"Gimana kabar Ibu di rumah? Maaf Savira belum bisa main ke rumah lagi, soalnya---"
Ucapan Savira terhenti seketika, saat ibunya menepuk pundak sembari menggelengkan kepalanya dengan menorehkan senyuman hangatnya."Ibu baik-baik aja, Nak. Gak apa-apa ... Ibu ngerti, gak usah dipikirin yang penting kamu di sini sehat," ungkap Dania. "Biar Ibu aja yang main ke sini."Savira lalu mengangguk, membalas senyuman Dania meski hatinya merasakan kepedihan, terlebih nasibnya yang sehari-hari harus mendapatkan sikap buruk dari ibu mertua dan juga adik iparnya.Ya, Savira sudah tidak memikirkan sikap dingin Refal padanya bahkan sejak keduanya bertemu untuk kali pertama. Namun, Savira masih tak habis pikir dan terkejut dengan sikap kedua wanita itu. Padahal yang dirugikan di sini adalah Savira dan keluarganya. Pun posisi Savira seharusnya menjadi penyelamat keluarga konglomerat itu dari jeratan hukum. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, Savira seakan-akan suda"Akhirnya kamu pulang, Mas." Savira tersenyum menyambut suaminya yang baru saja muncul dari balik pintu. Tetapi Refal hanya diam tak menanggapinya bahkan meneruskan langkah melewati Savira yang berada tepat di hadapannya. Savira pun tersenyum simpul, tidak menghiraukan respon suaminya yang demikian, dengan berusaha menyingkirkan perasaannya yang tak menentu, Savira tetap tersenyum dan berusaha mencairkan suasana. "Nanti kita makan malam sama-sama, ya? Aku udah masak," ucapnya lagi sembari menggerakkan kursi rodanya, berusaha menyusul langkah Refal yang tentu tidak akan terkejar olehnya. Savira pun terduduk dengan wajah penuh harap. Ia tahu bahwa malam ini adalah gilirannya untuk menyajikan makan malam bagi suaminya. Meski ia tidak sepenuhnya memasak sendiri dan masih banyak dibantu oleh Mbok Sari, ia tetap merasa senang dan berharap Refal akan menghargai usahanya. Di meja makan sudah tertata sop ayam hangat, nasi putih, dan tumis sayuran. Ia juga menyajikan teh hangat favorit Refa
"Astaghfirullah ...." Savira bergumam dalam hati, berusaha menenangkan dadanya yang bergemuruh.Savira terdiam, menatap kosong. Ia tidak pernah menyangka suaminya akan bersikap dan berkata sekejam ini. Meski mustahil, ia masih menyimpan harapan kecil bahwa mungkin seiring berjalannya waktu, Refal akan melunak dan mau bersikap tidak terlalu bersikap dingin padanya. Namun, malam ini semua harapan itu hancur berkeping-keping. Rasanya sangat mustahil seorang Refal berubah dalam memperlakukannya. Melihat Savira yang menangis dalam diam, Refal sama sekali tidak menunjukkan rasa simpati. "Besok pagi, kamu akan memulai terapi. Aku sudah mengatur semuanya," katanya tanpa melihat ke arah Savira. "Jangan pikir ini karena aku peduli padamu atau semacamnya. Aku cuma mau kamu cepat pulih biar kita bisa segera pisah."Savira menghela napas pelan. "Ya. Aku tahu ... tapi minimal kamu bisa bersikap sedikit hangat. Toh, semua ini juga karenamu."Refal lalu menaikkan sebelah alisnya, terkejut dengan pen
"Kita sudah sampai, Nyonya," ujar Hadi. "Tolong tunggu sebentar, saya akan membantu anda turun."Savira lantas mengangguk pelan dan menjawab. "Terima kasih."Hadi segera keluar dari mobil dan membantu Savira turun lalu mendorong kursi rodanya memasuki rumah sakit. Tiada hentinya Savira berterima kasih kepada Hadi bahkan saat mereka menunggu di meja resepsionis.Suasana rumah sakit itu tampak ramai dan banyak dokter muda berparas tampan berlalu lalang bercampur dengan para pasien yang berdatangan. Savira pun merasa gugup hari ini meski sejak tadi berusaha menyembunyikannya."Apa dokternya belum datang?" tanya Savira, melihat ke arah Hadi yang baru saja selesai berbincang dengan salah satu petugas resepsionis.Hadi pun lekas mengalihkan pandangannya kemudian menjawab. "Sudah, Nyonya. Kita disuruh menunggu karena dokter Aryan masih ada pasien."Savira pun mengangguk paham dan tidak kembali bertanya lebih. Meski dalam pikirannya tiba-tiba terlintas sebuah nama yang baru saja disebutkan ol
