Ageng melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang di jalanan yang ramai menuju kafe milik Derrian. Dia menarik napas panjang, mengingat kenangan lama bersama sahabat-sahabatnya. Queen sudah menunggunya di sana, membantu Melisa untuk mempersiapkan tempat khusus untuk acara mereka hari ini.Erick, sahabat lama yang tinggal di Australia, kebetulan sedang ada urusan bisnis di Indonesia dan akan tinggal beberapa hari bersama keluarga kecilnya. Ini adalah kesempatan langka yang tidak ingin disia-siakan oleh Ageng, Bryan, Cyrus, dan Derrian. Tentu akan ada banyak cerita saat mereka berkumpul di sana, apalagi mereka membawa pasangan masing-masing.Ageng tersenyum, saat menyaksikan Queen yang sudah terlihat akrab dengan semua sahabat dan juga pasangannya. Bahkan Erick dan Megan yang sebelumnya lebih mendukung hubungan Ageng dengan Davianna tampak bisa menerima keberadaan Queen di tengah mereka.Ageng sudah datang terlambat, tetapi tampaknya masih ada yang belum datang juga, Bryan. Ageng langsun
"Eh, ini baru kejutan!" seru Derrian saat melihat kedatangan BryanBryan melangkahkan kaki mendekat ke teman-temannya dengan santai, mengenalkan gadis muda yang datang bersamanya. "Guys, kenalkan ini Vicky. Vicky, ini Ageng, Queen, Erick, Megan, Derrian, dan Cyrus."Victoria tersenyum ramah, lalu duduk di kursi yang ditawarkan Derrian. Semua mata tertuju pada Bryan, menunggu penjelasan. Bagaimana mungkin sahabatnya itu membawa gadis kecil dalam acara mereka. Bryan seperti sedang mendapat tugas mengasuh adik atau keponakannya."Jadi Bryan, tolong kenalkan Vicky kepada kami! Sepupu atau ...?" tanya Cyrus dengan wajah yang terlihat serius.Bryan hanya tertawa. "Vicky adalah pacarku. Kami sudah pacaran beberapa bulan. Maaf baru dikenalkan sekarang."Ageng dan yang lainnya saling pandang dengan heran dan tatap mata penuh kasihan pada gadis polos yang berada di hadapan mereka. Sementara itu Queen hanya diam, bingung harus bagaimana berhadapan dengan Victoria di sini.Victoria bersikap seola
Ageng mengemudikan mobilnya perlahan, mata terfokus pada jalanan yang sepi. Di sampingnya, Queen duduk diam, dengan tatap mata yang nanar mengarah keluar jendela. Ageng merasa ada yang sedang mengganggu pikiran istrinya itu, dan sepertinya dia enggan untuk berbagi masalah dengannya.“Ada masalah?” tanya Ageng di sela-sela mengemudikan mobilnya.Queen tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Tidak, hanya ngantuk saja," jawab Queen dengan seulas senyum di bibirnya, berharap mampu menyembunyikan masalah yang mengganggu pikirannya saat ini.Ageng tahu itu bukan jawaban yang sebenarnya, tapi dia memilih untuk tidak mendesak, takut membuat Queen merasa semakin tidak nyaman. Mungkin nanti, atau di lain hari, Ageng bisa menanyakan hal ini lagi. Ageng meraih tangan Queen dan menggenggamnya, berharap mampu memberikan rasa hangat yang mungkin bisa menenangkan hatinya.Ageng tidak ingin jika ternyata ada salah satu dari sahabatnya yang masih tidak bisa menerima hubungan mereka dan me
Sebuah kebahagiaan yang tidak bisa Ageng gambarkan saat membuka mata, orang yang dia cintai masih berada di sampingnya. Dipandanginya sejenak wajah polos sang istri yang masih terlelap, Ageng melabuhkan kecupan singkat di kening lalu memeluk tubuh sang istri lebih erat.“Geng!” Suara serak Queen yang merasa terganggu tidurnya oleh ulah Ageng.“Hmm?” Ageng mengusap punggung mulus Queen, seperti menidurkan anak bayi. Dia merasa bersalah karena telah mengganggu tidur Queen yang terlihat masih kelelahan.“Berangkat jam berapa?”Sebagai seorang istri, sebisa mungkin Queen ingin memberikan pelayanan terbaik untuk suaminya. Bukan hanya di atas ranjang, tetapi juga dalam urusan sehari-hari, meskipun Ageng tidak pernah menuntut hal itu.“Pagi, ada meeting dengan klien.” Terasa berat Ageng memberi jawaban, karena menyadarkannya jika kemesraan pagi ini hari segera berakhir.“OK!” Queen meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku, juga tulang-tulangnya yang rasanya pegal semua.Mungkin Queen
