Jia terus menggenggam telapak tangan Anya selama perjalanan meninggalkan apartemennya. Dia tidak tahu ke mana Daniel akan membawanya, Jia pasrah karena tidak punya pilihan.“Kakak dan kakak iparku baik, jadi kamu jangan takut atau cemas,” ucap Daniel seraya melirik pada kaca spion tengah untuk melihat bayangan Jia dan Anya.“Aku hanya tidak mau merepotkan dan membuat masalah untuk kalian,” ucap Jia masih cemas.“Tenang saja, kakak iparku lebih berkuasa dari yang kamu kira. Semua akan baik-baik saja, itu yang harus kamu yakini sekarang,” ujar Daniel.Jia diam. Dia menatap pada Anya yang duduk merapat padanya. Jika bukan demi Anya, Jia tidak akan mengambil resiko ini. Dia pun berharap semoga apa yang dikatakan Daniel benar atau dia dan ayahnya akan benar-benar mati.Jia memperhatikan jalanan yang mereka lewati. Jia mengerutkan alis, sepertinya dia kenal jalanan itu dan siapa orang yang memiliki rumah di kawasan elite itu. Mungkin bisa saja kebetulan satu komplek, kan?“Kakak iparmu past
Aksa, Alina, Jia, dan Daniel duduk bersama. Aksa melihat wajah Jia yang memiliki beberapa lebam di pipi hingga rahang, membuat Aksa sampai menghela napas kasar.“Kenapa kamu tidak meminta bantuan orang lain? Setidaknya lapor ke polisi agar kamu dan papamu mendapat perlindungan,” ujar Aksa.Jia diam dengan tatapan menunduk. Ada sebuah beban dari sorot matanya yang tampak lelah.“Bu Jia, ceritakan saja apa yang terjadi. Kami pasti akan membantu,” ucap Alina seraya menggenggam telapak tangan Jia. Dia hanya ingin memberi kekuatan pada wanita itu serta memperlihatkan jika Jia tidak sendiri.Jia menatap pada Alina, tampak begitu jelas ketakutan dan kecemasan yang sedang dirasakannya saat ini.“Aku pernah mencoba meminta tolong ke temanku. Tapi hasilnya, Edwin menyuruh orang menghajarnya, bahkan sampai masuk rumah sakit dan sampai mengancam akan menghancurkan bisnis temanku jika masih mencampuri urusan kami. Dan, itu yang sebenarnya kutakutkan selama ini, sehingga aku memilih diam. Apalagi P
Arlo memperhatikan Anya yang terus diam. Dia mendekat lalu duduk di samping Anya yang sendirian karena para orang tua sedang bicara.“Kamu siapa?” tanya Arlo seraya menatap Anya.Anya menoleh pada Arlo, lalu menjawab, “Anya.”“Oh, aku Alo,” balas Arlo.“Alo?” tanya Anya memastikan.“Bukan Alo, tapi Alo.” Arlo yang kesulitan menyebut huruf ‘R’ jadi pelafalan kata yang dia maksud terdengar sama saja.“Iya, Alo ‘kan?” tanya Anya memastikan.“Bukan itu.” Arlo mendadak kesal karena Anya salah menyebut namanya.Anya bingung sampai menggaruk kepala tidak gatal.“Namanya Alo, bukan Alo.” Arlo kembali mengulang namanya.Anya semakin bingung, lalu mencoba menebak.“Anlo?”“Bukan.”“Aslo?”“Bukan.”Anya menggaruk kepala lagi, semakin bingung.“Namanya Arlo.” Naya muncul di sana menghampiri dua anak kecil itu.“Oh, Arlo.” Anya mengangguk-anguk akhirnya mengerti.“Iya, Alo. Masa gitu aja tidak bisa,” balas Arlo yang hampir kesal karena baginya Anya salah menyebut namanya.Naya menahan tawa melihat
