"Maaf, Ivander udah buat kamu nunggu lama." Kanaya tersenyum tak enak pada Ivander yang kini bangkit dari duduknya. Menyambut kedatangan Kanaya, Ardiaz dan juga Anindya. "Nggak papa, saya yang datang terlalu cepat."Ivander tersenyum tipis membalas ucapan Kanaya. Mata segelap obsidian milik Ivander melirik samar pada Anindya yang berdiri di belakang Ardiaz. Ivander kembali duduk di tempat semula. Lalu, dia mempersilahkan mereka untuk duduk. "Silakan duduk." Kanaya dan Ardiaz mengambil duduk di depan Ivander. Sedangkan, Anindya masih setia berdiri. Kursi yang tersisa, adalah kursi yang berada tepat di samping Ivander. "Anindya, kamu kenapa diem aja? Cepet duduk, sayang!" Kanaya memberi kode lewat tatapannya agar Anindya segera duduk dan tidak bertingkah di depan Ivander. Dengan sangat terpaksa, Anindya menarik tungkainya mendekati kursi di samping Ivander. Dia mendudukan diri di sana dengan bibir yang setia bungkam. Bahkan, Anindya tidak melirik Ivander sedikitpun tatapannya han
"Kamu jangan kaya gitu dong, Sayang. Kamu yang mau nikah masa terserah, Mama." 'Kan, Mama yang antusias dari awal. Mama aja yang milih konsep pernikahan sekalian Mama nikah sama Ivander' Ingin sekali Anindya menjawab seperti itu, tapi dia tidak memiliki keberanian di depan Kanaya. Dia tidak ingin terlihat kurang ajar pada Kanaya. "Aku nggak bisa mikir, Mama aja yang nentuin aku pasti terima." Anindya ingin sekali pergi dari ruangan ini. Rasamya terjebak bersama orang-orang yang egois, tidak memperdulikan pendapat dirinya itu sangat menyebalkan. Namun, siapa yang peduli pada dirinya? Ivander yang sejak tadi mendengarkan perdebatan kecil dari Ibu dan anak itu mengerti. Dia tahu bahwa Anindya menolak keras pernikahan ini. Dia tahu, Animdya terus mendorong Ivander untuk segera pergi dari hidupnya. Bahkan, penolakan Anindya kemarin masih begitu jelas dipendengarannya. Ivander kali ini ingin egois, dia tidak ingin kehilangan Anindya untuk kedua kalinya. 3 tahun yang lalu, Anindya menol
"Saya udah mikirin semua ini secara matang, Anindya. Kalo kamu mikir saya bertindak terlalu terburu-buru, kamu salah besar." Kedua netra Ivander menyusuri setiap inchi wajah cantik Anindya. Mata bulat milik Anindya dengan bulu mata lentik, hidung mancung, bibir ranum berwarna merah ceri, dan terakhir pipi chuby membuat Anindya terlihat imut. Gaun putih polos selutut yang terlihat sederhana itu melekat di tubuh rampingnya. Rambut panjang yang dibiarkan tergerai indah, tampak bertebrangan saat diterpa oleh angin malam. Tangan Ivander terulur merapihkan rambut Anindya yang menutupi sebagian wajahnya, tapi Anindya dengan cepat menepisnya. "Kenapa kamu nggak mau coba dulu jalanin hubungan sama saya?" Ivander kembali mengeluarkan suara saat tidak ada respon dari Anindya. Anindya terkekeh samar mendengar pertanyaan Ivander. "Kamu pikir pernikahan sebercanda itu? Sampe kamu jadiin pernikahan ini sebagai percobaan?" Ivander tergagap seketika. Dia telah salah berbicara pada Anindya, detik
