"Kamu bilang apa, Wisnu?" Papa bertanya dengan nada tak percaya. "Ayolah, Pa. Ini hal privasi, Papa tak perlu tahu segalanya tentang kehidupan pribadiku, kan?""Panggil wanita itu ke sini." "Pa ...."Papa tak mempedulikan perkataanku dan memilih untuk meminta sekertarisnya memanggil Syifa. Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya Syifa datang ke ruangan papa. Wanita itu lantas diminta duduk di sofa, di mana aku juga sedang duduk menunggunya."Jawab pertanyaanku dengan jujur. Apakah kamu sudah tidur dengan Wisnu dan dia bisa melakukannya?" Papa bertanya tanpa basa-basi lagi begitu Syifa sudah duduk dengan sempurna.Syifa menatap padaku, aku pikir tatapan itu berarti dia sedang meminta pendapatku. Samar kuanggukkan kepala. Mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi dan aku pikir saat ini adalah waktu yang tepat untuk Papa tahu pernikahan kami. Tak peduli apa yang akan terjadi selanjutnya, kami harus mengatakan yang sebenarnya."Iya, Pak," jawab Syifa lirih."Wanita murahan," desis Papa.
Mama meratap sambil menangis seakan terjadi sesuatu yang besar terhadapku, padahal aku hanya kehilangan kenyamanan. Syifa hanya bisa terdiam tak bisa berkata apa-apa, aku berharap dia tidak merasa bersalah melihat hal seperti ini terjadi."Kami akan tinggal di rumah Mas Hanan, Tante. Rumah itu kosong karena mereka tinggal di luar kota." Akhirnya Syifa membuka suara setelah Mama terlihat tenang."Benarkah?" tanya Mama memastikan. "Iya benar, rumah itu kosong. Kami bisa tinggal di sana untuk sementara waktu," jawab Syifa meyakinkan Mama.Mama menarik nafas lega, mungkin wanita yang sudah melahirkanku itu berpikir, setidaknya anaknya punya tempat tinggal. "Jaga Wisnu untuk Mama ya, Nak," pinta Mama pada Syifa sambil menggenggam tangan menantunya. Bukankah seharusnya aku yang menjaga Syifa, bukan Syifa yang menjagaku. Aku juga sudah terbiasa dengan kehidupan keras, anggap saja sekarang sedang mendaki gunung. "Mama tak bisa sering-sering menemui kalian, khawatir Papa semakin murka. Unt
Kami keluar dari kantor Markas Komando Satpol-PP dengan bergandengan tangan dan mengulum senyuman. Kadangkala, musibah memang harus dihadapi dengan tertawa saja. "Sekali lagi kita digrebek, kita dapat hadiah, Fa." "Payung cantik," sahut Syifa tak mau kalah. Begitu aku membuka pintu kamar, kucoba untuk menjelaskan semuanya. Memberitahu kalau kami pasangan suami istri. Tapi mereka tetap tak percaya, akhirnya kami ikut dengan mereka. Aku membawa barang berharga kami dan memasukkannya ke dalam handbag milik Syifa. Kami di bawa ke markas satpol PP untuk didata, di tempat itu kami berusaha untuk membuktikan kami adalah pasangan suami-istri dengan menelpon kakaknya Syifa, Hanan. Termasuk menelpon orang tua Syifa juga, kemudian memastikan kalau kami tidak bersekongkol dengan mereka untuk membuktikan kalau kami adalah pasangan suami-istri. Pada akhirnya, mereka percaya dan kami diperbolehkan pulang sekarang, tentu setelah terjadi pembicaraan yang begitu panjang. Untung saja, mereka tak me
"Carissa," gumamku pelan. Wanita itu menarik sudut bibirnya saat kugumamkan namanya. "Kita bertemu lagi ya, Nu. Dunia memang sesempit ini. Silahkan duduk." Wanita itu menyapa sekaligus memberi perintah padaku. Tanpa banyak bertanya aku tetap duduk di kursi yang ada di seberang mejanya. "Bagaimana rasanya setelah menolakku dan memilih wanita itu?" tanya Carissa. Sebuah pertanyaan pribadi yang tidak ada hubungannya dengan perkerjaan sama sekali."Pertanyaan ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan," sahutku datar."Tapi jawabanmu akan menjadi sebab kamu diterima atau ditolak di sini," ucap Carissa, senyum tetap mengembang di wajah cantiknya. "Aku tak berniat lagi bekerja di sini," sahutku dalam hati. "Jadi kamu tidak mau menjawabnya?" Lagi, Carissa bertanya, karena melihatku tetap bungkam. "Lebih baik aku pergi," ucapku berpamitan. "Kamu tak ingin tahu apa yang terjadi sesungguhnya saat kamu tertidur di rumahku?" Perkataan Carissa refleks membuatku duduk kembali. Aku memang pe
