"Maaf, aku nggak bisa menikah denganmu, Refal!"
Refal yang berlutut di depan gadis pujaannya, harus menerima jawaban pahit yang tak pernah ia sangka-sangka. Pria itu saat ini tengah berada di sebuah restoran mewah bersama dengan kekasih yang paling ia cinta. Ada hidangan kelas atas yang tersaji di atas meja. Ada lilin dan bunga-bunga yang menghiasi seluruh restoran. Ada alunan musik yang menggema di seluruh ruangan. Tak lupa, suara ledakan kembang api yang indah di langit juga ikut menyemarakkan suasana. Hari ini, seharusnya menjadi hari yang paling membahagiakan bagi Refal dan juga kekasihnya, Rania. Pria itu sudah bersusah payah menyiapkan kejutan romantis untuk melamar sang kekasih hati di restoran tersebut. Refal bahkan sudah menyiapkan kejutan ini dari jauh-jauh hari. Pria tampan yang sudah berusia 31 tahun itu telah menyiapkan cincin berlian dengan harga fantastis untuk diberikan pada Rania. Tak hanya itu, Refal juga membeli buket bunga super besar yang khusus ia pesan untuk Rania. Namun, sayangnya semua usaha Refal berakhir sia-sia. Alih-alih mendapatkan pelukan penuh cinta dari Rania, Refal justru harus puas dengan penolakan yang menyakitkan. "Maaf, Refal," ucap Rania lagi. Refal terkesiap. Senyum merekah yang menghiasi wajah tampan pria itu perlahan menghilang, berganti dengan ekspresi muram. "Kenapa?" tanya Refal dengan suara bergetar. "Kenapa kamu nggak bisa menikah denganku?" tanya Refal lagi. "Apa yang salah denganku? Kenapa Rania menolak lamaranku? Apa aku memilih tempat yang kurang romantis? Atau Rania tidak suka dengan cincin yang aku beli?" batin Refal kebingungan. "Dengarkan aku dulu, Refal. Aku bisa jelasin," ujar Rania. Rania mempunyai alasan tersendiri mengapa gadis itu menolak lamaran dari kekasih yang sudah ia kencani selama lebih dari 3 tahun itu. "Apa yang mau kamu jelasin?" tanya Refal dengan nada kecewa. Tentu pria itu sakit hati menerima penolakan dari wanita yang paling iya dambakan. Refal sudah menjalin hubungan cukup lama dengan Rania dan pria itu sudah sangat siap untuk membangun rumah tangga. Wajar jika Refal ingin segera membawa Rania menuju ke jenjang berikutnya. Refal benar-benar berharap, ia bisa menikah dengan Rania dan membentuk keluarga yang bahagia. "Apa kamu punya alasan bagus?" sinis Refal. "Aku dapat tawaran bagus, Refal," ungkap Rania. "Aku bisa masuk kelompok desainer untuk acara Paris Fashion Week yang akan digelar beberapa bulan lagi. Aku punya kesempatan untuk membuat kostum yang bisa dipakai sama supermodel kelas dunia. Kamu bisa bayangin 'kan gimana lonjakan karir aku nanti kalau hasil desain aku dipakai sama model-model kelas atas seperti Chrissy Teigen sama Rosie Huntington? Impian aku buat jadi desainer fashion terkenal benar-benar bisa terwujud!" Rania begitu bersemangat membahas tawaran yang ia dapatkan. Wanita berusia 29 tahun itu memang memiliki ambisi cukup tinggi untuk menjadi desainer fashion kelas dunia. Rania sangat berbakat di bidang fashion design, dan ia juga memiliki potensi tinggi untuk bisa menjadi desainer, sesuai dengan impiannya. "Jadi?" "Aku harus berangkat ke Paris besok," ujar Rania. "Aku harus pergi, Refal." Refal menatap Rania dengan lekat. "Jadi, kamu lebih pilih acara fashion konyol itu dibanding aku?" tanya Refal. Kekecewaan Refal kini mulai berubah menjadi kemarahan. Refal tidak menyangka, gadis yang ia cinta lebih memilih karir dibandingkan dengan dirinya. "Ini soal mimpi aku, Refal! Kamu nggak berhak bicara seperti itu!" Refal tersenyum kecut. "Apa Aku nggak ada artinya buat kamu? Apa mimpi kamu lebih penting dari aku?" tanya Refal. "Jangan kekanak-kanakan, Refal! Kesempatan ini nggak akan datang dua kali seumur hidup aku. Aku nggak mau menyia-nyiakan peluang ini. Aku akan menyesal seumur hidup kalau aku sampai melewatkan kesempatan ini!" seru Rania dengan tegas. Tak