Setelah berpikir lama, akhirnya Davianna mengambil sebuah keputusan penting yang akan berpengaruh pada hidupnya ke depan. Davianna merasa rapuh dan terpuruk. Cinta Fajri tidak bisa diraih, dan kemewahan dari Ageng harus terlepas. Davianna tidak ingin menderita sendiri, Ageng dan Fajri harus merasakan penderitaan yang sama. Setelah memastikan semua bukti jika dia pernah memiliki hubungan istimewa dengan Ageng terkirim pada orang tepat, Davianna kembali melanjutkan usaha untuk mendapatkan cinta Fajri. Dengan langkah anggun nan elegan, Davianna menyusuri lorong rumah sakit, menuju ke ruang perawatan Aletha. Dia ingin melihat perkembangan terbaru istri Fajri. Davianna berhenti sejenak di depan pintu ruang perawatan Aletha, merasakan dinginnya gagang pintu yang dingin di tangannya. Dia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian sebelum mendorong pintu itu dan masuk ke dalam ruangan. Bau antiseptik segera menyambut indra penciumannya, sedangkan indra penglihatan langsung disug
“Kamu jangan mikir terlalu keras, biar semua ini diselesaikan sama Ageng. Dia yang sudah bemain api, jadi biarkan dia sendiri yang mematikannya,” ucap Arya Suta di hadapan Arum.“Saya hanya tidak menyangka kalau Ageng akan melakukan hal seperti ini. Sejak awal mereka terlihat begitu romantis dan … papa tahu sendirikan Ageng seperti apa.” Arum menggelengkan kepala, tidak percaya dengan foto-foto yang dilihatnya.“Ageng tidak seburuk itu,” sanggah Danu, dengan tatap mata sendu menatap Arum seolah berusaha untuk menyakinkan istrinya. “Saya yakin papa sama Arum lebih mengenal Ageng daripada saya.”Arya Suta dan Arum langsung mengalihkan pandangan ke arah Danu. Tatap mata Arum yang terlihat merendahkan mengingatkan Danu pada masalahnya dengan Rahma yang sampai saat ini belum selesai juga. Sementara itu Arya Suta menunggu penjelasan lebih detail dari Danu.“Pa, bisa saja ini adalah cara kotor para pesaing kita untuk merongrong perusahaan.” Danu mencoba untuk memberi penjelasan kepada Arya S
Ageng mengangkat tubuh Queen ke sofa terdekat. “Bangun Queen! Bangun!” ucap Ageng dengan suara yang penuh rasa panik. Tubuh Queen terkulai lemas di pelukannya. Ageng berusaha membangunkannya, mengguncang bahunya dengan hati-hati. "Queen, tolong bangun," bisiknya dengan cemas, napasnya pendek dan tergesa-gesa.Dia merasakan dingin keringat di dahinya, hatinya berdegup kencang. Bayangan tentang kemungkinan terburuk menghantui pikirannya. Dia tidak bisa membiarkan Queen mengalami pendarahan lagi. Tidak saat ini. Tidak ketika bayi mereka masih dalam kandungan. Dia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan istri dan calon anaknya.Mendengar suara berisik Ageng yang memanggil Queen berulang kali, membuat Laras akhirnya kembali ke tempat semula."Ada apa ini?" tanya Laras dengan nada cemas yang mampu menghilangkan kemarahan. Matanya melebar ketika melihat Queen yang terbaring lemas di sofa, tidak sadarkan diri."Queen pingsan, Ma," kata Ageng dengan suara yang dipenuhi kegelisahan.Laras m
Sudah lebih dari cukup istirahat Queen hari ini. Tidak mungkin dia terus merebahkan tubuh pada saat anggota keluarga Wardana yang lain sedang memikirkan jalan keluar berita viral yang menyudutkan Ageng dan Wardana Group. Sedangkan Queen sendiri sadar jika dirinya turut andil di dalamnya.Dengan langkah perlahan dan hati-hati, Queen menuruni tangga. Suasana terasa sunyi dan sepi menyapa, padahal Queen tahu jika Arum dan Danu juga sedang berada di rumah itu. Hingga sayup-sayup dia mendengar suara Ardan yang sedang bermain dengan baby sisternya.Queen melangkah menuju ke tempat Ardan berada. Bocah kecil itu langsung menyambutnya dengan gembira.“Tante Queen!” Ardan berlari menghampiri Queen. “Kapan dedeknya keluar?” tanya Arda yang terlihat sudah tidak sabar.“Nanti dedek yang ada di dalam perut mama Ardan dulu yang keluar, baru dedek yang ini.” Queen tetap berusaha menjawab dengan lembut, meski tatap matanya sedang mencari anggota keluarga Wardana yang lain. “Lihat Om Ageng, ga?”Ardan
