Bams dan Naya baru saja pulang setelah jalan-jalan. Keduanya sudah turun dari mobil dan hendak pergi ke paviliun.“Kuharap kamu tidak menjauhiku karena menganggap aku ini menyeramkan,” ucap Bams saat mereka berjalan bersama.Naya terkejut. Dia langsung menoleh pada Bams.“Tidak. Aku juga tidak tahu apa-apa, jadi aku anggap itu hanya informasi pribadi tentangmu yang tidak perlu dikorek,” balas Naya memang tidak melanjutkan pembahasan soal siapa Bams sebenarnya.Bams mengangguk-angguk pelan.“Kakak Naya dali mana?” Naya dan Bams menghentikan langkah ketika mendengar suara Arlo. Mereka melihat bocah itu sudah berdiri di depan mereka sedang memegang bola.“Baru dari luar, Arlo main sendirian?” tanya Naya keheranan. Tidak biasanya Alina membiarkan Arlo bermain sendiri.“Iya, Alo main sendili,” jawab Arlo, “soalnya Mama lagi ngobatin wajahnya Paman Daniel. Wajahnya melah-melah.”Naya mengerutkan alis, begitu juga dengan Bams yang keheranan. Merah-merah bagaimana maksudnya?Mereka memilih m
Naya melihat Daniel yang duduk sendirian di teras. Dia pun berjalan menghampiri pria itu. “Bagaimana lukamu?” tanya Naya sambil duduk di kursi yang bersebelahan dengan Daniel. Daniel menoleh pada Naya, lalu menjawab, “Tidak terlalu parah.” Naya memperhatikan wajah Daniel yang penuh lebam. “Kamu tidak melaporkan pengeroyokan ini ke polisi?” tanya Naya. “Tidak,” jawab Daniel. “Kenapa?” tanya Naya keheranan. “Aku sedang memikirkan konsekuensi yang didapat, jika gegabah melapor,” jawab Daniel. Dahi Naya berkerut. “Mereka itu hanya orang suruhan, jika aku lapor, maka yang akan ditangkap hanya mereka dan aku yakin orang yang membayar mereka akan mengelak serta membungkam mereka untuk tak bicara. Lalu, setelah aku melaporkan kasus ini, wanita itu pasti akan semakin menderita. Aku yakin kalau suami wanita itu akan semakin menyiksa karena tahu jika aku akan melawannya,” ujar Daniel menceritakan pemikirannya panjang lebar. Naya diam sejenak, mencoba mencerna maksud ucapan Daniel. Sampa
Daniel berada di rumah. Dia ingin mengabaikan masalah Jia, tetapi entah kenapa tidak bisa karena dalam masalah ini, bukan hanya Jia yang menjadi korban, tetapi juga Anya.Tiba-tiba saja Daniel cemas, apakah Jia dan Anya baik-baik saja?“Anya tahu cara menggunakan ponsel, kan?”Daniel tiba-tiba cemas, apalagi Anya masih kecil dan besar kemungkinan belum dikenalkan dengan ponsel.Daniel memandangi ponselnya. Harusnya dia meminta nomor ponsel Jia, kan? Ah, entahlah. Dia mendadak gelisah.Saat Daniel masih diam dengan kecemasan berlebihannya, ponselnya tiba-tiba berdering. Daniel menatap nomor tak dikenal pada layar ponsel, lalu berpikir mungkinkah ini Anya?Daniel segera menjawab panggilan itu.Di sisi lain, Anya ada di kamar karena ketakutan, dia memegang ponsel yang menempel di telinga."Halo."Anya mendengar suara dari seberang panggilan."Paman Daniel." Anya bicara dengan suara gemetar."Anya, ini Anya, kan?"Anya mendengar suara Daniel, lalu berkata, "Paman, Papa datang dan mukul Ma
