"Maafkan aku, Bang." "Aku yang salah, bukan kamu," jawabnya."Jangan terlalu baik," balasku polos."Hm, apa aku berlebihan? Aku merasa justru jahat padamu," jawab Aksen."Itu yang membuatku ragu padamu." Sayangnya ucapan itu hanya bisa kuungkapkan di dalam hati. Selama perjalanan pikiranku masih tak jelas. Semua seperti berkelana di pikiranku. Apa aku ragu dengan Aksen? Entahlah, tapi jujur hatiku dilema dibuat olehnya. Sesampai di rumah, Aksen tak henti menggodaku. Seperti orang yang sedang dilanda kasmaran. Aku akui dia memang pandai merayu, justru yang menjadi masalah adalah hati ini yang masih tak tenang.“Apa istri abang mau datang bulan? Moodnya terlihat kacau sekali,” ucap Aksen yang terus menggodaku.“Sepertinya,” jawabku yang ikut menggodanya. Sebagai wanita yang memiliki suami, tentu aku berharap memiliki keturunan. Namun, kenyataannya belum ada tanda-tanda aku hamil. "Apa kita bulan madu lagi?" tanya Aksen yang duduk di sampingku."Kita ke Bali," jawabnya sambil tidur
Bangun tidur aku tidak melihat Aksen di sampingku, di ruang tamu pun tidak ada. Sepertinya tidurku begitu nyenyak sampai tidak tahu kemana perginya Aksen.“Dimana Aksen?” tanyaku penasaran kepada asisten yang stay di rumah.Jangan tanya berapa banyak pengawalan di rumah ini. Walau sudah terbiasa dengan pengawalan ketika bersama daddy dan bunda. Namun, aku rasa Aksen semakin berlebihan belakangan ini. Apakah ini yang namanya posesif? “Maksudnya tuan Aksen?” tanya asistennya, sengaja dia perjelas agar aku memanggil Aksen dengan sebutan tuan. Makin aneh kurasa!“Hooh,” jawabku sedikit ketus."Dimana tuanmu?" tanyaku lagi. Aku juga heran kenapa sikapku ikut berubah. Apa karena pikiranku sudah teracuni dengan sikap Aksen yang palying victim?"I ...itu, Nyonya.""Itu kenapa?" tanyaku balik."Aksen kemana?" tanyaku lagi.Terlihat sekali asistennya sedikit panik. Semakin ke sini aku menyadari ada sesuatu yang tidak beres pada Aksen. Tidak Aksen, tidak pula Brayen. Apa sesulit ini mendapat
Apa aku salah?"Mau kemana?" tanya Aksen yang wajahnya berubah lebih kalem. Aku mundur teratur, menarik napas tidak percaya jika wajah Aksen tadi kurasa begitu menyeramkan. Apa dia memiliki dua kepribadian?"Aku mau keluar, Bang. Bosan di rumah terus.""Ponselnya mati?" tanyanya lagi. Dia bahkan tahu jika aku tidk membawa ponsel. Dengan spontan, aku sengaja mencari ponsel di dalam tas dengan adegan seperti orang kelupaan."Ponselnya ternyata kelupaan, Bang," balasku sembari tersenyum. "Lalu supir di luar?" tanyanya kembali. Duuh, bagaimana lagi, nih."Katanya dari abang Shaka," sambungnya."Iya, abang Shaka memintaku ke rumah kak Gendhis. Aku terima saja karena bosan di rumah." Alasanku tidak jelas, semoga dia tidak curiga."Kalau gitu aku ikut, ya, aku temani.""Abang baru pulang, pasti capek," jawabku tidak mau kalah.Aksen diam sejenak, entah dia pulang karena aku mau keluar atau memang waktunya pulang. Mengapa aku jadi bergidik ngeri. Rasa takut menjalar di tubuhku."Mita ambilk
“Baik, Bang,” jawabku singkat.Tatapan kami sempat beradu, ya Allah benar-benar meresahkan. Apa dia sengaja pamer bahwa dia baik-baik saja. “Alhamdulillah,” jawabnya. Aku dan abang Brayen benar-benar kikuk. Astagfirullah, ini tidak boleh terjadi, aku harus menata hatiku. Walau bagaimana pun aku sudah memiliki suami.“Silahkan duduk, Dek,” ucap abang Shaka.Aku pun duduk ditempat yang disediakan. Sebenarnya ingin kutanyakan bagaimana kabar Arvian. Namun, kutahan karena abang Shaka sepertinya langsung ke intinya.“Kita jangan terlalu lama di sini, karena Aksen pasti akan menyusul ke sini jika Monica terlalu lama.”Abang Shaka segera membuka pertemuan walau aku terus menunduk karena merasa diperhatikan oleh abang Brayen. Tatapannya bahkan menyentuh sampai di dasar yang paling dalam di hatiku. “Ini mengenai misi kita sebagai anak daddy dan bunda,” kata abang Shaka. Maksudnya? apa ini ada kaitannya dengan Aksen? Atau kami mau adakan surprise dengan daddy? Ya Allah kenapa hatiku tak ten
