"Buka pintunya! Buka!" Teriakan keras terdengar dari luar membuatku yang masih terbuai mimpi terbangun seketika. Antara sadar dan tak sadar, aku bangkit dari tidurku dan berjalan dengan mata setengah terpejam menuju pintu. Suasana masih gelap.Begitu pintu terbuka, orang-orang itu langsung menerobos masuk, tiga orang pria yang masih muda masuk rumah tanpa diminta. "Wah bener, mereka pasti melakukan perbuatan tak senonoh. Itu buktinya wanitanya baru keluar kamar mandi." Pria muda yang memakai kaos warna biru berteriak. Aku yang masih belum memahami situasi mengalihkan pandangan ke arah mereka. Syifa, kenapa dia ada di sini. Eh aku ada di mana ini. Seketika aku tersadar, ini rumah Husniah dan suaminya yang sudah hampir satu bulan ini hanya ditempati oleh Syifa. Hampir setiap sore aku mengantarkan gadis itu pulang ke rumah, bercengkrama dengannya sebentar, kadang menikmati masakannya lalu pulang. Namun hari ini aku dan dia sama-sama kelelahan. Setelah makan malam, Syifa berpamitan t
Wanita itu membuat sarapan dalam diam. Seakan begitu fokus dengan apa yang dia lakukan, entah fokus beneran atau sedang marah seperti yang aku pikirkan. Dia tak membiarkanku membantunya, tapi menyuruhku duduk di mini bar yang berada tepat di dekatnya memasak. Omelette makaroni dan segelas jus jeruk terhidang di meja setelah beberapa saat Syifa berkutat di dapur. "Mamamu bilang, Kakak harus makan yang sehat-sehat. Aku gak tahu ini termasuk makanan sehat atau tidak," ucap Syifa sambil duduk di sebrang meja. "Aku akan banyak belajar lagi dalam urusan dapur," sambungnya."Mamaku adalah mertuamu, kenapa kamu tak memanggilnya dengan panggilan mama juga?""Belum terbiasa, Kak. Cepat makan, kita harus segera pergi ke kantor." Benar yang dikatakan oleh Syifa, kami harus segera pergi ke kantor. Kemarin hari libur, biasanya setelah hari libur, jalanan jadi lebih macet dari biasanya. Entahlah hanya perasaan saja karena telah menikmati kenyamanan saat weekend, atau memang tingkat kepadatan kend
"Berhentilah kalian bertengkar, susulin Syifa, Kak. Jangan sampai kamu menyakiti wanita yang kamu nikahi. Jika tidak yakin dengan pernikahan itu, kamu harusnya menolaknya. Kita bisa melakukan cara lain untuk meredam kemarahan warga," turut Husniah panjang lebar. Aku menghela nafas dalam-dalam, apa aku memang keterlaluan? Aku hanya perhatian pada adik sepupuku. Apa salahnya? Tanpa menunggu dua kali Husniah menyuruhku, kususul juga akhirnya wanita yang sudah menjadi istriku itu. Aku turun ke bawah untuk mencarinya. Kuketuk pintu kamar mandi yang terdengar suara air gemericik dari dalam sana."Fa, jangan nangis di kamar mandi. Kalau mau nangis, dadaku nganggur nih." Aku berkata sambil mengetuk pintu. Tak lama berselang, pintu terbuka dan menyembullah wajah Syifa dari dalam sana. "Siapa bilang aku nangis?" Tanya Syifa begitu pintu terbuka. "Dua pasturi di atas sana. Mereka ngeyel kamu nangis gara-gara aku ngomongin bayi mulu dan terlalu peduli pada Husniah." "Enggak, Kak. Aku emang
Kuketuk pintu kamar Syifa, wanita itu langsung mengurung diri di dalam kamar setelah makan malam. Selama dalam perjalanan pulang, dia juga tak mengatakan apapun, dan saat makan malam pun, wanita itu tak berbicara sama sekali. Aku rasa ini karena perkataan Papa yang memintaku untuk kencan buta dengan putri temannya. "Fa, kamu udah tidur." Aku berteriak dari luar kamar. Tak ada jawaban sama sekali, apa iya dia tidur secepat ini. Bahkan tadi dia tak mengajakku untuk shalat Isya bersama. Tadi kami sempat sholat Maghrib di jalan sebelum pulang. Karena tak ada jawaban, aku memilih masuk begitu saja ke kamar tersebut. Bukankah ini kamar istriku, aku tak perlu ijin masuk bukan. Bahkan harusnya kami tinggal di kamar yang sama. Begitu kubuka pintu kamarnya, terlihat wanita itu masih mengenakan mukena. Ternyata dia baru selesai shalat. Kutunggu hingga dia selesai berdoa. "Ada apa, Kak?" Tanya Syifa sambil melipat mukenanya. "Kenapa diam saja sejak tadi, apa kamu marah padaku?""Marah untuk
