Alina meremas jemarinya. Dia menoleh pada Aksa yang masih menyetir tanpa bicara sepatah kata pun sejak tadi.“Sebenarnya kita mu ke mana?” tanya Alina sekali lagi.Aksa masih diam, tidak menjawab.Alina memasang wajah memelas. Aksa pasti marah karena dia bertemu lagi dengan Bima, kan? Ah, kenapa Aksa selalu saja marah kalau berurusan dengan Bima, apa yang sebenarnya membuat Aksa marah? Alina bingung.“Aku minta maaf. Aku juga tidak tahu kalau bakal ketemu Bi … maksudku manusia itu.” Alina meralat ucapan dengan tak memanggil nama Bima, takut kalau Aksa sensitif lagi.Aksa mencengkram erat setir, lalu membalas, “Bukankah kamu janji mau mentraktirku? Aku mau menagihnya.”Alina mengangguk-angguk meski aneh karena mendadak sekali Aksa tiba-tiba minta ditraktir.Aksa menoleh Alina, lantas berkata, “Ya sudah.”Ya sudah? Ya sudah apa? Ya sudah, diam saja karena tahu jawabannya? Alina benar-benar harus banyak bersabar.Suaminya itu jelas-jelas kesal karena bertemu Bima, tetapi tiba-tiba saja m
Alina dan Aksa sudah berada di kamar hotel. Alina masih kesal, kenapa harus menginap di hotel?“Kamu tuh boros sekali,” gerutu Alina, “padahal uang segitu bisa buat yang lain yang lebih manfaat.”Aksa tidak menanggapi. Dia langsung masuk kamar.Alina menghela napas kasar, bingung. Mau apa di sana?Alina memandang dua ranjang di sana. Ini bukan pertama kalinya mereka satu kamar, jadi Alina tidak perlu cemas. Dia hanya duduk di tepian ranjang sambil mengecek ponsel. Setelah beberapa saat. Alina mendengar suara pintu kamar mandi terbuka dan langsung bicara tanpa menoleh Aksa dulu.“Kita tidak membawa pakaian ganti, masa mau tidur pakai baju yang sudah seharian dipakai?” tanya Alina kemudian baru menoleh pada Aksa.Namun, Alina terkejut lalu segera memalingkan muka ketika melihat penampilan Aksa.Aksa hanya memakai bathrobe, rambutnya basah, bahkan kaki panjangnya terlihat kokoh menopang tubuh pria itu.Alina berdeham karena merasa canggung, sekarang otaknya benar-benar tidak bisa digunak
Aksa duduk di salah satu ranjang sambil mengecek ponselnya. Dia keheranan saat melihat Alina keluar dari kamar mandi memakai bathrobe.“Bukankah Kaira membawakanmu pakaian? Kenapa malah pakai itu?” tanya Aksa.“Tidak jadi dipakai,” jawab Alina dengan rona merah di pipi.Bagaimana bisa Alina memakai lingerie seksi hitam yang dibawakan Kaira? Apa penilaian Aksa tentang hal itu? Jangan sampai Aksa berpikir Alina mau menggodanya karena memakai pakaian kurang bahan itu.Aksa hanya menatap heran pada Alina, tetapi dia tidak tanya kenapa.Alina langsung naik kasur, kemudian membungkus tubuhnya memakai selimut.“Tidak makan malam dulu?” tanya Aksa karena Alina malah bersiap tidur.“Tidak, aku kenyang,” jawab Alina yang berbaring memunggungi Aksa.Aksa menaikkan satu sudut alis, tetapi tidak bicara lagi. Dia meletakkan ponsel di nakas, lalu ikut berbaring menatap langit-langit kamar. Namun, beberapa saat kemudian menoleh pada Alina yang masih memunggunginya.“Kamu belum cerita pada Dani soal is