Edwin berada di rumah selingkuhannya malam itu. Dia memang lebih banyak menghabiskan waktu bersama mantan yang kembali padanya setelah mereka berpisah enam tahun lalu karena Edwin dijodohkan dengan Jia. Mereka kembali menjalin asmara setelah bertemu lagi dua tahun lalu.“Apa kamu benar-benar tidak akan menceraikan wanita itu?” tanya Sonia seraya memberikan segelas wine pada pria itu.Edwin tak langsung menjawab pertanyaan Sonia, tetapi memilih menenggak lebih dulu minumannya.“Jika aku menceraikan Jia, maka aku akan kehilangan semua warisan keluargaku,” jawab Edwin seraya menatap Sonia yang masih berdiri di depannya. Dia kemudian menarik tangan Sonia, meminta wanita itu duduk di pangkuannya.Sonia memasang wajah masam. Dia akan jadi simpanan selamanya jika Edwin tidak menceraikan Jia.“Apa sebenarnya kamu tidak mau melepasnya? Kamu tahu, aku tidak mau terus menerus menjadi simpanan seperti ini, aku merasa seperti wanita murahan,” ucap Sonia dengan nada suara manja.“Menceraikannya ber
Di rumah sakit. Seorang dokter berjalan bersama perawat menuju ruang inap ayah Jia. Security tidak mencegah karena dokter itu sudah biasa datang untuk mengecek kondisi ayah Jia.“Kenapa membawa kursi roda?” tanya orang suruhan Edwin yang berjaga di depan ruang inap.“Kami akan melakukan pemeriksaan di laboratorium,” jawab dokter.Dua pria itu saling tatap, lalu salah satunya menghubungi Edwin.Dokter dan perawat menunggu, mereka melihat orang suruhan Edwin menggeleng.“Ya sudah, kami akan kawal,” kata pria itu karena tak berhasil meneghubungi Edwin.Dokter itu mengangguk. Dia dan perawat lantas masuk ruang inap dikawal dua pria tadi, mereka memindah ayah Jia ke kursi roda.“Kita akan melakukan pemeriksaan. Anda duduk dengan tenang, Pak,” ucap dokter.Ayah Jia hanya mengangguk.Perawat mendorong kursi roda meninggalkan kamar inap lalu mereka masuk lift.Dokter dan perawat itu terus dikawal orang suruhan Edwin, ketika mereka sampai di koridor menuju laboratorium, tiba-tiba dari belakang
Alina mengetuk pintu kamar Jia sebelum masuk. Dia melihat Jia yang langsung bangun saat melihatnya masuk.“Apa sudah ada kabar?” tanya Jia.“Sudah, tapi kami tidak bisa membawa ayahmu ke sini karena banyak pertimbangan. Jadi, kita akan menyusul ayahmu.”Bola mata Jia berbinar. Di mana pun, asal bisa melihat ayahnya bebas dari Edwin, Jia akan bersyukur.“Ayo!” ajak Alina.Jia mengangguk. Dia menggendong Anya, lalu berjalan bersama Alina menuju pintu keluar.Saat sampai di depan rumah, Jia terkejut karena melihat banyak orang di sana.“Mereka akan mengawal kita, tapi agar tidak terlalu mencolok, mereka akan berpencar dan mengambil jarak aman untuk mengawal,” ujar Alina menjelaskan.Jia mengangguk. Dia akan mengikuti apa pun yang dikatakan Alina.Aksa juga ternyata ikut. Dia akan semobil dengan Jia dan Alina menuju tempat Daniel membawa ayah Jia.Mobil pertama lebih dulu berjalan, baru kemudian mobil Aksa lalu diikuti mobil lain tetapi dengan mengambil jarak aman agar tidak terlihat sepe
Daniel membawa ayah Jia ke rumah lamanya. Di sana akan lebih aman karena banyak tetangga yang mengenal dan dekat dengan Daniel sehingga warga di sana siap membantu pria itu.Bahkan Daniel sudah secara khusus meminta tolong pada tetangga-tetangganya untuk merahasiakan apa yang dilakukannya dengan bayaran anak-anak mereka akan mudah mendapat pekerjaan nantinya. Imbalan yang menggiurkan.Mobil yang membawa ayah Jia memasuki garasi mobil yang ada di samping rumah, ada perawat dan penjaga lain yang sudah menunggu untuk membantu membawa ayah Jia masuk rumah.“Hati-hati,” ucap Daniel saat orang suruhan Aksa hendak mengangkat tubuh ayah Jia.Mereka melakukan dengan perlahan, menggotong tubuh pria itu bersama masuk rumah menuju kamar yang sudah disiapkan lengkap dengan alat kesehatan yang dibutuhkan.Restu ternyata ada di sana. Dia sendiri bingung, apa sebenarnya yang sedang dilakukan oleh dua keponakannya ini, kenapa malah seperti penjahat yang sedang menculik orang.“Apa ini setimpal?” tanya
