Kami pulang berdua saja, Carissa sudah lebih dulu meninggalkan kami. Tidak ada obrolan sama sekali kali ini. Setelah Syifa mengungkapkan isi hatinya, menuduhku terikat pada Husniah, kami saling mendiamkan. Sosok istri yang aku inginkan memang seperti Husniah, cerdas, memiliki hati yang teguh, dan sabar. Hanan beruntung memilikinya, meskipun pria itu pernah menyakitinya, tapi Husniah tak pernah sekalipun berpaling. Bahkan saat banyak alasan untuk meninggalkan pria itu, Husniah tetap memilih tinggal bersamanya. Dia sabar menunggu suaminya sadar hingga bertahun-tahun. Mana ada wanita seperti dia di jaman seperti ini. Sore hari saat pulang, kami juga tetap saling diam. Begitu sampai di apartemen, Syifa masuk ke kamar sambil menerima telepon yang sejak tadi keluar dari lift terus berdering. "Mbak Nia yang telpon," ucap Syifa tadi sebelum masuk ke dalam kamar. Seakan tidak ingin aku mencurigainya.Entah sudah berapa lama dia di kamarnya, aku pun masuk ke kamarku dan hari ini tak berniat
POV Syifa. Aku berjumpa dengannya pertama kali saat aku ikut Mbak Nia untuk menjaga Mas Hanan yang koma akibat kecelakaan waktu itu. Dari segi penampilan pria itu cukup tampan tubuhnya tinggi dengan berat badan ideal. Selain itu, dia begitu perhatian terutama kepada mbak Nia yang ternyata adalah sepupunya. Ternyata kakak iparku itu adalah keturunan orang kaya, ayahnya anak kedua dari pemilik perusahaan di mana Mas Hanan dulu bekerja benar-benar tidak bisa dipercaya.Pria itu bernama Wisnu, setiap hari menjemput dan mengantar Mbak Husniah untuk bekerja. Aku sering kali bertegur sapa dengannya jika dia mampir ke rumah, pria itu ramah pada siapa pun. Sejak Mbak Nia berhenti bekerja karena Mas Hanan sadar dari koma, aku tak lagi terlalu sibuk di rumah mungil itu, jadi memutuskan untuk mencari pekerjaan. Siapa sangka pria itu memintaku untuk bekerja dengannya, mengantikan sekertaris yang berhenti bekerja. Tentu saja dengan senang hati aku menerimanya. Waktu berlalu, Kak Wisnu - begitu
Wanita itu tertidur pulas dalam pelukanku, pada akhirnya aku tak bisa menahan diri untuk tidak menyentuhnya. Suara lembutnya, tatapan matanya yang meminta, membuatku hilang kendali. Jika dikatakan aku melakukannya tanpa cinta, ini tidak benar sepenuhnya. Aku melakukannya dengan hatiku, bukan hanya nafsu semata. Syifa sudah menjadi milikku sepenuhnya, dia tak sama lagi seperti sebelum aku nikahi. Aku tak boleh menyakitinya dengan mengikuti kemauan Carissa. Mungkin Mama bisa membantuku untuk membujuk Papa agar tidak memaksaku meneruskan hubungan dengan Carissa. Setelah itu, aku akan membujuk Carissa, meyakinkan dirinya kalau aku memang sudah menikah. Kukecup kening pemilik mata yang terpejam itu, badannya bergerak sebentar seakan terusik, lalu kembali tenang dengan senyum samar di wajah. ***"Mama harus membantuku membujuk Papa. Jangan sampai aku dipaksa menikah dengan putri temannya," pintaku pada Mama. Setelah pulang kerja aku sengaja pulang ke rumah, mengunjungi Mama sekaligus me
Syifa menyambutku dengan wajah cemberut, pasti dia marah atau curiga karena aku pulang di pagi hari. "Aku menginap di rumah Mama." Aku menjelaskan tanpa diminta. Penjelasannya yang hanya berisi kebohongan, aku terbangun di kamar tamu di rumah Carissa. Aku yakin tidak ada yang terjadi antara kami, aku tidak merasakan apapun saat tiba-tiba tertidur. Jika memang aku melakukan hal yang tidak-tidak, pasti aku bisa merasakannya, bukan. Aku hanya tidur, bukan pingsan ataupun dalam kendali obat-obatan. "Bener?" tanya Syifa memastikan. Manik hitam itu menatap lekat padaku, mencari sebuah kejujuran. "Kamu tidak percaya padaku," ucapku sambil memutar tubuhku, hendak berlalu menuju kamar. Bukan karena marah sebab dicurigai, namun menghindari kebohongan berikutnya. Syifa langsung menghambur padaku, memeluk tubuhku dari belakang. "Aku percaya," bisiknya."Maafkan aku Syifa, jika aku jujur pasti kamu kecewa atau mungkin malah curiga." Perkataan yang hanya bisa kuucapkan dalam hati. "Aku ... a
