Perubahan yang terjadi pada Bryan adalah sesuatu yang sudah dinantikan oleh sahabat-sahabatnya. Tetapi ternyata hal itu tidak berjalan lancar, ada saja ujian yang harus dilalui Bryan untuk menemukan kebahagiaan dan cintanya.Melissa tidak bisa diam begitu saja, terpaksa dia menemui Queen untuk membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan Naya. Di tengah kesibukannya mengurus kafe dan dua anak, Melissa berbasa basi melihat perkembangan Baby Alma ke kediaman keluarga Wardana. Niat sebenarnya adalah membahas nasib pernikahan Bryan dan Naya.“Baby Alma mana?” tanya Melissa penuh basa basi.“Baru saja tidur.”Melissa memasang wajah pura-pura kecewa. “Sudah bugar saja,” ucap Melissa terlihat iri dengan penampilan Queen yang tubuhnya cepat pulih ke bentuk tubuh semula.Jika ada beberapa bagian tubuh yang telihat tetap berisi, justru membuat Queen lebih seksi. Ya, dada dan pantat Queen tidak setipis dulu lagi.“Enak ya, habis lahiran masih ada yang nungguin, pasti banyak petuah dan nasihat.”
Bukan hal yang sulit bagi Diana untuk bisa mendapatkan informasi tentang tempat kerja Naya. Dengan mengeluarkan sedikit dari uang mereka, semua informasi yang dibutuhkan akan segera tergelar di depan mata.Diana mengajak Naya untuk berbincang di sebuah kafe yang letaknya tidak jauh dari tempat kerja Naya. Naya terlihat pasrah dan menurut, tidak tahu harus bagaimana menghadapi Diana saat ini. Sungguh Naya tidak berani lancang mengungkapkan jika saat ini sudah menjadi menantu di keluarga Atmadja, dia harus menunggu persetujuan dari Bryan terlebih dahulu.Naya hanya bisa menunduk saat duduk di hadapan Diana, dia merasa semakin terpojok. Senyuman ramah dari Mama Bryan mulai terasa dingin dan formal, sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Setelah beberapa saat hening, Mama Bryan membuka tas tangan mahalnya dan mengeluarkan sebuah amplop tebal. Tanpa ragu, dia meletakkannya di atas meja lalu menyodorkan ke arah Naya."Aku harap kamu tidak salah paham dengan maksud kedatanganku, Naya,"
Bryan merasa hatinya penuh dengan harapan dan kebahagiaan yang sulit ia jelaskan. Dengan hati-hati, ia memilih beberapa testpack rak apotek, lalu mengambil sekotak susu hamil dari rak lainnya. Meski semuanya belum pasti, tetapi firasat Bryan sangat kuat. Dia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diri Naya belakangan ini, mungkin ia sedang hamil. Pikiran itu membuat Bryan merasa antusias, sekaligus gelisah. Jika benar Naya hamil, ia akan menjadi seorang ayah.Bryan tersenyum sendiri saat melangkah keluar dari apotek. Ia membayangkan bagaimana hidup mereka akan berubah jika Naya benar-benar mengandung anaknya. Mungkin ini yang mereka butuhkan, sebuah komitmen nyata yang mengikat mereka lebih dalam. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi masa lalu yang menghantui, hanya masa depan bersama dengan keluarga yang mereka bangun.Bryan kembali menghentikan mobilnya. Dia rela antri untuk membelikan martabak manis kesukaan Naya. Entah, memberikan semua permintaan dan keinginan sang istri adalah
Naya duduk di samping Bryan dalam mobil, merasa gelisah. Setelah percakapan di rumah sakit, Bryan bersikeras membawanya untuk bertemu dengan orang tuanya. Meski Naya telah menolak berkali-kali, Bryan tidak menyerah. Sekarang, mobil mereka melaju menuju rumah keluarga Bryan, sebuah tempat yang selama ini terasa begitu jauh dari dunianya.Selama perjalanan, Naya terdiam dengan tatap mata tertuju keluar jendela. Berulang kali dia menarik napas panjang, berusaha untuk menenangkan dirinya.“Aku takut,” ucap Naya dengan suara lirih, terdengar putus asa dan tidak yakin. “Bagaimana kalau mereka tidak menerimaku? Aku bukan siapa-siapa dibandingkan dengan keluargamu … dan setelah pertemuanku dengan mamamu, aku semakin yakin dia tidak suka padaku.”Meski tetap fokus dengan kemudinya, Bryan meraih tangan Naya, digenggamnya dengan erat, sambil menyalurkan kekuatan dan keyakinan.“Naya, dengar. Aku tidak peduli apa yang mereka pikirkan. Yang penting sekarang adalah kamu, aku, dan bayi kita. Mereka
