Kami keluar dari kantor Markas Komando Satpol-PP dengan bergandengan tangan dan mengulum senyuman. Kadangkala, musibah memang harus dihadapi dengan tertawa saja. "Sekali lagi kita digrebek, kita dapat hadiah, Fa." "Payung cantik," sahut Syifa tak mau kalah. Begitu aku membuka pintu kamar, kucoba untuk menjelaskan semuanya. Memberitahu kalau kami pasangan suami istri. Tapi mereka tetap tak percaya, akhirnya kami ikut dengan mereka. Aku membawa barang berharga kami dan memasukkannya ke dalam handbag milik Syifa. Kami di bawa ke markas satpol PP untuk didata, di tempat itu kami berusaha untuk membuktikan kami adalah pasangan suami-istri dengan menelpon kakaknya Syifa, Hanan. Termasuk menelpon orang tua Syifa juga, kemudian memastikan kalau kami tidak bersekongkol dengan mereka untuk membuktikan kalau kami adalah pasangan suami-istri. Pada akhirnya, mereka percaya dan kami diperbolehkan pulang sekarang, tentu setelah terjadi pembicaraan yang begitu panjang. Untung saja, mereka tak me
"Carissa," gumamku pelan. Wanita itu menarik sudut bibirnya saat kugumamkan namanya. "Kita bertemu lagi ya, Nu. Dunia memang sesempit ini. Silahkan duduk." Wanita itu menyapa sekaligus memberi perintah padaku. Tanpa banyak bertanya aku tetap duduk di kursi yang ada di seberang mejanya. "Bagaimana rasanya setelah menolakku dan memilih wanita itu?" tanya Carissa. Sebuah pertanyaan pribadi yang tidak ada hubungannya dengan perkerjaan sama sekali."Pertanyaan ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan," sahutku datar."Tapi jawabanmu akan menjadi sebab kamu diterima atau ditolak di sini," ucap Carissa, senyum tetap mengembang di wajah cantiknya. "Aku tak berniat lagi bekerja di sini," sahutku dalam hati. "Jadi kamu tidak mau menjawabnya?" Lagi, Carissa bertanya, karena melihatku tetap bungkam. "Lebih baik aku pergi," ucapku berpamitan. "Kamu tak ingin tahu apa yang terjadi sesungguhnya saat kamu tertidur di rumahku?" Perkataan Carissa refleks membuatku duduk kembali. Aku memang pe
POV Syifa. Sebuah mobil mewah mencegatku saat aku keluar dari kantor untuk pulang. Kaca bagian penumpang terbuka, wajah yang aku kenal menyembul keluar dan menyapa. "Masuklah, aku ingin bicara denganmu," perintahnya. Meskipun ragu, mau tak mau aku menuruti maunya. Tak sopan rasanya menolak perintah dari Papa Kak Wisnu, pria yang harusnya kusebut mertua. Lelaki yang kupikir seumuran dengan Bapak itu, membawaku ke dalam private room sebuah restoran. Sepertinya dia hendak membicarakan hal yang penting. Sejak kami diusir dari kantor, aku tidak lagi bertemu dengannya. "Mungkin kamu kaget karena tiba-tiba saja aku mencegatmu dan membawamu ke tempat ini. Aku ingin berbicara sesuatu yang serius, tentang hubunganmu dengan putraku," ucap pria setengah baya itu memulai percakapan. Meskipun sejak awal aku sudah menduganya, namun tak urung juga membuat tanganku berkeringat dingin. Ada banyak kemungkinan berkeliaran di dalam kepalaku. "Bagaimanapun kehidupan kalian setelah Wisnu tak lagi mem
Entah apa yang terjadi dengan Syifa hari ini, pulang kerja sedikit terlambat, dan saat kukatakan aku tak mendapatkan pekerjaan, berbagai kalimat menyalahkan diri sendiri keluar dari mulutnya tanpa henti. Dia mengatakan seolah-olah dialah yang menjadi sebab segala kesusahan yang menimpaku. Sampai dia mengungkapkan perasaannya tanpa basa-basi. Menginginkan aku memberinya buah hati sebagai kenangan-kenangan jika aku meninggalkannya. Bagiamana bisa aku meninggalkan istri dan anakku. Ah, Syifa. Kamu terlihat begitu mengemaskan saat mengoceh seperti ini. Wajah berurai air mata, mulut tak henti bicara, dan sesekali sesenggukan. Tidak ada yang salah denganku hari ini, Syifa. Bagiamana aku bisa mendapatkan pekerjaan, jika yang aku datangi bukan membutuhkan keahlianku tapi membutuhkan hati dan juga tubuhku. Carissa, kenapa lagi-lagi berjumpa dengannya. Sesuatu yang disengaja lagi? Entahlah. Lalu kali ini dia mengatakan semuanya, yang sebenarnya terjadi saat di rumahnya. Benar-benar hilang a
