"Nggak mungkin kamu jadi pemeran utama, Nindy! Kamu nggak layak buat jadi pemeran utama!" Melani nyaris gila mendengar Anindya yang menggantikan dirinya sebagai pemeran utama dalam film ini. Hanya dirinya yang pantas mendapatkan posisi itu, karena Anindya tidak memiliki pengalaman di dunia entertainment. Berbeda dengan dirinya yang sudah bertahun-tahun syuting film."Kamu nggak ada bakat, Nindy! Kamu ikut syuting cuma jadi beban aja!"Melani kembali bersuara dengan berapi-api. Melani sangat tidak terima dengan ini semua. Dia merasa semua ini tidak adil untuknya. Melani mendapatkan masalah setelah Anindya menyebarkan skandal dirinya dengan Lingga. Nama Melani hancur, tapi nama Anindya naik karena dia seorang penulis novel dan juga menggantikan posisi dirinya sebagai pemeran utama.Ya, semua orang sudah tahu bahwa Anindya Prameswari merupakan penulis dengan nama pena Daizy. Penulis novel yang namanya sudah terkenal, karena selalu menghasilkan karya terbaik. "Terus yang cuma layak kamu
"Saya mau batalin pernikahan ini, karena saya mau kamu bahagia, Anindya!" Ivander menggenggam lembut kedua tangan Anindya yang berdiri di depannya. "Saya tau kamu menerima pernikahan ini karena terpaksa. Saya udah bayangin ke depannya bakal kaya gimana!" lanjut Ivander kembali berbicara. Hanya pada Anindya, Ivander rela berbicara panjang lebar. Biasanya, dia hanya menjelaskan panjang lebar ketika sedang rapat dan kepentingan lainnya. Anindya terdiam menunduk menatap kedua tangannya yang berada di genggaman Ivander. Terasa nyaman dan hangat genggaman Ivander. Anindya mengangkat wajahnya membalas tatapan Ivander yang penuh keseriusan. "Saya awalnya memang terpaksa, Pak Ivander. Tapi, tujuan saya ngajak kamu makan malem untuk membahas pernikahan kita."Perkataan Anindya membuat dahi Ivander berkerut penuh kebingungan. "Kamu mau batalin pernikahan ini, Anindya?" Anindya menggeleng mendengar pertanyaan Ivander. "Kamu tau semua itu percuma.""Lalu?" Ivander sangat tidak sabar menden
"Anindya!"Suara Ivander menghentikan pergerakan Anindya yang ingin memasuki mobil Daren. Wanita dengan dress merah maroon itu menoleh ke belakang. Ekspresi Anindya tampak kaget kala melihat kehadiran Ivander di sini. Bukankah pria itu mengatakan jika dirinya sibuk tidak bisa menjemput Anindya? "Kamu ngapain di sini, Ivan?" Anindya membalikan tubuhnya diikuti oleh Daren. Pertanyaan Anindya membuat Ivander mendengus kesal. Pria itu menatap tajam Daren yang berdiri di sisi Anindya. Adiknya itu memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk mendekati calon istrinya.Daren hanya bersiul menggoda melihat Anindya dan juga Ivander. Dia menyengir tipis melihat ekspresi Ivander saat ini. "Yah, dijemput tuh sama calon suami." Daren meledek Anindya yang kini menoleh padanya dengan tatapan kesal. "Jemput kamu." Dua kata itu keluar dari bibir tebal Ivander. Pria itu segera menarik lembut tangan Anindya untuk berdiri di sisinya. Dia melingkarkan tangannya pada pinggang ramping Anindya. Ivand
