Ageng tidak bisa menjelaskan kepada sang papa sendiri, dia membutuhkan bantuan dari Selo Ardi untuk menjelaskannya. Pada saat Selo Ardi menunjukkan semua bukti yang dia miliki, Ageng sedang memimpin rapat untuk revisi proposal. Tatap matanya mengawasi dengan saksama satu per satu personil yang ada di sana, berharap mendapatkan petunjuk tentang siapa yang telah membocorkan proposal mereka kepada Surya Jaya Abadi.“Sepertinya kita memang harus melakukan beberapa revisi pada proposal kita, karena kemarin saat Pak Arya memeriksanya menemukan beberapa bagian yang memang harus diperbaiki lagi. Saya harap waktu yang ada cukup untuk melakukan semua revisi yang kita butuhkan.”Seperti yang sudah dinasihatkan oleh Arya Suta agar Ageng tidak menunjukkan kecurigaannya, maka saat memimpin rapat Ageng lebih mengutarakan adanya perbaikan daripada mengungkap jika proposal yang telah mereka buat sebelumnya sudah dipresentasikan oleh perusahaan pesaing mereka.Semua yang hadir di rapat tersebut tampak
Queen bergegas berlari memasuki sebuah rumah dua lantai bergaya minimalis. Suara tangis anak kecil sudah menyambut kedatangannya. Tampak seorang baby sister dan asisten rumah tangga kuwalahan menghadapinya.“Ardan!” Queen langsung meraih Ardan dari baby sister yang selama ini mengasuhnya. “Sama Tante, yuk!”Tatap mata Queen secara bergantian tertuju kepada dua wanita yang berada di hadapannya, seolah menuntut penjelasan. Keduanya masih terdiam, karena takut jika Ardan sampai mendengar permasalahan yang sedang menimpa kedua orang tuanya.“Arda sudah makan?” tanya Queen sambil mengusap punggung Ardan yang masih terisak dalam gendongannya.“Mau makan sama mama,” jawab Ardan sambil menggelengkan kepalanya.“Ardan makan sama tante, ya? Nanti kalau mama sudah pulang bisa langsung main sama mama.” Queen berusaha merayu Ardan. “Ardan mau makan apa? Biar diambilin sama Encus,” sambung Queen untuk meyakinkan bocah kecil di gendongannya.“Mau sostel,” jawab singkat Ardan yang memang sebenarnya
Queen menatap wajah damai Ardan yang sudah tertidur pulas. Ada rasa kasihan pada bocah tidak berdosa yang harus menjadi korban keegoisan kedua orang tuanya. Danu yang melakukan perselingkuhan lalu pergi bersama wanita lain, begitu juga dengan Arum yang sampai malam tidak pulang ke rumah, seolah lupa jika dia punya anak yang masih kecil.Ingatan Queen kembali ke masa lalu, saat sang mama memilih untuk meninggalkan keluarga mencari kebahagiaan sendiri setelah Eddy ketahuan selingkuh dengan sekretarisnya. Selama ini Queen merasakan kehidupan yang berat saat harus tumbuh di keluarga yang berantakan, sungguh dia tidak pernah berharap ada orang lain atau anak lain yang mengalami nasib buruk seperti dirinya.Suara pintu yang terbuka berhasil membuyarkan lamunan Queen. Tampak bibir itu terpaksa dilengkungkan untuk menyambut kedatang Ageng. Queen mengikuti langkah Ageng yang langsung mendekat ke tempat tidur Ardan.Queen melihat ada yang berbeda dengan penampilan Ageng saat ini. Tidak seperti
Malam ini Queen dan Ageng tidur di kamar Ardan. Layaknya sebuah keluarga bahagia, Queen dan Ageng mengapit Ardan di tengah mereka. Beberapa kali Ardan sempat terbangun dan menanyakan kedua orang tuanya, hingga membuat Queen merasa tidak tega untuk meninggalkannya, meskipun dia juga hanya tidur.Masalah yang saat ini sedang dihadapi Ageng sepertinya sangat membebani benaknya, sehingga meskipun tubuhnya sangat lelah, tetapi dia tidak bisa tidur juga. Tatap matanya tertuju pada wajah damai Queen yang sedang terlelap. Muncul pikiran nakal di benak Ageng, mungkin satu sesi percintaan akan bisa membuatnya segera tertidur dan mengistirahatkan diri.Dengan sangat berhati-hati, Ageng mengusap pipi Queen. Seperti yang diharapkan Ageng, dengan perlahan Queen membuka matanya. Satu tahun hidup bersama, tentu Queen sudah hafal dengan apa yang diinginkan oleh Ageng malam ini.“Sudah pantes jadi ibu,” ucap Ageng dengan senyum menggoda tersungging di bibirnya.“Jam berapa sekarang?” tanya Queen dengan
