Jangan lupa komentarnya ya, terima kasih
Alina turun dari bus sambil tersenyum. Dia memandang rantang yang dibawanya lalu berjalan menuju perusahaan Dani dan membawakan makan siang untuk adiknya itu. Dia merasa perlu memberikan dukungan ke sang adik, sebelum Alina benar-benar memberitahukan tentang Karina.Alina sudah sampai di lobby, berdiri di sana menunggu Dani keluar menemuinya.“Kak.” Dani terkejut Alina berkata ada di perusahaannya, tetapi dia juga senang bisa melihat sang kakak di sana.Alina melebarkan senyum melihat Dani. Dia memperlihatkan rantang yang dibawa.“Aku membawakan makan siang buatmu, mau makan bersama?”Dani mengangguk senang.Mereka makan bersama di kantin perusahaan. Dani makan dengan lahap sehingga membuat Alina begitu senang.“Kamu sangat kangen masakanku, ya?” tanya Alina sambil terus memandang Dani makan.Dani mengangguk dan terus menyantap makanan buatan kakaknya itu.“Kalau senggang, mainlah ke apartemenku, nanti aku masak makanan yang lebih banyak agar kamu kenyang,” ucap Alina penuh perhatian.
Saat sore hari. Alina pulang membawa beberapa barang belanjaan kebutuhan dapur. Saat akan menuju lobby, kantong belanja Alina jebol sehingga beberapa barangnya jatuh.“Kok bisa jebol?” Alina sangat terkejut. Dia langsung berjongkok untuk memungut barang belanjaan yang jatuh.Namun, tiba-tiba ada yang membantunya memungut belanjaannya, membuat Alina mengangkat pandangan dan terkejut melihat siapa yang sekarang berjongkok di dekatnya.“Biar aku bantu,” ucap Bima.“Tidak usah!” tolak Alina lalu berusaha memungut semuanya sendiri tetapi ternyata kesusahan.Beberapa hari ini Alina lega karena tidak pernah bertemu Bima lagi, tetapi sekarang kenapa harus bertemu dengan pria itu lagi?Bima menatap Alina yang kesusahan membawa belanjaan itu, bahkan mau berdiri saja ada yang jatuh lagi.“Apa kamu sebenci itu padaku, sampai-sampai kamu tidak mau menerima bantuan dariku, padahal kamu kesusahan?” tanya Bima sambil menatap pada Alina.Alina menatap pada Bima. Lalu menjawab, “Iya.”“Aku tidak tahu s
Alina meremas jemarinya. Dia menoleh pada Aksa yang masih menyetir tanpa bicara sepatah kata pun sejak tadi.“Sebenarnya kita mu ke mana?” tanya Alina sekali lagi.Aksa masih diam, tidak menjawab.Alina memasang wajah memelas. Aksa pasti marah karena dia bertemu lagi dengan Bima, kan? Ah, kenapa Aksa selalu saja marah kalau berurusan dengan Bima, apa yang sebenarnya membuat Aksa marah? Alina bingung.“Aku minta maaf. Aku juga tidak tahu kalau bakal ketemu Bi … maksudku manusia itu.” Alina meralat ucapan dengan tak memanggil nama Bima, takut kalau Aksa sensitif lagi.Aksa mencengkram erat setir, lalu membalas, “Bukankah kamu janji mau mentraktirku? Aku mau menagihnya.”Alina mengangguk-angguk meski aneh karena mendadak sekali Aksa tiba-tiba minta ditraktir.Aksa menoleh Alina, lantas berkata, “Ya sudah.”Ya sudah? Ya sudah apa? Ya sudah, diam saja karena tahu jawabannya? Alina benar-benar harus banyak bersabar.Suaminya itu jelas-jelas kesal karena bertemu Bima, tetapi tiba-tiba saja m
Alina dan Aksa sudah berada di kamar hotel. Alina masih kesal, kenapa harus menginap di hotel?“Kamu tuh boros sekali,” gerutu Alina, “padahal uang segitu bisa buat yang lain yang lebih manfaat.”Aksa tidak menanggapi. Dia langsung masuk kamar.Alina menghela napas kasar, bingung. Mau apa di sana?Alina memandang dua ranjang di sana. Ini bukan pertama kalinya mereka satu kamar, jadi Alina tidak perlu cemas. Dia hanya duduk di tepian ranjang sambil mengecek ponsel. Setelah beberapa saat. Alina mendengar suara pintu kamar mandi terbuka dan langsung bicara tanpa menoleh Aksa dulu.“Kita tidak membawa pakaian ganti, masa mau tidur pakai baju yang sudah seharian dipakai?” tanya Alina kemudian baru menoleh pada Aksa.Namun, Alina terkejut lalu segera memalingkan muka ketika melihat penampilan Aksa.Aksa hanya memakai bathrobe, rambutnya basah, bahkan kaki panjangnya terlihat kokoh menopang tubuh pria itu.Alina berdeham karena merasa canggung, sekarang otaknya benar-benar tidak bisa digunak