"Kamu kenapa diem aja, sih, Lingga? Kamu denger nggak apa yang aku ngomongin dari tadi?" Melani mendekati Lingga yang sejak kembali dari rumah produksi milik Faisal hanya diam saja. Bahkan saat di mobil, sepanjang perjalanan mereka sampai ke rumah. Melani hanya mengoceh seorang diri, Lingga tidak menanggapi sama sekali. Bahkan, Melani beberapa kali memergoki Lingga yang tampak tak fokus. Saat makan siang dan juga makan malam tadi. Melani sudah seperti orang gila, berbicara seorang diri tanpa ada yang menanggapi. Lingga mengangkat wajahnya menatap Melani. "Terus? Kamu nggak capek ngomongin Anindya terus dari kemarin?" "Kok, kamu ngomongnya gitu sih, Lingga?" Melani menatap Lingga dengan emosi. "Jangan bilang kamu malah seneng liat Anindya gantiin posisi aku?" Lingga menepis tangan Melani yang dengan kurang ajar menunjuk wajahnya. "Diem, Mel. Aku lagi stress, jangan buat aku marah dan lampiasin ke kamu!" Lingga bangkit dari posisinya yang duduk di sofa ruang tengah. Dia ber
"Mama, seneng kamu nerima pernikahan ini dengan senang hati, Sayang." Kanaya mengajak Anindya memasuki butik milik teman dekatnya. Hari ini mereka akan melakukan fitting baju pengantin. Kanaya mengantar Anindya, sedangkan Ivander akan datang terlambat karena masih banyak urusan di kantor. Lagi pula yang diutamakan itu Anindya, yang harus mengukur tubuhnya untuk baju pengantin nanti. "Naya, kamu apa kabar?" Kiana mendekati Kanaya, dan memeluk sahabatnya sejak duduk di bangku kuliah. "Baik, kamu sendiri gimana, Kia?" Kanaya melepaskan pelukan singkat Kiana. "Aku juga baik, Nay." Kiana menoleh pada Anindya yang berdiri canggung di samping Kanaya. "Ini anak kamu, Nay?" Kanaya mengangguk. "Dia Anindya, Na. Aku seneng banget, bisa ketemu sama anak aku lagi!" Suara Kanaya tampak bergetar membuat Anindya menunduk menahan rasa sesak di dada. Kiana tersenyum penuh haru menatap Kanaya dan Anindya bergantian. Dia tahu seberapa hancurnya Kanaya saat Anindya memutuskan hubungan d
"Ivander, gimana apakah gaun ini cocok untuk calon istri kamu?" Kiana keluar dari ruang ganti bersama Anindya. Dia membantu Anindya menggunakan gaun pengantin yang dipilihkan oleh Ivander. Gaun Ball Gown, gaun yang berbentuk seperti bola, dengan rok yang lebar dan panjang. Gaun yang dikenakan oleh Anindya berwarna merah muda yang tampak feminim dan indah digunakan pada tubuh ramping Anindya. Gaun itu memiliki motif floral yang klasik dan elegan. Terdapat bunga-bunga kecil yang dijahit dan juga dibordil membuat gaun itu tampak cantik."Cantik, saya suka gaun ini." Ivander mengangguk setelah cukup lama menatap Anindya dari atas sampai bawah. "Sayang kamu suka, kan sama gaunnya?" Kanaya maju mendekati putrinya. Anindya menggunakan gaun pernikahan ini membuat kecantikannya bertambah dua kali lipat. "Ma—" "Kamu nyaman, kan sayang pake gaun ini?" Ivander pun ikut maju mendekati Anindya. Membuat Kanaya menggeser tubuhnya memberi ruang untuk Ivander. Anindya mengumpat dalam hati, sa
"Ulangin ucapan kamu, Anindya." Tatapan Ivander sudah menajam kala menatap Anindya yang berdiri di depannya. Ucapan wanita itu beberapa detik yang lalu membuat emosinya naik seketika. "Kalo kamu mau terus kaya gini, pernikahan ini nggak usah dilanjut, Ivan!" Anindya mengulang lebih jelas ucapannya. Dia tidak sadar, jika ucapannya sudah memancing sisi lain dari Ivander untuk keluar. Ivander terkekeh sarkas. Dia menarik dagu Anindya, sehingga jarak wajah dirinya dengan Anindya begitu dekat. Kini napas hangat Ivander menerpa wajah cantik Anindya yang kini membeku. "Kamu nggak punya hak buat mutusin lanjut atau nggak, Anindya!" Suara Ivander begitu pelan nyaris seperti bisikan tepat di depan wajah Anindya. Anindya mencengkeram kedua sisi dress yang dia gunakan. Tubuhnya sedikit bergetar takut dengan sikap Ivander saat ini. Sungguh, pria itu tampak menakutkan membuat Anindya tidak bisa bergerak di tempat. "Tiga tahun waktu yang cukup buat kamu bebas dari aku, Anindya."
