Setelah kejadian malam itu. Akhirnya Dani pulang dari luar kota dan sangat senang saat sampai rumah.Ketika baru saja masuk rumah, Karin langsung menyambutnya dengan senyum merekah. Dia harus terlihat biasa saja meski pikirannya masih ketakutan karena ketahuan berselingkuh. Dia melihat Dani yang bersikap biasa, membuatnya berpikir mungkin Alina tidak berani mengadu.“Bagaimana acaranya?” tanya Karin sambil merangkul leher Dani dengan manja.Dani memulas senyum sambil memegangi pinggang Karin.“Semua berjalan dengan lancar,” jawab Dani, “harusnya kamu ikut, di sana ada pesta kembang api juga,” ujar Dani menceritakan keseruan di acara perusahaan.“Benarkah? Sayang sekali, harusnya aku ikut,” balas Karin terlihat menyesal lalu bersikap biasa seolah tak terjadi apa-apa.“Oh ya, malam ini Kak Alina dan Kak Aksa mau datang makan malam. Aku sudah memesan makanan buat nanti, jadi kamu tidak usah repot-repot membuat sesuatu untuk mereka,” ucap Dani memberitahu rencana makan malamnya dengan Alin
Dani sangat terkejut ketika mendengar sesuatu terjatuh, apalagi dia mendengar teriakan Karin yang membuat Dani langsung masuk dapur. Dani terkesiap melihat Karin terduduk di lantai sambil memegangi lengan dan menangis.“Karin.” Dani langsung mendekat.Alina masih belum bisa menelaah apa yang terjadi, tiba-tiba kembali dikejutkan dengan kedatangan Dani. Dia memandang sang adik yang kini sedang membantu Karin berdiri.“Ada apa ini?” tanya Dani.“Aku tahu kalau salah karena tidak sopan sama Kak Alina, tapi apa Kak Alina harus mendorongku seperti ini?” Karin mengadu tak sesuai fakta. Dia memasang wajah memelas dengan air mata palsunya.Alina sangat terkejut. Bisa-bisanya Karin menuduhnya seperti itu.“Aku tidak melakukannya,” ucap Alina membela diri.“Aku salah, Kak. Aku minta maaf,” ucap Karin memelas seolah dirinya yang paling teraniaya.Dani diam mendengar pembelaan Alina dan rengekan Karin. Dia melihat Karin yang menangis sambil memeluk lengannya. Alina sampai menggeleng, kenapa Karin
Di rumah Dani. Dia hanya duduk diam sambil sesekali menghela napas kasar.Karin menatap Dani yang sedang menahan emosi. Dia duduk di samping Dani, lalu menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Maaf karena sudah membuat makan malam ini kacau. Aku benar-benar nggak tahu, kenapa Kak Alina seperti itu kepadaku. Apa mungkin Kak Alina sedang ada masalah, karena itu dia jadi sensitif,” ucap Karin masih memperlihatkan kesedihan pada Dani.Dani menoleh pada Karin, lalu bertanya, “Apa benar kalau Kak Alina yang mendorongmu? Kamu tahu, itu tidak seperti Kak Alina!”Karin terkejut mendengar pertanyaan Dani, lalu terlihat tak senang.“Kamu nggak percaya padaku?” tanya Karin langsung marah.“Aku hanya tanya, kenapa kamu marah?” tanya balik Dani.Karin gelagapan, lalu menjawab, “Ya, gimana aku nggak marah? Kamu seperti lebih percaya pada Kak Alina ketimbang aku. Untuk apa juga aku bohong? Kak Alina benar-benar mendorongku.”Dani diam menatap datar pada Karin. Dia kemudian berdiri hingga membuat Kari
Alina pergi ke butik di hari berikutnya. Hari itu butiknya lumayan ramai yang datang dan itu membuat Alina sangat lega.“Selamat datang.” Alina menyapa seorang pelanggan lama yang datang ke butiknya.“Apa kamu punya desain baru? Aku mau ada acara kondangan dan butuh baju yang kelihatan beda,” kata pelanggan itu.Alina tersenyum lalu menunjukkan koleksi baju di butiknya.Pelanggan itu memilih dan Alina berdiri di dekat wanita itu.“Oh ya, waktu itu aku lihat videomu yang viral itu. Tapi aku nggak percaya, kamu itu baik masa seperti itu,” ucap pelanggan itu.Alina tersenyum canggung. Jadi benar, sepertinya pembelinya sempat tidak pernah datang karena kasus itu.“Itu hanya salah paham dan sudah diselesaikan,” balas Alina ramah merasa perlu menanggapi agar sopan.Pelanggan itu menoleh pada Alina, lalu kembali bicara. “Iya, aku juga percaya kamu. Apalagi ada kok akun yang klarifikasi soal kasus itu. Intinya sih minta maaf sudah nyebar video tanpa izin dan ternyata itu fitnah. Terus ada fot