Edwin berada di apartemen yang sebelumnya ditempati Jia. Di sana Edwin menemui orang-orang suruhannya yang diminta mencari informasi tentang Jia.Edwin duduk di sofa seraya menatap anak buahnya yang memberikan tablet pintar ke pria itu.“Namanya Daniel Mahardika, dia seorang manager sebuah perusahaan ekspor makanan beku. Hanya pria dari kalangan biasa,” ujar anak buah Edwin yang ternyata mendapat informasi lama Daniel.“Hanya manager.” Edwin tersenyum mencibir.“Tapi, dia juga ipar dari Aksa Radjasa, kakaknya meninggal tiga tahun lalu,” ujar anak buah Edwin lagi.“Mantan?” Edwin menegaskan karena jika kakak Daniel sudah meninggal, berarti sudah tidak ada hubungan dengan Aksa lagi.“Pria seperti ini berani melawanku? Kuakui nyalinya besar, dia pasti tidak takut mati,” ujar Edwin seraya meletakkan tablet pintar ke meja.Anak buah Edwin hanya diam menunduk.“Kalau begitu pantau rumahnya juga rumah Aksa Radjasa. Selidiki, apakah Jia ada di sana atau tidak. Aku yakin Jia masih ada di kota
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.
Jia dan Daniel saling pandang, sampai akhirnya Jia tersenyum lalu mengambil cangkir kopi untuk Daniel dan memberikan pada pria itu.“Minumlah,” ucap Jia.Daniel mengangguk. Dia menyesap kopi buatan Jia.Jia menatap pada Daniel yang sedang minum, hingga terbesit pertanyaan yang membuatnya penasaran.“Dan, kita sudah menjadi suami-istri, apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Jia.Daniel baru saja selesai minum. Dia menatap pada Jia, lalu meletakkan cangkir di meja.“Tanya saja,” jawab Daniel.“Jangan tersinggung, ya. Aku hanya mau tanya tanpa bermaksud apa-apa,” ujar Jia.Daniel mengangguk-angguk.“Apa penyebab kamu mandul?” tanya Jia dengan sangat hati-hati.Daniel terkejut mendengar pertanyaan Jia, tetapi dia sudah berjanji untuk menjawab.“Itu karena sperma yang dihasilkan tidak bagus, bahkan terlalu sedikit,” jawab Daniel dengan senyum getir di wajah.Jia melihat Daniel yang malu, mungkin karena jawaban itu sangat pribadi untuk Daniel. Namun, mereka sudah suami istri, sudah sewajar
Acara pernikahan Jia dan Daniel diadakan sederhana bersama keluarga. “Mama, dedeknya kok belum bisa main baleng? Kan sudah besal ini?” tanya Arlo seraya menunjuk pada anak Kaira.Alina dan Kaira menoleh bersamaan mendengar suara aduan Arlo. Mereka memandang pada anak Kaira yang ada di stroller.“Dek Disya belum bisa kalau lari-lari, terus sekarang Dek Disya ngantuk. Tuh lagi minum susu,” ujar Kaira menjelaskan karena putrinya anteng seraya minum susu dari dot.“Ah, nggak asyik. Padahal Alo mau main sama dedek. Nanti kalau dedeknya Alo kelual, pokoknya halus main, nggak boleh bobok.” Setelah mengatakan itu, Arlo berlari menyusul Anya yang sedang bermain ayunan.Alina dan Kaira sampai terkejut bersamaan, dua wanita itu sampai menggeleng pelan dengan tingkah Arlo.“Lama-lama sifat anak itu seperti ayahnya. Kalau menginginkan sesuatu, harus didapat. Keras kepala dan susah sekali diaturnya,” ucap Kaira.“Nunggu punya pawang,” balas Alina.“Dih, sekecil itu. Kayaknya kamu harus ekstra saba
