“Ma!” panggil Arya Suta dengan lembut.Pria paruh baya itu mendekati sang istri yang sedang duduk di depan meja riasnya sambil mengoleskan krim perawatan di kulit wajah yang masih terlihat kencang tersebut. Arya Suta tahu jika saat ini Laras masih dalam suasana hati yang kurang baik setelah pembicaraannya mereka dengan Ageng dan Queen yang lagi-lagi mengatakan belum siap untuk memiliki anak.“Mama tidak menyangka jika akhirnya papa akan mengkhianati mama seperti ini,” ucap Laras dengan penuh amarah dan menahan rasa kesal yang sudah membumbung tinggi layaknya gunung berapi yang berstatus awas.Arya Suta hanya bisa menghembuskan napas secara sambil menggelengkan kepalanya. Kesalahan yang dilakukan oleh oleh Ageng dan Queen membuatnya harus dihakimi layaknya seorang suami yang melakukan perselingkuhan dan tertangkap basah.“Seharusnya papa memberikan dukungan penuh kepada mama untuk meyakinkan Ageng dan Queen agar mau untuk segera memiliki anak. Papa sendiri pernah bilang yang penting pu
Queen masih bergelung dibalik selimut tebal layaknya kepompong. Meskipun sudah bangun dari tadi, tetapi dia belum beranjak dari ranjang tempat tidurnya. Queen masih teringat dengan percintaannya semalam dengan Ageng, dia sangat yakin jika Ageng melakukannya dengan sengaja, tidak mungkin lelaki itu lupa dengan barang yang selalu menjadi andalannya dalam setiap sesi percintaan mereka.Tidak bisa dipungkiri ada rasa takut yang menyusup ke dalam hati Queen, jika ternyata Ageng berniat untuk mewujudkan keingiinan Laras. Tidak ada cinta di antara mereka, lalu bagaimana dengan nasib anak mereka kelak?Masih lekat di ingatan Queen, bagaimana papa dan mamanya yang selalu menunjukkan kehidupan penuh cinta, tetapi ternyata adanya anak di antara mereka tetap tidak mampu untuk menyatukan cinta mereka sampai maut memisahkan.“Sudah bangun?” tanya Ageng dengan lembut sambil melabuhkan kecupan di pucuk kepala Queen.Ageng terlihat sudah rapi dengan setelan kerjanya. Tampaknya calon penerus Wardana Gr
“Bagaimana caranya untuk mengakhiri perjanjian dengan Queen? Apakah aku harus menyobek dan menghilangkan semua berkas-berkas perjanjian itu?” tanya Ageng kepada Cyrus di sela-sela makan siang mereka.Cyrus tidak langsung menjawab, pengcara muda itu hanya tersenyum mengdengar pertanyaan dari sahabatnya.“Sudah capek sandiwaranya? Siapa yang nyerah, kamu atau Queen?” cecar Cyrus seperti polisi yang sedang menginterogasi seorang terduga pelaku kejahatan. “Tapi sepertinya kamu,” sambung Cyrus, menduga-duga dengan tatap mata yang terlihat mengejek.“Mama terus memaksa kami untuk segera memiliki anak, dan seperti hal itu membuat Queen sangat tertekan.”“Lalu solusimu?” tanya Cyrus yang kini sudah terlihat serius memberi tanggapan, karena Ageng sudah membicarakan orang tua, yang berarti situasi sudah sangat serius.“Aku harus menghamili Queen, kami harus memiliki anak,” jawab Ageng dengan penuh keyakinan jika pilihan dan keputusannya sudah benar.Cyrus menghentikan kunyahannya, dan tangannya
Saat sedang menunggu Queen keluar, tiba-tiba Ageng dikagetkan oleh mobil mewah yang parkir tepat berada di samping mobilnya. Meskipun mereka jarang berinteraksi, tetapi Ageng tahu siapa pemilik mobil mewah tersebut.Untuk urusan bisnis, Ageng siap bersaing dengan pengusaha manapun termasuk dari keluarga Wijaya. Namun untuk urusan Queen yang saat ini berstatus sebagai istri sahnya, tentu Ageng tidak akan main-main. Ini bukan hanya tentang harga diri, tetapi ini urusan hati yang harus dimenangkan, lebih dari sekedar tender.Ageng segera keluar dari mobilnya untuk menemui Mike Wijaya. Jujur saja saat ini hatinya sedang bergemuruh, saat tubuhnya sudah lelah setelah bekerja seharian, kini dia harus dihadapkan pada lelaki yang memiliki indikasi kuat sedang mendekati istrinya."Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Ageng setelah berdiri berhadapan dengan Mike.“Ada sedikit urusan yang harus aku selesaikan dengan Queen,” jawab Mike terlihat santai tanpa beban sambil tersenyum sinis.“Ad