ada keraguan sedikitpun dalam setiap perkataan Rania. Wanita itu benar-benar mantap memilih untuk pergi ke Paris dan meninggalkan Refal. "Jadi menurut kamu, lebih baik kamu nolak lamaran aku daripada kamu nolak tawaran bodoh itu?" sinis Refal. "Ini soal masa depan aku, Refal! Aku nggak akan berhenti sampai aku bisa jadi desainer terkenal!" ujar Rania. "Kamu benar-benar akan meninggalkan aku? Kamu yakin kamu nggak akan menyesal udah nolak aku?" Rania melengos. Wanita itu tidak menjawab. Nampaknya Rania sama sekali tidak peduli dengan hati Refal yang sudah iya buat hancur berkeping-keping. Rania pergi meninggalkan restoran tanpa mengatakan apa pun lagi. Wanita itu sama sekali tidak merasa bersalah setelah mencampakkan kekasihnya yang berniat membawa dirinya melangkah menuju pelaminan. "Rania!" Suara panggilan Refal tidak dihiraukan sedikitpun oleh Rania. "RANIA!" Refal memekik kencang, kemudian melempar cincin yang ada dalam genggaman tangannya. "Sialan! Apa pentingnya acara fashion konyol itu? Kenapa kamu tega ninggalin aku cuma karena impian bodoh itu?" geram Refal. "Kamu pikir aku nggak bisa mewujudkan impian kamu? Aku punya uang, aku punya segalanya! Aku bisa kasih apa pun yang kamu mau! Kenapa kamu masih ninggalin aku?" Refal mengamuk di dalam restoran tersebut. Pria itu mengacak-acak meja makan dan menendang kursi-kursi yang ada di sana. Refal melampiaskan amarahnya pada benda-benda mati yang ada di sekitarnya. Pria itu meluapkan kekecewaan dan kesedihannya dengan amarah brutal. Sebagai seorang bos muda yang berasal dari keluarga kaya, Refal selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. Pria itu tak pernah mendapat penolakan sebelumnya. Namun hari ini, hati Refal dipatahkan dengan mudahnya dan harga dirinya diinjak-injak oleh orang yang paling istimewa di hatinya. "Kamu nggak bisa nolak aku, Rania! Kamu nggak bisa pergi dari aku!" Selesai mengacak-acak restoran, Refal pun bergegas meninggalkan restoran itu. Bukannya pulang ke rumah, Refal justru mengunjungi sebuah bar yang menjual banyak minuman keras. Pria itu meneguk minuman beralkohol, hingga dirinya dibuat mabuk berat. Refal tak mempunyai cara lain untuk mengatasi patah hatinya saat ini kecuali melarikan diri dengan alkohol. Di sisi lain, di tempat yang tak jauh dari bar, Terlihat seorang gadis dengan pakaian sederhana sedang berteduh di pinggir jalan, menunggu jemputan. Gadis bernama Savira itu terus memandang ke arah jalan, menanti seseorang yang sudah berjanji akan menjemput dirinya di tempat kerja. "Hujannya deras banget," gumam Savira. Gadis berusia 24 tahun itu masih begitu bersemangat, meskipun saat ini ia terjebak hujan dan tubuhnya sudah kelelahan setelah bekerja seharian. Savira melambaikan tangan dengan senyum merekah, begitu ia melihat sebuah motor butut mulai mendekat ke arah tempatnya berteduh saat ini. Sang pengendara motor tua itu tak lain ialah Rahman, ayahnya yang datang menerjang hujan demi dirinya. "Ayah, kenapa pakai jas hujan yang udah bolong? Baju Ayah jadi basah semua, tuh!" omel Savira pada ayahnya yang muncul dengan pakaian yang sudah basah. "Ayah memang sengaja pakai jas hujan yang udah bolong supaya Ayah bisa hujan-hujanan," celetuk Rahman diiringi tawa kecil. "Ayah udah tua masih aja suka hujan-hujanan! Nanti kalau Ayah masuk angin, siapa yang repot?" Rahman tak berhenti tertawa mendengar omelan putri kesayangannya. "Anak Ayah galak banget sih! Cowok-cowok bisa takut sama kamu kalau kamu segalak ini," ledek Rahman. "Ih, apaan sih, Ayah!" Ayah dan anak itu masih sempat bercanda tawa di bawah guyuran hujan. Savira segera naik ke motor sang ayah, kemudian memeluk pinggang ayahnya dengan erat. "Pegangan yang kuat, ya!" Perlahan Rahman mulai melajukan kendaraannya dengan penuh hati-hati. Ayah dan anak itu terlihat begitu harmonis dan bahagia, meskipun mereka