"Saya sama Lingga udah menikah selama 3 tahun, sebelum pernikahan Anindya dan Lingga terjadi. Di sini yang merusak rumah tangga orang itu Anindya bukan saya!" Penjelasan Melani di depan para wartawan membuat semua orang terkejut. "Jadi, Bu Melani yang udah bersama Pak Lingga sebelum sama Bu Anindya?" Salah seorang wartawan kembali melempar pertanyaan. Lingga mengangguk, dia ikut menanggapi pertanyaan wartawan tersebut. "Saya memang menikah dengan Melani terlebih dahulu, saya mempunyai kedua anak kembar bersama Melani. Sebelum akhirnya Anindya datang dan mulai merusak rumah tangga saya sama Melani.""Saya sama Melani menikah secara agama, alasannya karena saat itu karir Melani sedang berada di puncak. Saya menyembunyikan pernikahan saya dengan Melani di depan banyak orang," lanjut Lingga memberikan penjelasan yang sudah dia siapkan dari semalam. "Lalu, kenapa Pak Lingga menjalin hubungan dengan Bu Anindya?" Wartawan mulai mencecar Lingga dengan banyak pertanyaan. Setelah 3 hari me
"Anindya, lihat kelakuan mantan suami kamu sama wanita jalang itu!" Anindya yang sedang menuruni anak tangga terkejut mendengar teriakan Kanaya di ruang keluarga. Sambil menyentuh dadanya yang berdebar karena terkejut, dia menarik tungkai kakinya mendekat pada Kanaya. "Ada apa, Ma? Kenapa harus teriak-teriak?" Anindya mengambil duduk di samping Kanaya yang tengah fokus menatap layar televisinya. "Anindya, mantan suami kamu sama jalang itu nyebarin fitnah kalo selama ini kamu yang rebut Lingga dari Melani!" Kanaya berucap menggebu-gebu, dia tidak mengalihkan sedikitpun tatapannya dari layar televisi. Anindya dengan cepat mengalihkan pandang dari Kanaya pada layar televisi. Kedua matanya membulat sempurna melihat berita di mana Melani dan Lingga sedang diwawancarai perihal skandalnya 3 hari yang lalu. Mereka begitu pengecut, setelah 3 hari hanya bisa berlindung di dalam rumah tidak berani menemui wartawan. Kini, Melani dan Lingga memberanikan diri untuk menemui wartawan
"Semua orang kini menghujatku, karena Melani."Anindya menutup layar ponselnya dengan malas. Semua berita masih dipenuhi oleh skandal Lingga dan Melani. Namun, kali ini lebih panas karena perkataan Melani saat diwawancarai tadi. Anindya sangat kesal, bahkan marah pada Lingga dan Melani. Tapi, untuk kali ini dia ingin diam terlebih dahulu. Seolah apa yang terjadi hari ini tidak mempengaruhi Anindya sama sekali. Anindya juga tidak peduli saat orang-orang menghujatnya di sosial media. Beruntung, akun sosial media milik Anindya terkunci sehingga tidak ada yang bisa sembarang mengirim pesan atau mengomentari postingannya. "Daripada memikirkan berita ini, lebih baik aku bersiap untuk menemui Lingga." Anindya kembali membuka ponselnya untuk mengirim pesan singkat pada Ivander. Pesan itu berisi lokasi restoran untuk makan malam mereka nanti. "Sayang, Mama masuk, ya?" Setelah mendengar teriakan Kanaya, wanita itu membuka pintu kamar Anindya. Dia kembali menutup pintu kamarnya, lalu melang
"Pak Ivander, saya nerima pernikahan ini." Anindya menatap pantulan diri di depan cermin, di mana tubuhnya yang terbalut dress merah ceri dengan wajah yang terpoles make up tipis.Dia sedang mencoba berbicara di depan cermin seorang diri. Agar nanti ketika di depan Ivander, dia tidak begitu gugup. Sejak awal Ivander ingin menikahinya, Anindya bersikeras menolak meskipun berakhir menerima dengan sangat terpaksa. "Ah, sial! Seharusnya kamu nggak usah gugup, Nindy!" Anindya kembali menarik kursi di depan meja rias, dan mendudukkan diri di sana. Anindya hanya takut Ivander akan berubah pikiran nanti setelah Anindya mengatakan itu. Ivander pasti akan menertawainya melihat Anindya menerima pernikahan ini pada akhirnya. "Ma—" Bibir Anindya terkatup kembali mendengar suara ketukan pintu kamarnya, disusul teriakan Kanaya dari luar pintu. "Anindya, buka pintunya. Ivander udah nunggu kamu di ruang tamu!" Teriakan Kanaya mengejutkan Anindya. Dia reflek bangkit dari posisi duduknya dan ber