Rasanya tidak percaya mendengar kenyataan ini. Menjadi istri kedua Aksen? Sulit, ini terlalu sulit bagiku. Tanpa pamitan, aku keluar dari room meeting ini. Kak Gendhis sempat menahanku, tapi aku tak peduli. Semua rasa menjadi satu di hatiku. Lebih tepatnya rasa tidak percaya jika Aksen selama ini berkhianat.Sesampai di loby aku dikejutkan dengan kehadiran Aksen yang sudah menungguku diluar. Seperti biasa tampilannya benar-benar casual. “Sayang ….” Dia langsung berlari memelukku. Kulihat abang Brayen mundur melihatku yang dipeluk Aksen. “Are you okay?” tanya Aksen lagi. Aku hanya mengangguk, untung saja aku menghapus air mata sebelum ke loby. Kalau tidak Aksen pasti lebih curiga.“Ada masalah?” tanyanya lagi.Kalau dulu memang aku baper mendengar Aksen merayuku seperti ini. Namun, kali ini aku merasa seperti bersama penghianat yang sedang mulai bereaksi. Entah apa motifnya sampai menjadikanku yang kedua. Aku bahkan mengira aku wanita yang paling beruntung di dunia ini. Nyatanya ke
Selama perjalanan, jantungku berdetak lebih kencang. Perasaanku tak tenang, memikirkan pernikahanku yang diujung tanduk. Gagal kedua kalinya rasanya begitu menyakitkan."Tenangkan dirimu, semua cerita selalu ada hikmahnya,” ucap daddy menenangkanku.“Sayangnya cerita hidup Monica tidak seperti wanita yang lain, Dad. Penuh drama.”“Di luar sana masih banyak yang belum beruntung, Nak.”Jika bisa aku ingin menjadi orang yang beruntung dalam semua hal, aku cemburu melihat pasangan yang begitu harmonis dan awet sampai maut memisahkan. “Dad, apa teman-teman daddy juga seperti Monica?”“Maksudnya?” tanya daddy yang terdengar heran.“Apakah anak teman daddy banyak yang kayak Monica? Bukannya cerita orang kaya selalu menarik, Dad?”“Siapa bilang cerita mereka selalu indah. bBeberapa dari mereka justru memikirkan perasaan nomor sekian, lebih tepatnya sebagian dari mereka sibuk dengan bisnis, kurang bersyukur, jadi ada saja yang selalu gagal di tengah jalan.”Hidup memang seperti itu, ketika m
“Sayang?!” Aksen memanggilku. Nampak sekali wajahnya yang terkejut. Sementara abang Brayen melepas pelukanku.“Jangan panggil aku sayang tuan Aksen!”Mata Aksen berkaca-kaca, dia mendekat. Namun, langsung kutahan.“Jangan mendekatiku! urus istrimu itu!” Kembali aku berteriak karena Aksen ingin mendekatiku."Hebat kamu membohongiku selama setahun ini!"Dia kembali mendekat. Cuih, dia seolah tak bersalah."Satu langkah kamu mendekatiku, kupastikan akan memviralkan kamu bersama istrimu!" kembali aku berteriak, bisa-bisanya mereka membohongiku. Lebih ingin muntah rasanya mengingat aku datang ke pernikahan Olive yanh ternyata adik ipar dari Aksen.Amarahku memuncak. Aku memang lemah, tapi bukan berarti dia bisa semaunya membohongiku. Aksen langsung mundur teratur melihatku yang berteriak."Tenangkan dirimu sayang, kita bisa bicarakan baik-baik."“Baik-baik kamu bilang?""Lebih baik kamu diam. Jangan bicara apapun lagi denganku!"“Sayang ….”“Stop tuan Aksen, aku benci kamu panggil sayang.
Abang Brayen langsung mundur, sementara daddy menarik tanganku untuk masuk mobil."Ingat, dia bukan muhrimmu!" tegas daddy lagi."Siap, Dad. Jangan marah gitu.""Jangan cari kesempatan kembali sama dia," sambung daddy lagi.Selama perjalanan aku terus menitikkan air mata. Aku justru sama sekali tidak mengingat abang Brayen. Dipikiranku hanya Aksen, tidak menyangka gagal untuk kedua kalinya. Aku yakin tidak ada wanita yang ingin gagal apalagi ini untuk kedua kalinya. Mengapa masalah asmara aku selalu gagal, semesta sepertinya tidak berpihak padaku. Rasanya sangat menyakitkan harus menerima kenyataan in. Aksen yang kuharapkan, nyatanya juga berkhianat. “Keluarkan saja tangismu, Nak.”“Daddy ….”“Menangislah, jika itu yang membuatmu tenang.” Pecah juga tangisku di dalam mobil, daddy hanya menenangkanku. Sesak rasanya, sangat sesak. “Maafkan putrimu ini, Dad.”“Daddy yang minta maaf, Nak.”“Daddy yang memaksamu menikah dengannya. Ini salah daddy, Nak.”"Daddy tidak pernah salah, mungkin