Daniel keluar dari rumah lalu masuk ke salah satu mobil Aksa. Dia segera mengemudikan mobil menuju alamat yang Anya berikan.Daniel mencoba menghubungi Aksa, tetapi kakak iparnya itu tidak menjawab, membuat Daniel memilih segera pergi ke apartemen Jia.Saat sampai di apartemen itu. Daniel segera naik ke lantai atas tempat unit Jia berada, tetapi saat baru saja keluar dari lift, Daniel melihat du pria berjaga di depan pintu unit apartemen Jia.'Suaminya benar-benar menjadikan Jia dan Anya tahanan,' batin Daniel geram, apalagi tadi dia melihat sendiri bagaimana Jia diperlakukan kasar.Daniel berjalan perlahan dengan waspada menuju unit apartemen Jia, saat itu dia melihat dua pria yang berjaga di depan menoleh ke arahnya."Mau apa kamu ke sini?" Salah satu pria mengenali Daniel. Pria itu yang sebelumnya menghajar Daniel.Daniel berhenti melangkah, lalu menatap pada dua pria itu."Kamu sepertinya mau mencari gara-gara," ucap pria itu seraya bersiap ingin menghajar Daniel.Daniel terlihat
Daniel terkejut karena penolakan Jia, tetapi dia mencoba memahami ketakutan Jia karena tadi mendengar ancaman Edwin."Tidak apa-apa, kita pergi dulu dari sini, akan kupastikan ayahmu juga baik-baik saja. Kakak iparku bukan orang sembarangan, aku yakin dia akan membantumu, apalagi dia dan kakakku bilang kalau mengenalimu." Daniel mencoba membujuk.“Aku tidak bisa membiarkan siapa pun lagi terluka karena aku. Pergilah,” ucap Jia tak ingin Daniel celaka karena membantunya.Daniel menghembuskan napas kasar. Dia lantas menggenggam tangan Jia.“Percayalah padaku. Aku akan membantumu dan membebaskan papamu. Sekarang yang terpenting kamu dan Anya aman dulu, jangan sampai pria itu memukulimu lagi,” ujar Daniel tidak punya pilihan selain memaksa Jia.Anya ikut menggandeng tangan Jia. Tatapan matanya memperlihatkan harapan dan ketakutan yang bercampur jadi satu."Ayo pergi, Mama. Papa jahat, Mama jangan di sini," ucap Anya.Jia bingung. Jika Edwin tahu kalau dirinya pergi, pria itu pasti akan me
Jia terus menggenggam telapak tangan Anya selama perjalanan meninggalkan apartemennya. Dia tidak tahu ke mana Daniel akan membawanya, Jia pasrah karena tidak punya pilihan.“Kakak dan kakak iparku baik, jadi kamu jangan takut atau cemas,” ucap Daniel seraya melirik pada kaca spion tengah untuk melihat bayangan Jia dan Anya.“Aku hanya tidak mau merepotkan dan membuat masalah untuk kalian,” ucap Jia masih cemas.“Tenang saja, kakak iparku lebih berkuasa dari yang kamu kira. Semua akan baik-baik saja, itu yang harus kamu yakini sekarang,” ujar Daniel.Jia diam. Dia menatap pada Anya yang duduk merapat padanya. Jika bukan demi Anya, Jia tidak akan mengambil resiko ini. Dia pun berharap semoga apa yang dikatakan Daniel benar atau dia dan ayahnya akan benar-benar mati.Jia memperhatikan jalanan yang mereka lewati. Jia mengerutkan alis, sepertinya dia kenal jalanan itu dan siapa orang yang memiliki rumah di kawasan elite itu. Mungkin bisa saja kebetulan satu komplek, kan?“Kakak iparmu past
Aksa, Alina, Jia, dan Daniel duduk bersama. Aksa melihat wajah Jia yang memiliki beberapa lebam di pipi hingga rahang, membuat Aksa sampai menghela napas kasar.“Kenapa kamu tidak meminta bantuan orang lain? Setidaknya lapor ke polisi agar kamu dan papamu mendapat perlindungan,” ujar Aksa.Jia diam dengan tatapan menunduk. Ada sebuah beban dari sorot matanya yang tampak lelah.“Bu Jia, ceritakan saja apa yang terjadi. Kami pasti akan membantu,” ucap Alina seraya menggenggam telapak tangan Jia. Dia hanya ingin memberi kekuatan pada wanita itu serta memperlihatkan jika Jia tidak sendiri.Jia menatap pada Alina, tampak begitu jelas ketakutan dan kecemasan yang sedang dirasakannya saat ini.“Aku pernah mencoba meminta tolong ke temanku. Tapi hasilnya, Edwin menyuruh orang menghajarnya, bahkan sampai masuk rumah sakit dan sampai mengancam akan menghancurkan bisnis temanku jika masih mencampuri urusan kami. Dan, itu yang sebenarnya kutakutkan selama ini, sehingga aku memilih diam. Apalagi P