Keesokan paginya. Alina dan Aksa sudah siap pulang. Alina memakai kembali pakaiannya kemarin.“Kita balik apartemen dulu, kan? Tidak mungkin kamu kerja pakai baju itu?” tanya Alina sambil menatap pada Aksa yang baru saja keluar dari kamar mandi.Alina melihat Aksa langsung mengalihkan pandangan darinya, bahkan seperti menghindari tatapan matanya.“Kamu kenapa?” tanya Alina karena sikap Aksa agak aneh.“Apa semalam tidak bisa tidur nyenyak?” tanya Alina lagi sambil berusaha menatap pada mata Aksa.Aksa masih berusaha menghindari tatapan mata Alina lalu menjawab, “Tidak apa-apa.”Aksa terlihat aneh, tetapi biarkan saja, Alina juga tidak mau ambil pusing.Mereka kembali ke apartemen untuk mengganti pakaian, untung saja tidak bertemu Bima atau Aksa akan berulah lagi.Alina mengganti pakaian di kamar mandi, setelah selesai dia keluar dan saat akan berjalan menuju ruang televisi, dia berpapasan dengan Aksa yang baru saja keluar dari kamar.Alina mendekat, lalu melihat ada luka kecil di bibir
Alina sangat terkejut. Tidak menyangka Aksa malah sudah bicara lebih dulu, tetapi Alina juga lega karena Aksa bertindak cepat. “Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang?” tanya Alina masih sambil mengusap punggung Dani. Dani melepas pelukan Alina, lalu menatap sang kakak. Tidak ada rasa malu menangis di hadapan sang kakak, karena Alina satu-satunya rumah baginya. “Aku akan menceraikannya,” jawab Dani setelah agak tenang. Alina cukup terkejut dengan keputusan Dani. “Bukankah kamu bilang dia sedang hamil? Apa bisa?” Meski Alina juga berharap Dani berpisah dari Karin, tetapi tentu saja dia ragu. Alina juga wanita, dia juga memiliki sisi baik dan tidak tega jika berurusan tentang anak. Alina hanya memikirkan nasib anak yang dikandung Karin, bukan ibunya. “Meski dia hamil tapi dia hamil anak selingkuhannya,” jawab Dani dengan tatapan yang sangat meyakinkan. “Bagaimana kamu tahu itu anak selingkuhan Karin? Dan bagaimana kalau ternyata itu anakmu?” tanya Alina lagi. Dani menggeleng.
Alina terkejut melihat siapa yang datang dan berdiri di samping mejanya. Ekspresi wajahnya berubah, meski dia berusaha untuk tetap terlihat biasa.Aksa sendiri menatap datar meski dalam hatinya terkejut saat melihat Karissa di sana. Jangan sampai Karissa membongkar statusnya. Aksa berusaha tenang karena panik hanya akan membuat Alina curiga.“Aku tidak menyangka bisa ketemu Kak Aksa di sini. Akhir-akhir ini Kak Aksa sulit sekali dihubungi,” ucap Karissa saat menyapa Aksa.Karissa melirik Alina, ada senyum mengejek di wajah Karissa.Alina mendadak tidak senang. Ternyata benar jika wanita yang ditemuinya tempo hari adalah Karissa, wanita yang sering menghubungi Aksa juga.Namun, apa masalahnya buat Alina? Bukankah itu hak Aksa, seharusnya dia tidak perlu peduli juga, kan?Alina memandang Aksa yang hanya diam, sepertinya pria itu terkejut tetapi berusaha bersikap biasa. Apa Aksa takut kalau dirinya tahu soal Karissa? Tetapi kenapa harus takut? Misal Aksa memang ada hubungan dengan wanita
“Apa ada yang membandingkan?” tanya Aksa datar saat mendengar apa yang dikatakan Alina. “Tidak ada, tapi aku sadar diri,” balas Alina agak ketus karena sedang kesal. “Lalu, kenapa ambil pusing?” Alina membuang napas dengan mulut, lalu menoleh pada Aksa. “Kamu memang tidak peka dengan perasaan wanita.” Kedua alis Aksa berkerut mendengar ucapan Alina. “Apanya tidak peka?” Alina gemas sampai ingin rasanya meremas Aksa. “Terserahlah, aku capek.” Aksa diam. Kenapa Alina jadi uring-uringan? Dahi Aksa berkerut halus, bukankah sikap Alina sekarang sama seperti dirinya ketika melibat Bima? Apa dia dan Alina sama-sama mengalami tekanan hingga gangguan mental setelah menikah? Bisa saja, kan? Apalagi mereka menikah karena terpaksa. Setelah mengantar Alina ke butik. Aksa kembali ke perusahaan dan langsung masuk ruang kerjanya. Ilham masuk ruangan Aksa membawa berkas yang harus ditandatangani pria itu. “Sepertinya aku dan Alina butuh ke psikiater,” ucap Aksa saat Ilham masuk. Dahi Ilham
