3)
Runtuh sudah dunia Savira. Gadis itu tidak hanya kehilangan kaki dan kebebasannya, tapi Savira juga harus kehilangan ayah satu-satunya yang sangat ia cinta. Siapa sangka, canda tawa antara Savira dan Rahman sebelumnya akan menjadi momen terakhir bagi ayah dan anak itu. Hidup Savira benar-benar dibuat hancur karena kecelakaan ini. "Nggak mungkin! Ayah pasti baik-baik aja, 'kan? Ayah nggak mungkin ninggalin kita, Bu! Ayah pasti baik-baik aja!" seru Savira menyangkal perkataan sang ibu. Gadis itu sangat shock, hingga ia tak bisa menerima kenyataan. Savira tak akan bisa melanjutkan hidupnya jika ia kehilangan ayah kesayangannya. Selama ini, Rahman sudah menjadi sandaran dan tumpuan hidup Savira. Pria paruh baya itu adalah sosok ayah dan suami yang sangat bertanggung jawab pada keluarga, dan selalu bekerja keras untuk membahagiakan anak serta istrinya. Walaupun Savira berasal dari keluarga yang serba kekurangan secara finansial, tapi Savira tak pernah kekurangan cinta dan perhatian dari kedua orang tua. Rahman memang tidak handal dalam mencari uang, tapi pria itu mampu membangun keluarga yang harmonis dan bahagia untuk istri dan buah hati kesayangannya. Tentu kehilangan sang ayah akan menjadi pukulan terberat dalam hidup Savira. "Kamu harus ikhlas, Savira! Ayah sudah berada di tempat yang lebih baik sekarang," ucap Dania dengan tegar. Wanita paruh baya itu juga tak kalah sedih ditinggal pergi oleh suaminya. Ditambah lagi, Dania juga harus mengurus putrinya yang dinyatakan lumpuh. Kecelakaan ini juga membuat hidup Dania berubah drastis. "Kenapa Ayah harus ninggalin aku secepat ini? Ayah udah janji sama aku kalau Ayah mau nganterin aku kerja tiap hari, Bu! Ayah udah janji sama aku kalau Ayah nggak akan biarin aku pulang kerja sendirian!" oceh Savira diiringi isak tangis. "Kenapa Ayah bohong sama aku? Kenapa Ayah nggak nepatin janjinya sama aku?" Ruangan Savira sudah penuh dengan suara tangisan. Ibu dan anak itu saling menguatkan satu sama lain untuk melewati ujian berat ini. "Ayah ada di mana sekarang, Bu? Aku ingin bertemu Ayah," pinta Savira. "Kamu yakin kamu sanggup melihat ayah kamu?" Saat ini Rahman sudah dipindahkan ke ruang jenazah yang ada di rumah sakit. Setelah selesai mengurus administrasi, baru pihak rumah sakit akan membantu memulangkan korban. "Aku harus ketemu sama Ayah. Aku ingin melihat Ayah untuk yang terakhir kalinya," ucap Savira. Dania tak bisa menghalangi keinginan putrinya yang ingin mengucapkan salam perpisahan pada Rahman. Dengan bantuan perawat, Dania memindahkan Savira ke kursi roda, kemudian membawa putrinya itu menuju ke ruangan tempat Rahman berada. Savira kembali menangis begitu ia melihat ayahnya sudah terbujur kaku. Wajah Rahman nampak pucat pasi dan seluruh tubuhnya terasa begitu dingin. "Ayah, maafin aku. Harusnya aku nggak minta Ayah buat jemput aku. Kalau Ayah nggak jemput aku, mungkin ...." "Sudah, Savira! Kamu nggak perlu berandai-andai. Ini semua sudah menjadi takdir ayah kamu. Memang sudah waktunya ayah kamu kembali ke pangkuan Yang Maha Kuasa," ucap Dania. "Ikhlaskan ayah kamu, Savira. Ayah kamu pasti sedih lihat kamu menangis terus begini." Sementara Savira dan ibunya mengucap salam perpisahan pada Rahman, di ruangan lain, sang pengemudi mobil yang menabrak Savira serta ayahnya juga ikut mendapatkan perawatan di rumah sakit yang sama. Ternyata pengemudi ugal-ugalan yang menyetir kendaraan dalam keadaan mabuk itu tak lain ialah Refal. Ya, orang yang sudah menabrak Rahman dan Savira adalah Refal. Pemuda