"Saya nggak ada minta buat kamu jemput, Pak Ivander." Anindya menoleh pada Ivander yang sedang fokus menyetir. Ivander bukan orang yang suka menggunakan sopir pribadinya untuk pergi kemanapun. Pria itu lebih suka mengendarai mobil seorang diri. Terkecuali, bersama Anindya malam ini dan beberapa hari yang lalu."Saya inisiatif buat jemput kamu." Ivander menghentikan laju mobilnya di dekat lampu merah. Dia menoleh pada Anindya yang duduk di sampingnya memasang ekspresi masam. Sejak awal, pertemuan mereka setelah melewati malam panjang bersama. Anindya tidak pernah senang jika bersamanya, ekspresi wanita itu selalu suram.'Apakah aku terlalu memaksanya?' batin Ivander mulai berpikir. Sedikit rasa bersalah mulai muncul saat mengingat perlakuan dirinya yang begitu mendesak Anindya untuk menerima pernikahan ini. Ivander bersama kedua orang tua Anindya, mengabaikan keinginan Anindya yang meminta waktu untuk berpikir terlebih dahulu. Mereka mengambil keputusan secara sepihak, tanpa memikir
"Saya nggak butuh uang ini!" Dengan emosi memuncak, Ivander mengantamkan tinju pada dashboard mobil. Membuat beberapa lembar uang yang diberikan oleh Anindya tadi bertebrangan. Beberapa lembaran uang itu tidak berarti untuk Ivander. Anindya sangat keterlaluan, dia berhasil membuat Ivander merasa terhina karena perbuatan Anindya. "Kamu terlalu berani, Anindya."Ivander mendesis penuh emosi. Garis rahangnya mengetat sempurna, urat-urat pada lehernya menonjol. Ivander segera keluar dari mobilnya untuk mengejar Anindya yang belum terlalu jauh. Ivander tidak akan pernah melepaskan Anindya begitu saja. Wanita kurang ajar seperti Anindya harus mendapatkan pelajaran agar tidak kurang ajar lagi ke depannya.Dengan kemarahan yang berada di puncak kepalanya, Ivander berlari menyusuri trotoar jalanan kota Pandora untuk mencari keberadaan Anindya. Hanya ada beberapa kendaraan yang berlalu lalang, jalanan kota saat ini tampak sepi. Di ujung sana terdapat sebuah jembatan besar yang tampak gelap.
"Lepasin saya, Ivander!" Anindya berontak saat Ivander mencekal pergelangan tangannya. Dia berusaha untuk kabur saat ini melihat ekspresi menyeramkan yang tergambar pada wajah Ivander. Anindya begitu ketakutan melihat Ivander yang seperti ini. Ivander yang dia kenal sebelumnya tampak dingin, misterius, dan sedikit hangat. Tidak seperti Ivander yang berada di depannya saat ini, tampak menyeramkan dengan seringai yang menghiasi wajah tampannya. Pria itu tampak seperti predator yang sudah siap memangsa targetnya yang sudah dia intai sejak tadi. Sungguh mengerikan, sehingga Anindya ingin segera berlari menghindari Ivander. "Lepas, Anindya?" Ivander terkekeh samar di tengah kesunyian malam. "Saya udah pernah lepasin kamu sebelumnya, tapi jalan yang kamu pilih salah." Anindya mengerutkan dahinya dengan bingung, dia tidak memahami sedikitpun apa yang Ivander ucapkan. "Maksud kamu apa?" tanya Anindya menuntut penjelasan pada Ivander. Tangan Ivander terulur mengusap pipi kanan
"Pak Faisal, liat sendiri. Semua masalah ini ada sama Anindya, dia yang ngerusak rumah tangga saya sama Lingga."Pagi-pagi sekali, Melani sudah datang di rumah produksi milik Faisal Borneo. Tentunya dia tidak datang sendiri melainkan bersama Lingga. Wartawan sudah tidak lagi datang ke rumahnya, setelah kemarin Melani menemui mereka untuk klarifikasi yang merupakan karangannya sendiri. Kini para wartawan itu sedang menyerbu Anindya, tapi mereka tidak berani menerobos kediaman Danendra yang penjagaannya begitu ketat. "Anindya yang nuduh saya ngerusak hubungannya dia sama Lingga. Kenyataannya, dia yang jadi pelakor di rumah tangga saya sama Lingga!"Melani sejak tadi mencerocos panjang lebar di depan Faisal. Dia datang ke rumah produksi milik Faisal Borneo sejak jam 6 pagi. Namun, dia baru bisa bertemu Faisal tepat pada jam 08.10 pagi kota Pandora. "Sekarang, saya mau tanya Pak Faisal. Yakin masih mau mempertahankan hama kaya dia?" Melani menarik sudut bibirnya membentuk senyum licik.