Daniel keluar dari rumah lalu masuk ke salah satu mobil Aksa. Dia segera mengemudikan mobil menuju alamat yang Anya berikan.Daniel mencoba menghubungi Aksa, tetapi kakak iparnya itu tidak menjawab, membuat Daniel memilih segera pergi ke apartemen Jia.Saat sampai di apartemen itu. Daniel segera naik ke lantai atas tempat unit Jia berada, tetapi saat baru saja keluar dari lift, Daniel melihat du pria berjaga di depan pintu unit apartemen Jia.'Suaminya benar-benar menjadikan Jia dan Anya tahanan,' batin Daniel geram, apalagi tadi dia melihat sendiri bagaimana Jia diperlakukan kasar.Daniel berjalan perlahan dengan waspada menuju unit apartemen Jia, saat itu dia melihat dua pria yang berjaga di depan menoleh ke arahnya."Mau apa kamu ke sini?" Salah satu pria mengenali Daniel. Pria itu yang sebelumnya menghajar Daniel.Daniel berhenti melangkah, lalu menatap pada dua pria itu."Kamu sepertinya mau mencari gara-gara," ucap pria itu seraya bersiap ingin menghajar Daniel.Daniel terlihat
Daniel terkejut karena penolakan Jia, tetapi dia mencoba memahami ketakutan Jia karena tadi mendengar ancaman Edwin."Tidak apa-apa, kita pergi dulu dari sini, akan kupastikan ayahmu juga baik-baik saja. Kakak iparku bukan orang sembarangan, aku yakin dia akan membantumu, apalagi dia dan kakakku bilang kalau mengenalimu." Daniel mencoba membujuk.“Aku tidak bisa membiarkan siapa pun lagi terluka karena aku. Pergilah,” ucap Jia tak ingin Daniel celaka karena membantunya.Daniel menghembuskan napas kasar. Dia lantas menggenggam tangan Jia.“Percayalah padaku. Aku akan membantumu dan membebaskan papamu. Sekarang yang terpenting kamu dan Anya aman dulu, jangan sampai pria itu memukulimu lagi,” ujar Daniel tidak punya pilihan selain memaksa Jia.Anya ikut menggandeng tangan Jia. Tatapan matanya memperlihatkan harapan dan ketakutan yang bercampur jadi satu."Ayo pergi, Mama. Papa jahat, Mama jangan di sini," ucap Anya.Jia bingung. Jika Edwin tahu kalau dirinya pergi, pria itu pasti akan me
Jia terus menggenggam telapak tangan Anya selama perjalanan meninggalkan apartemennya. Dia tidak tahu ke mana Daniel akan membawanya, Jia pasrah karena tidak punya pilihan.“Kakak dan kakak iparku baik, jadi kamu jangan takut atau cemas,” ucap Daniel seraya melirik pada kaca spion tengah untuk melihat bayangan Jia dan Anya.“Aku hanya tidak mau merepotkan dan membuat masalah untuk kalian,” ucap Jia masih cemas.“Tenang saja, kakak iparku lebih berkuasa dari yang kamu kira. Semua akan baik-baik saja, itu yang harus kamu yakini sekarang,” ujar Daniel.Jia diam. Dia menatap pada Anya yang duduk merapat padanya. Jika bukan demi Anya, Jia tidak akan mengambil resiko ini. Dia pun berharap semoga apa yang dikatakan Daniel benar atau dia dan ayahnya akan benar-benar mati.Jia memperhatikan jalanan yang mereka lewati. Jia mengerutkan alis, sepertinya dia kenal jalanan itu dan siapa orang yang memiliki rumah di kawasan elite itu. Mungkin bisa saja kebetulan satu komplek, kan?“Kakak iparmu past
Aksa, Alina, Jia, dan Daniel duduk bersama. Aksa melihat wajah Jia yang memiliki beberapa lebam di pipi hingga rahang, membuat Aksa sampai menghela napas kasar.“Kenapa kamu tidak meminta bantuan orang lain? Setidaknya lapor ke polisi agar kamu dan papamu mendapat perlindungan,” ujar Aksa.Jia diam dengan tatapan menunduk. Ada sebuah beban dari sorot matanya yang tampak lelah.“Bu Jia, ceritakan saja apa yang terjadi. Kami pasti akan membantu,” ucap Alina seraya menggenggam telapak tangan Jia. Dia hanya ingin memberi kekuatan pada wanita itu serta memperlihatkan jika Jia tidak sendiri.Jia menatap pada Alina, tampak begitu jelas ketakutan dan kecemasan yang sedang dirasakannya saat ini.“Aku pernah mencoba meminta tolong ke temanku. Tapi hasilnya, Edwin menyuruh orang menghajarnya, bahkan sampai masuk rumah sakit dan sampai mengancam akan menghancurkan bisnis temanku jika masih mencampuri urusan kami. Dan, itu yang sebenarnya kutakutkan selama ini, sehingga aku memilih diam. Apalagi P