itu sengaja melajukan kendaraan dalam kecepatan tinggi dengan kondisi mabuk. Pria itu mendapat beberapa luka ringan di wajah, tangan, hingga kaki pasca kecelakaan terjadi. Refal sudah dipindahkan ke ruang rawat intensif dan keluarga pria itu juga sudah berkumpul di ruangannya untuk menjenguk dirinya. *** "Memalukan! Kamu punya otak nggak sih, Refal? Bisa-bisanya kamu mengemudi dalam kondisi mabuk! Apa kamu udah nggak waras, hah!?" omel Adrian, ayah dari Refal. Bukannya menanyakan kondisi putranya, Adrian justru berteriak dan memarahi putra sulungnya itu. Adrian benar-benar kesal pada Refal yang sudah membuat masalah besar. Refal bisa terjerat hukum karena pemuda itu sudah menghilangkan nyawa seseorang. Terlebih lagi, Refal juga mengemudi dalam pengaruh alkohol. "Kamu tahu nggak apa akibat dari perbuatan kamu ini? Reputasi perusahaan kita jadi taruhannya! Ulah kamu ini bisa bikin jelek nama Papa, kamu sadar nggak?" sungut Adrian. Adrian meluapkan seluruh amarahnya pada sang putra. Nampaknya pria itu sama sekali tidak peduli dengan kondisi Refal saat ini. Alih-alih mengkhawatirkan putranya, Adrian justru mencemaskan nama baik perusahaan. "Kamu tahu nggak berapa uang yang harus Papa keluarkan untuk menutupi perbuatan kamu ini? Kalau sampai berita ini bocor dan tersebar luas dikalangan publik, kamu nggak akan bisa lari dari tuntutan hukum!" seru Adrian. "Nggak cuma kamu yang harus berurusan sama hukum, Papa juga akan kena getahnya! Harga saham Papa dipertaruhkan, Refal! Nama Papa di mata investor akan jadi sorotan! Kamu pikir berapa banyak perusahaan di luar sana yang bisa bertahan dari skandal?" Refal hanya diam tanpa berani menjawab perkataan sang ayah. Pria itu hanya bisa mengepalkan tangan dan memendam amarahnya sendiri. Ini bukan pertama kalinya Refal mendapatkan perlakuan seperti ini dari Adrian. Adrian, ayah dari Refal, memang merupakan sosok yang tegas dan terlalu menyayangi bisnisnya. Adrian bahkan lebih mengutamakan kepentingan perusahaan, dibandingkan kepentingan anak-anaknya. Pria itu sudah mengeluarkan banyak darah dan keringat untuk membangun perusahaannya sampai ia bisa melangkah menuju puncak kejayaan. Adrian akan melakukan apa pun untuk melindungi perusahaan yang sudah mati-matian ia bangun sejak dirinya masih muda. "Udah, Pa! Jangan marahin Refal terus! Papa nggak kasihan sama anak Papa? Refal baru aja siuman, Pa. Anak Papa juga terluka karena kecelakaan itu. Apa Papa sama sekali nggak peduli sama anak Papa?" sahut Rosnita, Ibu dari Refal, ikut angkat suara untuk membela putranya. Berbeda dengan Adrian yang bersikap keras pada Refal, Rosnita justru sangat memanjakan Adrian. Wanita paruh baya itu tidak akan membiarkan Refal diteriaki oleh siapa pun, termasuk oleh suaminya sendiri. "Mama nggak perlu ikut campur! Ini urusan Papa sama Refal!" sungut Adrian. "Ini hasilnya kalau Mama terlalu memanjakan anak! Refal jadi nggak tahu aturan dan suka bertingkah seenaknya!" "Kenapa Papa jadi nyalahin Mama? Mama cuma berusaha jadi ibu yang baik buat anak-anak. Harusnya Papa introspeksi diri! Papa sendiri juga bisanya cuma marah-marah terus, kan?" Kepala Refal hampir pecah mendengar pertengkaran kedua orang tuanya. Pria itu hanya bisa pasrah melihat ayah dan ibunya saling menyalahkan satu sama lain karena dirinya. "Refal, Kamu tahu nggak gimana nasib orang yang udah kamu tabrak sekarang?" tanya Adrian. "Kamu sudah membunuh satu orang, Refal! Dan gara-gara kamu juga, satu korban lainnya dinyatakan lumpuh!" Refal terkejut bukan main. Pria itu