Rasa penasaran itu sebenarnya membumbung tinggi dan ingin segera mendapatkan jawaban, tetapi saat melihat Queen yang sudah sangat kelelahan Ageng tidak tega untuk terus mencecarnya. Mungkin besok pagi mereka bisa bicara secara baik-baik, karena mungkin saat ini emosinya pun sudah mereda.“Kau mau tidur di mana?” tanya Ageng saat melihat Queen yang melangkah menuju ke kamarnya.“Di kamarku,” jawab Queen diikuti dengan hembusan napas kasar. Dia tidak bisa membayangkan jika malam ini masih harus melayani sang suami yang tidak pernah cukup sekali main. “Aku benar-benar capek, aku mau istirahat malam ini.” Bukan bermaksud menolak, tetapi Queen berharap adanya pengertian dari Ageng.“Tidurlah di kamarku, dan temani aku,” sahut Ageng sambil menganggurkan tangannya kepada sang istri.Meskipun mereka tidak akan melakukan pergulatan panas seperti malam-malam sebelumnya tetapi Ageng akan merasa lebih tenang jika tetap menemukan Queen yang berada di sampingnya.Tidak ingin berdebat lebih lama lag
“Maafkan Mike, Ma! Mike tidak bisa meyakinkan Queen untuk bertemu dengan mama,” ucap Mike terlihat penuh sesal, saat berbicara berdua dengan Rania yang saat ini sedang berada di ruang kerja di restaurant miliknya.Meskipun Mike hanya anak sambung dari Rania, tetapi keduanya memiliki hubungan yang sangat dekat, bahkan terlihat seperti antara anak dan ibu kandung. Dari Rania, Mike merasa mendapat perhatian dan kasih sayang yang tidak dia dapatkan dari sang mama yang meninggal dunia sejak dirinya masih kecil.Sementara itu, bagi Rania menyayangi anak-anak Surya Wijaya adalah salah bentuk rasa terima kasihnya kepada sosok pria yang mencintai dirinya dengan tulus tanpa memandang asal-usul dan status. Namun ada satu hal yang membuat Surya Wijaya menjadi suami yang terkesan jahat dan kejam.Surya tidak ingin melihat Rania berhubungan lagi dengan segala sesuatu yang masih ada sangkut pautnya dengan Eddy termasuk anak-anaknya yang tidak lain adalah kandung Rania, sehingga membuat Rania tidak p
Tidak ada yang salah, bagi Ageng apa yang dia lakukan kepada Queen adalah salah satu bentuk tanggung jawabnya sebagai seorang suami dengan memberikan nafkah kepada istri. Selain nafkah yang berupa materi, Ageng pun juga wajib memberikan nafkah batin berupa ketenangan, kebahagian, dan juga kepuasan.Sampai saat ini Erick masih merasa apa yang telah Ageng lakukan adalah sebuah bentuk pengkhianatan atas janji yang pernah Ageng ucapkan kepada Davianna. Ya, satu kesalahan yang telah Ageng lakukan adalah dia telah mengucap janji di hadapan Davianna untuk tetap setia selama mereka terbentang jarak yang begitu jauh.“Aku sarankan kau ke London untuk menemui Davi, walau hanya sebentar. Mungkin itu akan mengembalikan rasa cintamu kepada Davi.”“Saran yang bagus,” sahut Bryan menimpali ucapan Erick. “Dengan menemui Davi, kau akan tahu perasaanmu yang sebenarnya, apakah ke Davi atau sudah berpaling ke Queen? Dan akan lebih gentle lagi … jika bisa mengambil kepetusan secepatnya, hubungan mana yang
“Kau sudah membereskan mereka?” tanya Ageng kepada Selo Ardi yang terlihat begitu santai saat menatapnya. “Itu hanya masalah kecil,” jawab Selo Ardi sambil menyesap kopi hitam yang dihidangkan untuk dirinya. “Apa yang kau takutkan dari masalah tadi malam, hingga kau ingin aku segera bertindak? Masalah perusahaan atau tentang istrimu?” sambung Selo Ardi yang balik melontarkan pertanyaan. “Semua, aku rasa Mike sudah mencoba melakukan cara-cara yang tidak gentle dalam masalah ini. Dan jika masalah ini menjadi panjang, Queen adalah sosok yang paling dirugikan. Dia hanya menantu, segala keburukannya tidak akan berefek terlalu buruk pada perusahaan, dan penerimaan kami terhadap dirinya justru akan membuat reputasi kami semakin baik.” Tatap mata nanar kala Ageng mengingat Queen, ada rasa bersalah karena membuat Queen harus mengalami begitu banyak kerumitan dalam hidupnya. Dari pernikahan sandiwara hanya untuk menuruti permintaan Davianna, tekanan dari Laras yang ingin segera memiliki cucu
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l