Saat malam hari. Arlo berada di kamar bersama Alina dan Aksa. Alina memang selalu berusaha menemani Arlo sebelum tidur, agar putranya tidak merasa kesepian atau terabaikan.“Ini dedeknya?” tanya Arlo saat melihat foto USG yang Alina berikan.“Iya,” jawab Alina.“Kok kecil sekali?” tanya Arlo seraya mengamati foto USG itu.Aksa dan Alina menahan senyum.“Iya, kan masih di dalam perut. Kalau nanti sudah keluar, dedeknya bisa besar kayak Arlo,” jawab Alina menjelaskan.Arlo mengangguk-angguk. Lalu tangan mungilnya menyentuh perut Alina.“Dedek cepat keluar, ya. Biar bisa main sama Alo.” Setelah mengatakan itu, Arlo mencium perut Alina.Alina dan Aksa saling pandang dengan seulas senyum di wajah. Mereka bersyukur karena Arlo menerima kehamilan itu dan tidak iri sama sekali.“Sekarang tidur, ya.” Alina menarik selimut. Dia dan Aksa mau berbaring di samping Arlo.“Alo mau bobok sendili,” ucap Arlo.Alina terkejut, tetapi menjelaskan, “Iya, nanti bobok sendiri. Sekarang biarkan mama dan Papa
Aksa mengantar Alina ke rumah sakit. Dia memang meluangkan waktu menemani Alina memeriksakan kandungan karena tak mau melewatkan momen melihat tumbuh kembang calon bayi mereka.“Janinnya tumbuh sangat baik. Berat dan ukurannya sangat pas dengan usianya, jenis kelaminnya--” Dokter ingin menyebutkan jenis kelamin janin Alina, tetapi langsung dicegah.“Jangan sebutkan, Dok. Biar menjadi kejutan,” potong Alina.“Padahal aku mau tahu, Al.” Aksa sudah semangat menunggu, tetapi Alina malah menolak.“Tidak usah, pokoknya biar kejutan,” kekeh Alina.Aksa melirik pada dokter yang tersenyum.“Baiklah, saya tidak akan menyebutkan jenis kelaminnya,” ujar dokter itu.Aksa menatap kecewa pada Alina, padahal dia sudah sangat antusias.Alina hanya menahan senyum melihat suaminya kecewa.“Ingat ya, Bu Alina. Makan apa pun yang Anda mau, tidak usah memantang apa pun, selama yang dimakan bagus untuk pertumbuhan janin. Mungkin makanan kemasan, beralkohol, dan fast food saja yang saya larang,” ujar dokter p
Aksa mengusap perut Alina yang lumayan besar. Seperti sudah menjadi rutinitasnya setiap malam harus menyentuh perut sang istri sebelum dia beristirahat.“Jam berapa ini? Kamu baru mau tidur?” Alina terbangun karena sentuhan Aksa.Alina sudah tidur lebih dulu karena Aksa berkata ingin menyelesaikan pekerjaan.“Tidurlah lagi, maaf kalau mengganggumu,” ucap Aksa lalu membetulkan selimut untuk menutupi tubuh Alina.Alina merangsek ke pelukan saat Aksa sudah berbaring. Dia memeluk suaminya meski sekarang terhalang perut yang agak besar.“Jangan terlalu capek bekerja, Aksa. Aku tidak mau punya suami dengan tampang tua, mata cekung karena kebanyakan begadang, padahal anak-anaknya masih kecil,” seloroh Alina seraya memejamkan mata.Aksa menahan tawa. Ada saja ucapan istrinya ini yang mampu membuat semua rasa lelah dan beban pikirannya hilang.“Tenang saja, aku akan perawatan melebihimu kalau sampai terlihat tua,” balas Aksa seraya memeluk Alina, tak lupa kecupan hangat juga didaratkan di keni