“Mama ucapkan terima kasih, karena kamu telah bersedia untuk merawat Ardan,” ucap Laras terdengar tanpa basa-basi dan penuh ketulusan. Wanita paruh baya itu menatap Queen dengan binar mata yang penuh rasa syukur dan berharap akan segera mendapat cucu dari menantunya tersebut.Saat ini, Queen menikmati makan pagi bersama laras di salah satu restaurant yang letaknya tidak jauh dari sekolah Ardan. Hubungan antara mertua dan menantu itu terlihat sangat akrab dan rukun, tidak seperti yang banyak diceritakan dalam novel-novel online, dimana ibu mertua selalu jahat kepada menantunya.“Bukan hal istimewa sih Ma. Ardan sudah menjadi tanggung jawab saya juga selama saya masih menjadi anggota keluarga Wardana,” balas Queen dengan nada ringan karena merasa apa yang telah dia lakukan adalah hal yang sangat wajar.Laras terdiam sejenak mencoba mencerna kata demi kata yang baru saja terlontar dari bibir menantunya. Ada yang terasa sangat ganjil dari kalimat yang diucapkan oleh Queen.“Apa maksudnya
Danu sadar diri jika semua kemewahan dan fasilitas yang selama ini dia dan keluarganya nikmati adalah karena dia menjadi menantu di keluarga Wardana. Setelah Arum memilih dan memutuskan untuk meninggalkan dirinya, Danu merasa tidak pantas lagi untuk menikmati segala kemewahan itu. Apalagi selama ini ibu dan saudara-saudaranya ikut menikmatinya.Rasa bersalah dan penyesalan memenuhi hati Danu. Seandainya dia bisa berhati-hati dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan tentu masalah besar ini bisa dihindari. Ini bukan tentang kenikmatan dan kemewahan yang selama ini dia dapatkan selama menjadi menantu di keluarga Wardana, tetapi bagaimana dia akan mempertahankan keluarga kecilnya. Untuk nafkah ibu dan adik-adiknya, Danu masih memiliki tabungan dan investasi. Meskipun mulai saat ini mereka haru mulai berhemat.“Mas! Semudah itu Mas Danu menyerah? Atau memang benar ada hubungan terlarang antara Mas Danu dengan Rahma?” cecar Ageng merasa kecewa terhadap pilihan Danu yang secara tiba-tiba.
“Ardan adalah anak saya, dan saya yang paling berhak dan bertanggung jawab dengan kehidupannya,” ucap Danu dengan suara yang terdengar nelangsa memohon kepada Laras.“Setelah apa yang kamu lakukan selama ini?” tanya Laras dengan nada sinis.Danu tidak langsung menjawab pertanyaan sang mama mertua, tatap matanya beralih ke arah taman dimana Ardan sedang bermain dengan Queen. Yang ada dalam benak Danu saat ini hanyalah ingin bersama dengan putranya, meski apa pun yang terjadi. Dia sudah jauh dari istri tercinta, dan tidak ingin semakin merana lagi dengan dijauhkan dari putra semata wayangnya.“Untuk saat ini saya tidak bisa memberi penjelasan apa pun kepada mama, tetapi saya akan membuktikan jika saya tidak bersalah. Dan saat itu terjadi saya sendiri yang akan menjemput Arum,” jawab Danu dengan penuh keyakinan dan percaya diri.“Saya akan menunggu hal itu terjadi, dan jika sudah waktunya, kau bisa menjemput Ardan di rumah kami,” sahut Laras dengan nada ketus dan sinis, karena dia masih
Ageng menjemput Queen yang sejak siang berada di rumah keluarga Wardana. Sebelum kembali ke apartemen mereka melakukan makan malam bersama dengan Laras dan juga Arya Suta terlebih dahulu.Jika biasanya saat makan malam akan diiringi dengan pembicaraan ringan, tampaknya sangat berbeda dengan mala mini. Laras yang biasanya akan memulai pembicaraan memilih diam dan menikmati hidangan yang berada di hadapannya. Tampaknya wanita paruh baya itu masih memendam rasa marah dan kecewanya kepada suami serta anak dan menantunya.Sampai saat ini Laras belum bisa menerima keputusan Arya Suta dan Ageng yang memilih untuk menyerahkan Ardan kepada Danu. Bukan hanya karena Ardan adalah cucu satu-satunya yang dia miliki saat ini, tetapi juga dia merasa sakit hati karena perselingkuhan yang dilakukan oleh Danu hingga membuat Arum akhirnya memutuskan untuk pergi.Hingga sampai saat Ageng dan Queen berpamitan, Laras masih memasang muka masam. Yang terburuk saat dia menarik tanganya dengan kasar saat Queen
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l