Spin Off 18Setelah Syifa setuju untuk pergi ke tempat kakek, aku dan Istriku itu pertama-tama pergi ke kampung halamannya. Kami berpamitan pada kedua orang tuanya sekaligus mengurus surat-surat untuk mendaftarkan pernikahan kami di Kantor Urusan Agama. Sebelum berangkat ke pulau seberang, kami harus memiliki buku nikah dan mengesahkan pernikahan kami agar kami terhindar dari penggerebekan lagi, atau kalau tidak kami akan digerebek sampai ketiga kalinya. Selain itu, jika punya anak, tidak akan kerepotan mengurus surat-suratnya. "Hati-hati berada di tempat orang, jaga diri dan hormati apapun yang ada di sana," pesan Ibu Syifa pada putrinya dan juga padaku. Rasa tak rela tergambar jelas di wajah mereka, mungkin karena jarak yang memisahkan kami cukup jauh. Namun mereka bisa menerimanya, karena bagaimanapun juga Syifa sudah menikah dan harus ikut ke mana suaminya pergi. Setelah selesai dengan urusan mengurus surat nikah, aku dan Syifa pergi ke tempat Hanan dan husniah berada, kami
"Wah, ada artis Korea," terdengar seruan dari arah samping kami berdiri. Aku dan Syifa reflek menoleh dan clingukan mencari orang yang dikatakan artis Korea tersebut. Kami ikutan penasaran. Tapi tak ada orang yang bisa kami anggap seperti artis Korea saat ini, di sini. "Mas minta foto ya, mirip banget sama artis Korea Kim Woo Bin." Seorang wanita dengan rambut hitam tergerai sebahu mendekat padaku. Aku, artis Korea? Sejak kapan wajahku seperti mereka. Meskipun kulitku memang tidak bisa dikatakan gelap dan mataku tidak lebar alias sipit, tapi bukan berarti aku mirip mereka. "Salah lihat kali, Mbak," ujarku sambil tertawa. "Enggak salah lagi, mirip banget. Apalagi dari samping dan belakang, hampir seratus persen. Gak ada yang ORI yang KW tak jadi soal," timpal teman wanita itu tadi. Wanita yang ini berambut panjang tapi dikuncir kuda. Dua temannya yang lain langsung ikutan menyerbu ke arahku. "Mbak tolong fotoin," pinta si kuncir kuda pada Syifa. Istriku tanpa protes menerima te
Spin Off 19"Ujian pernikahan kita akan terus ada, Fa," ucapku sambil memeluk tubuh polosnya yang terbalut selimut. Sering kali, kami akan berbincang setelah melakukan ritual di atas pembaringan. Kalau salah satu di antara kami tertidur, maka akan berbicara setelahnya."Kita akan menghadapinya dan akan menyelesaikan bersama," sahut Syifa. "Dengan cara bercinta?" Sebuah cubitan mendarat di pinggangku sebagai bentuk protesnya. "Kok nyubit, sih?" Aku bertanya. "Habisnya begitu ngomongnya.""Tiap emosi, kamu mengajakku bercinta," balasku tak mau kalah. "Sebagian usaha dari meredam emosi, apalagi emosi karena cemburu. Aku yakin hati dan pikiranmu tidak kemana-mana, Kak. Tapi hatiku yang selalu panas melihatmu didekati oleh cicak, lalu tadi itu cewek-cewek centil, menyebalkan. Ah, yaa. Aku menikah dengan artis Korea, pantas kalau banyak fans yang menempel dan menyapa," cerocos Syifa. Apa dia mulai emosi lagi?"Fa ....""Apa!" Syifa berseru dengan mata melotot dan bibir manyun. Membuat
"Fa, ini Kak Wisnu." Aku berbicara sepelan mungkin sambil menatapnya dari samping ranjang pasien saat kulihat dia mulai membuka mata.Tidak berani menyentuhnya sama sekali karena dokter menyarankan untuk tidak memberinya sentuhan terlebih dahulu. "Syifa, ini Kak Wisnu." Kuulang perkataanku untuk meyakinkannya. Wanita itu menatapku beberapa saat, kemudian langsung bangun dari posisinya dan memelukku dengan erat. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya sama sekali hanya terdengar isakkan yang begitu menyayat hati. Aku hanya diam dan membalas pelukannya."Jangan bertanya apapun padanya kecuali dia mau bercerita." Itu yang juga dikatakan dokter tadi. Aku melakukannya, meksipun begitu penasaran dengan apa yang terjadi, dan siapa yang melakukannya, aku menahan diri dan diam saja. Hari sudah mulai pagi namun tidak ada yang datang mencari kami sama sekali. Aku bisa memahami jika Kakek tak mencari karena usianya, namun Papa, apa dia benar-benar tak peduli pada menantunya lagi karena me