"Sayang, aku suka yang ini, berliannya berkilau sempurna?" Suara perempuan itu terdengar manja dan mesra.Tatap mata mama Bryan terus tertuju pada perempuan cantik di hadapannya yang tidak lain adalah Naomi, wanita yang selama ini diharapkan keluarganya untuk menjadi pasangan hidup Bryan. Namun, yang membuat Diana tersentak bukanlah keberadaan Naomi, melainkan pria yang bersamanya, seorang pria paruh baya dengan rambut mulai memutih di pelipis, yang dengan lembut memegang tangan Naomi sambil tersenyum lebar.Pria itu menatap Naomi dengan penuh kasih sayang, sembari memanggilnya dengan panggilan manis. “Apa pun yang kamu pilih, aku akan membelikan untukmu, sayang,” ujarnya, suaranya penuh perhatian. Jelas sekali hubungan mereka lebih dari sekadar teman atau kerabat. Sentuhan lembut pria itu di punggung Naomi, tatap mata penuh cinta, dan cara mereka berbicara, semuanya menunjukkan kemesraan yang tidak bisa disangkal.Mama Bryan berdiri terpaku, hatinya diliputi perasaan campur aduk. Di
Rencana untuk sidang isbat pernikahan Bryan dan Naya akhirnya batal. Papa dan mama Bryan lebih memilih jika Bryan mengulang kalimat akad di hadapan mereka. Meskipun hanya sekedar formalitas untuk melegalkan agar pernikahan Bryan dan Naya mendapat pengakuan secara hukum, tetapi itu adalah kalimat sacral yang ingin mereka dengan dari mulut putranya.Meskipun harus bekerja keras, tetapi kedua orang tua Bryan sangat bahagia mempersiapkan pernikahan mewah untuk putra semata wayangnya. Hanya satu minggu setelah Bryan membuat pengakuan, kini pesta itu sudah terwujud. Kehamilan Naya menjadi salah satu penyebab pesta pernikahan ini harus segera dilaksanakan.“Sebenarnya aku sudah undang Naomi dan kedua orang tuanya secara khusus, tapi tampaknya mereka tidak akan datang,” bisik mama Bryan tepat di telinga suaminya.Papa Bryan hanya mendengus kasar mendengar ucapan sang istri. Dia tahu apa yang dilakukan oleh Diana adalah sebagai bentuk rasa kecewanya, lebih tepatnya rasa kecewa terhadap dirinya
“Hati-hati makannya, Sayang. Biar bajunya tidak kotor.”Suara lembut itu mengetarkan gendang telinga di Derrian di antara suara riuh pesta. Mata Derrian menatap Damian, si sulung yang ceria, tertawa riang sambil mengarahkan sendok es krimnya ke mulut. Sementara itu, Danisha, adik kecilnya, terlihat sangat menurut saat gaun yang digunakan sedang dibersihkan oleh perempuan paruh baya yang berada di hadapanya.Perempuan itu adalah Risa, ibu kandung Melissa. Derrian menatap tanpa bisa mengalihkan pandangan, merasa terasing di tengah suasana penuh tawa dan kegembiraan ini. Untuk pertama kalinya kedua anaknya bertemu dengan sang oma.Kemudian, Damian menoleh dan melihat Derrian berdiri di sudut ruangan. "Papa!" serunya dengan riang. Damian segera melompat dari kursinya, berlari menuju ayahnya, meninggalkan Risa yang hanya bisa tersenyum kecil.Danisha pun mengikuti kakaknya. "Papa, es krimnya enak banget!" kata Danisha sambil memegang es krim yang hampir mencair.Derrian berjongkok dan meme
"Setelah melihat mereka, aku jadi ingin kita ulang resepsi juga," bisik Ageng dengan senyum menggoda saat melangkah keluar dari kemegahan pesta pernikahan Bryan dan Naya.“Kalau aku sih nggak,” sahut Queen dengan nada manja tidak kalah menggoda. “Aku kangen malam pertamanya, karena ternyata dulu kita tidak menikmatinya.”Ageng tertawa terbahak, bukan hanya karena dia bahagia, tetapi untuk menutupi jika tubuhnya sudah memberi reaksi yang berlebih setelah mendengar kalimat menggoda dari istrinya.“Sepertinya tidak ada salahnya kita temani Bryan melakukan malam pertamanya.”“Malam ke sekian, kan Naya sudah isi.”Dalam pesta pernikahan tadi turut diperlihatkan video pernikahan Bryan dan Naya, itu semua terjadi karena kabar kehamilan Naya sudah bocor ke public, hingga membuat Naya sempat mendapat hinaan dan cibiran. Tetapi saat melihat video pernikahan siri mereka, banyak tamu undangan yang meneteskan air mata. Pernikahan sederhana di sebuah rumah sakit, di hadapan seorang pria yang tergol
