Wanita itu membuat sarapan dalam diam. Seakan begitu fokus dengan apa yang dia lakukan, entah fokus beneran atau sedang marah seperti yang aku pikirkan. Dia tak membiarkanku membantunya, tapi menyuruhku duduk di mini bar yang berada tepat di dekatnya memasak. Omelette makaroni dan segelas jus jeruk terhidang di meja setelah beberapa saat Syifa berkutat di dapur. "Mamamu bilang, Kakak harus makan yang sehat-sehat. Aku gak tahu ini termasuk makanan sehat atau tidak," ucap Syifa sambil duduk di sebrang meja. "Aku akan banyak belajar lagi dalam urusan dapur," sambungnya."Mamaku adalah mertuamu, kenapa kamu tak memanggilnya dengan panggilan mama juga?""Belum terbiasa, Kak. Cepat makan, kita harus segera pergi ke kantor." Benar yang dikatakan oleh Syifa, kami harus segera pergi ke kantor. Kemarin hari libur, biasanya setelah hari libur, jalanan jadi lebih macet dari biasanya. Entahlah hanya perasaan saja karena telah menikmati kenyamanan saat weekend, atau memang tingkat kepadatan kend
"Berhentilah kalian bertengkar, susulin Syifa, Kak. Jangan sampai kamu menyakiti wanita yang kamu nikahi. Jika tidak yakin dengan pernikahan itu, kamu harusnya menolaknya. Kita bisa melakukan cara lain untuk meredam kemarahan warga," turut Husniah panjang lebar. Aku menghela nafas dalam-dalam, apa aku memang keterlaluan? Aku hanya perhatian pada adik sepupuku. Apa salahnya? Tanpa menunggu dua kali Husniah menyuruhku, kususul juga akhirnya wanita yang sudah menjadi istriku itu. Aku turun ke bawah untuk mencarinya. Kuketuk pintu kamar mandi yang terdengar suara air gemericik dari dalam sana."Fa, jangan nangis di kamar mandi. Kalau mau nangis, dadaku nganggur nih." Aku berkata sambil mengetuk pintu. Tak lama berselang, pintu terbuka dan menyembullah wajah Syifa dari dalam sana. "Siapa bilang aku nangis?" Tanya Syifa begitu pintu terbuka. "Dua pasturi di atas sana. Mereka ngeyel kamu nangis gara-gara aku ngomongin bayi mulu dan terlalu peduli pada Husniah." "Enggak, Kak. Aku emang
Kuketuk pintu kamar Syifa, wanita itu langsung mengurung diri di dalam kamar setelah makan malam. Selama dalam perjalanan pulang, dia juga tak mengatakan apapun, dan saat makan malam pun, wanita itu tak berbicara sama sekali. Aku rasa ini karena perkataan Papa yang memintaku untuk kencan buta dengan putri temannya. "Fa, kamu udah tidur." Aku berteriak dari luar kamar. Tak ada jawaban sama sekali, apa iya dia tidur secepat ini. Bahkan tadi dia tak mengajakku untuk shalat Isya bersama. Tadi kami sempat sholat Maghrib di jalan sebelum pulang. Karena tak ada jawaban, aku memilih masuk begitu saja ke kamar tersebut. Bukankah ini kamar istriku, aku tak perlu ijin masuk bukan. Bahkan harusnya kami tinggal di kamar yang sama. Begitu kubuka pintu kamarnya, terlihat wanita itu masih mengenakan mukena. Ternyata dia baru selesai shalat. Kutunggu hingga dia selesai berdoa. "Ada apa, Kak?" Tanya Syifa sambil melipat mukenanya. "Kenapa diam saja sejak tadi, apa kamu marah padaku?""Marah untuk