hanya menaiki motor tua dan memakai jas hujan yang sudah berlubang. "Gara-gara harus jemput aku, Ayah jadi kehujanan begini. Besok Ayah nggak perlu jemput aku kalau hujan," ujar Savira. "Mana bisa begitu? Mau hujan badai sekalipun, Ayah akan tetap jemput kamu! Ayah masih sanggup jemput kamu tiap hari. Ayah nggak akan biarin anak Ayah pulang sendiri ...." Rahman tidak melanjutkan kalimatnya. Tiba-tiba dari arah berlawanan, ada sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi menuju ke arah motor tua yang dinaiki oleh Savira dan Rahman. BRUAK!! Hanya dalam hitungan detik, motor butut yang dikendarai oleh Rahman ringsek, setelah bertabrakan dengan sebuah mobil mewah. Ayah dan anak yang tadinya bercanda ria di atas motor itu kini sudah tergeletak di aspal dengan darah yang sudah bercucuran ke mana-mana. "A-ayah ...." ***BRUAK!!"Mas, ada kecelakaan di sana!""Mana, mana?""Itu, ada motor ditabrak sama mobil!"Warga yang berada di dekat lokasi kecelakaan sontak dibuat geger oleh suara tabrakan yang begitu kencang di tengah derasnya hujan. Suara sirine mulai berlalu lalang di di sekitar ruas jalan yang menjadi saksi tragedi malang antara satu mobil mewah dengan satu motor tua milik orang tua Savira.Tempat kecelakaan itu saat ini sudah penuh dengan kerumunan warga sekitar. Mereka bergegas memanggil ambulans dan melaporkan kecelakaan itu agar para korban bisa segera mendapatkan penanganan medis."Apa yang terjadi?" Savira masih merasakan rintik hujan yang menetes di wajahnya. Gadis itu tak bisa menggerakkan tubuhnya sedikitpun, karena bagian perut hingga kakinya terhimpit sepeda motor. Sementara Rahman, pria paruh baya itu sudah terpental jauh dan kepalanya menghantam aspal keras setelah motornya ditabrak oleh pengemudi yang melajukan kendaraan dengan ugal-ugalan.Kejadiannya begitu cepat, hingga Rahma
3)Runtuh sudah dunia Savira. Gadis itu tidak hanya kehilangan kaki dan kebebasannya, tapi Savira juga harus kehilangan ayah satu-satunya yang sangat ia cinta.Siapa sangka, canda tawa antara Savira dan Rahman sebelumnya akan menjadi momen terakhir bagi ayah dan anak itu. Hidup Savira benar-benar dibuat hancur karena kecelakaan ini."Nggak mungkin! Ayah pasti baik-baik aja, 'kan? Ayah nggak mungkin ninggalin kita, Bu! Ayah pasti baik-baik aja!" seru Savira menyangkal perkataan sang ibu.Gadis itu sangat shock, hingga ia tak bisa menerima kenyataan. Savira tak akan bisa melanjutkan hidupnya jika ia kehilangan ayah kesayangannya.Selama ini, Rahman sudah menjadi sandaran dan tumpuan hidup Savira. Pria paruh baya itu adalah sosok ayah dan suami yang sangat bertanggung jawab pada keluarga, dan selalu bekerja keras untuk membahagiakan anak serta istrinya.Walaupun Savira berasal dari keluarga yang serba kekurangan secara finansial, tapi Savira tak pernah kekurangan cinta dan perhatian dari
Refal membelalakkan mata. Memang pria itu sudah membuat kesalahan besar, hingga ia menghilangkan nyawa seseorang. Tapi Refal tak menduga, ayahnya akan meminta dirinya untuk memberikan tanggung jawab dalam bentuk pernikahan."Maksud Papa apa? Kenapa aku harus menikah sama anak gadisnya yang udah lumpuh itu?" protes Refal. "Bukan aku satu-satunya orang yang bersalah dalam kecelakaan ini! Kalau aja motor itu nggak muncul tiba-tiba, aku juga nggak akan nabrak motor itu! Kenapa cuma aku yang disalahin? Orang yang bawa motor itu juga salah!""Kamu masih berani membela diri?" sentak Adrian. "Apa omelan Papa masih kurang? Apa teriakan Papa masih kurang kencang? Kamu tahu nggak, perbuatan kamu itu sudah fatal, Refal!""Tapi permintaan Papa itu nggak masuk akal! Kenapa Papa tiba-tiba minta Refal buat nikahin perempuan lumpuh itu?" sahut Rosnita ikut melayangkan protes pada suaminya. Rosnita juga tidak setuju pada rencana Adrian yang ingin menikahkan putra kesayangannya dengan gadis sembarangan.