"Saya nggak ada minta buat kamu jemput, Pak Ivander." Anindya menoleh pada Ivander yang sedang fokus menyetir. Ivander bukan orang yang suka menggunakan sopir pribadinya untuk pergi kemanapun. Pria itu lebih suka mengendarai mobil seorang diri. Terkecuali, bersama Anindya malam ini dan beberapa hari yang lalu."Saya inisiatif buat jemput kamu." Ivander menghentikan laju mobilnya di dekat lampu merah. Dia menoleh pada Anindya yang duduk di sampingnya memasang ekspresi masam. Sejak awal, pertemuan mereka setelah melewati malam panjang bersama. Anindya tidak pernah senang jika bersamanya, ekspresi wanita itu selalu suram.'Apakah aku terlalu memaksanya?' batin Ivander mulai berpikir. Sedikit rasa bersalah mulai muncul saat mengingat perlakuan dirinya yang begitu mendesak Anindya untuk menerima pernikahan ini. Ivander bersama kedua orang tua Anindya, mengabaikan keinginan Anindya yang meminta waktu untuk berpikir terlebih dahulu. Mereka mengambil keputusan secara sepihak, tanpa memikir
"Istirahat, keadaan kamu belum benar-benar pulih!" Ivander bersiap keluar dari kamar mewah bernuansa cerah itu. Dia tidak ingin berlama-lama bersama Anindya di dalam kamar Villa ini, dia harus bergegas pergi dari hadapan wanita itu. "Ivan, sampai kapan kamu marah sama aku? Sampai kapan kamu mau diemin aku kaya gini?" Suara lemah Anindya berhasil menghentikan langkah Ivander yang berada di dekat pintu. Terhitung sudah lima hari semenjak hari di mana dirinya keguguran, Ivander masih setia mendiami dirinya. Ivander berhak marah padanya karena kesalahan yang dia lakukan itu benar-benar fatal. Anindya yang sudah menyebabkan janin dalam dirinya lenyap karena kebodohannya. Anindya sadar bahwa dia Ibu yang buruk, tidak bisa menjaga calon anak dalam kandungannya. Namun, apakah rasa bersalah Anindya tidak cukup untuk Ivander? Apakah permohonan maaf Anindya dengan tangisan di depan Ivander, tidak membuat hati pria itu bergerak untuk memaafkan dirinya? Lima hari, Ivander mendiami diriny
"Aku nggak mau denger penolakan! Cepat layanin pria di kamar 203, Mela!"Seorang wanita berumur 42 tahun dengan pakaian nyentrik yang sangat terbuka itu menatap penuh ancaman pada Melani. Madam Angel, seorang mucikari pemilik rumah bordir yang berada di pusat kota. Lokasinya begitu terpencil, jjarang sekali ada yang lewat ke tempat ini. Sehingga sulit ditemukan oleh orang-orang. Madam Angel, memiliki banyak pelacur yang siap melayani pelanggan. Tentunya semua pelacur yang berada di tangannya sudah terlatih untuk memuaskan pelanggan. Bayaran satu malam dari pelanggan 30% untuk pelacur, 70% untuk dirinya. Itu sudah tidak bisa dibantah oleh siapapun, para pelacur yang bekerja di bawah tekanan Madam Angel hanya bisa pasrah menerima ketidakadilan ini. "Apa? Aku nggak sudi!"Melani menolak dengan kedua mata melotot terkejut mendengar perintah Madam Angel. "Aku bilang nggak mau denger penolakan! Cepat layani pria itu, jangan buat pelanggan menunggu lama!" Madam Angel berdecak melihat Me