Mendapat laporan jika putrinya baru pulang saat dini hari, membuat Surya Wijaya merasakan kepalanya berdenyut nyeri. Surya Wijaya mengetuk pintu kamar putrinya sebelum masuk, meskipun belum dipersilahkan. Kamar remaja putri yang dihiasi beberapa poster-poster boy band asal Korea dan foto-foto bersama teman-temannya yang menempel di dinding. Tampak kosmetik dan parfum memenuhi meja riasnya. sementara itu di atas tempat tidur dihiasi bantal-bantal berwarna-warni dan beberapa boneka lucu.Victoria terlihat sedang rebahan dan asik memainkan ponselnya. Akhir pekan ini dia bermalas-malasan, menghabiskan waktu dengan mengscroll media sosialnya. Surya Wijaya melangkah menghampiri putri bungsunya, lalu duduk di tepian ranjang di dekat Victoria.“Dari mana semalam? Mengapa sampai larut baru pulang?” tanya Surya Wijaya berusaha tetap lembut di hadapan putri bungsunya meski sebenarnya sedang menahan amarah.“Main sama teman, Pa,” jawab Victoria sekenanya. Bukan hanya takut kalau ketahuan keluar b
Setelah bertemu secara tidak sengaja di super market, kini Queen dan Miranti sedang berada di salah satu kafe yang masih berada dalam satu gedung. Meski pernah beberapa tahun hidup di bawah atap yang sama, tetapi sejak dahulu memang keduanya tidak pernah akrab, bahkan perbincangan di antara mereka hanya akan berlangsung begitu singkat.Sejak awal Queen menunjukkan penolakan akan kehadiran Miranti dalam keluarganya. Dia menganggap perempuan yang saat ini di hadapannya adalah penyebab perpisahaan kedua orang tuanya. Sementara itu, Miranti menunjukkan sikap tidak peduli, yang penting dia bisa menikah dengan Eddy dan mendapatkan kehidupan yang layak.“Maaf, tante tidak sempat menjengukmu saat di rumah sakit.” Lirih Miranti berucap terdengar penuh penyesalan.Queen hanya mengangguk pelan, merasa tidak perlu menanggapi serius basa-basi dari Miranti. Toh kejadian itu sudah berlangsung lama. Bukan hanya dirinya sudah sembuh, tetapi dia juga sudah kembali bersama dengan Ageng.“Queen, kapan-ka
“Sudah hampir tiga bulan papamu tidak datang lagi ke perusahaan.” Seingat Ageng tidak lama setelah dia mendatangi Eddy untuk mencari informasi keberadaan Queen, setelahnya Eddy tidak pernah lagi kembali perusahaan.Hati Queen mencelos saat mendengar kata ‘papamu’ dari mulut Ageng. Queen berusaha untuk menganggap wajar, karena dia sendiri pun tidak bisa dekat papa kandungnya sendiri, apalagi Ageng yang yang berstatus hanya menantu. Namun rasanya seperti tidak adil karena selama ini Queen selalu menganggap kedua orang tua dan juga saudara Ageng sebagai keluarganya sendiri, dan juga sangat menghormati mereka.“Apa yang terjadi? Papa sakit?” Bibir Queen bergetar seolah tidak siap untuk mendengar kabar buruk tentang papanya.Ageng menghela napas panjang, memilah dan milih kata untuk memberi jawaban yang paling tepat atas pertanyaan istrinya."Papamu ... dia mengalami stroke. Dia tidak bisa memimpin perusahaan lagi."Dunia Queen seakan runtuh. "Apa? Kenapa kau tidak memberitahuku?" Queen be
Queen mencium kening sang papa. Entah, kapan terakhir kalinya mereka bisa sedekat ini, Queen sudah lupa."Selamat malam, Papa," bisik Queen sebelum beranjak pergi. Miranti mengikutinya keluar kamar, menutup pintu perlahan.Seharusnya Queen mendengarkan ucapan Ageng. Kedatangannya malam ini terasa sia-sia dan hanya menyisakan luka. Dia tetap tidak bisa berbicara dengan sang papa yang saat ini sedang istirahat. Bahkan Queen tidak melihat adanya lelehan air mata dari sudut mata Eddy saat dia tinggalkan tadi.Di ruang tamu, Ageng menunggu dengan sabar. Queen berjalan menghampirinya, matanya masih merah dan basah. Tanpa berkata-kata, Ageng merangkul Queen, memberikan kekuatan dalam diam. Mereka meninggalkan rumah itu, membawa beban perasaan yang begitu berat.Selama perjalanan Queen hanya diam dengan tatap mata nanar keluar. Belum pernah Ageng melihat Queen sesedih ini. Ageng sama sekali tidak menduga jika dalam diamnya selama ini, ternyata Queen sangat menyayangi sang papa, atau mungkin l