Kutatap mata wanita di depanku ini, apa dia sedang bercanda atau serius. Bagaimana bisa dia mengatakan tertarik hanya dengan sekali bertemu. "Aku bukan tipe pria idaman, Carissa. Aku tak memiliki apapun selain milik orang tuaku. Aku juga bukan lulusan luar negeri, kegemaranku naik gunung. Kotor-kotoran, aku rasa akan jauh beda dengan dirimu," tuturku panjang lebar. Berusaha merubah sudut pandangnya tentang diriku. "Tapi kamu pria yang apa adanya, dan aku lebih suka yang seperti ini. Daripada yang berpura-pura, lalu saat bersama dalam satu rumah, terikat pernikahan, segala keburukannya akan terbongkar."Carissa begitu santai mengungkapkan perasaannya, tidak seperti kebanyakan wanita yang malu-malu, hanya memberi sinyal dan menunggu pria untuk mengungkapkan perasaan padanya. "Aku sudah menikah, Sa."Mata bening yang dihiasi eyeliner berwarna hitam itu membulat sempurna. Menatap dalam padaku, seperti mencari kejujuran dalam diriku. Lalu beberapa saat kemudian menutup mulutnya dan tert
Syifa berjalan dengan langkah panjang ke arahku yang masih dipeluk oleh Carissa. "Lepaskan, Sa," pintaku pada wanita itu. "Nggak mau," tolak Carissa. "Jangan memeluk kekasih orang sembarangan, Mbak," seru Syifa sambil menarik tanganku agar menjauhi Carissa. Aku makin syock dengan apa yang dilakukan oleh Syifa. Dia bilang kekasih orang. Apa kali ini dia akan mengakui hubungan kami. "Kekasih?" Carissa membeo ucapan Syifa. "Iya. Kak Wisnu sudah punya kekasih," sahut Syifa dengan percaya diri. Dia tidak menyebutku dengan panggilan Bapak, tapi Kak. "Kamu kekasihnya?" Tanya Syifa sambil bersedekap, matanya awas memindai tubuh Syifa dari atas hingga bawah. Syifa diam tidak menjawab, aku pun bingung hendak mengatakan apa. Semua terjadi dengan tiba-tiba begini."Iya, pasti kamu. Kamu sekertarisnya, seharusnya memanggil dia Bapak. Apa-apaan panggil atasan kakak jika tidak ada hubungan," ucap Carissa lagi. "Bener Wisnu, dia kekasihmu. Jadi sebenarnya kamu sudah menemukan wanita itu? Bag
Kami pulang berdua saja, Carissa sudah lebih dulu meninggalkan kami. Tidak ada obrolan sama sekali kali ini. Setelah Syifa mengungkapkan isi hatinya, menuduhku terikat pada Husniah, kami saling mendiamkan. Sosok istri yang aku inginkan memang seperti Husniah, cerdas, memiliki hati yang teguh, dan sabar. Hanan beruntung memilikinya, meskipun pria itu pernah menyakitinya, tapi Husniah tak pernah sekalipun berpaling. Bahkan saat banyak alasan untuk meninggalkan pria itu, Husniah tetap memilih tinggal bersamanya. Dia sabar menunggu suaminya sadar hingga bertahun-tahun. Mana ada wanita seperti dia di jaman seperti ini. Sore hari saat pulang, kami juga tetap saling diam. Begitu sampai di apartemen, Syifa masuk ke kamar sambil menerima telepon yang sejak tadi keluar dari lift terus berdering. "Mbak Nia yang telpon," ucap Syifa tadi sebelum masuk ke dalam kamar. Seakan tidak ingin aku mencurigainya.Entah sudah berapa lama dia di kamarnya, aku pun masuk ke kamarku dan hari ini tak berniat
POV Syifa. Aku berjumpa dengannya pertama kali saat aku ikut Mbak Nia untuk menjaga Mas Hanan yang koma akibat kecelakaan waktu itu. Dari segi penampilan pria itu cukup tampan tubuhnya tinggi dengan berat badan ideal. Selain itu, dia begitu perhatian terutama kepada mbak Nia yang ternyata adalah sepupunya. Ternyata kakak iparku itu adalah keturunan orang kaya, ayahnya anak kedua dari pemilik perusahaan di mana Mas Hanan dulu bekerja benar-benar tidak bisa dipercaya.Pria itu bernama Wisnu, setiap hari menjemput dan mengantar Mbak Husniah untuk bekerja. Aku sering kali bertegur sapa dengannya jika dia mampir ke rumah, pria itu ramah pada siapa pun. Sejak Mbak Nia berhenti bekerja karena Mas Hanan sadar dari koma, aku tak lagi terlalu sibuk di rumah mungil itu, jadi memutuskan untuk mencari pekerjaan. Siapa sangka pria itu memintaku untuk bekerja dengannya, mengantikan sekertaris yang berhenti bekerja. Tentu saja dengan senang hati aku menerimanya. Waktu berlalu, Kak Wisnu - begitu