tidak terlalu ingat kendaraan yang ia tabrak sebelumnya. Refal tak tahu ia sudah menabrak motor yang ditumpangi oleh dua orang yang menjadi korban hantaman mobilnya. "Aku udah bunuh orang?" tanya Refal tak percaya. Refal mengusap kasar wajahnya. Pria itu tak menyangka tindakannya akan berakhir sefatal ini. "Korbannya ada dua orang. Mereka Ayah sama anak. Yang kamu tabrak sampai meninggal itu ayahnya, dan orang yang kamu buat lumpuh itu anak gadisnya," terang Adrian. Refal tak mampu berkata-kata. Jika situasinya segawat ini, pasti akan sulit bagi Refal untuk menghindari tuntutan hukum. "Kamu sudah bisa membayangkan sendiri 'kan, bagaimana akibatnya kalau sampai berita ini menyebar luas di kalangan publik? Kamu nggak akan selamat, Refal! Dan perusahaan kita juga akan ikut hancur!" seru Adrian. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Refal pasrah. Adrian menatap putranya dengan lekat. "Kamu harus tanggung jawab, Refal! Kamu harus menikahi gadis yang sudah kamu tabrak!" ***Refal membelalakkan mata. Memang pria itu sudah membuat kesalahan besar, hingga ia menghilangkan nyawa seseorang. Tapi Refal tak menduga, ayahnya akan meminta dirinya untuk memberikan tanggung jawab dalam bentuk pernikahan."Maksud Papa apa? Kenapa aku harus menikah sama anak gadisnya yang udah lumpuh itu?" protes Refal. "Bukan aku satu-satunya orang yang bersalah dalam kecelakaan ini! Kalau aja motor itu nggak muncul tiba-tiba, aku juga nggak akan nabrak motor itu! Kenapa cuma aku yang disalahin? Orang yang bawa motor itu juga salah!""Kamu masih berani membela diri?" sentak Adrian. "Apa omelan Papa masih kurang? Apa teriakan Papa masih kurang kencang? Kamu tahu nggak, perbuatan kamu itu sudah fatal, Refal!""Tapi permintaan Papa itu nggak masuk akal! Kenapa Papa tiba-tiba minta Refal buat nikahin perempuan lumpuh itu?" sahut Rosnita ikut melayangkan protes pada suaminya. Rosnita juga tidak setuju pada rencana Adrian yang ingin menikahkan putra kesayangannya dengan gadis sembarangan.
Refal dan Adrian saat ini sudah berdiri di depan pintu ruangan Savira. Ayah dan anak itu akan menjumpai Savira serta ibunya untuk membahas mengenai kompensasi, dan juga pernikahan yang akan ditawarkan oleh Adrian.Refal tidak mempunyai pilihan lain saat ini. Untuk sementara, ia akan mengikuti rencana sang ayah. Refal sangat tahu bagaimana sifat ayahnya yang tak bisa ditentang. Refal hanya akan membuat ayahnya semakin marah jika ia tak mau menuruti perintah."Selamat siang, Bu Dania!" sapa Adrian pada Dania dengan sopan.Savira dan Dania cukup terkejut dengan kedatangan orang-orang yang tidak mereka kenal. Dania terlalu sibuk mengurus putrinya yang lumpuh dan mempersiapkan pemakaman suaminya, hingga wanita paruh baya itu belum sempat menjumpai orang yang sudah menabrak anak dan suaminya."Mohon maaf, Bapak siapa?" tanya Dania.Adrian mengeluarkan kartu nama di sakunya, kemudian menyodorkannya pada Dania. "Saya orang tua dari Refal, pengemudi mobil yang terlibat kecelakaan dengan motor
"Apa maksud Bapak? Kenapa anak saya harus menikah dengan orang yang sudah melukainya?" protes Dania."Ibu dan anak Ibu pasti akan mendapatkan banyak keuntungan jika anak Ibu mau menikah dengan anak saya," jelas Adrian. "Saya akan membantu memberikan dukungan finansial pada Ibu dan putri Ibu setelah menikah nanti. Saya sudah tahu sedikit mengenai kondisi keluarga Ibu saat ini. Mendiang suami Ibu hanya bekerja sebagai buruh pabrik dengan gaji pas-pasan, dan Ibu sendiri hanya seorang ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan. Dengan kondisi anak Ibu yang seperti sekarang ini, Ibu pasti akan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, 'kan?" ungkap Adrian."Bapak pikir kami menginginkan uang Bapak?" balas Dania.Savira melirik ke arah ibunya. Gadis itu memperhatikan uban di rambut Dania dan keriput di wajah ibunya itu."Sekarang Ayah udah nggak ada dan aku lumpuh. Aku nggak akan bisa kerja lagi," batin Savira dengan wajah muram. Savira mulai mencemaskan ibunya. Mau tak mau, Dania harus ba