Kedua orang tua Bryan seketika membeku mendengar kata ‘istri’ dari mulut putranya. Mama Bryan tampak paling terpukul, wajahnya berubah dari kaget menjadi tegang. Sementara Papa Bryan, yang semula tenang, sekarang terlihat gelisah. Tatapan tajam sang mama menusuk ke arah Naya, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan putranya."Istrimu?" ulang Mama Bryan, nadanya datar namun bergetar dengan emosi yang ditekan.Bryan mengangguk, wajahnya tetap tenang meski Naya bisa merasakan ketegangan di genggaman tangan mereka.“Ya, kami sudah menikah. Dan … ada satu hal lagi yang harus papa dan mama tahu. Saat ini Naya sedang hamil anakku.”Keheningan di ruangan itu terasa semakin pekat. Papa Bryan menatap putranya dengan kaget, sementara Mama Bryan perlahan menutup mulutnya dengan tangan, ekspresi tak percaya memenuhi wajahnya. Untuk sesaat, suasana terasa begitu tegang, hingga terdengar tarikan napas panjang dari Mama Bryan.“Bryan, apa kamu gila?” Suara mama Bryan bergetar, suaran
Pagi itu, apartemen Melissa yang biasanya sepi mendadak berubah riuh saat ponselnya berbunyi. Melissa yang sedang bersantai di sofa, terkejut melihat notifikasi masuk dari Bryan. Pesan itu disertai beberapa gambar, dan Melissa segera membuka satu per satu.Gambar pertama memperlihatkan Bryan dan Naya duduk di meja makan besar, dikelilingi oleh kedua orang tua Bryan. Mereka tampak sedang menikmati makan malam yang begitu akrab dan mewah di ruang makan keluarga besar Bryan.Di balik kemewahan suasana, Naya tersenyum, meski ada kegugupan yang terlihat samar di matanya. Di sampingnya, Bryan tampak lebih rileks, seolah sengaja menunjukkan senyumnya yang lebar, ingin memastikan bahwa semua orang di ruangan itu merasa bahagia.Melissa terus menggulir gambar demi gambar. Di salah satu foto, sang mama Bryan terlihat duduk berdampingan dengan Naya. Tangannya memegang sebuah majalah pernikahan, memperlihatkan gambar seorang model yang mengenakan gaun pengantin mewah. Naya menatap gambar tersebut
"Sayang, aku suka yang ini, berliannya berkilau sempurna?" Suara perempuan itu terdengar manja dan mesra.Tatap mata mama Bryan terus tertuju pada perempuan cantik di hadapannya yang tidak lain adalah Naomi, wanita yang selama ini diharapkan keluarganya untuk menjadi pasangan hidup Bryan. Namun, yang membuat Diana tersentak bukanlah keberadaan Naomi, melainkan pria yang bersamanya, seorang pria paruh baya dengan rambut mulai memutih di pelipis, yang dengan lembut memegang tangan Naomi sambil tersenyum lebar.Pria itu menatap Naomi dengan penuh kasih sayang, sembari memanggilnya dengan panggilan manis. “Apa pun yang kamu pilih, aku akan membelikan untukmu, sayang,” ujarnya, suaranya penuh perhatian. Jelas sekali hubungan mereka lebih dari sekadar teman atau kerabat. Sentuhan lembut pria itu di punggung Naomi, tatap mata penuh cinta, dan cara mereka berbicara, semuanya menunjukkan kemesraan yang tidak bisa disangkal.Mama Bryan berdiri terpaku, hatinya diliputi perasaan campur aduk. Di
Rencana untuk sidang isbat pernikahan Bryan dan Naya akhirnya batal. Papa dan mama Bryan lebih memilih jika Bryan mengulang kalimat akad di hadapan mereka. Meskipun hanya sekedar formalitas untuk melegalkan agar pernikahan Bryan dan Naya mendapat pengakuan secara hukum, tetapi itu adalah kalimat sacral yang ingin mereka dengan dari mulut putranya.Meskipun harus bekerja keras, tetapi kedua orang tua Bryan sangat bahagia mempersiapkan pernikahan mewah untuk putra semata wayangnya. Hanya satu minggu setelah Bryan membuat pengakuan, kini pesta itu sudah terwujud. Kehamilan Naya menjadi salah satu penyebab pesta pernikahan ini harus segera dilaksanakan.“Sebenarnya aku sudah undang Naomi dan kedua orang tuanya secara khusus, tapi tampaknya mereka tidak akan datang,” bisik mama Bryan tepat di telinga suaminya.Papa Bryan hanya mendengus kasar mendengar ucapan sang istri. Dia tahu apa yang dilakukan oleh Diana adalah sebagai bentuk rasa kecewanya, lebih tepatnya rasa kecewa terhadap dirinya