Husniah dan Syifa sedang menemani si kembar yang hendak tidur. Aku dan Winsu yang baru pulang dari masjid untuk shalat tarawih, memilih untuk berbincang-bincang di teras rumah. Waktu baru menunjukkan jam setengah sembilan malam, jadi masih terlalu sore untuk tidur. Berbincang dengan Wisnu adalah pilihan yang terbaik, kami hampir tidak pernah berbicara berdua saja. Kalaupun berbicara dengannya saat bersama Hunsiah dan Syifa, pasti akan berakhir dengan perdebatan."Apa kamu masih suka menyakiti, Nia?" tanya Winsu membuka percakapan.Astaga, pertanyaan macam apa itu. Dia masih saja curiga padaku. Apa aku ini terlihat masih belum berubah, aku sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Sangat-sangat mencintai istriku, apa lagi sekarang ada anak-anak kami."Apa aku masih terlihat seperti suami yang tidak bertanggung jawab?" Aku balik bertanya. "Hanya memastikan saja," balas Winsu. Aku tahu Winsu sangat sayang pada Husniah. Entah apa penyebabnya, tapi kurasa mereka mulai akrab saat Hunsi
Hidupku kian sempurna saat dua bayi sekaligus lahir ke dunia. Ini seperti sebuah hadiah tidak terduga, memang harusnya kami sudah memiliki dua buah hati jika yang satu dulu tidak keguguran. Tapi kebahagiaanku terasa kurang sempurna, aku malah khawatir melukai bayi-bayi itu hingga tak berani menyentuhnya. Mereka begitu lemah, semua bagian tubuhnya terlihat ringkih, kulitnya begitu lembut dan aku takut mereka terluka jika aku salah memegangnya. Bahkan saat kucoba menyusui salah satu dari mereka, bayi itu terlihat kesusahan, demikian juga denganku. Ternyata menyusui tak semudah yang terlihat. Apa boleh buat, akhirnya aku menjadi ibu perah. Untung saja Mas Hanan tidak mempermasalahkan hal itu.Satu lagi yang membuatku tidak bahagia, berat badanku tidak bertambah seperti layaknya orang menyusui. Badanku makin menyusut seperti dulu saat aku pertama menikah dengan Mas Hanan. Kata pembantu rumah tanggaku, bisa saja akibat KB hormonal yang aku gunakan. Aku memang segera ber-KB saat selesai
"Aku ngiri sama Mbak Nia, semua orang sayang padanya," rajuk Syifa. Gadis merengek mencari perhatian pada kami semua yang sedang duduk bersama di ruang tamu setelah selesai sholat tarawih. Bapak, Ibu, Mas Hanan dan Kak Wisnu baru saja pulang. Aku dan Syifa baru selesai menidurkan si kembar. "Memangnya Husniah kenapa?" tanya Kak Wisnu sembari duduk di samping istrinya. "Ibu tadi bela Mbak Nia di depan tetangga yang jelek-jelekin cara Mbak Nia dalam memberi ASI pada si kembar. Di rumah ini, gak ada yang gak sayang dengan Mbak Nia. Ibu, Mas Hanan, Kak Wisnu, Bapak," terang Syifa panjang lebar. "Aku yatim piatu, Syifa. Kalau bukan mereka yang sayang padaku siapa lagi?" Aku berkata sambil menunduk, pura-pura bersedih, mengimbangi Syifa yang pura-pura merengek. "Kamu sih, Fa. Husniah jadi sedih, kan." Mas Hanan berkata sambil memelukku. "Ya Allah, Mbak. Maaf aku cuma bercanda," ujar Syifa. Gadis itu hendak bangkit dari duduknya, mungkin ingin menghampiri aku. "Dah biarin saja, paling
Beberapa hari ini, rasa lelah menderaku. Sejak kembali dari kampung, aku mengurus dua bayi kembar itu sendirian. Pengasuh yang biasa mengasuh mereka mendadak berhenti bekerja. Jika Mas Hanan kerja, hanya ada aku dan si kembar ditemani oleh pembantu rumah tangga kami saja yang berada di rumah ini. Urusan memasak dan mengemas rumah, di kerjakan oleh si Bibi. Tapi urusan bayi-bayi itu, full aku yang melakukannya. Mas Hanan juga sibuk bekerja setelah dari kampung, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan mengharuskan dia pulang telat dan tertidur lebih cepat. Hanya sebentar saja dia bermain dengan anak-anaknya. Aku rindu Mas Hanan yang dulu, yang selalu ada waktu membantuku menjaga bayi-bayi itu. Malam ini pun suamiku itu tidur lebih cepat, padahal dua anaknya belum ada yang tidur. Sejak mulai merangkak, kedua bayi kembar itu lebih suka bermain daripada tidur. Aku harus sangat ekstra menjaganya agar mereka tetap aman. Dengan tubuh lelahku, aku berbaring di samping Mas Hanan yang sudah