"Baca dan pahami, lalu tanda tangani," ujar Refal, sembari menyodorkan selembar kertas pada Savira.Baru saja Savira meraih kertas itu, ia seketika dibuat terperangah kala membaca deretan huruf besar pada kalimat awal yang tertera pada kertas tersebut. "Surat perjanjian? Perjanjian apa lagi ini? Bukankah semua perjanjiannya sudah jelas?" tanyanya, dengan kening mengerut. Menduga bahwa isi kertas tersebut akan membuatnya tidak aman."Ck! Gak usah banyak nanya, baca aja!" bentak Refal.Savira berusaha memendam perasaannya yang merasa geram karena sikap Refal yang sangat dingin dan sinis padanya. Dengan perlahan wanita yang saat ini menggunakan kursi roda itu pun membetulkan posisi kertas lalu membacanya.Kata demi kata ia baca dengan seksama, tetapi semakin banyak yang ia baca, raut wajahnya berubah, kerutan pada keningnya semakin terlihat jelas, pun ekspresi wajahnya menggambarkan bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang baik."Tidak boleh mencampuri urusan masing-masing?" Kening Savira ber
"Rania? Siapa dia?" batin Savira menerka-nerka.Betapa tidak? Sejak Savira datang ke rumah itu dan mendapat sambutan yang kurang baik dari para panghuninya, ia sudah mempersiapkan terkait hal tersebut. Bahkan Savira tidak terlalu berharap lebih karena ia pun menyadari posisinya hanya gadis biasa yang hidup sederhana, tanpa kemewahan seperti suaminya.Namun, saat ia mendengar nama wanita lain, entah mengapa rasa penasarannya mulai mencuat. Siapa wanita itu? Apa hubungannya dengan Refal sangat spesial sehingga keluarga suaminya begitu mengelu-elukan wanita tersebut meski mereka kini sudah mempunyai sosok menantu baru?"Ah! Apa dia wanita yang harusnya jadi istri Mas Refal?" batinnya lagi, "dan apakah kehadiranku nghak sengaja merusak hubungan mereka?""Cukup, LUNA!"Di tengah-tengah tanda tanya yang terus berputar-putar dalam benaknya, Savira tiba-tiba dikejutkan dengan suara bentakan yang dikeluarkan oleh Adrian. Tampak lelaki paruh baya itu menatap anak bungsunya dengan tajam dan penu
DEG!!Savira terdiam seketika, ia mengurungkan beberapa kalimat yang hendak ia ucapkan untuk menanggapi perkataan suaminya setelah mendengar cacian Refal yang begitu jelas di telinga. Tanpa banyak berkata lagi, Refal akhirnya benar-benar pergi dari kamar itu, tanpa rasa bersalah karena telah melukai Savira dengan perkataannya hingga membuat wanita itu tak bisa berkutik lagi."Aku? Kampungan?" lirihnya dengan kening mengerut, lalu detik berikutnya ia berdecih, "sembarangan!"Ya, Savira tampak berusaha tegar dan sejak awal sudah mempersiapkan diri jika ia mendapati perlakuan yang tak menyenangkan dari suaminya. Namun, entah mengapa cacian yang terdengar di telinganya kini justru terngiang-ngiang dalam pikirannya, seperti tak ingin pergi dan bersemayam sehingga tanpa disadari genangan air mata itu pun mulai terkumpul di sudut mata wanita berhijab tersebut.Savira pun mengerjap-ngerjapkan matanya, lekas menyeka air mata yang hampir menetes."Astaghfirullah ... kuatkan hamba yaa Allah ...