Aksa duduk di salah satu ranjang sambil mengecek ponselnya. Dia keheranan saat melihat Alina keluar dari kamar mandi memakai bathrobe.“Bukankah Kaira membawakanmu pakaian? Kenapa malah pakai itu?” tanya Aksa.“Tidak jadi dipakai,” jawab Alina dengan rona merah di pipi.Bagaimana bisa Alina memakai lingerie seksi hitam yang dibawakan Kaira? Apa penilaian Aksa tentang hal itu? Jangan sampai Aksa berpikir Alina mau menggodanya karena memakai pakaian kurang bahan itu.Aksa hanya menatap heran pada Alina, tetapi dia tidak tanya kenapa.Alina langsung naik kasur, kemudian membungkus tubuhnya memakai selimut.“Tidak makan malam dulu?” tanya Aksa karena Alina malah bersiap tidur.“Tidak, aku kenyang,” jawab Alina yang berbaring memunggungi Aksa.Aksa menaikkan satu sudut alis, tetapi tidak bicara lagi. Dia meletakkan ponsel di nakas, lalu ikut berbaring menatap langit-langit kamar. Namun, beberapa saat kemudian menoleh pada Alina yang masih memunggunginya.“Kamu belum cerita pada Dani soal is
Keesokan paginya. Alina dan Aksa sudah siap pulang. Alina memakai kembali pakaiannya kemarin.“Kita balik apartemen dulu, kan? Tidak mungkin kamu kerja pakai baju itu?” tanya Alina sambil menatap pada Aksa yang baru saja keluar dari kamar mandi.Alina melihat Aksa langsung mengalihkan pandangan darinya, bahkan seperti menghindari tatapan matanya.“Kamu kenapa?” tanya Alina karena sikap Aksa agak aneh.“Apa semalam tidak bisa tidur nyenyak?” tanya Alina lagi sambil berusaha menatap pada mata Aksa.Aksa masih berusaha menghindari tatapan mata Alina lalu menjawab, “Tidak apa-apa.”Aksa terlihat aneh, tetapi biarkan saja, Alina juga tidak mau ambil pusing.Mereka kembali ke apartemen untuk mengganti pakaian, untung saja tidak bertemu Bima atau Aksa akan berulah lagi.Alina mengganti pakaian di kamar mandi, setelah selesai dia keluar dan saat akan berjalan menuju ruang televisi, dia berpapasan dengan Aksa yang baru saja keluar dari kamar.Alina mendekat, lalu melihat ada luka kecil di bibir
Alina sangat terkejut. Tidak menyangka Aksa malah sudah bicara lebih dulu, tetapi Alina juga lega karena Aksa bertindak cepat. “Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang?” tanya Alina masih sambil mengusap punggung Dani. Dani melepas pelukan Alina, lalu menatap sang kakak. Tidak ada rasa malu menangis di hadapan sang kakak, karena Alina satu-satunya rumah baginya. “Aku akan menceraikannya,” jawab Dani setelah agak tenang. Alina cukup terkejut dengan keputusan Dani. “Bukankah kamu bilang dia sedang hamil? Apa bisa?” Meski Alina juga berharap Dani berpisah dari Karin, tetapi tentu saja dia ragu. Alina juga wanita, dia juga memiliki sisi baik dan tidak tega jika berurusan tentang anak. Alina hanya memikirkan nasib anak yang dikandung Karin, bukan ibunya. “Meski dia hamil tapi dia hamil anak selingkuhannya,” jawab Dani dengan tatapan yang sangat meyakinkan. “Bagaimana kamu tahu itu anak selingkuhan Karin? Dan bagaimana kalau ternyata itu anakmu?” tanya Alina lagi. Dani menggeleng.
Alina terkejut melihat siapa yang datang dan berdiri di samping mejanya. Ekspresi wajahnya berubah, meski dia berusaha untuk tetap terlihat biasa.Aksa sendiri menatap datar meski dalam hatinya terkejut saat melihat Karissa di sana. Jangan sampai Karissa membongkar statusnya. Aksa berusaha tenang karena panik hanya akan membuat Alina curiga.“Aku tidak menyangka bisa ketemu Kak Aksa di sini. Akhir-akhir ini Kak Aksa sulit sekali dihubungi,” ucap Karissa saat menyapa Aksa.Karissa melirik Alina, ada senyum mengejek di wajah Karissa.Alina mendadak tidak senang. Ternyata benar jika wanita yang ditemuinya tempo hari adalah Karissa, wanita yang sering menghubungi Aksa juga.Namun, apa masalahnya buat Alina? Bukankah itu hak Aksa, seharusnya dia tidak perlu peduli juga, kan?Alina memandang Aksa yang hanya diam, sepertinya pria itu terkejut tetapi berusaha bersikap biasa. Apa Aksa takut kalau dirinya tahu soal Karissa? Tetapi kenapa harus takut? Misal Aksa memang ada hubungan dengan wanita
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.