"Jangan macem-macem, Nindy!" Melani menatap panik pada Anindya. Karena, dalam satu tindakan Anindya nasib Melani dan Lingga akan kembali hancur. Sia-sia usaha mereka kemarin memberikan skenario palsu pada wartawan. Melani melirik Faisal yang duduk tenang sambil menyesap kopi hitam miliknya. "Pak Faisal, jangan percaya video itu editan!" Otak Melani sangat dangkal. Orang bodoh juga tahu kalau video itu asli, tapi Melani mengatakan pada Faisal jika video itu editan. Faisal hanya bisa tertawa pelan melihat kebodohannya. "Mela! Mela! Aku nggak nyangka kalo kamu sebodoh ini. Video asli kaya gini kamu bilang editan." Anindya tertawa mengejek pada Melani. "Kamu pikir aku sekurang kerjaan itu sampe ngedit video buat nuduh kamu gitu?" Anindya menggeleng miris melihat kelakuan Melani yang kemarin-kemarin masih digadang-gadang oleh penggemarnya sebagai aktris papan atas yang memiliki kehidupan mulus. Nyatanya, aktris yang mereka puja-puja itu simpanan suami orang. "Nindy, kamu hapus nggak
"Nggak mungkin kamu jadi pemeran utama, Nindy! Kamu nggak layak buat jadi pemeran utama!" Melani nyaris gila mendengar Anindya yang menggantikan dirinya sebagai pemeran utama dalam film ini. Hanya dirinya yang pantas mendapatkan posisi itu, karena Anindya tidak memiliki pengalaman di dunia entertainment. Berbeda dengan dirinya yang sudah bertahun-tahun syuting film."Kamu nggak ada bakat, Nindy! Kamu ikut syuting cuma jadi beban aja!"Melani kembali bersuara dengan berapi-api. Melani sangat tidak terima dengan ini semua. Dia merasa semua ini tidak adil untuknya. Melani mendapatkan masalah setelah Anindya menyebarkan skandal dirinya dengan Lingga. Nama Melani hancur, tapi nama Anindya naik karena dia seorang penulis novel dan juga menggantikan posisi dirinya sebagai pemeran utama.Ya, semua orang sudah tahu bahwa Anindya Prameswari merupakan penulis dengan nama pena Daizy. Penulis novel yang namanya sudah terkenal, karena selalu menghasilkan karya terbaik. "Terus yang cuma layak kamu
"Saya mau batalin pernikahan ini, karena saya mau kamu bahagia, Anindya!" Ivander menggenggam lembut kedua tangan Anindya yang berdiri di depannya. "Saya tau kamu menerima pernikahan ini karena terpaksa. Saya udah bayangin ke depannya bakal kaya gimana!" lanjut Ivander kembali berbicara. Hanya pada Anindya, Ivander rela berbicara panjang lebar. Biasanya, dia hanya menjelaskan panjang lebar ketika sedang rapat dan kepentingan lainnya. Anindya terdiam menunduk menatap kedua tangannya yang berada di genggaman Ivander. Terasa nyaman dan hangat genggaman Ivander. Anindya mengangkat wajahnya membalas tatapan Ivander yang penuh keseriusan. "Saya awalnya memang terpaksa, Pak Ivander. Tapi, tujuan saya ngajak kamu makan malem untuk membahas pernikahan kita."Perkataan Anindya membuat dahi Ivander berkerut penuh kebingungan. "Kamu mau batalin pernikahan ini, Anindya?" Anindya menggeleng mendengar pertanyaan Ivander. "Kamu tau semua itu percuma.""Lalu?" Ivander sangat tidak sabar menden