Refal dan Adrian saat ini sudah berdiri di depan pintu ruangan Savira. Ayah dan anak itu akan menjumpai Savira serta ibunya untuk membahas mengenai kompensasi, dan juga pernikahan yang akan ditawarkan oleh Adrian.Refal tidak mempunyai pilihan lain saat ini. Untuk sementara, ia akan mengikuti rencana sang ayah. Refal sangat tahu bagaimana sifat ayahnya yang tak bisa ditentang. Refal hanya akan membuat ayahnya semakin marah jika ia tak mau menuruti perintah."Selamat siang, Bu Dania!" sapa Adrian pada Dania dengan sopan.Savira dan Dania cukup terkejut dengan kedatangan orang-orang yang tidak mereka kenal. Dania terlalu sibuk mengurus putrinya yang lumpuh dan mempersiapkan pemakaman suaminya, hingga wanita paruh baya itu belum sempat menjumpai orang yang sudah menabrak anak dan suaminya."Mohon maaf, Bapak siapa?" tanya Dania.Adrian mengeluarkan kartu nama di sakunya, kemudian menyodorkannya pada Dania. "Saya orang tua dari Refal, pengemudi mobil yang terlibat kecelakaan dengan motor
"Apa maksud Bapak? Kenapa anak saya harus menikah dengan orang yang sudah melukainya?" protes Dania."Ibu dan anak Ibu pasti akan mendapatkan banyak keuntungan jika anak Ibu mau menikah dengan anak saya," jelas Adrian. "Saya akan membantu memberikan dukungan finansial pada Ibu dan putri Ibu setelah menikah nanti. Saya sudah tahu sedikit mengenai kondisi keluarga Ibu saat ini. Mendiang suami Ibu hanya bekerja sebagai buruh pabrik dengan gaji pas-pasan, dan Ibu sendiri hanya seorang ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan. Dengan kondisi anak Ibu yang seperti sekarang ini, Ibu pasti akan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, 'kan?" ungkap Adrian."Bapak pikir kami menginginkan uang Bapak?" balas Dania.Savira melirik ke arah ibunya. Gadis itu memperhatikan uban di rambut Dania dan keriput di wajah ibunya itu."Sekarang Ayah udah nggak ada dan aku lumpuh. Aku nggak akan bisa kerja lagi," batin Savira dengan wajah muram. Savira mulai mencemaskan ibunya. Mau tak mau, Dania harus ba
"Baca dan pahami, lalu tanda tangani," ujar Refal, sembari menyodorkan selembar kertas pada Savira.Baru saja Savira meraih kertas itu, ia seketika dibuat terperangah kala membaca deretan huruf besar pada kalimat awal yang tertera pada kertas tersebut. "Surat perjanjian? Perjanjian apa lagi ini? Bukankah semua perjanjiannya sudah jelas?" tanyanya, dengan kening mengerut. Menduga bahwa isi kertas tersebut akan membuatnya tidak aman."Ck! Gak usah banyak nanya, baca aja!" bentak Refal.Savira berusaha memendam perasaannya yang merasa geram karena sikap Refal yang sangat dingin dan sinis padanya. Dengan perlahan wanita yang saat ini menggunakan kursi roda itu pun membetulkan posisi kertas lalu membacanya.Kata demi kata ia baca dengan seksama, tetapi semakin banyak yang ia baca, raut wajahnya berubah, kerutan pada keningnya semakin terlihat jelas, pun ekspresi wajahnya menggambarkan bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang baik."Tidak boleh mencampuri urusan masing-masing?" Kening Savira ber