"Ivan, aku nggak nyangka ketemu kamu di sini!" Laura yang sejak tadi memperhatikan sosok yang sangat familiar di pandangannya. Bergegas mendekat untuk melihat lebih jelas, dan benar jika sosok itu adalah Ivander Alessandro— calon tunangannya. "Kamu apa kabar, Ivan?" Laura sedikit berteriak agar suaranya dapat di dengar oleh Ivander. Dentuman musik club malam di terangi lampu dengan pencahayaan yang minim. Wanita dengan dress merah yang mempertontonkan belahan dadanya secara jelas dengan panjang dress di atas lutut. Dress itu tampak sangat ketat, sehingga lekuk tubuh Laura terlihat begitu jelas. Wanita itu tampak menggoda dengan wajah cantik yang terpoles make up tebal dan bibir yang merah menyala. Ivander yang tengah menyesap vodka di tangannya itu tidak menggubris kehadiran Laura yang duduk di sampingnya tanpa permisi. Setiap tegukan vodka terasa seperti api yang membakar tenggorokan, memanas hingga dadanya terasa terbakar. Seolah-olah cairan itu menyalakan api kecil di dakam tub
"Maaf, Ivan! Semua ini salah ak—" "Ya, itu salah kamu. Kalo kamu nggak maksain diri kabur dari rumah, calon anak kita masih hidup!" Dengan cepat Ivander memotong ucapan Anindya. Raut wajahnya begitu datar dengan kedua mata yang menatap lurus ke jendela ruang rawat Anindya. Bohong, jika dirinya tidak marah pada Anindya atas kejadian ini. Ivander marah, sangat marah, dia kecewa pada Anindya yang begitu bodoh sampai calon anak mereka menjadi korban. "Maaf, Iv—" "Maaf?" Ivander kembali memotong ucapan Anindya untuk yang kedua kalinya. Dia mengalihkan pandang menatap wajah Anindya yang terduduk di atas brankar rumah sakit sambil terisak pelan. "Dengan mudahnya kamu minta maaf setelah semua yang terjadi?" lanjut Ivander yang berhasil membuat Anindya mengatup bibirnya rapat-rapat. Ivander memasukan kedua tangannya pada saku celananya. Dia menatap Anindya dengan tajam. "Kamu sangat egois, Anindya! Kalo kamu nggak bisa nerima pernikahan kita nanti, kamu seharusnya marah sama aku, b
084"Kami sudah melakukan tes untuk mengetahui faktor keguguran dari Bu Anindya, dan hasilnya tidak ada kelainan genetik apapun. Pada usia kehamilan yang sangat muda ini, trauma fisik seperti jatuh memang bisa memicu terjadinya keguguran. Kami sudah memastikan bahwa janin di dalam kandungan sudah tidak lagi dapat bertahan." Penjelasan Dokter membuat suasana di depan ruang UGD itu semakin mencekam. Untuk sesaat dunia seolah berhenti mendengar kabar yang diberikan oleh Dokter yang menangani Anindya. Semua orang yang berada di sana menundukan wajahnya yang kini memucat. "Tampaknya juga sejak awal kehamilan kondisi janin itu begitu lemah. Dan hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya karena kelelahan atau karena cemas dan stress berlebihan. Dan semakin diperburuk lagi dengan faktor benturan keras karena terjatuh. Sehingga janin terpaksa mengalami abortus atau keguguran." Dokter wanita itu kembali menjelaskan secara lengkap alasan Anindya bisa keguguran. Dia menatap sat
"Saya sebentar lagi sampai di lokasi tujuan. Jangan ada yang bergerak sebelum dapat perintah dari saya."Zico memutuskan panggilan telpon dari salah satu anak buahnya. Beberapa dari mereka sudah sampai di pinggiran kota. Dia sengaja menyuruh mereka untuk diam tanpa bergerak sebelum dirinya sampai di sana. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan terjadi. Zico kembali melanjutkan perjalanannya menuju daerah pinggiran kota Pandora. Sebelum itu dia meletakan ponselnya pada dashboard mobil, tapi suara notfikasi pesan masuk membuat Zico mengurungkan niatnya. Dia kembali membuka ponsenya, ternyata pesan dari Ivander. Suatu keberuntungan, dia langsung membukanya tanpa menunggu lama. Jika, tidak sudahdapat dipastikan jika Ivander akan mengamuk padanya nanti dengan menelponin diriya berulang kali. Sejak dulu, notfikasi pesan atau telpon dari Ivander menjadi prioritas utama. Bahkan kekasih Zico saja berada di urutan nomor dua, karena yang pertama Ivander. "Lingga?"Kening Zico berkerut bi