POV Syifa. Sebuah mobil mewah mencegatku saat aku keluar dari kantor untuk pulang. Kaca bagian penumpang terbuka, wajah yang aku kenal menyembul keluar dan menyapa. "Masuklah, aku ingin bicara denganmu," perintahnya. Meskipun ragu, mau tak mau aku menuruti maunya. Tak sopan rasanya menolak perintah dari Papa Kak Wisnu, pria yang harusnya kusebut mertua. Lelaki yang kupikir seumuran dengan Bapak itu, membawaku ke dalam private room sebuah restoran. Sepertinya dia hendak membicarakan hal yang penting. Sejak kami diusir dari kantor, aku tidak lagi bertemu dengannya. "Mungkin kamu kaget karena tiba-tiba saja aku mencegatmu dan membawamu ke tempat ini. Aku ingin berbicara sesuatu yang serius, tentang hubunganmu dengan putraku," ucap pria setengah baya itu memulai percakapan. Meskipun sejak awal aku sudah menduganya, namun tak urung juga membuat tanganku berkeringat dingin. Ada banyak kemungkinan berkeliaran di dalam kepalaku. "Bagaimanapun kehidupan kalian setelah Wisnu tak lagi mem
Entah apa yang terjadi dengan Syifa hari ini, pulang kerja sedikit terlambat, dan saat kukatakan aku tak mendapatkan pekerjaan, berbagai kalimat menyalahkan diri sendiri keluar dari mulutnya tanpa henti. Dia mengatakan seolah-olah dialah yang menjadi sebab segala kesusahan yang menimpaku. Sampai dia mengungkapkan perasaannya tanpa basa-basi. Menginginkan aku memberinya buah hati sebagai kenangan-kenangan jika aku meninggalkannya. Bagiamana bisa aku meninggalkan istri dan anakku. Ah, Syifa. Kamu terlihat begitu mengemaskan saat mengoceh seperti ini. Wajah berurai air mata, mulut tak henti bicara, dan sesekali sesenggukan. Tidak ada yang salah denganku hari ini, Syifa. Bagiamana aku bisa mendapatkan pekerjaan, jika yang aku datangi bukan membutuhkan keahlianku tapi membutuhkan hati dan juga tubuhku. Carissa, kenapa lagi-lagi berjumpa dengannya. Sesuatu yang disengaja lagi? Entahlah. Lalu kali ini dia mengatakan semuanya, yang sebenarnya terjadi saat di rumahnya. Benar-benar hilang a
Spin Off 18Setelah Syifa setuju untuk pergi ke tempat kakek, aku dan Istriku itu pertama-tama pergi ke kampung halamannya. Kami berpamitan pada kedua orang tuanya sekaligus mengurus surat-surat untuk mendaftarkan pernikahan kami di Kantor Urusan Agama. Sebelum berangkat ke pulau seberang, kami harus memiliki buku nikah dan mengesahkan pernikahan kami agar kami terhindar dari penggerebekan lagi, atau kalau tidak kami akan digerebek sampai ketiga kalinya. Selain itu, jika punya anak, tidak akan kerepotan mengurus surat-suratnya. "Hati-hati berada di tempat orang, jaga diri dan hormati apapun yang ada di sana," pesan Ibu Syifa pada putrinya dan juga padaku. Rasa tak rela tergambar jelas di wajah mereka, mungkin karena jarak yang memisahkan kami cukup jauh. Namun mereka bisa menerimanya, karena bagaimanapun juga Syifa sudah menikah dan harus ikut ke mana suaminya pergi. Setelah selesai dengan urusan mengurus surat nikah, aku dan Syifa pergi ke tempat Hanan dan husniah berada, kami
"Wah, ada artis Korea," terdengar seruan dari arah samping kami berdiri. Aku dan Syifa reflek menoleh dan clingukan mencari orang yang dikatakan artis Korea tersebut. Kami ikutan penasaran. Tapi tak ada orang yang bisa kami anggap seperti artis Korea saat ini, di sini. "Mas minta foto ya, mirip banget sama artis Korea Kim Woo Bin." Seorang wanita dengan rambut hitam tergerai sebahu mendekat padaku. Aku, artis Korea? Sejak kapan wajahku seperti mereka. Meskipun kulitku memang tidak bisa dikatakan gelap dan mataku tidak lebar alias sipit, tapi bukan berarti aku mirip mereka. "Salah lihat kali, Mbak," ujarku sambil tertawa. "Enggak salah lagi, mirip banget. Apalagi dari samping dan belakang, hampir seratus persen. Gak ada yang ORI yang KW tak jadi soal," timpal teman wanita itu tadi. Wanita yang ini berambut panjang tapi dikuncir kuda. Dua temannya yang lain langsung ikutan menyerbu ke arahku. "Mbak tolong fotoin," pinta si kuncir kuda pada Syifa. Istriku tanpa protes menerima te