"Rania? Siapa dia?" batin Savira menerka-nerka.Betapa tidak? Sejak Savira datang ke rumah itu dan mendapat sambutan yang kurang baik dari para panghuninya, ia sudah mempersiapkan terkait hal tersebut. Bahkan Savira tidak terlalu berharap lebih karena ia pun menyadari posisinya hanya gadis biasa yang hidup sederhana, tanpa kemewahan seperti suaminya.Namun, saat ia mendengar nama wanita lain, entah mengapa rasa penasarannya mulai mencuat. Siapa wanita itu? Apa hubungannya dengan Refal sangat spesial sehingga keluarga suaminya begitu mengelu-elukan wanita tersebut meski mereka kini sudah mempunyai sosok menantu baru?"Ah! Apa dia wanita yang harusnya jadi istri Mas Refal?" batinnya lagi, "dan apakah kehadiranku nghak sengaja merusak hubungan mereka?""Cukup, LUNA!"Di tengah-tengah tanda tanya yang terus berputar-putar dalam benaknya, Savira tiba-tiba dikejutkan dengan suara bentakan yang dikeluarkan oleh Adrian. Tampak lelaki paruh baya itu menatap anak bungsunya dengan tajam dan penu
DEG!!Savira terdiam seketika, ia mengurungkan beberapa kalimat yang hendak ia ucapkan untuk menanggapi perkataan suaminya setelah mendengar cacian Refal yang begitu jelas di telinga. Tanpa banyak berkata lagi, Refal akhirnya benar-benar pergi dari kamar itu, tanpa rasa bersalah karena telah melukai Savira dengan perkataannya hingga membuat wanita itu tak bisa berkutik lagi."Aku? Kampungan?" lirihnya dengan kening mengerut, lalu detik berikutnya ia berdecih, "sembarangan!"Ya, Savira tampak berusaha tegar dan sejak awal sudah mempersiapkan diri jika ia mendapati perlakuan yang tak menyenangkan dari suaminya. Namun, entah mengapa cacian yang terdengar di telinganya kini justru terngiang-ngiang dalam pikirannya, seperti tak ingin pergi dan bersemayam sehingga tanpa disadari genangan air mata itu pun mulai terkumpul di sudut mata wanita berhijab tersebut.Savira pun mengerjap-ngerjapkan matanya, lekas menyeka air mata yang hampir menetes."Astaghfirullah ... kuatkan hamba yaa Allah ...
Mobil yang Savira tumpangi akhirnya tiba di pekarangan rumah setelah sesi terapi yang cukup melelahkan. Wajahnya terlihat lebih tenang, meskipun tubuhnya masih terasa lelah akibat latihan fisik yang cukup intens. Hadi membantu mendorong kursi roda Savira hingga ke ruang tamu sebelum berpamitan untuk kembali ke kantor."Terima kasih, Hadi," ucap Savira dengan senyum tipis."Sama-sama, Nyonya. Anda bisa beristirahat agar tenaga anda cepat pulih," jawab Hadi sebelum melangkah keluar.Savira pun mengangguk pelan, sebelum akhirnya Hadi berpamitan dan pintu rumah tertutup, Savira menghela napas panjang. Ia merasakan sedikit kelegaan setelah menjalani terapi pertamanya dengan baik. Namun, perasaan lega itu tak berlangsung lama. Dari sudut ruangan, Luna muncul dengan wajah dingin dan senyum sinis yang sudah sangat dikenal Savira."Wow, Kakak iparku kelihatannya sumringah banget hari ini," ujar Luna dengan nada menyindir. "Pasti menyenangkan, ya? Keluar rumah ketemu cowok lain?"Savira menoleh
"Kita sudah sampai, Nyonya," ujar Hadi. "Tolong tunggu sebentar, saya akan membantu anda turun."Savira lantas mengangguk pelan dan menjawab. "Terima kasih."Hadi segera keluar dari mobil dan membantu Savira turun lalu mendorong kursi rodanya memasuki rumah sakit. Tiada hentinya Savira berterima kasih kepada Hadi bahkan saat mereka menunggu di meja resepsionis.Suasana rumah sakit itu tampak ramai dan banyak dokter muda berparas tampan berlalu lalang bercampur dengan para pasien yang berdatangan. Savira pun merasa gugup hari ini meski sejak tadi berusaha menyembunyikannya."Apa dokternya belum datang?" tanya Savira, melihat ke arah Hadi yang baru saja selesai berbincang dengan salah satu petugas resepsionis.Hadi pun lekas mengalihkan pandangannya kemudian menjawab. "Sudah, Nyonya. Kita disuruh menunggu karena dokter Aryan masih ada pasien."Savira pun mengangguk paham dan tidak kembali bertanya lebih. Meski dalam pikirannya tiba-tiba terlintas sebuah nama yang baru saja disebutkan ol