"Huft! Sepi banget ...." Savira menggunam pelan. Perempuan berhijab itu duduk di kursi rodanya, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Di halaman depan rumah, Rosnita dan Luna tampak sedang berbincang-bincang sambil tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang sedang mereka bahas tetapi hal itu terlihat sangat hangat dan sukses membuat Savira merasa iri.Perlahan, tanpa sadar Savira mengembangkan senyumannya. "Keliatannya mereka sangat akrab, kapan aku bisa ikut bergabung dengan mereka?"Untuk sesaat wanita itu membayangkan bagaimana saat ia bisa ikut berbaur dengan ibu mertua serta adik iparnya dan bercanda tawa bersama. Pasti akan sangat menyenangkan dan hari pun terlewati dengan suka cita. Namun, harapan itu seketika sirna, Savira menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha menyadarkan diri sembari tersenyum getir"Sedang apa aku ini? Malah mikirin hal yang gak akan kejadian, jelas-jelas mereka gak akan pernah suka sama aku."Savira
"Gimana kabar Ibu di rumah? Maaf Savira belum bisa main ke rumah lagi, soalnya---"Ucapan Savira terhenti seketika, saat ibunya menepuk pundak sembari menggelengkan kepalanya dengan menorehkan senyuman hangatnya."Ibu baik-baik aja, Nak. Gak apa-apa ... Ibu ngerti, gak usah dipikirin yang penting kamu di sini sehat," ungkap Dania. "Biar Ibu aja yang main ke sini."Savira lalu mengangguk, membalas senyuman Dania meski hatinya merasakan kepedihan, terlebih nasibnya yang sehari-hari harus mendapatkan sikap buruk dari ibu mertua dan juga adik iparnya.Ya, Savira sudah tidak memikirkan sikap dingin Refal padanya bahkan sejak keduanya bertemu untuk kali pertama. Namun, Savira masih tak habis pikir dan terkejut dengan sikap kedua wanita itu. Padahal yang dirugikan di sini adalah Savira dan keluarganya. Pun posisi Savira seharusnya menjadi penyelamat keluarga konglomerat itu dari jeratan hukum. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, Savira seakan-akan suda
Mobil yang Savira tumpangi akhirnya tiba di pekarangan rumah setelah sesi terapi yang cukup melelahkan. Wajahnya terlihat lebih tenang, meskipun tubuhnya masih terasa lelah akibat latihan fisik yang cukup intens. Hadi membantu mendorong kursi roda Savira hingga ke ruang tamu sebelum berpamitan untuk kembali ke kantor."Terima kasih, Hadi," ucap Savira dengan senyum tipis."Sama-sama, Nyonya. Anda bisa beristirahat agar tenaga anda cepat pulih," jawab Hadi sebelum melangkah keluar.Savira pun mengangguk pelan, sebelum akhirnya Hadi berpamitan dan pintu rumah tertutup, Savira menghela napas panjang. Ia merasakan sedikit kelegaan setelah menjalani terapi pertamanya dengan baik. Namun, perasaan lega itu tak berlangsung lama. Dari sudut ruangan, Luna muncul dengan wajah dingin dan senyum sinis yang sudah sangat dikenal Savira."Wow, Kakak iparku kelihatannya sumringah banget hari ini," ujar Luna dengan nada menyindir. "Pasti menyenangkan, ya? Keluar rumah ketemu cowok lain?"Savira menoleh
"Kita sudah sampai, Nyonya," ujar Hadi. "Tolong tunggu sebentar, saya akan membantu anda turun."Savira lantas mengangguk pelan dan menjawab. "Terima kasih."Hadi segera keluar dari mobil dan membantu Savira turun lalu mendorong kursi rodanya memasuki rumah sakit. Tiada hentinya Savira berterima kasih kepada Hadi bahkan saat mereka menunggu di meja resepsionis.Suasana rumah sakit itu tampak ramai dan banyak dokter muda berparas tampan berlalu lalang bercampur dengan para pasien yang berdatangan. Savira pun merasa gugup hari ini meski sejak tadi berusaha menyembunyikannya."Apa dokternya belum datang?" tanya Savira, melihat ke arah Hadi yang baru saja selesai berbincang dengan salah satu petugas resepsionis.Hadi pun lekas mengalihkan pandangannya kemudian menjawab. "Sudah, Nyonya. Kita disuruh menunggu karena dokter Aryan masih ada pasien."Savira pun mengangguk paham dan tidak kembali bertanya lebih. Meski dalam pikirannya tiba-tiba terlintas sebuah nama yang baru saja disebutkan ol
