan?."'Iya Nak, tadi kalian dari mana?" ucap ibu bertanya dan masih tetap duduk di kursi teras."Dari rumah Mami, Inang."Anak-anak turun dari mobil, lalu bergantian mencium neneknya. Aku dengar suara mesin mobil belum juga dimatikan oleh Bang Linggom, aku tahu sepertinya Bang Linggom sen
Bab 66Aku kaget dengan ucapan bang Linggom yang tiba-tiba Sarkar begitu. Si Mitha juga sudah punya mantu tapi tetap saja kelakuannya tak pernah bisa menghargai orang lain."Ck, baru makanan gini saja marahnya kayak orang kerasukan setan."Mitha langsung melempar kresek yang berisi terong tadi ke halaman rumah melalui pintu yang memang sedang terbuka, alhasil terong Belanda buah kesukaanku itu berserak di halaman rumah ada beberapa yang pecah. Dengan gontai aku berjalan keluar memungut terong-terong tersebut. Walau bagaimanapun itu adalah makanan tidak boleh dibuang. Apalagi ini pemberian orang. Aku lihat mata Mitha tajam menatapku mengutip satu persatu buah tersebut."Makan tuh buah,bila perlu masukkan sebagian di telingamu." ucapnya ngos-ngosan, sepertinya emosinya sudah di ujung tanduk."Iya dong, kalau kau tidak menghargai pemberian orang lain, itu masalah mu. Tapi aku setetes pun pemberian orang lain akan ku ingat, begitupun kecurangan, sedikit pun orang lain bersikap curang pa
Bab 65Pagi ini aku sengaja bangun lama. Aku dengar mertua sudah mulai bergerak di dapur. Tapi karena cuaca yang sangat dingin aku enggan keluar dari selimut. "Mak Thomas, bangunlah kau. Masaklah buat anak-anakmu. Nanti mereka bangun pasti pada lapar semua." Kudengar ibu mertua membangunkan Mitha, yang tidur di kamar. Sementara aku dan Linggom beserta Thomas dan istrinya, dan kelima adiknya tidur di ruang depan bareng-bareng bersama ibu mertua. Mitha dan suaminya tidur di kamar dengan alasan dingin dan tidak biasa tidur tanpa alas Spring bed."Akh, Mamak ini berisik kali. Dingin loh Mak, mana masih gelap juga. Biar nanti istrinya Thomas yang masak Mak, aku masih mau tidur.""Sudah tua, bentar lagi kau sudah memiliki cucu, tapi bawaanmu masih tetap kayak anak-anak. Terserah kaulah. Kalau kau mau anak-anakmu kelaparan ya sudah." sahut mertua sambil berlalu ke dapur.Aku melihat jam di tanganku, masih menunjukkan pukul lima subuh. Pagi ini Ferry dan kedua adiknya akan tiba di rumah kar
Bab 64"Kenapa harus membawa ini dan itu kau Mak Dinda, aku sendiri nya tinggal di rumah ini. Seberapa banyaklah buat aku makan." Ibu mertua protes setelah aku membongkar oleh-oleh yang aku bawa dari kardus."Memang selalu nya begini kan Mak, kalau bukan kami yang membawa kebutuhanmu di rumah ini memang ada yang akan memperhatikan Mamak?" sela bang Linggom dengan suara datar."Maafkanlah saudaramu yang lain ya Nak, mungkin begitulah yang mereka tau." Sahut ibu mertua sungkan."Lagipula ini buat bekal kita selama disini Inang, cucu-cucu mu paling juga nanti menghabiskannya." aku berusaha menetralisir suasana biar ibu mertua tidak merasa sungkan.Kebetulan pas kami nyampai rumah mertua masih sepi. Mitha, suaminya dan anak-anaknya pergi jalan-jalan. Sementara bang Dapot dan kak Susi beserta anak-anaknya masuk sibuk bekerja di ladangnya. Menurut kebiasaan paling nanti pas malam tahun baruan mereka datang berkumpul di rumah mertua. Sementara bang Tigor dan istri keduanya belum juga nyampa
Bab 63Aku cukup diam saja melihat tingkah Mitha. Barangkali dia tidak sadar betapa dulu aksi suaminya sangat membuat hati Ferry begitu trauma sampai sekarang. "Sudah Mak Thomas, tidak usah dibahas lagi." Saut memegang tangan Mitha."Tidak apa-apa Lae, inangbao. Tidak usah dipikirkan masalah bensin. Besok biar kami saja yang jemput orang Lae dan Inangbao kesini." Saut masih memegang tangan Mitha agar tetap berdiri di tempatnya, sambil menunduk sungkan kepada Bang Linggom dan aku."Tidak usah Amangbao, tidak perlu menjemput kami. Harusnya kita lebih baik tidak usah saling mengunjungi seperti ini. Cukup disaat kalian perlu pesta adat yang mengharuskan kami ada maka datanglah kemari, jika kami juga perlu pesta adat dan acara maka kami pun akan menghubungi kalian. Anggap saja hubungan kita sebatas pesta adat tradisi kita saja sebab biar bagaimanapun, Mak Thomas dan Pak Dinda tetap bersaudara kandung." Rasanya aku sudah muak dengan semua kepura-puraan ini. Datang kemari menawarkan pula