"Kematian Kakekku itu takdir, maaf aku nggak maksud buat kamu ngerasa bersalah. Apa yang terjadi sama kamu itu, karena cobaan dari Tuhan bukan karena, Anindya." Ivander menggenggam kedua tangan Anindya dengan lembut. Dia menatap manik indah Anindya dengan sorot lembut. "Karma itu nyata, Ivander. Semua orang pasti mendapatkan karma ketika melakukan kesalahan." Anindya melepaskan genggaman Ivander dengan pelan. "Ini udah malam, aku ingin pulang untuk istirahat." Anindya berjalan terlebih dahulu mendekati mobil Ivander yang terparkir tidak jauh dari mereka berdiri tadi. Ivander hanya diam merenungi ucapannya beberapa saat yang lalu. Dia terlalu jahat sudah membuat Anindya seperti ini. **** "Jadi, kamu mau nikah sama putri Ardiaz itu, Ivan?" William Alessandro— ayah kandung Ivander baru saja kembali dari kota Luton. Dia kembali setelah mendapatkan kabar dari anak buahnya bahwa Ivander akan menggelar pernikahan dalam waktu dekat. Keterkejutannya tidak sampai di situ
"Ivander, jadi kamu yang nyekap aku di sini?" Pertanyaan terkejut dari sosok yang kini terduduk di lantai dengan kondisi terikat. Membuat Ivander yang baru saja menginjakan kaki di rumah tua yang terletak di tengah hutan daerah Solara. Pria dengan kemeja abu-abu itu menyorot tajam target yang kini menatapnya terkejut sekaligus panik. Tatapan Ivander menyimpan dendam yang begitu membara meskipun wajahnya tanpa ekspresi. Ivander menghentikan langkah kakinya tepat di depan Lingga dan Rizhar yang kini terduduk di lantai kotor dengan kedua tangan yang terikat di belakang tubuhnya. Malam itu juga setelah Ivander memberikan perintah untuk menangkap Lingga dan juga Rizhar yang menjadi penyebab calon istrinya mengalami keguguran. Tidak salah Ivander mengandalkan Bima dalam masalah Lingga, karena hanya dalam waktu satu jam Bima berhasil menangkap Lingga dan juga Rizhar. Lalu, menyeret pria itu ke rumah tua yang menjadi tempat di mana Anindya mengalami pendarahan hebat dan ditemukan oleh Zi
"Bima, saya sangat mengandalkan kamu dalam masalah ini! Saya mau malam ini juga, Lingga sudah berada di depan saya!" Perintah Ivander mutlak, tak ada yang berani menolak atau membantah. Apa yang pria itu mau harus segera dilaksanakan detik itu juga."Baik, Pak. Saya akan melakukan tugas ini dengan baik."Bima Abimana— sahabat terdekat Lingga Aditama, dia selalu berada di sisi Lingga. Dia selalu mendukung semua yang Lingga lakukan, dia bukan sekedar sahabat untuk Lingga. Melainkan saudara yang selalu menemani Lingga ketika pria itu susah maupun senang. Namun, itu yang dianggap oleh Lingga, kenyataannya tidak sama sekali. Jika, Lingga menganggap Bima sebagai sahabat yang sudah seperti saudara. Sedangkan Bima menganggap Lingga sebagai seorang musuh yang harus dihancurkan, di depan pria itu dia bersikap seperti malaikat. Di belakang Lingga, Bima diam-diam menjadi kaki tangan Ivander untuk menghancurkan Lingga. Yang memberitahu perselingkuhan Melani dan juga Lingga bukan Zico, melainkan
"Anindya!" Ivander meraba tempat tidur di sisinya yang kosong. Dengan suara serak Ivander terus memanggil nama Anindya, yang kini sudah menjadi istrinya. Ivander membuka kedua matanya yang sejak tadi terpejam. Dia mengerjap pelan menyesuaikan pandangannya saat cahaya matahari menyilaukan pandangannya. Ivander meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Dia bangkit dari posisinya untuk duduk. Mata tajamnya menyapu setiap sudut kamarnya di mana setiap dinding terdapat hiasan bunga mawar dan juga anggrek. Semalam dia tidak memperhatikan suasana kamarnya yang telah dihias. Dia terlalu fokus dengan Anindya, mengabaikan hal yang menurutnya tak penting. Pagi ini dia baru saja menyadari, karena semalam langsung tidur setelah Anindya terlelap. "Anindya!" Menyadari Anindya yang tidak berada di kamarnya, Ivander segera turun dari atas ranjang dan mencari Anindya ke kamar mandi dan juga balkon. Namun, nihil Anindya tidak ada di kamar mandi maupun balkon kamarnya yang tertutup gorden.