"Astaghfirullah ...." Savira bergumam dalam hati, berusaha menenangkan dadanya yang bergemuruh.Savira terdiam, menatap kosong. Ia tidak pernah menyangka suaminya akan bersikap dan berkata sekejam ini. Meski mustahil, ia masih menyimpan harapan kecil bahwa mungkin seiring berjalannya waktu, Refal akan melunak dan mau bersikap tidak terlalu bersikap dingin padanya. Namun, malam ini semua harapan itu hancur berkeping-keping. Rasanya sangat mustahil seorang Refal berubah dalam memperlakukannya. Melihat Savira yang menangis dalam diam, Refal sama sekali tidak menunjukkan rasa simpati. "Besok pagi, kamu akan memulai terapi. Aku sudah mengatur semuanya," katanya tanpa melihat ke arah Savira. "Jangan pikir ini karena aku peduli padamu atau semacamnya. Aku cuma mau kamu cepat pulih biar kita bisa segera pisah."Savira menghela napas pelan. "Ya. Aku tahu ... tapi minimal kamu bisa bersikap sedikit hangat. Toh, semua ini juga karenamu."Refal lalu menaikkan sebelah alisnya, terkejut dengan pen
"Akhirnya kamu pulang, Mas." Savira tersenyum menyambut suaminya yang baru saja muncul dari balik pintu. Tetapi Refal hanya diam tak menanggapinya bahkan meneruskan langkah melewati Savira yang berada tepat di hadapannya. Savira pun tersenyum simpul, tidak menghiraukan respon suaminya yang demikian, dengan berusaha menyingkirkan perasaannya yang tak menentu, Savira tetap tersenyum dan berusaha mencairkan suasana. "Nanti kita makan malam sama-sama, ya? Aku udah masak," ucapnya lagi sembari menggerakkan kursi rodanya, berusaha menyusul langkah Refal yang tentu tidak akan terkejar olehnya. Savira pun terduduk dengan wajah penuh harap. Ia tahu bahwa malam ini adalah gilirannya untuk menyajikan makan malam bagi suaminya. Meski ia tidak sepenuhnya memasak sendiri dan masih banyak dibantu oleh Mbok Sari, ia tetap merasa senang dan berharap Refal akan menghargai usahanya. Di meja makan sudah tertata sop ayam hangat, nasi putih, dan tumis sayuran. Ia juga menyajikan teh hangat favorit Refa
"Gimana kabar Ibu di rumah? Maaf Savira belum bisa main ke rumah lagi, soalnya---"Ucapan Savira terhenti seketika, saat ibunya menepuk pundak sembari menggelengkan kepalanya dengan menorehkan senyuman hangatnya."Ibu baik-baik aja, Nak. Gak apa-apa ... Ibu ngerti, gak usah dipikirin yang penting kamu di sini sehat," ungkap Dania. "Biar Ibu aja yang main ke sini."Savira lalu mengangguk, membalas senyuman Dania meski hatinya merasakan kepedihan, terlebih nasibnya yang sehari-hari harus mendapatkan sikap buruk dari ibu mertua dan juga adik iparnya.Ya, Savira sudah tidak memikirkan sikap dingin Refal padanya bahkan sejak keduanya bertemu untuk kali pertama. Namun, Savira masih tak habis pikir dan terkejut dengan sikap kedua wanita itu. Padahal yang dirugikan di sini adalah Savira dan keluarganya. Pun posisi Savira seharusnya menjadi penyelamat keluarga konglomerat itu dari jeratan hukum. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, Savira seakan-akan suda