Melissa tiba di depan kafe Derrian dengan kedua anaknya, Damian dan Danisha, yang masih ceria bercerita tentang hari mereka di sekolah. Semilir angin ternyata tidak mampu menyingkirkan kegundahan hati Melissa, terutama setelah pertemuan tak terduga dengan sang mama di pesta beberapa hari lalu.Ketika melangkah masuk ke dalam kafe, mata Melissa langsung tertuju pada empat orang yang duduk di meja tengah, bersama Derrian mereka tampak berbincang dengan wajah serius. Jantungnya berdegup kencang, menyadari siapa saja mereka,kedua orang tuanya, serta kedua orang tua Derrian. Dua pasang orang tua yang dahulu bertengkar hebat untuk memisahkan anak-anak mereka, kita terlihat akur berbincang penuh senyum.Melissa menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Tidak ingin membuat kegaduhan di kafe yang dipenuhi pengunjung sore itu, ia menarik napas dalam-dalam dan memutuskan untuk tidak bertindak impulsif. Dengan tenang, Melissa meminta anak-anaknya untuk bermain di tempat biasa mereka di sudut kafe
Melissa menatap ayahnya, seolah tak percaya apa yang baru saja dia dengar. "Cucu?" ulangnya, nadanya rendah tapi penuh dengan ketidakpercayaan. "Kalian kangen dengan cucu-cucu kalian?"Seketika itu juga, perasaan kecewa dan marah yang selama ini ia pendam mulai membuncah. Di balik kesunyian ruangan private, kemarahan Melissa mulai terasa, meski ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang.Matanya memindai satu per satu orang dewasa yang duduk di hadapannya, kedua orang tuanya dan kedua orang tua Derrian. Semua orang tampak terdiam, menunggu ledakan yang mereka tahu akan segera datang.Melissa menarik napas panjang sebelum berbicara, suaranya mulai bergetar oleh emosi yang terpendam."Lucu sekali kalian baru datang sekarang. Kangen? Di mana kalian saat aku butuh kalian? Di mana kalian ketika aku baru melahirkan Damian dan Danisha? Kalian tahu, aku sendirian! Derrian sibuk mengurus kafe yang menjadi satu-satunya sumber penghidupan kami, dan kalian semua menghilang! Aku butuh keluarga,
Derrian duduk termenung di depan meja dengan tumpukan surat berharga di tangannya. Mata sahabat-sahabatnya, Ageng, Bryan, dan Cyrus, tertuju padanya, menunggu jawaban setelah mendengar semua penjelasannya. Di ruangan itu, suasana terasa tegang, campuran antara rasa bingung dan tanggung jawab yang membebani bahu Derrian.Ageng menghela napas panjang, memecah kesunyian. "Kalau dibilang sisa, ini masih banyak," ucap Ageng sambil menatap surat-surat berharga yang baru saja diterima Derrian dari ayahnya. "Lalu apa yang membuatmu ragu?"Derrian mengusap wajahnya yang lelah, mencoba menyusun kata-kata. "Melissa tidak mau menerimanya. Prinsip dia, kalau kita mau uangnya, berarti harus mau sama orangnya juga. Dan dia merasa belum siap untuk hidup bersama kedua orang tuaku." Jawab Derrian dengan jujur. Dia tahu, jika ingin mendapatkan masukan yang berarti dari sahabat-sahabatnya, dia harus terbuka sepenuhnya.Ageng, Bryan, dan Cyrus saling bertukar pandang, merenungi situasi rumit yang sedang d
Kesibukan Derrian mengurus perusahaan keluarga yang sedang berada di ambang kebangkrutan membuat Melissa harus mengurus sendiri kafe milik mereka. Untuk urusan anak-anak, Melissa bisa sedikit bernapas lega, karena dia mendapat pengasuh gratisan.Seperti yang pernah menjadi impiannya, mama dan mama mertuanya sering rebutan untuk mengurus Damian dan Danisha. Tetapi hal ini membuatnya tidak lagi menjadi idola bagi kedua anaknya tersebut.Malam itu, Melissa duduk di meja makan bersama Damian dan Danisha. Suara gelak tawa anak-anaknya memenuhi ruangan, namun di dalam hatinya, Melissa merasa ada kekosongan. Dia memandang mereka dengan penuh cinta, tetapi rasa khawatir mengganjal. Kedua anaknya begitu ceria, bercerita tanpa henti tentang hari-hari mereka di sekolah. Namun, topik pembicaraan mereka tak pernah jauh dari "oma.""Dan tadi siang, Oma bawa bekal spaghetti kesukaan aku ke sekolah, Ma!" kata Damian sambil tersenyum lebar. "Semua teman-teman di kelas aku iri!"Danisha tak mau kalah.
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l