Dani baru saja sampai di rumah. Saat dia baru masuk, Dani tidak melihat Karin di ruang tengah seperti biasanya. Dani pergi ke kamar untuk mencari Karin, hingga dia mendengar suara dari kamar mandi.Dani berjalan pelan, suaranya semakin jelas seperti mual dan tidak bisa muntah. Tentu saja Dani tahu suara milik siapa itu. Dia membuka sedikit pintu kamar mandi yang tidak tertutup dan melihat Karin berjongkok di depan closet sambil berusaha muntah.Dani tiba-tiba diam. Bahkan sama sekali tidak bereaksi melihat Karin seperti orang sakit.Karin tidak sadar kalau Dani sudah pulang. Dia baru selesai muntah dan menyiram kloset, saat berjalan menuju pintu kamar mandi, Karin terkejut melihat Dani berdiri di depan pintu.“Kamu baru pulang? Kenapa tidak ada suara manggil sama sekali?” tanya Karin lalu bersikap biasa, bahkan masih bisa tersenyum.“Aku baru saja datang,” ucap Dani bersikap biasa, seolah tak melihat apa yang terjadi pada Karin.Karin mengangguk-angguk.“Apa kamu sakit?” tanya Dani tet
Alina turun dari bus sambil tersenyum. Dia memandang rantang yang dibawanya lalu berjalan menuju perusahaan Dani dan membawakan makan siang untuk adiknya itu. Dia merasa perlu memberikan dukungan ke sang adik, sebelum Alina benar-benar memberitahukan tentang Karina.Alina sudah sampai di lobby, berdiri di sana menunggu Dani keluar menemuinya.“Kak.” Dani terkejut Alina berkata ada di perusahaannya, tetapi dia juga senang bisa melihat sang kakak di sana.Alina melebarkan senyum melihat Dani. Dia memperlihatkan rantang yang dibawa.“Aku membawakan makan siang buatmu, mau makan bersama?”Dani mengangguk senang.Mereka makan bersama di kantin perusahaan. Dani makan dengan lahap sehingga membuat Alina begitu senang.“Kamu sangat kangen masakanku, ya?” tanya Alina sambil terus memandang Dani makan.Dani mengangguk dan terus menyantap makanan buatan kakaknya itu.“Kalau senggang, mainlah ke apartemenku, nanti aku masak makanan yang lebih banyak agar kamu kenyang,” ucap Alina penuh perhatian.
Saat sore hari. Alina pulang membawa beberapa barang belanjaan kebutuhan dapur. Saat akan menuju lobby, kantong belanja Alina jebol sehingga beberapa barangnya jatuh.“Kok bisa jebol?” Alina sangat terkejut. Dia langsung berjongkok untuk memungut barang belanjaan yang jatuh.Namun, tiba-tiba ada yang membantunya memungut belanjaannya, membuat Alina mengangkat pandangan dan terkejut melihat siapa yang sekarang berjongkok di dekatnya.“Biar aku bantu,” ucap Bima.“Tidak usah!” tolak Alina lalu berusaha memungut semuanya sendiri tetapi ternyata kesusahan.Beberapa hari ini Alina lega karena tidak pernah bertemu Bima lagi, tetapi sekarang kenapa harus bertemu dengan pria itu lagi?Bima menatap Alina yang kesusahan membawa belanjaan itu, bahkan mau berdiri saja ada yang jatuh lagi.“Apa kamu sebenci itu padaku, sampai-sampai kamu tidak mau menerima bantuan dariku, padahal kamu kesusahan?” tanya Bima sambil menatap pada Alina.Alina menatap pada Bima. Lalu menjawab, “Iya.”“Aku tidak tahu s
Alina meremas jemarinya. Dia menoleh pada Aksa yang masih menyetir tanpa bicara sepatah kata pun sejak tadi.“Sebenarnya kita mu ke mana?” tanya Alina sekali lagi.Aksa masih diam, tidak menjawab.Alina memasang wajah memelas. Aksa pasti marah karena dia bertemu lagi dengan Bima, kan? Ah, kenapa Aksa selalu saja marah kalau berurusan dengan Bima, apa yang sebenarnya membuat Aksa marah? Alina bingung.“Aku minta maaf. Aku juga tidak tahu kalau bakal ketemu Bi … maksudku manusia itu.” Alina meralat ucapan dengan tak memanggil nama Bima, takut kalau Aksa sensitif lagi.Aksa mencengkram erat setir, lalu membalas, “Bukankah kamu janji mau mentraktirku? Aku mau menagihnya.”Alina mengangguk-angguk meski aneh karena mendadak sekali Aksa tiba-tiba minta ditraktir.Aksa menoleh Alina, lantas berkata, “Ya sudah.”Ya sudah? Ya sudah apa? Ya sudah, diam saja karena tahu jawabannya? Alina benar-benar harus banyak bersabar.Suaminya itu jelas-jelas kesal karena bertemu Bima, tetapi tiba-tiba saja m
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.