Arlo memperhatikan Anya yang terus diam. Dia mendekat lalu duduk di samping Anya yang sendirian karena para orang tua sedang bicara.“Kamu siapa?” tanya Arlo seraya menatap Anya.Anya menoleh pada Arlo, lalu menjawab, “Anya.”“Oh, aku Alo,” balas Arlo.“Alo?” tanya Anya memastikan.“Bukan Alo, tapi Alo.” Arlo yang kesulitan menyebut huruf ‘R’ jadi pelafalan kata yang dia maksud terdengar sama saja.“Iya, Alo ‘kan?” tanya Anya memastikan.“Bukan itu.” Arlo mendadak kesal karena Anya salah menyebut namanya.Anya bingung sampai menggaruk kepala tidak gatal.“Namanya Alo, bukan Alo.” Arlo kembali mengulang namanya.Anya semakin bingung, lalu mencoba menebak.“Anlo?”“Bukan.”“Aslo?”“Bukan.”Anya menggaruk kepala lagi, semakin bingung.“Namanya Arlo.” Naya muncul di sana menghampiri dua anak kecil itu.“Oh, Arlo.” Anya mengangguk-anguk akhirnya mengerti.“Iya, Alo. Masa gitu aja tidak bisa,” balas Arlo yang hampir kesal karena baginya Anya salah menyebut namanya.Naya menahan tawa melihat
Malam itu Daniel berkumpul dengan Aksa dan Alina di rumah. Mereka berada di ruang keluarga membahas soal Edwin.“Edwin memang ditangguhkan penahanannya, tapi proses hukum tetap berjalan. Pengacaraku juga sudah mengajukan semua berkas laporan dan bukti untuk menjerat pria itu agar mendapatkan hukuman maksimal. Tidak akan kubiarkan dia mendapat hukuman hanya setahun dua tahun,” ujar Aksa.“Ya, pria itu memang layak mendapat hukuman yang berat. Banyak sekali tindak kejahatan yang dilakukannya,” timpal Alina.“Ini juga bagus untuk mempercepat proses perceraian Jia karena kelakuan buruk Edwin semuanya sudah terekspos,” ujar Aksa lagi.Alina mengangguk-angguk. Dia kemudian menoleh pada Daniel yang sejak tadi tak bersuara.“Kamu sedang memikirkan apa?” tanya Alina.Daniel terkejut. Dia baru menyadari kalau kakak dan kakak iparnya kini sedang menatapnya.“Tidak,” jawab Daniel seraya menggeleng pelan.Alina menaikkan kedua sudut alis.“Apanya yang tidak? Aku perhatikan seharian ini kamu banyak
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Akhirnya Jia sudah diperbolehkan pulang. “Papamu sudah menunggu di rumah lama kalian, jadi kami akan mengantarmu ke sana,” ucap Daniel.“Iya, terima kasih,” balas Jia.Akhirnya Jia harus kembali ke rumah keluarganya karena dia tidak mau tinggal di apartemen atau rumah milik Edwin yang penuh dengan kenangan pahit.Alina datang menemani Jia keluar dari rumah sakit sekalian membantu Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.Daniel mengangguk.Alina mendorong kursi roda yang Jia duduki. Mereka pergi menuju pintu depan lobby rumah sakit karena mobil yang akan membawa mereka sudah menunggu di sana.“Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot menjemput,” ucap Jia.“Apanya yang repot? Aku tidak pernah merasa repot,” balas Alina, “kita sudah kenal lama, bahkan dulu kamu membantuku memasarkan desainku, jadi anggap saja kita ini saling melengkapi dan menguntungkan,” imbuh Alina.Mereka sampai di depan lobby. Jia dibantu Alina dan Daniel masuk mobil, lalu