Wanita itu tertidur pulas dalam pelukanku, pada akhirnya aku tak bisa menahan diri untuk tidak menyentuhnya. Suara lembutnya, tatapan matanya yang meminta, membuatku hilang kendali. Jika dikatakan aku melakukannya tanpa cinta, ini tidak benar sepenuhnya. Aku melakukannya dengan hatiku, bukan hanya nafsu semata. Syifa sudah menjadi milikku sepenuhnya, dia tak sama lagi seperti sebelum aku nikahi. Aku tak boleh menyakitinya dengan mengikuti kemauan Carissa. Mungkin Mama bisa membantuku untuk membujuk Papa agar tidak memaksaku meneruskan hubungan dengan Carissa. Setelah itu, aku akan membujuk Carissa, meyakinkan dirinya kalau aku memang sudah menikah. Kukecup kening pemilik mata yang terpejam itu, badannya bergerak sebentar seakan terusik, lalu kembali tenang dengan senyum samar di wajah. ***"Mama harus membantuku membujuk Papa. Jangan sampai aku dipaksa menikah dengan putri temannya," pintaku pada Mama. Setelah pulang kerja aku sengaja pulang ke rumah, mengunjungi Mama sekaligus me
Pesona Istri Season 3 POV Hanan "Selamat ulang tahun Sayang ucapku sambil memberikan sebuket bunga mawar untuknya." Meskipun di rumah ini ada taman bunga mawar, tapi tetap saja memberi bunga padanya selalu membuatnya bahagia. Namun, dia akan berkata tak suka pada bunga yang sudah dipetik. "Terima kasih, Mas," jawabnya tanpa terlihat sedikit pun senyum di wajahnya. Sudah beberapa hari ini Husniah tampak bersedih hati. Aku tahu penyebabnya tak bahagia beberapa hari ini. Sudah hampir dua bulan tak ada dari anak-anaknya yang datang mengunjungi kami baik Hulya yang belum memiliki anak maupun Atma dan Nata yang sudah sibuk dengan keluarga kecilnya ditambah dengan keberadaan anaknya."Kamu rindu pada anak-anak?" tanyaku.Pertanyaanku hanya dijawab Husniah dengan anggukan, seakan dia enggan berbicara. Aku tahu jika dia mengungkapkan isi hatinya, dia akan menangis begitu saja. Entah kenapa di usianya yang tak lagi muda, Husniah semakin melankolis. Kurasa ini terjadi setelah anak-anak perg
Pesona Istri Season 3 "Sayang, Abang minta maaf," ucapku, sembari mencoba mendekat padanya lagi. Dia marah tapi tak mau didekati, bagaimana bisa aku menenangkannya. Lebih baik dia memukuliku daripada menjauh dengan tampang seperti itu. "Kenapa minta maaf," ketus Queena. "Udah bikin kamu kesal," balasku. "Sini, kita bicarakan dengan tenang. Kamu mau apa?" Wajah itu masih cemberut, tapi tak lagi menjauhiku hingga jarak kami semakin dekat. "Maaf ya." Lagi aku mengatakan permintaan maaf, entah untuk kesalahan yang mana. Yang penting aku minta maaf saja, mungkin dengan seperti ini dia kan lebih baik. Tanpa dikomando, air mata Queena meluncur melewati pipinya yang terlihat berisi, lalu kemudian berlanjut dengan isakan kecil terdengar di telingaku. "Abang minta maaf," ucapku, lagi, entah untuk yang berapa kali. Aku merengkuh tubuh Queena dalam pelukan. Istriku itu tak menolak dan melawan, dia terisak dalam dekapanku. Biarlah, dia puas menangis setelah puas memukuliku. Biar dia mel