POV HananPekerjaan di kantor akhir-akhir ini begitu banyak menguras energi. Sejak pulang dari kampung, banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan di kantor. Keuangan kantor yang mengalami masalah, di mana terjadi keterlambatan pembayaran tagihan yang menyebabkan para mitra bisnis marah-marah dan bahkan ada yang memutuskan hubungan kerja. Perusahaan cabang yang di mana aku bekerja memang belum lama berdiri, semua pembayarannya tagihan masih dengan manual. Tidak seperti di pusat yang menggunakan software untuk membantu membayarkan tagihan secara otomatis ke berbagai rekening perusahaan. Entah apa yang terjadi, ada beberapa mitra bisnis yang terlambat menerima pembayaran yang sudah jatuh tempo ditambah lagi terbentur dengan libur lebaran menyebabkan bank-bank tutup. Giro pun tidak bisa di proses kliring dengan cepat. Akhirnya semua masalah bertumpuk dan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Sebagai orang yang dipercaya, mau tak mau aku harus melobi dan meyakinkan mitra bisnis ka
Ponselku bergetar, segera kutepikan mobil yang aku kendarai. Sebuah pesan berupa video masuk ke dalam smartphone itu. Ini nomor ponsel yang tadi kuminta dari Bibi. Kubuka video tersebut, terlihat bayi kembar kami sedang asyik bermain berdua. Padahal belum lama tertidur tapi sekarang sudah bangun saja. Namun mereka tampak anteng dan bahagia. Berguling dan merangkak bersama seakan berlomba. Apalagi saat Bibi memperlihatkan mainan full warna dan mengeluarkan bunyi kerincing. "Lihat, mereka sudah tenang dan tampak senang." Aku berkata sambil memperlihatkan layar smartphone pada Hunsiah. "Ayo pulang." Akhirnya Husniah buka suara. "Mereka aman sama Bibi, sekarang kamu makan dulu ya." Aku berkata sambil meraih kantong plastik berisi makanan ringan dan minuman. Kuberikan susu rasa kedelai padanya, lalu setelah minuman itu berpindah ke perut Husniah semua, kusodorkan roti isi coklat padanya. Tanpa banyak protes, Husniah juga memakannya, kemudian ditutup dengan minum air mineral. "Mau jala
"Apa aku ini terlihat seperti bapak-bapak mesum yang hanya memikirkan tentang hal-hal seperti itu saja di atas ranjang?" Aku bertanya sembari tertawa. Tawa untuk menghilangkan suasana tegang yang tiba-tiba tercipta di dalam ruangan ini.Perlahan aku bangkit dari tempat tidur dan menghampiri Husniah yang masih berdiri tak jauh dari meja riasnya. Diam, tidak ada balasan dari Hunsiah, hanya wajahnya tidak cemberut lagi. "Aku minta maaf kalau membuatmu berpikir seperti itu, itu pasti karena kesalahanku yang memintamu melayaniku tiap kali ada kesempatan," ucapku sembari mengusap rambutnya yang diikat asal.Husniah seperti tidak sempat lagi merawat rambutnya seperti dulu, dia sibuk dengan anak-anaknya. Kubuka ikatan rambut itu dan menggerainya, kuraih sisir yang ada di atas meja rias dan mencoba untuk menyisir rambut Husniah. Wanita itu diam saja, tidak menolaknya. "Rambutku rontok," lirih Husniah. Kudapati beberapa helai rambut tersangkut di sisir saat aku menyisir rambut hitam panjan
"Jangan menyalahkan diri sendiri." Aku berkata sembari menyandarkan daguku pada pundaknya. Pandangan kami sama-sama ke tempat dimana kedua bayi itu tidur pulas. "Tidurlah lagi, pagi masih lama," perintahku pada Husniah. "Kamu besok kerja, Mas?" Bukannya membalas perkataanku, wanita yang ada dalam dekapanku ini malah bertanya hal lain. "Menurutmu?" Aku balik bertanya. "Terserah!" Husniah berseru dengan suara lebih tinggi dari sebelumnya, dia hendak mengurai pelukanku. "Aku tidak akan kerja, Sayang. Maaf jika jawabanku barusan tidak berkenan di hatimu. Pekerjaan memang penting, tapi keluarga jauh lebih penting. Kamu dan anak-anak itu yang akan menghabiskan waktu bersamaku hingga aku tua nanti." Husniah hanya menghela nafas panjang. Akhir-akhir ini, wanita ini memang tidak bisa diajak bercanda sama sekali bawaannya nge-gas terus. "Tidurlah lagi," pintaku pada wanita itu lagi. ***Celoteh dua bayi kembar kembali terdengar nyaring dan bersahutan di rumah kami. Mereka akhirnya seha