Anya masih berada di rumah sakit bersama Daniel. Dia ingin menemani Jia sebelum dijemput Alina saat sore hari. Anya akan bersama Alina sampai Jia keluar dari rumah sakit.“Mama mau ke mana?” tanya Anya saat melihat Jia bergerak ingin menurunkan kaki.“Ke kamar mandi,” jawab Jia agak kesusahan turun karena tubuhnya yang masih kaku dan tangan masih terpasang selang infus.Anya menoleh pada Daniel yang baru saja menerima telepon.“Paman, Mama mau ke kamar mandi tapi tidak bisa bawa infusnya,” kata Anya.Jia terkejut karena Anya sampai memanggil Daniel. Dia menoleh pada pria itu yang sudah memandangnya.“Aku bisa sendiri, kamu selesaikan saja urusanmu,” kata Jia karena tak enak hati jika terus merepotkan Daniel.Namun, ternyata Daniel tetap mendekat. Dia berjalan menghampiri Jia dan Anya.Jia menatap Anya yang tersenyum lebar. Sungguh dia merasa sangat sungkan karena hampir semua bantuan yang dibutuhkannya, Daniel yang mencukupi.“Kamu bisa jalan?” tanya Daniel memastikan lebih dulu.Jia
Di rumah sakit. Daniel menyiapkan sarapan untuk Jia yang tadi diberikan oleh perawat.“Kamu bisa makan sendiri?” tanya Daniel memastikan karena Jia terlihat masih lemah.Jia tersenyum kecil, lalu menjawab, “Bisa, kamu tenang saja.”Daniel mengangguk pelan. Dia kembali duduk menunggu Jia sarapan, siapa tahu Jia membutuhkan bantuannya.Jia berusaha makan sendiri meski seluruh tubuhnya terasa sakit karena lebam di sekujur tubuh. Dia memasukkan suapan pertama, lalu tatapannya tertuju pada Daniel. Dia melihat pria itu hanya diam menunggunya makan, membuat Jia merasa sedikit sungkan.“Kamu tidak sarapan?” tanya Jia.Sejak kemarin Daniel terus menunggunya di sana, bahkan tak terlihat sekalipun keluar dari kamar itu, kecuali saat kedatangan orang tua Edwin.“Kak Alina bilang akan datang membawakan sarapan, jadi aku akan menunggunya,” ujar Daniel.Jia mengangguk-angguk pelan. Dia agak canggung karena makan sendiri, sedangkan Daniel hanya duduk mengamatinya.“Makanlah dan minum obatmu. Kamu har
Alina menemui Anya yang baru saja selesai mandi dibantu pelayan.“Biar aku saja yang membantunya ganti baju, kamu keluarlah,” kata Alina pada pelayan.Pelayan mengangguk lalu keluar dari kamar itu.Alina memulas senyum pada Anya. Dia mendekat lalu duduk di tepian ranjang dan membantu Anya memakai pakaian.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Alina.Semalam Anya dan Arlo tidur satu kamar atas permintaan Arlo, tetapi disediakan dua ranjang terpisah.Anya mengangguk seraya menatap pada Alina yang sedang memakaikan bajunya.“Kata Arlo, semalam kamu mimpi buruk sampai menangis. Apa benar?” tanya Alina memastikan apakah cerita putranya benar atau tidak.Anya terdiam. Dia menunduk tak menjawab pertanyaan Alina.Alina melihat ekspresi sedih di wajah Anya. Dia tidak bertanya lagi, tetapi memilih segera menyelesaikan membantu Anya memakai baju. Setelah itu dia juga menyisir rambut Anya.“Bagaimana kabar Mama?” tanya Anya.“Mama sudah baik. Hari ini kita ke sana untuk menjenguknya, ya.” Alina bicara ser
Jia menatap Daniel yang sedang merapikan ranjang khusus penunggu. Dia merasa tak enak hati karena sudah merepotkan pria itu.“Kamu bisa tidur di tempat kakakmu. Aku tidak apa-apa tidur di sini sendiri, lagi pula ada perawat yang bisa aku panggil jika butuh sesuatu,” ujar Jia karena tak ingin terus menerus merepotkan Daniel.Daniel menoleh ke arah Jia, lalu dia duduk di tepian ranjang khusus penunggu seraya menatap pada Jia.“Aku sudah berjanji pada Anya untuk menjagamu, jadi aku akan tetap di sini,” ujar Daniel.Jia berbaring seraya menatap pada Daniel.“Kak Alina bilang kalau besok akan membawa Anya ke sini, jadi sekarang istirahatlah. Kamu harus terlihat baik-baik saja agar Anya tidak sedih,” ujar Daniel.Jia hanya mengangguk. Dia tidak memaksa jika memang Daniel tetap mau tinggal, meski sebenarnya Jia canggung berada di satu ruangan berdua dengan pria, terlebih dia dan Daniel tidak ada hubungan apa pun.“Selamat malam,” ucap Daniel lalu naik ke atas ranjang. Dia membaringkan tubuhn