Pesona Istri Season 3"Nata, Queena pergi meninggalkan Rafka sejak tadi pagi," ucap Tante Syifa dari ujung telepon, ketika aku mengangkat panggilan dari mertuaku tersebut.Mendengar penuturan Tante Syifa, tentu saja membuatku sedikit terkejut. Tadi pagi memang Queena masih marah saat kutinggal pergi kerja. Kali ini bukan masalah postur tubuhnya yang gemuk namun kami bertengkar lagi karena Queena kembali mencurigaiku memiliki kedekatan dengan Yuanita pada hal dia jelas-jelas tahu kalau wanita itu sudah memiliki tunangan. Meskipun sampai sekarang mereka belum berniat untuk menikah. Entah kenapa beberapa hari ini, tidur kami selalu diwarnai dengan pertengkaran. "Quina pergi ke mana, Ma. Dia tak pamit dan meninggalkan Rafka begitu saja. Lalu gimana sekarang keadaan anak itu apakah dia rewel karena tak ada mamanya?" Bertubi-tubi aku bertanya pada mertuaku. Jika di lihat sekarang sudah mulai sore, artinya istriku itu sudah pergi dari rumah cukup lama. Tapi kenapa Tante Syifa baru mengat
Pesona Istri Season 3 "Nggak gitu juga kali konsepnya Kak Yuan," ucap Queena dengan nada sebal.Sepertinya dia tak suka dengan perkataan yang dilontarkan oleh Yuanita barusan, siapa yang suka dengan perkataan seperti itu. Aku pun tak suka, Queena adalah istriku tak ada yang boleh memilikinya selain diriku. "Aku cuma bercanda mengimbangi perkataan Liam barusan," sahut Yuanita, membela diri.Dua wanita ini nampaknya sulit akur sekarang, Queena yang cemburu pada Yuanita karena dulu kami pernah dekat, dan Yuanita yang cemburu pada Queena karena Liam begitu perhatian pada istriku. Kami berbasa-basi beberapa saat, kurang lebih hanya empat puluh lima menit. Karena kami harus segera pergi ke restoran. William pergi sendiri mengendarai mobilnya, sedangkan aku dan Yuanita akan berkendara di mobil yang sama seperti yang kami katakan tadi. "Aku pergi dulu ya, Sayang," pamitku pada Queena. "Kok Kak Yuanita ikut dengan Abang?" tanya Queena, seperti tak suka. "Liam akan langsung ke kantornya,
Pesona Istri Season 3Aku sudah mulai aktif kembali bekerja di restoran bersama dengan Yuanita. Sampai sekarang aku tak pernah tahu lagi, bagaimana hubungan dia dengan William. Kulihat mereka baik-baik saja namun hingga detik ini sepertinya tak ada kemajuan dalam hubungan mereka entah kapan mereka akan memutuskan untuk menikah. Biarlah itu bukan urusanku, mereka adalah dua orang dewasa yang sudah tahu mana yang baik dan mana yang benar. "Bagaimana keadaan Queena?" Tanya William saat aku hendak pulang. "Alhamdulillah sehat dan baik," jawabku. Sejak kejadian Yuanita melihatnya memeluk Queena dan dia marah-marah tidak jelas itu, William lebih banyak menahan diri. Dia tak lagi ingin dekat dengan Queena. Ditambah lagi aku dan istriku pergi ke luar kota, pindah ke rumah Mama dan Papa dalam beberapa bulan. Kupikir, membuat kedekatan Queena dan William tak lagi seperti dulu. "Mau ke sana, kita tengok Mama dan bayinya." Yuanita datang menghampiri kami dengan sebuah usulan. "Kamu mau?" Wil
Pesona Istri Season 3 Aku terbangun saat terdengar suara azan dari ponselku. Malam tadi kami masih tidur dengan nyenyak, Queena juga tidak membangunkanku. Bayi kami pun tidak di bawa ke sini. Perawat bilang, bayi yang baru lahir tidak langsung lapar dan ingin menyusu dari mamanya saat kutanya apa bayi kami tak kelaparan. Aku segera bangun, membersihkan diri dan sholat subuh, setelah itu membangunkan Queena. "Sayang, mau mandi gak?" Tanyaku sambil mengecup keningnya. "Sudah jam berapa?" Queena bertanya. "Jam lima lewat." Queena terlihat susah payah saat ingin bangun dari posisinya. Tentu saja, pasti dia masih kesakitan di bagian intimnya. "Ayo abang bopong," kataku sembari mengambil posisi hendak mengangkat tubuhnya. Queena menatap padaku. "Iya deh," sahutnya sambil memamerkan barisan giginya. Kenapa tak minta tolong saja dari tadi. Dengan hati-hati, kuangkat tubuhnya dan kubawa ke kamar mandi. "Mau dimandiin?" tanyaku. "Apaan sih Abang, aku bisa mandi sendiri." Dia menolak