"Jadi, alasan kamu pergi tanpa ngasih kabar itu. Karena, kamu selingkuh dibelakang aku, Lingga?" Mengingat ucapan Radja di dalam mobil dua jam yang lalu, membuat Melani uring-uringan memikirkan Lingga yang sampai hari ini tak ada kabar. Melani terpengaruh oleh ucapan Radja yang mengatakan jika alasan Lingga pergi tanpa memberi kabar itu, karena pria itu menjalin sebuah hubungan dengan wanita lain di belakang Melani. Bukan hal yang tidak mungkin Lingga bermain api di belakangnya. Pasalnya, beberapa bulan setelah pria itu resmi menikah dengan Anindya. Lingga justru melamar Melani dan mengajak dirinya untuk menikah secara agama tanpa sepengetahuan siapapun. Hanya Bima selalu sahabat Lingga dan juga asisten pribadi Melani yang menjadi saksi atas pernikahan Melani dengan Lingga saat itu. Dan mungkin, Lingga melakukan hal yang sama pria itu lakukan pada Anindya. Kini Melani merasakan penderitaan Anindya yang dikhianati oleh Lingga yang menjalin hubungan dengan dirinya di belakang w
"Aku boleh masuk?"Ivander bertanya setelah mengetuk pintu kamar utama di villa ini. Sudah lima belas menit Ivander berdiri di depan pintu kamar utama mereka, menunggu Anindya berganti pakaian. Bodohnya, sejak tadi Ivander hanya diam saja berdiri di tempat. Seharusnya pria itu bisa duduk di sofa yang berada tidak jauh dari kamar mereka. Lima detik tidak ada sahutan dari dalam kamar. Ivander ingin mengetuk kembali pintu tersebut. "Masuk! Aku udah selesai!" Tangan kekar Ivander menggantung di udara saat mendengar suara lembut Anindya di dalam kamar. Dengan segera Ivander membuka kamar itu, alangkah terkejutnya saat melihat rambut Anindya basah. "Sayang, kamu mandi?" Ivander menutup pintu kamar mereka, tidak lupa menguncinya dari dalam. Dia melangkah mendekati wanitanya yang sedang berdiri di depan meja rias sambil mengeringkan rambutnya. "Iya, tubuhku terasa sangat lengket."Anindya tidak akan bisa tidur dengan kondisi tubuhnya terasa lengket karena keringat. Sehingga dia melawan
"Nggak mungkin Anindya menikah dengan Ivander!" Kedua kaki Melani begitu lemas saat membaca berita yang tersebar di media sosial tentang pernikahan Anindya dan juga Ivander. "Seharusnya Anindya itu udah mati. Dia nggak mungkin bisa berdiri di samping Ivander untuk melangsungkan pernikahan hari ini!" Melani meremas ponsel di tangannya. Dia yang berdiri di dekat lorong club' malam itu tampak seperti orang gila. Dia baru saja melayani pelanggan Madam Angell sejak tiga jam yang lalu, rasa senang yang sempat hadir tadi kini terganti dengan perasaan marah, kecewa, dan juga panik. "Kalo Anindya selamat nggak mati. Di mana keberadaan Lingga?" Ya, itu yang membuat Melani ketakutan saat ini. Seharusnya jika Anindya baik-baik saja, tidak mati seperti apa yang dia harapkan. Berarti Lingga tidak melakukan apapun pada Anindya, suaminya itu justru melepaskan Anindya begitu saja tanpa melakukan apapun. "Lingga, kamu sekarang di mana?" Melani merosotkan tubuhnya di lantai dengan perasaan