Mobil yang Savira tumpangi akhirnya tiba di pekarangan rumah setelah sesi terapi yang cukup melelahkan. Wajahnya terlihat lebih tenang, meskipun tubuhnya masih terasa lelah akibat latihan fisik yang cukup intens. Hadi membantu mendorong kursi roda Savira hingga ke ruang tamu sebelum berpamitan untuk kembali ke kantor."Terima kasih, Hadi," ucap Savira dengan senyum tipis."Sama-sama, Nyonya. Anda bisa beristirahat agar tenaga anda cepat pulih," jawab Hadi sebelum melangkah keluar.Savira pun mengangguk pelan, sebelum akhirnya Hadi berpamitan dan pintu rumah tertutup, Savira menghela napas panjang. Ia merasakan sedikit kelegaan setelah menjalani terapi pertamanya dengan baik. Namun, perasaan lega itu tak berlangsung lama. Dari sudut ruangan, Luna muncul dengan wajah dingin dan senyum sinis yang sudah sangat dikenal Savira."Wow, Kakak iparku kelihatannya sumringah banget hari ini," ujar Luna dengan nada menyindir. "Pasti menyenangkan, ya? Keluar rumah ketemu cowok lain?"Savira menoleh
"Maaf, aku nggak bisa menikah denganmu, Refal!"Refal yang berlutut di depan gadis pujaannya, harus menerima jawaban pahit yang tak pernah ia sangka-sangka. Pria itu saat ini tengah berada di sebuah restoran mewah bersama dengan kekasih yang paling ia cinta.Ada hidangan kelas atas yang tersaji di atas meja. Ada lilin dan bunga-bunga yang menghiasi seluruh restoran. Ada alunan musik yang menggema di seluruh ruangan. Tak lupa, suara ledakan kembang api yang indah di langit juga ikut menyemarakkan suasana.Hari ini, seharusnya menjadi hari yang paling membahagiakan bagi Refal dan juga kekasihnya, Rania. Pria itu sudah bersusah payah menyiapkan kejutan romantis untuk melamar sang kekasih hati di restoran tersebut. Refal bahkan sudah menyiapkan kejutan ini dari jauh-jauh hari.Pria tampan yang sudah berusia 31 tahun itu telah menyiapkan cincin berlian dengan harga fantastis untuk diberikan pada Rania. Tak hanya itu, Refal juga membeli buket bunga super besar yang khusus ia pesan untuk Ran
BRUAK!!"Mas, ada kecelakaan di sana!""Mana, mana?""Itu, ada motor ditabrak sama mobil!"Warga yang berada di dekat lokasi kecelakaan sontak dibuat geger oleh suara tabrakan yang begitu kencang di tengah derasnya hujan. Suara sirine mulai berlalu lalang di di sekitar ruas jalan yang menjadi saksi tragedi malang antara satu mobil mewah dengan satu motor tua milik orang tua Savira.Tempat kecelakaan itu saat ini sudah penuh dengan kerumunan warga sekitar. Mereka bergegas memanggil ambulans dan melaporkan kecelakaan itu agar para korban bisa segera mendapatkan penanganan medis."Apa yang terjadi?" Savira masih merasakan rintik hujan yang menetes di wajahnya. Gadis itu tak bisa menggerakkan tubuhnya sedikitpun, karena bagian perut hingga kakinya terhimpit sepeda motor. Sementara Rahman, pria paruh baya itu sudah terpental jauh dan kepalanya menghantam aspal keras setelah motornya ditabrak oleh pengemudi yang melajukan kendaraan dengan ugal-ugalan.Kejadiannya begitu cepat, hingga Rahma