"Astaghfirullah ...." Savira bergumam dalam hati, berusaha menenangkan dadanya yang bergemuruh.Savira terdiam, menatap kosong. Ia tidak pernah menyangka suaminya akan bersikap dan berkata sekejam ini. Meski mustahil, ia masih menyimpan harapan kecil bahwa mungkin seiring berjalannya waktu, Refal akan melunak dan mau bersikap tidak terlalu bersikap dingin padanya. Namun, malam ini semua harapan itu hancur berkeping-keping. Rasanya sangat mustahil seorang Refal berubah dalam memperlakukannya. Melihat Savira yang menangis dalam diam, Refal sama sekali tidak menunjukkan rasa simpati. "Besok pagi, kamu akan memulai terapi. Aku sudah mengatur semuanya," katanya tanpa melihat ke arah Savira. "Jangan pikir ini karena aku peduli padamu atau semacamnya. Aku cuma mau kamu cepat pulih biar kita bisa segera pisah."Savira menghela napas pelan. "Ya. Aku tahu ... tapi minimal kamu bisa bersikap sedikit hangat. Toh, semua ini juga karenamu."Refal lalu menaikkan sebelah alisnya, terkejut dengan pen
"Akhirnya kamu pulang, Mas." Savira tersenyum menyambut suaminya yang baru saja muncul dari balik pintu. Tetapi Refal hanya diam tak menanggapinya bahkan meneruskan langkah melewati Savira yang berada tepat di hadapannya. Savira pun tersenyum simpul, tidak menghiraukan respon suaminya yang demikian, dengan berusaha menyingkirkan perasaannya yang tak menentu, Savira tetap tersenyum dan berusaha mencairkan suasana. "Nanti kita makan malam sama-sama, ya? Aku udah masak," ucapnya lagi sembari menggerakkan kursi rodanya, berusaha menyusul langkah Refal yang tentu tidak akan terkejar olehnya. Savira pun terduduk dengan wajah penuh harap. Ia tahu bahwa malam ini adalah gilirannya untuk menyajikan makan malam bagi suaminya. Meski ia tidak sepenuhnya memasak sendiri dan masih banyak dibantu oleh Mbok Sari, ia tetap merasa senang dan berharap Refal akan menghargai usahanya. Di meja makan sudah tertata sop ayam hangat, nasi putih, dan tumis sayuran. Ia juga menyajikan teh hangat favorit Refa
"Gimana kabar Ibu di rumah? Maaf Savira belum bisa main ke rumah lagi, soalnya---"Ucapan Savira terhenti seketika, saat ibunya menepuk pundak sembari menggelengkan kepalanya dengan menorehkan senyuman hangatnya."Ibu baik-baik aja, Nak. Gak apa-apa ... Ibu ngerti, gak usah dipikirin yang penting kamu di sini sehat," ungkap Dania. "Biar Ibu aja yang main ke sini."Savira lalu mengangguk, membalas senyuman Dania meski hatinya merasakan kepedihan, terlebih nasibnya yang sehari-hari harus mendapatkan sikap buruk dari ibu mertua dan juga adik iparnya.Ya, Savira sudah tidak memikirkan sikap dingin Refal padanya bahkan sejak keduanya bertemu untuk kali pertama. Namun, Savira masih tak habis pikir dan terkejut dengan sikap kedua wanita itu. Padahal yang dirugikan di sini adalah Savira dan keluarganya. Pun posisi Savira seharusnya menjadi penyelamat keluarga konglomerat itu dari jeratan hukum. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, Savira seakan-akan suda
"Huft! Sepi banget ...." Savira menggunam pelan. Perempuan berhijab itu duduk di kursi rodanya, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Di halaman depan rumah, Rosnita dan Luna tampak sedang berbincang-bincang sambil tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang sedang mereka bahas tetapi hal itu terlihat sangat hangat dan sukses membuat Savira merasa iri.Perlahan, tanpa sadar Savira mengembangkan senyumannya. "Keliatannya mereka sangat akrab, kapan aku bisa ikut bergabung dengan mereka?"Untuk sesaat wanita itu membayangkan bagaimana saat ia bisa ikut berbaur dengan ibu mertua serta adik iparnya dan bercanda tawa bersama. Pasti akan sangat menyenangkan dan hari pun terlewati dengan suka cita. Namun, harapan itu seketika sirna, Savira menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha menyadarkan diri sembari tersenyum getir"Sedang apa aku ini? Malah mikirin hal yang gak akan kejadian, jelas-jelas mereka gak akan pernah suka sama aku."Savira