“Apa? Aku tidak tahu.” Meski panik, tetapi Karin masih berpura-pura tak paham.“Bagaimana bisa kamu masih mengelak?” Dani benar-benar tak habis pikir.“Aku mengelak apa, sih? Kenapa kamu tiba-tiba ingin menceraikanku? Salahku di mana?” tanya Karin, “aku bahkan sedang hamil anakmu dan belum memberitahu karena aku mau kasih kejutan buatmu di hari ulang tahunmu dua hari lagi. Tapi apa? Kamu malah mengejutkanku dengan ingin menceraikanku? Apa salahku, Dan?” Karin bicara dengan tatapan memelas. Dia menyentuh perutnya yang masih datar.Dani menatap datar.“Kamu benar-benar tidak sadar diri,” ucap Dani.Karin menggeleng pelan.“Kamu pikir aku tidak tahu kalau kamu hamil dan itu bukan anakku!” Dani bicara dengan nada sangat tegas. “Kamu berani berselingkuh dariku dan masih bilang kalau itu anakku? Kamu benar-benar keterlaluan.” Dani tersenyum getir.Karin sangat syok. Dia benar-benar tidak menyangka kalau Dani sudah tahu soal perselingkuhannya. Dia gelagapan semakin panik.“Tapi aku tidak mau
Malam itu Daniel berkumpul dengan Aksa dan Alina di rumah. Mereka berada di ruang keluarga membahas soal Edwin.“Edwin memang ditangguhkan penahanannya, tapi proses hukum tetap berjalan. Pengacaraku juga sudah mengajukan semua berkas laporan dan bukti untuk menjerat pria itu agar mendapatkan hukuman maksimal. Tidak akan kubiarkan dia mendapat hukuman hanya setahun dua tahun,” ujar Aksa.“Ya, pria itu memang layak mendapat hukuman yang berat. Banyak sekali tindak kejahatan yang dilakukannya,” timpal Alina.“Ini juga bagus untuk mempercepat proses perceraian Jia karena kelakuan buruk Edwin semuanya sudah terekspos,” ujar Aksa lagi.Alina mengangguk-angguk. Dia kemudian menoleh pada Daniel yang sejak tadi tak bersuara.“Kamu sedang memikirkan apa?” tanya Alina.Daniel terkejut. Dia baru menyadari kalau kakak dan kakak iparnya kini sedang menatapnya.“Tidak,” jawab Daniel seraya menggeleng pelan.Alina menaikkan kedua sudut alis.“Apanya yang tidak? Aku perhatikan seharian ini kamu banyak
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Akhirnya Jia sudah diperbolehkan pulang. “Papamu sudah menunggu di rumah lama kalian, jadi kami akan mengantarmu ke sana,” ucap Daniel.“Iya, terima kasih,” balas Jia.Akhirnya Jia harus kembali ke rumah keluarganya karena dia tidak mau tinggal di apartemen atau rumah milik Edwin yang penuh dengan kenangan pahit.Alina datang menemani Jia keluar dari rumah sakit sekalian membantu Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.Daniel mengangguk.Alina mendorong kursi roda yang Jia duduki. Mereka pergi menuju pintu depan lobby rumah sakit karena mobil yang akan membawa mereka sudah menunggu di sana.“Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot menjemput,” ucap Jia.“Apanya yang repot? Aku tidak pernah merasa repot,” balas Alina, “kita sudah kenal lama, bahkan dulu kamu membantuku memasarkan desainku, jadi anggap saja kita ini saling melengkapi dan menguntungkan,” imbuh Alina.Mereka sampai di depan lobby. Jia dibantu Alina dan Daniel masuk mobil, lalu