Kutatap mata wanita di depanku ini, apa dia sedang bercanda atau serius. Bagaimana bisa dia mengatakan tertarik hanya dengan sekali bertemu. "Aku bukan tipe pria idaman, Carissa. Aku tak memiliki apapun selain milik orang tuaku. Aku juga bukan lulusan luar negeri, kegemaranku naik gunung. Kotor-kotoran, aku rasa akan jauh beda dengan dirimu," tuturku panjang lebar. Berusaha merubah sudut pandangnya tentang diriku. "Tapi kamu pria yang apa adanya, dan aku lebih suka yang seperti ini. Daripada yang berpura-pura, lalu saat bersama dalam satu rumah, terikat pernikahan, segala keburukannya akan terbongkar."Carissa begitu santai mengungkapkan perasaannya, tidak seperti kebanyakan wanita yang malu-malu, hanya memberi sinyal dan menunggu pria untuk mengungkapkan perasaan padanya. "Aku sudah menikah, Sa."Mata bening yang dihiasi eyeliner berwarna hitam itu membulat sempurna. Menatap dalam padaku, seperti mencari kejujuran dalam diriku. Lalu beberapa saat kemudian menutup mulutnya dan tert
Syifa berjalan dengan langkah panjang ke arahku yang masih dipeluk oleh Carissa. "Lepaskan, Sa," pintaku pada wanita itu. "Nggak mau," tolak Carissa. "Jangan memeluk kekasih orang sembarangan, Mbak," seru Syifa sambil menarik tanganku agar menjauhi Carissa. Aku makin syock dengan apa yang dilakukan oleh Syifa. Dia bilang kekasih orang. Apa kali ini dia akan mengakui hubungan kami. "Kekasih?" Carissa membeo ucapan Syifa. "Iya. Kak Wisnu sudah punya kekasih," sahut Syifa dengan percaya diri. Dia tidak menyebutku dengan panggilan Bapak, tapi Kak. "Kamu kekasihnya?" Tanya Syifa sambil bersedekap, matanya awas memindai tubuh Syifa dari atas hingga bawah. Syifa diam tidak menjawab, aku pun bingung hendak mengatakan apa. Semua terjadi dengan tiba-tiba begini."Iya, pasti kamu. Kamu sekertarisnya, seharusnya memanggil dia Bapak. Apa-apaan panggil atasan kakak jika tidak ada hubungan," ucap Carissa lagi. "Bener Wisnu, dia kekasihmu. Jadi sebenarnya kamu sudah menemukan wanita itu? Bag
Kami pulang berdua saja, Carissa sudah lebih dulu meninggalkan kami. Tidak ada obrolan sama sekali kali ini. Setelah Syifa mengungkapkan isi hatinya, menuduhku terikat pada Husniah, kami saling mendiamkan. Sosok istri yang aku inginkan memang seperti Husniah, cerdas, memiliki hati yang teguh, dan sabar. Hanan beruntung memilikinya, meskipun pria itu pernah menyakitinya, tapi Husniah tak pernah sekalipun berpaling. Bahkan saat banyak alasan untuk meninggalkan pria itu, Husniah tetap memilih tinggal bersamanya. Dia sabar menunggu suaminya sadar hingga bertahun-tahun. Mana ada wanita seperti dia di jaman seperti ini. Sore hari saat pulang, kami juga tetap saling diam. Begitu sampai di apartemen, Syifa masuk ke kamar sambil menerima telepon yang sejak tadi keluar dari lift terus berdering. "Mbak Nia yang telpon," ucap Syifa tadi sebelum masuk ke dalam kamar. Seakan tidak ingin aku mencurigainya.Entah sudah berapa lama dia di kamarnya, aku pun masuk ke kamarku dan hari ini tak berniat
POV Syifa. Aku berjumpa dengannya pertama kali saat aku ikut Mbak Nia untuk menjaga Mas Hanan yang koma akibat kecelakaan waktu itu. Dari segi penampilan pria itu cukup tampan tubuhnya tinggi dengan berat badan ideal. Selain itu, dia begitu perhatian terutama kepada mbak Nia yang ternyata adalah sepupunya. Ternyata kakak iparku itu adalah keturunan orang kaya, ayahnya anak kedua dari pemilik perusahaan di mana Mas Hanan dulu bekerja benar-benar tidak bisa dipercaya.Pria itu bernama Wisnu, setiap hari menjemput dan mengantar Mbak Husniah untuk bekerja. Aku sering kali bertegur sapa dengannya jika dia mampir ke rumah, pria itu ramah pada siapa pun. Sejak Mbak Nia berhenti bekerja karena Mas Hanan sadar dari koma, aku tak lagi terlalu sibuk di rumah mungil itu, jadi memutuskan untuk mencari pekerjaan. Siapa sangka pria itu memintaku untuk bekerja dengannya, mengantikan sekertaris yang berhenti bekerja. Tentu saja dengan senang hati aku menerimanya. Waktu berlalu, Kak Wisnu - begitu