3)Runtuh sudah dunia Savira. Gadis itu tidak hanya kehilangan kaki dan kebebasannya, tapi Savira juga harus kehilangan ayah satu-satunya yang sangat ia cinta.Siapa sangka, canda tawa antara Savira dan Rahman sebelumnya akan menjadi momen terakhir bagi ayah dan anak itu. Hidup Savira benar-benar dibuat hancur karena kecelakaan ini."Nggak mungkin! Ayah pasti baik-baik aja, 'kan? Ayah nggak mungkin ninggalin kita, Bu! Ayah pasti baik-baik aja!" seru Savira menyangkal perkataan sang ibu.Gadis itu sangat shock, hingga ia tak bisa menerima kenyataan. Savira tak akan bisa melanjutkan hidupnya jika ia kehilangan ayah kesayangannya.Selama ini, Rahman sudah menjadi sandaran dan tumpuan hidup Savira. Pria paruh baya itu adalah sosok ayah dan suami yang sangat bertanggung jawab pada keluarga, dan selalu bekerja keras untuk membahagiakan anak serta istrinya.Walaupun Savira berasal dari keluarga yang serba kekurangan secara finansial, tapi Savira tak pernah kekurangan cinta dan perhatian dari
Refal membelalakkan mata. Memang pria itu sudah membuat kesalahan besar, hingga ia menghilangkan nyawa seseorang. Tapi Refal tak menduga, ayahnya akan meminta dirinya untuk memberikan tanggung jawab dalam bentuk pernikahan."Maksud Papa apa? Kenapa aku harus menikah sama anak gadisnya yang udah lumpuh itu?" protes Refal. "Bukan aku satu-satunya orang yang bersalah dalam kecelakaan ini! Kalau aja motor itu nggak muncul tiba-tiba, aku juga nggak akan nabrak motor itu! Kenapa cuma aku yang disalahin? Orang yang bawa motor itu juga salah!""Kamu masih berani membela diri?" sentak Adrian. "Apa omelan Papa masih kurang? Apa teriakan Papa masih kurang kencang? Kamu tahu nggak, perbuatan kamu itu sudah fatal, Refal!""Tapi permintaan Papa itu nggak masuk akal! Kenapa Papa tiba-tiba minta Refal buat nikahin perempuan lumpuh itu?" sahut Rosnita ikut melayangkan protes pada suaminya. Rosnita juga tidak setuju pada rencana Adrian yang ingin menikahkan putra kesayangannya dengan gadis sembarangan.
Mobil yang Savira tumpangi akhirnya tiba di pekarangan rumah setelah sesi terapi yang cukup melelahkan. Wajahnya terlihat lebih tenang, meskipun tubuhnya masih terasa lelah akibat latihan fisik yang cukup intens. Hadi membantu mendorong kursi roda Savira hingga ke ruang tamu sebelum berpamitan untuk kembali ke kantor."Terima kasih, Hadi," ucap Savira dengan senyum tipis."Sama-sama, Nyonya. Anda bisa beristirahat agar tenaga anda cepat pulih," jawab Hadi sebelum melangkah keluar.Savira pun mengangguk pelan, sebelum akhirnya Hadi berpamitan dan pintu rumah tertutup, Savira menghela napas panjang. Ia merasakan sedikit kelegaan setelah menjalani terapi pertamanya dengan baik. Namun, perasaan lega itu tak berlangsung lama. Dari sudut ruangan, Luna muncul dengan wajah dingin dan senyum sinis yang sudah sangat dikenal Savira."Wow, Kakak iparku kelihatannya sumringah banget hari ini," ujar Luna dengan nada menyindir. "Pasti menyenangkan, ya? Keluar rumah ketemu cowok lain?"Savira menoleh
"Kita sudah sampai, Nyonya," ujar Hadi. "Tolong tunggu sebentar, saya akan membantu anda turun."Savira lantas mengangguk pelan dan menjawab. "Terima kasih."Hadi segera keluar dari mobil dan membantu Savira turun lalu mendorong kursi rodanya memasuki rumah sakit. Tiada hentinya Savira berterima kasih kepada Hadi bahkan saat mereka menunggu di meja resepsionis.Suasana rumah sakit itu tampak ramai dan banyak dokter muda berparas tampan berlalu lalang bercampur dengan para pasien yang berdatangan. Savira pun merasa gugup hari ini meski sejak tadi berusaha menyembunyikannya."Apa dokternya belum datang?" tanya Savira, melihat ke arah Hadi yang baru saja selesai berbincang dengan salah satu petugas resepsionis.Hadi pun lekas mengalihkan pandangannya kemudian menjawab. "Sudah, Nyonya. Kita disuruh menunggu karena dokter Aryan masih ada pasien."Savira pun mengangguk paham dan tidak kembali bertanya lebih. Meski dalam pikirannya tiba-tiba terlintas sebuah nama yang baru saja disebutkan ol