"Anindya!"Suara Ivander menghentikan pergerakan Anindya yang ingin memasuki mobil Daren. Wanita dengan dress merah maroon itu menoleh ke belakang. Ekspresi Anindya tampak kaget kala melihat kehadiran Ivander di sini. Bukankah pria itu mengatakan jika dirinya sibuk tidak bisa menjemput Anindya? "Kamu ngapain di sini, Ivan?" Anindya membalikan tubuhnya diikuti oleh Daren. Pertanyaan Anindya membuat Ivander mendengus kesal. Pria itu menatap tajam Daren yang berdiri di sisi Anindya. Adiknya itu memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk mendekati calon istrinya.Daren hanya bersiul menggoda melihat Anindya dan juga Ivander. Dia menyengir tipis melihat ekspresi Ivander saat ini. "Yah, dijemput tuh sama calon suami." Daren meledek Anindya yang kini menoleh padanya dengan tatapan kesal. "Jemput kamu." Dua kata itu keluar dari bibir tebal Ivander. Pria itu segera menarik lembut tangan Anindya untuk berdiri di sisinya. Dia melingkarkan tangannya pada pinggang ramping Anindya. Ivand
"Pandora — Dunia hiburan kota Pandora kembali dihebohkan dengan kabar menghilangnya Lingga Aditama, mantan sutradara ternama yang terseret dalam skandal perselingkuhan dengan aktris papan atas, Melani Adisti." Ivander mengambil duduk di samping sang istri yang tengah fokus menatap layar televisi. "Setelah skandal mereka terungkap ke publik sebulan lalu, keduanya secara resmi dipecat dari agensi masing-masing akibat pelanggaran kontrak dan pencemaran nama baik institusi. Pemecatan tersebut langsung menjadi sorotan publik dan media hiburan." Ivander yang semula terkejut. Kini terlihat sangat santai, dia menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. Matanya menatap istrinya dari samping, mengabaikan siaran berita pagi ini di televisi. "Namun kini, perhatian publik kembali tertuju pada kasus ini. Lingga Aditama dilaporkan menghilang sejak tujuh hari yang lalu. Keluarga menyatakan bahwa sejak pekan lalu, Lingga tidak dapat dihubungi sama sekali." Anindya menoleh pada Iva
"Sayang, urusan semalam bener-bener mendadak. Jadi, mereka terpaksa hubungin aku buat bahas masalah perusahaan." Ivander mengambil duduk di samping sang istri, dia menarik pelan dagu Anindya agar menatapnya. "Udah, ya jangan marah lagi. Aku bener-bener minta maaf." Ivander membujuk Anindya dengan nada lembut, berharap istrinya akan luluh dengan bujukannya. Tidak semudah itu, Anindya masih saja kesal dengan Ivander yang meninggalkan dirinya semalaman. Entahlah, dirinya masih tidak mengerti kenapa harus sekesal ini. Padahal, tidak ada yang dirugikan sama sekali. Hanya karena dirinya menahan rasa penasaran sambil menunggu kembalinya Ivander dan berakhir ketiduran. Itu yang membuat Anindya misah-misuh sejak bangun tidur. Beruntung suaminya itu saat dirinya terbangun pagi tadi sudah berada di sisinya tengah memeluk tubuhnya dengan hangat. Jika, tidak ada Ivander di sisinya. Mungkin Anindya semakin marah besar pada Ivander. "Sayang, kita baru menikah tiga hari. Masa udah r
"Kamu semalam pulang jam berapa, Ivan?" Di dalam dapur villa yang luas dan minimalis, suasana hangat dan nyaman memenuhi ruangan. Dinding kaca besar menghadap langsung ke laut, memberikan pemandangan yang sempurna untuk memulai hari. Lantai kayu berwarna terang terasa hangat saat Ivander melangkah, sementara Anindya tengah mempersiapkan sarapan di meja marmer yang mengkilap. Dapur yang dipenuhi dengan peralatan modern dan rak terbuka berisi berbagai macam rempah dan bahan makanan segar, memberikan kesan mewah namun tetap terasa santai. Di atas meja, terdapat satu cangkir kopi hitam pekat yang mengepul, aroma kopi yang khas menyebar memenuhi udara. Di sebelahnya, roti panggang yang masih hangat diletakkan di atas piring, dengan selai buah segar dan mentega yang meleleh perlahan. "Sekitar jam sepuluh. Maaf, ya kamu sampai ketiduran nungguin aku." Ivander mendekat pada sang istri. Dia mengusap surai panjang Anindya yang kini duduk di meja makan bersiap memulai sarapan paginya. Di