Di rumah sakit. Daniel masih menemani Jia yang terbaring lemah. Dokter mengatakan jika tidak ada kerusakan fatal di organ dalam, sehingga Jia hanya butuh perawatan biasa sampai kondisinya benar-benar pulih.“Kamu membutuhkan sesuatu?” tanya Daniel.Jia menggeleng.Daniel sabar menemani Jia karena kondisi Jia yang masih lemas. Terdengar suara ketukan pintu kamar. Daniel menoleh dan melihat pintu kamar terbuka. Kedua orang tua Edwin ternyata datang untuk melihat kondisi Jia.Daniel segera berdiri lalu sedikit membungkuk ke arah mertua Jia, sedangkan Jia masih terbaring lemah dan hanya bisa menatap dua orang itu.“Saya keluar dulu,” ucap Daniel agar Jia dan kedua orang tua Edwin bisa bicara.Kedua orang tua Edwin mengangguk. Mereka tak menyangka jika Daniel sangat sopan, padahal sebelumnya mereka sudah menuduh jika Daniel selingkuhan Jia.“Bagaimana kondisimu?” tanya ibu Edwin setelah Daniel keluar dari ruangan itu.“Tidak baik,” jawab Jia lirih.Kedua orang tua itu saling pandang, lal
Bams menatap Naya yang hanya diam. Dia tersenyum getir, Bams yakin kalau Naya akan mundur setelah mendengar ceritanya. Inilah alasan kenapa Bams tidak pernah mau dekat dengan wanita, dia takut jika ditolak karena masa lalu dan asal usulnya yang buruk.“Sudah tahu aku hasil anak apa, hidup dan besar di mana, lalu bagaimana kejamnya aku, kan? Jika mau mundur, mundur saja.” Bams tersenyum getir lalu memalingkan muka dari Naya.Naya melihat tatapan kecewa dari mata Bams. Ya, meski dia syok, tetapi bukan berarti dia akan langsung menilai Bams buruk juga. Mungkin Naya hanya butuh memikirkan dengan matang, mempertimbangkan dengan pemikiran dingin, lalu melihat kebaikan Bams yang sekarang. Bukankah begitu?“Tidak apa, aku terima.” Bams mengusap kedua pahanya, lalu berdiri untuk kembali ke kamar. Lagi pula, untuk apa menunggu, dia sudah tahu jawabannya.Naya terkejut Bams mau pergi. Dia langsung menahan pergelangan tangan Bams.“Dih, kenapa main pergi saja?” tanya Naya seraya menatap pada Bams
Sembilan tahun lalu. “Dasar jalang sialan. Kamu bilang mau memberiku perawan, ternyata mana?” Seorang pria berbadan besar menampar wanita paruh baya hingga tersungkur di lantai. “Ta-tapi dia bilang kalau belum pernah melakukannya.” Wanita itu mencoba menjelaskan, tetapi tamparan kembali dilayangkan secara bertubi-tubi. “Sialan! Kamu hanya mencoba menipuku! Kembalikan uangku!” perintah pria itu seraya menjambak rambut wanita paruh baya itu. Saat itu, Bams yang berumur dua puluhan tahun, melihat wanita tadi dianiaya. Dia melempar barang belanjaan yang dibawanya, lantas menghampiri untuk menolong wanita yang tak lain ibunya. “Berhenti memukuli ibuku!” teriak Bams seraya menghalau tangan pria tadi memukul sang ibu. Pria itu geram karena ada yang menahannya. Dia menghempaskan tubuh Bams hingga tersungkur di lantai. “Tidak usah ikut campur, kecuali kamu mau mengganti uangku. Atau, kamu mau jadi gigolo lalu uangnya untuk mengganti uang yang sudah wanita ini ambil!” Pria itu tersenyum