Bab 62Pesta pernikahan Thomas yang terkesan buru-buru tak pelak mengundang tanya orang-orang. Aku dan bang Linggom memutuskan untuk hadir setelah diskusi dengan bang Dapot dan bang Tigor.Pesta berjalan sebagaimana mestinya, para undangan pun banyak yang hadir. Baik dari kampung maupun keluarga yang ada disini. Pihak dari saudara Mitha memiliki peran sangat penting di pesta tersebut. Meski tidak begitu antusias tapi aku dan bang Linggom berusaha menempatkan diri agar tidak terlihat dimuka publik betapa peliknya permasalahan yang pernah terjadi diantara kami.Aku genggam tangan suamiku, sabar hasian, kelak anak-anak kita yang mendapat berkat dari Tuhan. Seiring berjalannya waktu, Mitha dan suaminya sudah mulai berani datang bertandang sesekali ke rumah. Walau suamiku tetap cuek dan dingin. Aku selalu mengajarkan anak-anakku untuk bersikap sopan kepada mereka, jika anakku yang nomor tiga dan nomor empat selalu menyambut ramah mereka, beda dengan anakku yang ke satu dan nomor dua yait
Bab 61"Apa maksudmu Bere?" ucap bang Linggom merenggangkan pelukan mereka"Ya Tulang, lebih baik aku tidak usah menikah kalau Tulang dan Nantulang tidak hadir." tegas Thomas masih posisi air mata membasahi pipinya."Thomas! Kau sudah besar. Dan kau pasti bisa mengingat bagaimana dulu jahatnya kedua orangtuamu ini kepada kami. Jadi sudahlah, tidak usah berdrama pakai nangis segala disini karena memang kami tidak akan iba pada kalian. Pergilah temui tulangmu yang dua lagi." ucapku dengan tenang."Apa salahku Nantulang, kesalahan orang tua kenapa dilimpahkan padaku. Aku minta maaf, tolong maafkan kami." Kembali Thomas memohon dengan penuh harap. Beralih mengambil tanganku dan menciumnya dengan hormat. Aku segera menarik tanganku dari kegemarannya sebelum hatiku luluh. Sesungguhnya tidak tega juga melihat keponakan kami ini menangis dan memohon, tapi jika mengingat perlakuan kedua orangtuanya membuat hati ini seperti membeku."Thomas, bagaimana mungkin kau tidak akan menikah, sementara
Bab 60"Ini padi-padi kita kenapa bisa begini Bang?"Aku berdiri memperhatikan padi yang susah payah kami tanam sekarang malah hangus menghitam."Sepertinya padi mu ini di semprot racun oleh seseorang Mak Dinda. Aku lihat dari kemarin daunnya pada kuning semua, sekarang jadi menghitam kering." Kak Lis, yang ladangnya bersebelahan dengan ladangku memberi penjelasan. Kak Lis juga lah yang telah mengirimkan SMS kepadaku tadi malam."Apa yang ada ya kak, kakak lihat jejak orang mencurigakan yang sengaja merusak ini?" Bang Linggom bertanya kepada kak Lis."Tidak ada Pak Dinda, kemarin lusa memang kami tidak ada disini, kalian pergi kami juga pergi. Ada pesta adik ipar ku di kampung."Bang Linggom tetap mengambil padi-padi kami itu. Meski menghitam tapi karena sudah berisi, setidaknya bisa di tumbuk pelan-pelan untuk mengeluarkan gabahnya dari berasnya.Miris memang, sedihnya tak terucapkan. Pengen cerita ke Papi dan saudara-saudara ku juga, rasanya aku enggan jadi beban buat mereka. Sedan
Bab 59“Helmi, aku memilih keluargaku! Aku akan segera mengurus perceraian kita.”Bang Roni menatap Kak Helmi, lalu mengusap air matanya dengan kedua telapak tangannya.Mendengar pernyataan Bang Roni. Membuat mata Kak Helmi membulat seakan tidak percaya apa yang barusan diucapkan oleh suaminya. Bukan hanya kak Helmi, aku yakin kami semua kaget atas ucapan Bang Roni terlihat dari wajah kami masing-masing yang kelihatan tegang.“Maksud Abang apa?” ucap Kak Helmi mendekat ke sisi Bang Roni.“Aku memilih keluargaku! Aku ingin kita bercerai.”“Papi, tolong maafkan aku Pi! Beri aku waktu untuk merubah segala sifat jelekku selama ini. Aku akan memberikan uang lima juta rupiah itu secara cuma-cuma kepada Riska, yang penting kami tidak bercerai.” “Jangan Anda pikir karena uang lima juta bisa membeli keharmonisan keluarga ini. Simpan uangmu, Eriska tidak akan menerima apapun yang akan Anda berikan!" tegas Papi kesal.Aku perhatikan, Papi tetap bersuara datar meskipun emosinya sedang meningkat,
Bab 58Padahal kalau dipikir-pikir, uang Bang Roni ini melebihi uang Bang Anton. Sawit Abangku ini lebih dari seratus hektar saat ini. Semua sudah berhasil. Sementara mereka belum memiliki anak. Sedih jadinya melihat Abangku yang satu ini.“Kalau Kau Bungaran bagaimana?” tanya Papi menoleh ke Abangku nomor tiga.“Lima puluh juta. Urus Lah ladang kalian itu dengan baik. Berdoa kepada Tuhan, biar apa yang kalian kerjakan diberkati Tuhan. Kalau sudah ada tempat yang cocok segera bangun rumah kalian disana, nanti Abang bantu biaya pembangunannya. Apa yang dilakukan iparmu itu Lae Linggom, jadikan cambuk menuju sukses. Keponakanku ini berempat harus bisa sekolah tinggi kalian buat, kalian harus buktikan meskipun dicurangi tapi mampu berdiri kokoh,” ucap Bang Bungaran tegas."Iya Riska, Kau jangan sungkan-sungkan. Selama ini begitu banyak masalah yang terjadi padamu, Kau pendam sendiri. Apa Kau tidak menganggap kami ini saudaramu? Papi sudah tua, bagaimanapun kitalah yang harus saling bahu