"Apakah benar ini kediaman Pak Rizhar?" Salah seorang petugas polisi mendekati salah satu warga yang berkerumun mengelilingi rumah Rizhar. Rumah yang menjadi tujuannya pagi ini untuk mencari keberadaan Lingga, setelah mendapat laporan dari Marisa kemarin atas kehilangan putranya selama hampir satu Minggu. Petugas polisi melacak ponsel Lingga sore itu juga, dan ternyata ponsel Lingga berada di daerah Solora. Tepatnya berada di salah satu kediaman rumah warga di daerah Solora, pagi ini juga polisi segera menuju kediaman Rizhar lokasi ponsel Lingga berada. "Benar, Pak. Tapi, sudah hampir satu Minggu ini saya nggak liat keberadaan Rizhar. Rumahnya juga terkunci, bahkan beberapa hari ini terlihat sepi. Biasanya ada orang nongkrong di depan rumahnya." Salah satu warga bernama Nina itu menjawab apa yang dia ketahui dalam beberapa hari ini. Pasalnya, Nina merupakan tetangga dekat Rizhar. Rumah Nina berada tepat di samping rumah Rizhar. Rumah Rizhar itu tidak pernah sepi setiap
"Dasar bajingan!" Dengan penuh Geraman, Lingga mengumpati Ivander Meskipun takut pada Ivander, Lingga dan Rizhar tetap menyimpan marah pada Ivander. Belum selesai rasa kesal mereka terhadap kemunculan Ivander, suara mesin lain yang lebih bising mendekat dari arah yang sama. Jaguar XJ, dengan desain yang tajam dan elegan, melesat melewati mereka seperti bayangan hitam. Dalam mobil tersebut, Lingga bisa melihat sekilas Zico di kursi pengemudi dan Bima di sebelahnya, wajah mereka tertutup oleh bayangan lampu kabin. Lingga merasakan darahnya mendidih. Kedua mobil itu melaju dengan angkuh, meninggalkan jejak debu yang naik ke udara malam. Mereka tidak hanya melewati Lingga dan Rizhar—mobil-mobil itu seperti simbol ejekan atas ketidakberdayaan mereka. Tapi Lingga tahu bahwa mereka tidak punya pilihan. Membalas dendam sekarang berarti membuka diri terhadap bahaya yang lebih besar. "Liat aja nanti. Hidup kalian akan hancur sebelum kalian menghancurkanku!" Lingga meantap penuh dendam pa
"Kapok aku nggak mau berurusan sama Ivander lagi!" Suara Rizhar terdengar penuh penyesalan. Seandainya hari itu dia menolak ajakan Lingga untuk menculik Anindya, bahkan dia secara tidak langsung menjadi penyebab Anindya mengalami keguguran. "Kenapa kamu nggak bilang kalo mantan istri kamu itu udah punya suami kaya iblis itu!" lanjut Rizhar menyalahkan Lingga yang sejak tadi diam berjalan tertatih di sampingnya. Dengan langkah berat keduanya terus menyusuri lahan luas yang terbentang di depan mereka. Pepohonan kering di sekitar danau menciptakan bayangan menakutkan di bawah cahaya bulan yang redup. Angin malam yang dingin menusuk kulit mereka, membawa aroma hutan yang lembap dan asing. "Aku nggak tau kalo Anindya saat itu lagi hamil." Lingga menjawab dengan napas yang memburu. "Aku pikir nggak akan terjadi apapun kalo aku merkosa Anindya saat itu. Karena, mau gimanapun Anindya itu mantan istri aku."