"Astaghfirullah ...." Savira bergumam dalam hati, berusaha menenangkan dadanya yang bergemuruh.Savira terdiam, menatap kosong. Ia tidak pernah menyangka suaminya akan bersikap dan berkata sekejam ini. Meski mustahil, ia masih menyimpan harapan kecil bahwa mungkin seiring berjalannya waktu, Refal akan melunak dan mau bersikap tidak terlalu bersikap dingin padanya. Namun, malam ini semua harapan itu hancur berkeping-keping. Rasanya sangat mustahil seorang Refal berubah dalam memperlakukannya. Melihat Savira yang menangis dalam diam, Refal sama sekali tidak menunjukkan rasa simpati. "Besok pagi, kamu akan memulai terapi. Aku sudah mengatur semuanya," katanya tanpa melihat ke arah Savira. "Jangan pikir ini karena aku peduli padamu atau semacamnya. Aku cuma mau kamu cepat pulih biar kita bisa segera pisah."Savira menghela napas pelan. "Ya. Aku tahu ... tapi minimal kamu bisa bersikap sedikit hangat. Toh, semua ini juga karenamu."Refal lalu menaikkan sebelah alisnya, terkejut dengan pen
"Akhirnya kamu pulang, Mas." Savira tersenyum menyambut suaminya yang baru saja muncul dari balik pintu. Tetapi Refal hanya diam tak menanggapinya bahkan meneruskan langkah melewati Savira yang berada tepat di hadapannya. Savira pun tersenyum simpul, tidak menghiraukan respon suaminya yang demikian, dengan berusaha menyingkirkan perasaannya yang tak menentu, Savira tetap tersenyum dan berusaha mencairkan suasana. "Nanti kita makan malam sama-sama, ya? Aku udah masak," ucapnya lagi sembari menggerakkan kursi rodanya, berusaha menyusul langkah Refal yang tentu tidak akan terkejar olehnya. Savira pun terduduk dengan wajah penuh harap. Ia tahu bahwa malam ini adalah gilirannya untuk menyajikan makan malam bagi suaminya. Meski ia tidak sepenuhnya memasak sendiri dan masih banyak dibantu oleh Mbok Sari, ia tetap merasa senang dan berharap Refal akan menghargai usahanya. Di meja makan sudah tertata sop ayam hangat, nasi putih, dan tumis sayuran. Ia juga menyajikan teh hangat favorit Refa
"Gimana kabar Ibu di rumah? Maaf Savira belum bisa main ke rumah lagi, soalnya---"Ucapan Savira terhenti seketika, saat ibunya menepuk pundak sembari menggelengkan kepalanya dengan menorehkan senyuman hangatnya."Ibu baik-baik aja, Nak. Gak apa-apa ... Ibu ngerti, gak usah dipikirin yang penting kamu di sini sehat," ungkap Dania. "Biar Ibu aja yang main ke sini."Savira lalu mengangguk, membalas senyuman Dania meski hatinya merasakan kepedihan, terlebih nasibnya yang sehari-hari harus mendapatkan sikap buruk dari ibu mertua dan juga adik iparnya.Ya, Savira sudah tidak memikirkan sikap dingin Refal padanya bahkan sejak keduanya bertemu untuk kali pertama. Namun, Savira masih tak habis pikir dan terkejut dengan sikap kedua wanita itu. Padahal yang dirugikan di sini adalah Savira dan keluarganya. Pun posisi Savira seharusnya menjadi penyelamat keluarga konglomerat itu dari jeratan hukum. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, Savira seakan-akan suda