Spin Off 12"Apa yang terjadi, Kak? Kenapa Carissa berteriak-teriak seperti itu? Karyawan yang kebetulan ada di sekitar sini mendengar semuanya. Wanita itu biang kamu ...." Syifa menggantung ucapnya. Sepertinya Syifa begitu penasaran dengan apa yang terjadi sehingga segera masuk ke ruangan ini begitu Carissa keluar setelah meluapkan emosinya. "Memangnya kedengaran sampai keluar?" Tanyaku sekenanya. Tentu saja kedengaran, wanita itu berteriak dengan lantang. "Mungkin karyawan yang ada di lantai bawah sana dengar juga," sahut Syifa sambil tertawa. Pasti dia sedang meledekku sekarang. Mana mungkin lantai setebel itu bisa ditembus oleh suara Carissa tadi. "Lucu?" Aku bertanya sambil berjalan ke arahnya yang masih berdiri di depan pintu. Saking penasarannya, wanita itu bertanya saat baru menjejakkan kaki di ruangan ini. Mendengar pertanyaanku, segera Syifa mengulum senyuman. Dia sedang meledekku, menertawakanku, tapi berusaha menahan diri. Tentu saja dia merasa lucu karena dia perna
Kok hah sih, Kak!""Apanya yang dites?" Mendadak otakku beku.Syifa berjalan ke depan, perlahan-lahan melangkahkan kakinya meskipun masih ada dalam pelukanku, membuatku harus berjalan mundur. Bruggh! Kami berdua terjatuh di tempat yang sama, ranjang. Dengan posisi Syifa berada di atasku. "Dites, memastikan apakah yang dikatakan oleh Carissa itu benar atau salah," bisik Syifa, tangannya yang lentik menyusuri pipiku hingga ke dagu. Membuat bulu-bulu halus di tubuhku berdiri semua.Oh astaga, kenapa setiap berdiam diri di kamar sebelah, Syifa kembali ke kamar ini dengan liar. Ada apa di kamar sana."Mungkinkah ini yang dilakukan oleh Carissa padamu?" Tangannya berpindah mengelus dadaku yang sudah setengah terbuka kancing bajunya, kecupan ringan mendarat di sana.Tuhan ... aku tak tahan lagi. Tes ini harus segera diselesaikan. Suasana kamar mendadak berubah panas, suara-suara lembut yang keluar dari bibirnya yang ranum membuatku semakin bersemangat saja. Tidak benar kalau aku impoten,
"Kamu bilang apa, Wisnu?" Papa bertanya dengan nada tak percaya. "Ayolah, Pa. Ini hal privasi, Papa tak perlu tahu segalanya tentang kehidupan pribadiku, kan?""Panggil wanita itu ke sini." "Pa ...."Papa tak mempedulikan perkataanku dan memilih untuk meminta sekertarisnya memanggil Syifa. Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya Syifa datang ke ruangan papa. Wanita itu lantas diminta duduk di sofa, di mana aku juga sedang duduk menunggunya."Jawab pertanyaanku dengan jujur. Apakah kamu sudah tidur dengan Wisnu dan dia bisa melakukannya?" Papa bertanya tanpa basa-basi lagi begitu Syifa sudah duduk dengan sempurna.Syifa menatap padaku, aku pikir tatapan itu berarti dia sedang meminta pendapatku. Samar kuanggukkan kepala. Mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi dan aku pikir saat ini adalah waktu yang tepat untuk Papa tahu pernikahan kami. Tak peduli apa yang akan terjadi selanjutnya, kami harus mengatakan yang sebenarnya."Iya, Pak," jawab Syifa lirih."Wanita murahan," desis Papa.
Mama meratap sambil menangis seakan terjadi sesuatu yang besar terhadapku, padahal aku hanya kehilangan kenyamanan. Syifa hanya bisa terdiam tak bisa berkata apa-apa, aku berharap dia tidak merasa bersalah melihat hal seperti ini terjadi."Kami akan tinggal di rumah Mas Hanan, Tante. Rumah itu kosong karena mereka tinggal di luar kota." Akhirnya Syifa membuka suara setelah Mama terlihat tenang."Benarkah?" tanya Mama memastikan. "Iya benar, rumah itu kosong. Kami bisa tinggal di sana untuk sementara waktu," jawab Syifa meyakinkan Mama.Mama menarik nafas lega, mungkin wanita yang sudah melahirkanku itu berpikir, setidaknya anaknya punya tempat tinggal. "Jaga Wisnu untuk Mama ya, Nak," pinta Mama pada Syifa sambil menggenggam tangan menantunya. Bukankah seharusnya aku yang menjaga Syifa, bukan Syifa yang menjagaku. Aku juga sudah terbiasa dengan kehidupan keras, anggap saja sekarang sedang mendaki gunung. "Mama tak bisa sering-sering menemui kalian, khawatir Papa semakin murka. Unt