"Tutup mulut, dengan begitu hidup kalian berdua aman." Ivander menatap mereka berdua yang telah bebas dari rantai besi yang selama ini membelenggu. "Saya bisa menghancurkan hidup kalian kapan saja jika hal ini bocor. Paham?" Lingga dan Rizhar berdiri di depan Ivander, tubuh mereka lemah dan gemetar. Keduanya tampak kehilangan kekuatan setelah seminggu menerima siksaan fisik tanpa henti. Kaki mereka terasa seperti jelly, nyaris tak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri setelah terbelenggu dan tak bergerak terlalu lama. Rizhar mengangguk ketakutan. Wajah pria bertato itu terlihat pucat, mencerminkan rasa takut yang mendalam terhadap Ivander. Pria itu, dengan tatapan dingin tanpa emosi, telah menunjukkan bahwa ia tak memiliki rasa iba sedikit pun. Semua siksaan, dari pukulan hingga tendangan, dilakukan tanpa ekspresi—seolah teriakan mereka adalah sesuatu yang tak pernah sampai ke telinganya. "Saya berjanji tidak akan bicara tentang ini. Tolong lepaskan saya," suara Rizhar bergetar, me
"Dengar, ya, Lingga. Saya akan lepasin kamu malam ini juga, tapi jangan pernah katakan apa yang telah terjadi padamu selama hampir satu minggu ini." Ivander melipatkan kedua tangan di depan dada. Di samping pria itu, Bima berdiri dengan jaket kulit berwarna hitam menggunakan topi hitam, kaca mata hitam, dan juga masker berwarna hitam. Bima selalu menggunakan pakaian serba hitam selama hampir seminggu menyiksa Lingga dan juga Rizhar, dia rela menginap di gudang eksekusi milik Ivander.Saat menyiksa Lingga, Bima tidak pernah mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya. Mulutnya diam, tapi tangan dan kakinya tidak. Rasanya begitu puas setiap kali mendengar teriakan penuh kesakitan dari Lingga, tubuh kekar pria itu dipenuhi oleh luka-luka dan juga memar bekas pukulan besi yang dilayangkan oleh dirinya. "Nggak bisa kaya gini! Apa yang kamu dan anak buahmu lakukan itu udsh keterlaluan. Kamu nyulik dan nyiksa saya sama Rizhar, saya nggak mungkin diem aja." Lingga dengan suara lemah melayan
"Bajingan kaya kamu nggak layak untuk hidup." Ivander dengan tak berperasaan menendang Lingga yang tengah memejamkan kedua matanya di sisi Rizhar. Lingga dan juga Rizhar lagi dan lagi mendapatkan pukulan dari anak buah Ivander, serangan yang diberikan oleh anak buah Ivander membuat Lingga pingsan. Sedangkan Rizhar masih menahan kesadarannya sambil menahan sakit. Lingga yang terkejut dengan tendangan keras Ivander, reflek membuka matanya. Dinding yang catnya sudah pudar dilapisi oleh jamur menjadi hal pertama kali yang Lingga lihat selama beberapa hari terakhir berada di tempat ini. Ivander mendorong dada bidang Ivander, kaki Ivander yang terbalut sneakers itu menekan dada Lingga sampai pria itu terdorong ke belakang. Punggungnya menempel pada tiang besi yang terpasang rantai yang melingkar di kedua tangan Lingga. Napas Lingga terasa sesak, dia mencoba meraup udara segar untuk mengurangi rasa sesak pada rongga dadanya yang penuh. Tangan Lingga mencengkeram kaki Ivander yang