"Huft! Sepi banget ...." Savira menggunam pelan. Perempuan berhijab itu duduk di kursi rodanya, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Di halaman depan rumah, Rosnita dan Luna tampak sedang berbincang-bincang sambil tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang sedang mereka bahas tetapi hal itu terlihat sangat hangat dan sukses membuat Savira merasa iri.Perlahan, tanpa sadar Savira mengembangkan senyumannya. "Keliatannya mereka sangat akrab, kapan aku bisa ikut bergabung dengan mereka?"Untuk sesaat wanita itu membayangkan bagaimana saat ia bisa ikut berbaur dengan ibu mertua serta adik iparnya dan bercanda tawa bersama. Pasti akan sangat menyenangkan dan hari pun terlewati dengan suka cita. Namun, harapan itu seketika sirna, Savira menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha menyadarkan diri sembari tersenyum getir"Sedang apa aku ini? Malah mikirin hal yang gak akan kejadian, jelas-jelas mereka gak akan pernah suka sama aku."Savira
DEG!!Savira terdiam seketika, ia mengurungkan beberapa kalimat yang hendak ia ucapkan untuk menanggapi perkataan suaminya setelah mendengar cacian Refal yang begitu jelas di telinga. Tanpa banyak berkata lagi, Refal akhirnya benar-benar pergi dari kamar itu, tanpa rasa bersalah karena telah melukai Savira dengan perkataannya hingga membuat wanita itu tak bisa berkutik lagi."Aku? Kampungan?" lirihnya dengan kening mengerut, lalu detik berikutnya ia berdecih, "sembarangan!"Ya, Savira tampak berusaha tegar dan sejak awal sudah mempersiapkan diri jika ia mendapati perlakuan yang tak menyenangkan dari suaminya. Namun, entah mengapa cacian yang terdengar di telinganya kini justru terngiang-ngiang dalam pikirannya, seperti tak ingin pergi dan bersemayam sehingga tanpa disadari genangan air mata itu pun mulai terkumpul di sudut mata wanita berhijab tersebut.Savira pun mengerjap-ngerjapkan matanya, lekas menyeka air mata yang hampir menetes."Astaghfirullah ... kuatkan hamba yaa Allah ...
"Rania? Siapa dia?" batin Savira menerka-nerka.Betapa tidak? Sejak Savira datang ke rumah itu dan mendapat sambutan yang kurang baik dari para panghuninya, ia sudah mempersiapkan terkait hal tersebut. Bahkan Savira tidak terlalu berharap lebih karena ia pun menyadari posisinya hanya gadis biasa yang hidup sederhana, tanpa kemewahan seperti suaminya.Namun, saat ia mendengar nama wanita lain, entah mengapa rasa penasarannya mulai mencuat. Siapa wanita itu? Apa hubungannya dengan Refal sangat spesial sehingga keluarga suaminya begitu mengelu-elukan wanita tersebut meski mereka kini sudah mempunyai sosok menantu baru?"Ah! Apa dia wanita yang harusnya jadi istri Mas Refal?" batinnya lagi, "dan apakah kehadiranku nghak sengaja merusak hubungan mereka?""Cukup, LUNA!"Di tengah-tengah tanda tanya yang terus berputar-putar dalam benaknya, Savira tiba-tiba dikejutkan dengan suara bentakan yang dikeluarkan oleh Adrian. Tampak lelaki paruh baya itu menatap anak bungsunya dengan tajam dan penu
"Baca dan pahami, lalu tanda tangani," ujar Refal, sembari menyodorkan selembar kertas pada Savira.Baru saja Savira meraih kertas itu, ia seketika dibuat terperangah kala membaca deretan huruf besar pada kalimat awal yang tertera pada kertas tersebut. "Surat perjanjian? Perjanjian apa lagi ini? Bukankah semua perjanjiannya sudah jelas?" tanyanya, dengan kening mengerut. Menduga bahwa isi kertas tersebut akan membuatnya tidak aman."Ck! Gak usah banyak nanya, baca aja!" bentak Refal.Savira berusaha memendam perasaannya yang merasa geram karena sikap Refal yang sangat dingin dan sinis padanya. Dengan perlahan wanita yang saat ini menggunakan kursi roda itu pun membetulkan posisi kertas lalu membacanya.Kata demi kata ia baca dengan seksama, tetapi semakin banyak yang ia baca, raut wajahnya berubah, kerutan pada keningnya semakin terlihat jelas, pun ekspresi wajahnya menggambarkan bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang baik."Tidak boleh mencampuri urusan masing-masing?" Kening Savira ber