Arlo memperhatikan Anya yang terus diam. Dia mendekat lalu duduk di samping Anya yang sendirian karena para orang tua sedang bicara.“Kamu siapa?” tanya Arlo seraya menatap Anya.Anya menoleh pada Arlo, lalu menjawab, “Anya.”“Oh, aku Alo,” balas Arlo.“Alo?” tanya Anya memastikan.“Bukan Alo, tapi Alo.” Arlo yang kesulitan menyebut huruf ‘R’ jadi pelafalan kata yang dia maksud terdengar sama saja.“Iya, Alo ‘kan?” tanya Anya memastikan.“Bukan itu.” Arlo mendadak kesal karena Anya salah menyebut namanya.Anya bingung sampai menggaruk kepala tidak gatal.“Namanya Alo, bukan Alo.” Arlo kembali mengulang namanya.Anya semakin bingung, lalu mencoba menebak.“Anlo?”“Bukan.”“Aslo?”“Bukan.”Anya menggaruk kepala lagi, semakin bingung.“Namanya Arlo.” Naya muncul di sana menghampiri dua anak kecil itu.“Oh, Arlo.” Anya mengangguk-anguk akhirnya mengerti.“Iya, Alo. Masa gitu aja tidak bisa,” balas Arlo yang hampir kesal karena baginya Anya salah menyebut namanya.Naya menahan tawa melihat
Edwin berada di rumah selingkuhannya malam itu. Dia memang lebih banyak menghabiskan waktu bersama mantan yang kembali padanya setelah mereka berpisah enam tahun lalu karena Edwin dijodohkan dengan Jia. Mereka kembali menjalin asmara setelah bertemu lagi dua tahun lalu.“Apa kamu benar-benar tidak akan menceraikan wanita itu?” tanya Sonia seraya memberikan segelas wine pada pria itu.Edwin tak langsung menjawab pertanyaan Sonia, tetapi memilih menenggak lebih dulu minumannya.“Jika aku menceraikan Jia, maka aku akan kehilangan semua warisan keluargaku,” jawab Edwin seraya menatap Sonia yang masih berdiri di depannya. Dia kemudian menarik tangan Sonia, meminta wanita itu duduk di pangkuannya.Sonia memasang wajah masam. Dia akan jadi simpanan selamanya jika Edwin tidak menceraikan Jia.“Apa sebenarnya kamu tidak mau melepasnya? Kamu tahu, aku tidak mau terus menerus menjadi simpanan seperti ini, aku merasa seperti wanita murahan,” ucap Sonia dengan nada suara manja.“Menceraikannya ber
Di rumah sakit. Seorang dokter berjalan bersama perawat menuju ruang inap ayah Jia. Security tidak mencegah karena dokter itu sudah biasa datang untuk mengecek kondisi ayah Jia.“Kenapa membawa kursi roda?” tanya orang suruhan Edwin yang berjaga di depan ruang inap.“Kami akan melakukan pemeriksaan di laboratorium,” jawab dokter.Dua pria itu saling tatap, lalu salah satunya menghubungi Edwin.Dokter dan perawat menunggu, mereka melihat orang suruhan Edwin menggeleng.“Ya sudah, kami akan kawal,” kata pria itu karena tak berhasil meneghubungi Edwin.Dokter itu mengangguk. Dia dan perawat lantas masuk ruang inap dikawal dua pria tadi, mereka memindah ayah Jia ke kursi roda.“Kita akan melakukan pemeriksaan. Anda duduk dengan tenang, Pak,” ucap dokter.Ayah Jia hanya mengangguk.Perawat mendorong kursi roda meninggalkan kamar inap lalu mereka masuk lift.Dokter dan perawat itu terus dikawal orang suruhan Edwin, ketika mereka sampai di koridor menuju laboratorium, tiba-tiba dari belakang
Alina mengetuk pintu kamar Jia sebelum masuk. Dia melihat Jia yang langsung bangun saat melihatnya masuk.“Apa sudah ada kabar?” tanya Jia.“Sudah, tapi kami tidak bisa membawa ayahmu ke sini karena banyak pertimbangan. Jadi, kita akan menyusul ayahmu.”Bola mata Jia berbinar. Di mana pun, asal bisa melihat ayahnya bebas dari Edwin, Jia akan bersyukur.“Ayo!” ajak Alina.Jia mengangguk. Dia menggendong Anya, lalu berjalan bersama Alina menuju pintu keluar.Saat sampai di depan rumah, Jia terkejut karena melihat banyak orang di sana.“Mereka akan mengawal kita, tapi agar tidak terlalu mencolok, mereka akan berpencar dan mengambil jarak aman untuk mengawal,” ujar Alina menjelaskan.Jia mengangguk. Dia akan mengikuti apa pun yang dikatakan Alina.Aksa juga ternyata ikut. Dia akan semobil dengan Jia dan Alina menuju tempat Daniel membawa ayah Jia.Mobil pertama lebih dulu berjalan, baru kemudian mobil Aksa lalu diikuti mobil lain tetapi dengan mengambil jarak aman agar tidak terlihat sepe
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.