"Maaf, aku keasikan ngobrol sampe lupa sama kamu!" Ivander meletakan Anindya di atas ranjang king size kamar utama yang sudah dihias dengan indah untuk malam pertama kedua pengantin itu. Namun, meskipun kamar mereka telah didekor sebegini rupanya, malam pertama pernikahan mereka tidak akan terjadi. Melihat kondisi Anindya yang baru saja mengalami keguguran satu Minggu yang lalu, tidak memungkinkan untuk mereka melakukan hubungan intim di malam sakral ini. Ivander tidak mempermasalahkan itu, dia mengerti kondisi Anindya saat ini. Ivander sangat mengutamakan kondisi Anindya agar segera membaik. Anindya hanya mengangguk sebagai respon, dia bergerak ingin melepaskan high hills yang membungkus kedua kakinya."Biar aku aja!" Ivander mencegah pergerakan Anindya, dia yang kini melepaskan high hills yang melekat pada kedua kaki istrinya. Ivander terkejut saat melihat kaki Anindya yang memerah. Dia mengusap luka itu dengan lembut."Shh, perih!" Anindya meringis saat Ivander menyentuh kakin
"Sayang, ayo kita istirahat! Kamu kecapean kenapa diem aja nggak ngomong sama aku?" Ivander menatap penuh kekhawatiran pada Anindya yang kini membalas tatapan pria itu dengan datar. Pria itu mengambil duduk di sisi istrinya, dan memeriksa dahi Anindya. Udara di sini sangat dingin, waktu terus bergerak cepat. Desiran angin laut semakin malam semakin kencang dan dingin. Ivander lupa bahwa keadaan Anindya sedang tidak baik-baik aja. Wanita itu kondisinya sedang lemah, dia takut Anindya akan sakit. Keasikan ngobrol membuat Ivander melupakan kondisi Anindnya saat ini. Beruntung Kanaya mengirim pesan singkat memberitahu keadaan Anindya yang kelelahan, sehingga Ivander segera pamit undur diri meninggalkan obrolan seputar bisnis. Anindya yang kini wajahnya memucat, karena semilir angin malam yang menerpa wajah dan kulitnya membuat dirinya sedikit mengigil. Padahal beberapa menit yang lalu dia masih baik-baik saja, sekarang kondisinya sudah semakin lemah. "Aku baik-baik aja!" Anindya beg
"Aku nggak papa, Ma. Aku cuma kecapean aja!" Anindya menjawab pertanyaan Kanaya tak sepenuhnya berbohong. Selain perasaannya yang mendadak buruk, dia juga merasakan tubuhnya yang lemas. Padahal sejak tadi dia juga hanya duduk saja, tapi mengingat dirinya yang baru saja mengalami keguguran dan kuretase. Anindya sering kali merasakan nyeri pada perutnya, bahkan kemarin-kemarin Anindya sering mengalami pendarahan ringan. Itu juga yang mempengaruhi kondisi tubuhnya tidak seperti biasanya. Mudah sekali lelah, dan juga sering kali merasakan lemas. "Ya, udah sayang. Mama panggilkan Ivander dulu ya, biar dia anter kamu istirahat." Kanaya bersiap untuk pergi memanggil Ivander, tapi Anindya dengan segera menahan wanita itu. "Nggak usah, Ma! Acara juga belum selesai, aku nggak mau nimbulin pertanyaan dari para tamu kalo aku pergi sebelum acara selesai." Anindya menggeleng menyuruh Kanaya untuk tetap berada di dekatnya. "Aku mau mocktails, Ma." Kanaya mengangguk dan bergerak mengamb