Rey duduk di ujung meja dengan gelisah, tatapannya tak pernah lepas dari Zachary Wijaya yang berdiri memandangi layar laptop dengan ekspresi muram. Suara deburan ombak di luar jendela villa di Bali tidak mampu meredakan ketegangan yang melingkupi ruangan itu.“Bagaimana perkembangan saat ini?” tanya Rey, suaranya terdengar memaksa. Dia sudah menunggu terlalu lama untuk mengetahui hasil dari rencananya.Zachary Wijaya hanya mendengus kasar, saat melihat hasilnya tidak seperti yang dia harapkan. Bahkan ada satu fakta yang baru dia ketahui dari pihak lain yang sepertinya memberi serangan secara bersamaan, tetap tidak memberi hasil yang maksimal.“Tidak seperti yang kita harapkan,” jawab Zachary singkat. “Wardana Group terlalu kuat untuk kita lawan,” sambung Zachary dengan tatap mata yang nanar.Rey menggigit bibirnya, merasa frustrasi. “Aku sudah melakukan semua yang kau suruh, bahkan membayar orang kepercayaanku di perusahaan untuk menjalankan rencanamu. Mengapa tidak ada ledakan dahsya
“Saya benar-benar tidak melakukannya, saya tidak mungkin menghancurkan keluarga yang telah memberi saya kehidupan,” ucap Queen dengan lelehan air mata yang tidak terbendung lagi.“Di mana kamu menyimpan bukti rekam medis yang pernah kamu gunakan untuk mengajukan gugatan cerai?” tanya Arya Suta dengan tegas, rasa curiga akan keterlibatan Queen semakin menebal bersamaan dengan penjelasan dari Selo Ardi.Queen menundukkan kepala, suaranya nyaris tak terdengar ketika menjawab, “Di bawa sama Ari, pengacara saya.” Hatinya terasa berat, seperti ada beban yang tak tertanggungkan menekan dadanya. Queen berharap sepupunya itu tidak terlibat dalam masalah yang sedang dia hadapi.“Semua bukti saya simpan dengan rapi dan aman, Om!” sahut Cyrus dengan suara yang mantab hingga membuat semua yang ada di sana menatapnya. “Saya menemui Ari Nugraha, dan dia melimpahkan semua bukti kepada saya. Saya sudah berjanji kepada Queen, jika Ageng tidak berubah dan tetap kasar, maka saya sendiri yang akan menjadi
Setelah pembicaraan yang panjang dan melelahkan itu berakhir, semua tamu pulang ke rumah masing-masing, termasuk Arum dan keluarganya. Ageng dan Queen tetap tinggal di rumah besar keluarga Wardana, setidaknya untuk sementara waktu.Ada banyak pertimbangan yang membuat Ageng dan Queen tidak lagi melawan kehendak Laras. Toh semua itu untuk kebaikan mereka juga.“Kau nyaman tinggal di sini?” tanya Ageng saat memasuki kamarnya bersama Queen.Kamar saat dia masih muda, kamar yang menyimpan segala kenakalannya saat masih remaja.Queen mengangguk lemah sambil menyunggingkan senyumnya. “Ya,” jawab singkat Queen.Tentu Queen merasa nyaman dengan segala kemewahan yang ada di kamar Ageng. Kamar itu begitu mewah dan nyaman, jauh berbeda dari kamar kos yang pernah ia tempati dahulu. Fasilitas lengkap dan luasnya ruangan memberikan rasa aman dan nyaman yang sangat ia butuhkan saat ini.Ageng menatap sekeliling kamar, mengingat masa mudanya. “Papa dan mama pernah bilang, suatu saat rumah ini akan me
Jika Queen dan Ageng kini sedang menikmati hangatnya kebersamaan, keadaan berbeda dengan Laras dan Arya Suta. Pasangan paruh baya itu berusaha memastikan bahwa apa yang sudah mereka rencanakan berjalan dengan lancar, dan semua masalah yang sedang mendera bisa selesai sesegera mungkin.“Mama harap konferensi pers besok bisa mengakhiri semua masalah ini,” ucap Laras dengan nada cemas.Laras masih belum bisa merasa tenang sebelum semua masalah benar-benar selesai. Kekhawatirannya terfokus pada kandungan Queen, terutama setelah membaca serangan dari netizen yang begitu massif ke akun media sosial Queen. Akun yang selama ini digunakan Queen untuk mempromosikan jasa desainnya kini dipenuhi dengan caci maki dan tuduhan keji.“Mama takut kalau Queen sampai mengalami pendarahan lagi,” lanjut Laras, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Dia tahu bahwa stres bisa berdampak buruk pada kehamilan Queen, dan setiap hari dia berdoa agar cucunya lahir dengan selamat.Arya Suta yang masih duduk menghadap lap
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l