Pesona Istri Season 3 POV Nata Wajah lelah namun tampak bahagia itu tersenyum bahagia saat menatapku. Aku baru saja mengazani bayi kami yang ada di ruang bayi. Sedangkan Queena masih berada di ruang bersalin tadi saat aku tinggalkan untuk melihat bayi kami. Queena melahirkan tanpa persiapan, kami sedang asyik jalan-jalan di mall tapi tiba-tiba dia pecah ketuban. Lalu saat di bawa ke rumah sakit ternyata sudah pembukaan 4 dan semua berjalan dengan cepat. "Bukannya anak pertama katanya perlu lama kontraksi untuk pembukaan." Itu yang aku tanyakan pada dokter saat dikatakan Queena sudah siap melahirkan. "Aku udah mulas dari kemarin, Abang. Tapi aku tahan, makanya tadi sengaja aku ajak Abang jalan-jalan biar rasa sakitnya teralihkan." Ah, Queena, ada-ada saja. Kuat juga dia menahan rasa sakit itu. Tapi mungkin aku dan kedua mertuaku akan jauh lebih khawatir jika tahi sejak kemarin dia mulas tapi bayi baru lahir hari ini. Kembali kukecup kening Queena yang sudah berada di atas kursi
Pesona Istri Season 3POV Hulya Pengantin baru, rumah baru. Begitu pulang dari hotel, aku hanya menginap di rumah Papa dan Mama dua malam. Lalu hanya semalam berada di rumah mertuaku, kemudian suamiku langsung membawaku pergi ke rumah yang dia inginkan untuk menjadi tempat tinggal kami. Sejauh ini, keluarga mertuaku semuanya baik dan sayang padaku. Termasuk adik iparku yang merupakan adik Mas Aslam. Mereka hanya dua bersaudara. Pantas saja kalau suamiku itu begitu memanjakan adik perempuannya. Aku hanya bisa menurut saat Mas Aslam mengajakku tinggal berdua saja, dia memilih rumah minimalis modern untuk menjadi tempat tinggal kami. "Aku hanya ingin menghabiskan waktu berdua saja denganmu, di rumah yang tak terlalu luas sehingga aku bisa selalu melihat keberadaanmu setiap saat. Selain itu, agar kamu tak kesepian jika sendiri karena rumah tak terlalu besar." Itu yang dikatakan Mas Asalm saat pertama kali kami menginjakkan kaki di rumah ini. Terhitung sudah satu minggu kami tinggal
Pesona Istri Season 3 Suasana pagi terasa mulai ramai oleh orang-orang yang hendak pergi bekerja. Dengan senyum lebar, aku menanti kedatangan moda transportasi umum yang sangat ingin aku coba, kereta listrik. Aku dan Mas Aslam akan naik kendaraan umum itu berbarengan dengan orang-orang yang berangkat ke kantor. "Senangnya akhirnya kita bisa naik kereta ini bareng," ucapku seraya menatap ke arah lintasan kereta. Menunggu alat transportasi tersebut datang. "Kenapa harus di jam segini sih, lihat ramai sekali. Kita ini baru menikah, harusnya bersantai di hotel menikmati kebersamaan bukannya malah ikutan berdesakan dengan para karyawan," omel Mas Aslam.Sebenarnya dia tak setuju aku melakukan ini saat ini, khawatir masih lelah setelah kemarin kami sibuk di acara pernikahan. "Ini letak serunya, ikutan berdesakan dengan penumpang lainnya. Kalau sepi mana seru, biar tahu bagaimana hidup sulit," jawabku sekenanya. Mas Aslam hanya geleng-geleng kepala mendengar perkataanku. "Memangnya gak