Anya masih berada di rumah sakit bersama Daniel. Dia ingin menemani Jia sebelum dijemput Alina saat sore hari. Anya akan bersama Alina sampai Jia keluar dari rumah sakit.“Mama mau ke mana?” tanya Anya saat melihat Jia bergerak ingin menurunkan kaki.“Ke kamar mandi,” jawab Jia agak kesusahan turun karena tubuhnya yang masih kaku dan tangan masih terpasang selang infus.Anya menoleh pada Daniel yang baru saja menerima telepon.“Paman, Mama mau ke kamar mandi tapi tidak bisa bawa infusnya,” kata Anya.Jia terkejut karena Anya sampai memanggil Daniel. Dia menoleh pada pria itu yang sudah memandangnya.“Aku bisa sendiri, kamu selesaikan saja urusanmu,” kata Jia karena tak enak hati jika terus merepotkan Daniel.Namun, ternyata Daniel tetap mendekat. Dia berjalan menghampiri Jia dan Anya.Jia menatap Anya yang tersenyum lebar. Sungguh dia merasa sangat sungkan karena hampir semua bantuan yang dibutuhkannya, Daniel yang mencukupi.“Kamu bisa jalan?” tanya Daniel memastikan lebih dulu.Jia
Di rumah sakit. Daniel menyiapkan sarapan untuk Jia yang tadi diberikan oleh perawat.“Kamu bisa makan sendiri?” tanya Daniel memastikan karena Jia terlihat masih lemah.Jia tersenyum kecil, lalu menjawab, “Bisa, kamu tenang saja.”Daniel mengangguk pelan. Dia kembali duduk menunggu Jia sarapan, siapa tahu Jia membutuhkan bantuannya.Jia berusaha makan sendiri meski seluruh tubuhnya terasa sakit karena lebam di sekujur tubuh. Dia memasukkan suapan pertama, lalu tatapannya tertuju pada Daniel. Dia melihat pria itu hanya diam menunggunya makan, membuat Jia merasa sedikit sungkan.“Kamu tidak sarapan?” tanya Jia.Sejak kemarin Daniel terus menunggunya di sana, bahkan tak terlihat sekalipun keluar dari kamar itu, kecuali saat kedatangan orang tua Edwin.“Kak Alina bilang akan datang membawakan sarapan, jadi aku akan menunggunya,” ujar Daniel.Jia mengangguk-angguk pelan. Dia agak canggung karena makan sendiri, sedangkan Daniel hanya duduk mengamatinya.“Makanlah dan minum obatmu. Kamu har
Alina menemui Anya yang baru saja selesai mandi dibantu pelayan.“Biar aku saja yang membantunya ganti baju, kamu keluarlah,” kata Alina pada pelayan.Pelayan mengangguk lalu keluar dari kamar itu.Alina memulas senyum pada Anya. Dia mendekat lalu duduk di tepian ranjang dan membantu Anya memakai pakaian.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Alina.Semalam Anya dan Arlo tidur satu kamar atas permintaan Arlo, tetapi disediakan dua ranjang terpisah.Anya mengangguk seraya menatap pada Alina yang sedang memakaikan bajunya.“Kata Arlo, semalam kamu mimpi buruk sampai menangis. Apa benar?” tanya Alina memastikan apakah cerita putranya benar atau tidak.Anya terdiam. Dia menunduk tak menjawab pertanyaan Alina.Alina melihat ekspresi sedih di wajah Anya. Dia tidak bertanya lagi, tetapi memilih segera menyelesaikan membantu Anya memakai baju. Setelah itu dia juga menyisir rambut Anya.“Bagaimana kabar Mama?” tanya Anya.“Mama sudah baik. Hari ini kita ke sana untuk menjenguknya, ya.” Alina bicara ser
Jia menatap Daniel yang sedang merapikan ranjang khusus penunggu. Dia merasa tak enak hati karena sudah merepotkan pria itu.“Kamu bisa tidur di tempat kakakmu. Aku tidak apa-apa tidur di sini sendiri, lagi pula ada perawat yang bisa aku panggil jika butuh sesuatu,” ujar Jia karena tak ingin terus menerus merepotkan Daniel.Daniel menoleh ke arah Jia, lalu dia duduk di tepian ranjang khusus penunggu seraya menatap pada Jia.“Aku sudah berjanji pada Anya untuk menjagamu, jadi aku akan tetap di sini,” ujar Daniel.Jia berbaring seraya menatap pada Daniel.“Kak Alina bilang kalau besok akan membawa Anya ke sini, jadi sekarang istirahatlah. Kamu harus terlihat baik-baik saja agar Anya tidak sedih,” ujar Daniel.Jia hanya mengangguk. Dia tidak memaksa jika memang Daniel tetap mau tinggal, meski sebenarnya Jia canggung berada di satu ruangan berdua dengan pria, terlebih dia dan Daniel tidak ada hubungan apa pun.“Selamat malam,” ucap Daniel lalu naik ke atas ranjang. Dia membaringkan tubuhn