"Huft! Sepi banget ...." Savira menggunam pelan. Perempuan berhijab itu duduk di kursi rodanya, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Di halaman depan rumah, Rosnita dan Luna tampak sedang berbincang-bincang sambil tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang sedang mereka bahas tetapi hal itu terlihat sangat hangat dan sukses membuat Savira merasa iri.Perlahan, tanpa sadar Savira mengembangkan senyumannya. "Keliatannya mereka sangat akrab, kapan aku bisa ikut bergabung dengan mereka?"Untuk sesaat wanita itu membayangkan bagaimana saat ia bisa ikut berbaur dengan ibu mertua serta adik iparnya dan bercanda tawa bersama. Pasti akan sangat menyenangkan dan hari pun terlewati dengan suka cita. Namun, harapan itu seketika sirna, Savira menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha menyadarkan diri sembari tersenyum getir"Sedang apa aku ini? Malah mikirin hal yang gak akan kejadian, jelas-jelas mereka gak akan pernah suka sama aku."Savira
DEG!!Savira terdiam seketika, ia mengurungkan beberapa kalimat yang hendak ia ucapkan untuk menanggapi perkataan suaminya setelah mendengar cacian Refal yang begitu jelas di telinga. Tanpa banyak berkata lagi, Refal akhirnya benar-benar pergi dari kamar itu, tanpa rasa bersalah karena telah melukai Savira dengan perkataannya hingga membuat wanita itu tak bisa berkutik lagi."Aku? Kampungan?" lirihnya dengan kening mengerut, lalu detik berikutnya ia berdecih, "sembarangan!"Ya, Savira tampak berusaha tegar dan sejak awal sudah mempersiapkan diri jika ia mendapati perlakuan yang tak menyenangkan dari suaminya. Namun, entah mengapa cacian yang terdengar di telinganya kini justru terngiang-ngiang dalam pikirannya, seperti tak ingin pergi dan bersemayam sehingga tanpa disadari genangan air mata itu pun mulai terkumpul di sudut mata wanita berhijab tersebut.Savira pun mengerjap-ngerjapkan matanya, lekas menyeka air mata yang hampir menetes."Astaghfirullah ... kuatkan hamba yaa Allah ...
"Rania? Siapa dia?" batin Savira menerka-nerka.Betapa tidak? Sejak Savira datang ke rumah itu dan mendapat sambutan yang kurang baik dari para panghuninya, ia sudah mempersiapkan terkait hal tersebut. Bahkan Savira tidak terlalu berharap lebih karena ia pun menyadari posisinya hanya gadis biasa yang hidup sederhana, tanpa kemewahan seperti suaminya.Namun, saat ia mendengar nama wanita lain, entah mengapa rasa penasarannya mulai mencuat. Siapa wanita itu? Apa hubungannya dengan Refal sangat spesial sehingga keluarga suaminya begitu mengelu-elukan wanita tersebut meski mereka kini sudah mempunyai sosok menantu baru?"Ah! Apa dia wanita yang harusnya jadi istri Mas Refal?" batinnya lagi, "dan apakah kehadiranku nghak sengaja merusak hubungan mereka?""Cukup, LUNA!"Di tengah-tengah tanda tanya yang terus berputar-putar dalam benaknya, Savira tiba-tiba dikejutkan dengan suara bentakan yang dikeluarkan oleh Adrian. Tampak lelaki paruh baya itu menatap anak bungsunya dengan tajam dan penu
"Baca dan pahami, lalu tanda tangani," ujar Refal, sembari menyodorkan selembar kertas pada Savira.Baru saja Savira meraih kertas itu, ia seketika dibuat terperangah kala membaca deretan huruf besar pada kalimat awal yang tertera pada kertas tersebut. "Surat perjanjian? Perjanjian apa lagi ini? Bukankah semua perjanjiannya sudah jelas?" tanyanya, dengan kening mengerut. Menduga bahwa isi kertas tersebut akan membuatnya tidak aman."Ck! Gak usah banyak nanya, baca aja!" bentak Refal.Savira berusaha memendam perasaannya yang merasa geram karena sikap Refal yang sangat dingin dan sinis padanya. Dengan perlahan wanita yang saat ini menggunakan kursi roda itu pun membetulkan posisi kertas lalu membacanya.Kata demi kata ia baca dengan seksama, tetapi semakin banyak yang ia baca, raut wajahnya berubah, kerutan pada keningnya semakin terlihat jelas, pun ekspresi wajahnya menggambarkan bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang baik."Tidak boleh mencampuri urusan masing-masing?" Kening Savira ber