DEG!!Savira terdiam seketika, ia mengurungkan beberapa kalimat yang hendak ia ucapkan untuk menanggapi perkataan suaminya setelah mendengar cacian Refal yang begitu jelas di telinga. Tanpa banyak berkata lagi, Refal akhirnya benar-benar pergi dari kamar itu, tanpa rasa bersalah karena telah melukai Savira dengan perkataannya hingga membuat wanita itu tak bisa berkutik lagi."Aku? Kampungan?" lirihnya dengan kening mengerut, lalu detik berikutnya ia berdecih, "sembarangan!"Ya, Savira tampak berusaha tegar dan sejak awal sudah mempersiapkan diri jika ia mendapati perlakuan yang tak menyenangkan dari suaminya. Namun, entah mengapa cacian yang terdengar di telinganya kini justru terngiang-ngiang dalam pikirannya, seperti tak ingin pergi dan bersemayam sehingga tanpa disadari genangan air mata itu pun mulai terkumpul di sudut mata wanita berhijab tersebut.Savira pun mengerjap-ngerjapkan matanya, lekas menyeka air mata yang hampir menetes."Astaghfirullah ... kuatkan hamba yaa Allah ...
"Rania? Siapa dia?" batin Savira menerka-nerka.Betapa tidak? Sejak Savira datang ke rumah itu dan mendapat sambutan yang kurang baik dari para panghuninya, ia sudah mempersiapkan terkait hal tersebut. Bahkan Savira tidak terlalu berharap lebih karena ia pun menyadari posisinya hanya gadis biasa yang hidup sederhana, tanpa kemewahan seperti suaminya.Namun, saat ia mendengar nama wanita lain, entah mengapa rasa penasarannya mulai mencuat. Siapa wanita itu? Apa hubungannya dengan Refal sangat spesial sehingga keluarga suaminya begitu mengelu-elukan wanita tersebut meski mereka kini sudah mempunyai sosok menantu baru?"Ah! Apa dia wanita yang harusnya jadi istri Mas Refal?" batinnya lagi, "dan apakah kehadiranku nghak sengaja merusak hubungan mereka?""Cukup, LUNA!"Di tengah-tengah tanda tanya yang terus berputar-putar dalam benaknya, Savira tiba-tiba dikejutkan dengan suara bentakan yang dikeluarkan oleh Adrian. Tampak lelaki paruh baya itu menatap anak bungsunya dengan tajam dan penu
"Baca dan pahami, lalu tanda tangani," ujar Refal, sembari menyodorkan selembar kertas pada Savira.Baru saja Savira meraih kertas itu, ia seketika dibuat terperangah kala membaca deretan huruf besar pada kalimat awal yang tertera pada kertas tersebut. "Surat perjanjian? Perjanjian apa lagi ini? Bukankah semua perjanjiannya sudah jelas?" tanyanya, dengan kening mengerut. Menduga bahwa isi kertas tersebut akan membuatnya tidak aman."Ck! Gak usah banyak nanya, baca aja!" bentak Refal.Savira berusaha memendam perasaannya yang merasa geram karena sikap Refal yang sangat dingin dan sinis padanya. Dengan perlahan wanita yang saat ini menggunakan kursi roda itu pun membetulkan posisi kertas lalu membacanya.Kata demi kata ia baca dengan seksama, tetapi semakin banyak yang ia baca, raut wajahnya berubah, kerutan pada keningnya semakin terlihat jelas, pun ekspresi wajahnya menggambarkan bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang baik."Tidak boleh mencampuri urusan masing-masing?" Kening Savira ber