Di rumah sakit. Daniel masih menemani Jia yang terbaring lemah. Dokter mengatakan jika tidak ada kerusakan fatal di organ dalam, sehingga Jia hanya butuh perawatan biasa sampai kondisinya benar-benar pulih.“Kamu membutuhkan sesuatu?” tanya Daniel.Jia menggeleng.Daniel sabar menemani Jia karena kondisi Jia yang masih lemas. Terdengar suara ketukan pintu kamar. Daniel menoleh dan melihat pintu kamar terbuka. Kedua orang tua Edwin ternyata datang untuk melihat kondisi Jia.Daniel segera berdiri lalu sedikit membungkuk ke arah mertua Jia, sedangkan Jia masih terbaring lemah dan hanya bisa menatap dua orang itu.“Saya keluar dulu,” ucap Daniel agar Jia dan kedua orang tua Edwin bisa bicara.Kedua orang tua Edwin mengangguk. Mereka tak menyangka jika Daniel sangat sopan, padahal sebelumnya mereka sudah menuduh jika Daniel selingkuhan Jia.“Bagaimana kondisimu?” tanya ibu Edwin setelah Daniel keluar dari ruangan itu.“Tidak baik,” jawab Jia lirih.Kedua orang tua itu saling pandang, lal
Bams menatap Naya yang hanya diam. Dia tersenyum getir, Bams yakin kalau Naya akan mundur setelah mendengar ceritanya. Inilah alasan kenapa Bams tidak pernah mau dekat dengan wanita, dia takut jika ditolak karena masa lalu dan asal usulnya yang buruk.“Sudah tahu aku hasil anak apa, hidup dan besar di mana, lalu bagaimana kejamnya aku, kan? Jika mau mundur, mundur saja.” Bams tersenyum getir lalu memalingkan muka dari Naya.Naya melihat tatapan kecewa dari mata Bams. Ya, meski dia syok, tetapi bukan berarti dia akan langsung menilai Bams buruk juga. Mungkin Naya hanya butuh memikirkan dengan matang, mempertimbangkan dengan pemikiran dingin, lalu melihat kebaikan Bams yang sekarang. Bukankah begitu?“Tidak apa, aku terima.” Bams mengusap kedua pahanya, lalu berdiri untuk kembali ke kamar. Lagi pula, untuk apa menunggu, dia sudah tahu jawabannya.Naya terkejut Bams mau pergi. Dia langsung menahan pergelangan tangan Bams.“Dih, kenapa main pergi saja?” tanya Naya seraya menatap pada Bams
Sembilan tahun lalu. “Dasar jalang sialan. Kamu bilang mau memberiku perawan, ternyata mana?” Seorang pria berbadan besar menampar wanita paruh baya hingga tersungkur di lantai. “Ta-tapi dia bilang kalau belum pernah melakukannya.” Wanita itu mencoba menjelaskan, tetapi tamparan kembali dilayangkan secara bertubi-tubi. “Sialan! Kamu hanya mencoba menipuku! Kembalikan uangku!” perintah pria itu seraya menjambak rambut wanita paruh baya itu. Saat itu, Bams yang berumur dua puluhan tahun, melihat wanita tadi dianiaya. Dia melempar barang belanjaan yang dibawanya, lantas menghampiri untuk menolong wanita yang tak lain ibunya. “Berhenti memukuli ibuku!” teriak Bams seraya menghalau tangan pria tadi memukul sang ibu. Pria itu geram karena ada yang menahannya. Dia menghempaskan tubuh Bams hingga tersungkur di lantai. “Tidak usah ikut campur, kecuali kamu mau mengganti uangku. Atau, kamu mau jadi gigolo lalu uangnya untuk mengganti uang yang sudah wanita ini ambil!” Pria itu tersenyum