"Kamu nggak bisa kabur dari aku, Nindy!" Melihat Anindya yang ingin berlari, dengan cepat Lingga menarik rambut panjang Anindya dengan kencang. Lingga sangat kesal dengan tingkah Anindya yang mencoba untuk kabur darinya. "Sakit, Lingga!" Anindya meringis merasakan perih pada rambutnya yang dijambak kencang oleh Lingga. Rasanya rambutnya seperti ingin lepas dari kepalanya, seketika rasa pening langsung menyerang Anindya. Kini keadaan Anindya begitu mengenaskan, rambutnya yang dijambak kuat, wajahnya yang dipenuhi oleh air mata, di tambah perutnya yang sejak tadi terasa sakit. "Itu akibatnya kalo kamu ngelawan aku, Nindy!" Lingga menyeret paksa Anindya agar mengikuti langkah lebarnya kembali pada rumah tua tadi. Rizhar mengikutinya dari belakang sambil bersiul, sejak tadi dia sudah tidak sabar untuk merasakan tubuh molek Anindya. Wanita itu pakai acara kabur-kaburan segala, jadi semakin menghambat waktu. Tidak bisakah Anidnya langsung nurut dan pasrah saja menerima kepuasan yan
"Lingga?" Anindya terkejut bukan main, saat pertama kali membuka mata wajah Lingga begitu dekat dengan dirinya. Reflek Anindya mendorong Lingga agar menjauh dari tubuhnya. Lingga berdecak pelan, selama kurang lebih dua jam Anindya dalam kondisi pingsan. Wanita itu akhirnya sadar tepat saat Lingga baru saja sampai ke tempat tujuan. "Nindy, kamu tadi pingsan makanya aku bawa kamu ke sini. Karena, mungkin kamu butuh istirahat." Lingga menatap Anindya dengan lembut. Menyembunyikan perasaan kesalnya, karena wanita itu sadar lebih cepat dari perkiraannya. Dahi Anindya berkerut, dia tampak kebingungan saat ini selepas mendengar ucapan Lingga beberapa detik yang lalu. "Pingsan?" Anindya mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya pada dirinya. Kenapa Anindya bisa pingsan saat bersama Lingga? Seingatnya, Anindya sedang menunggu Lingga di kursi taman, lalu— "Nindy, kamu nggak usah terlalu banyak mikir. Mending sekarang kamu turun dari mobil, kamu butuh istirahat Anindya.
"Brengsek!" Ivander bangkit menggebrak meja kerjanya dengan kuat. Membuat beberapa berkas-berkas yang belum sempat dia tanda tangani itu berterbangan dan berjatuhan di lantai marmer. Ivander kalap seketika saat mendapati sebuah nomor asing mengirimkan sebuah foto di mana Anindya duduk di taman, dan juga Anindya yang dibekap mulutnya dari belakang oleh Lingga sampai pingsan. Jumlah foto itu ada dua, tapi berhasil membuat emosi Ivander naik ke puncak. Ternyata Anindya tidak kabur seperti apa yang dia pikirkan tadi, melainkan Anindya diculik oleh bajingan Lingga di taman kota. Sialan, bisa-bisanya dia kecolongan seperti ini. Ivander tidak habis pikir dengan Anindya, yang rela kabur dari rumah untuk pergi ke taman dan berakhir diculik oleh Lingga. Apakah alasan Anindya pergi ke taman bersangkutan dengan Lingga juga? Bisa jadi, tidak mungkin Lingga menculik Anindya hanya karena kebetulan saja. Semua ini pasti sudah direncanakan oleh Lingga, pria itu pasti memancing Anindya untuk da