Jangan lupa tinggalkan jejak komentarnya, ya. Makasih. Lope sekebon duren.
Alina sangat terkejut. Tidak menyangka Aksa malah sudah bicara lebih dulu, tetapi Alina juga lega karena Aksa bertindak cepat. “Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang?” tanya Alina masih sambil mengusap punggung Dani. Dani melepas pelukan Alina, lalu menatap sang kakak. Tidak ada rasa malu menangis di hadapan sang kakak, karena Alina satu-satunya rumah baginya. “Aku akan menceraikannya,” jawab Dani setelah agak tenang. Alina cukup terkejut dengan keputusan Dani. “Bukankah kamu bilang dia sedang hamil? Apa bisa?” Meski Alina juga berharap Dani berpisah dari Karin, tetapi tentu saja dia ragu. Alina juga wanita, dia juga memiliki sisi baik dan tidak tega jika berurusan tentang anak. Alina hanya memikirkan nasib anak yang dikandung Karin, bukan ibunya. “Meski dia hamil tapi dia hamil anak selingkuhannya,” jawab Dani dengan tatapan yang sangat meyakinkan. “Bagaimana kamu tahu itu anak selingkuhan Karin? Dan bagaimana kalau ternyata itu anakmu?” tanya Alina lagi. Dani menggeleng.
Alina terkejut melihat siapa yang datang dan berdiri di samping mejanya. Ekspresi wajahnya berubah, meski dia berusaha untuk tetap terlihat biasa.Aksa sendiri menatap datar meski dalam hatinya terkejut saat melihat Karissa di sana. Jangan sampai Karissa membongkar statusnya. Aksa berusaha tenang karena panik hanya akan membuat Alina curiga.“Aku tidak menyangka bisa ketemu Kak Aksa di sini. Akhir-akhir ini Kak Aksa sulit sekali dihubungi,” ucap Karissa saat menyapa Aksa.Karissa melirik Alina, ada senyum mengejek di wajah Karissa.Alina mendadak tidak senang. Ternyata benar jika wanita yang ditemuinya tempo hari adalah Karissa, wanita yang sering menghubungi Aksa juga.Namun, apa masalahnya buat Alina? Bukankah itu hak Aksa, seharusnya dia tidak perlu peduli juga, kan?Alina memandang Aksa yang hanya diam, sepertinya pria itu terkejut tetapi berusaha bersikap biasa. Apa Aksa takut kalau dirinya tahu soal Karissa? Tetapi kenapa harus takut? Misal Aksa memang ada hubungan dengan wanita
“Apa ada yang membandingkan?” tanya Aksa datar saat mendengar apa yang dikatakan Alina. “Tidak ada, tapi aku sadar diri,” balas Alina agak ketus karena sedang kesal. “Lalu, kenapa ambil pusing?” Alina membuang napas dengan mulut, lalu menoleh pada Aksa. “Kamu memang tidak peka dengan perasaan wanita.” Kedua alis Aksa berkerut mendengar ucapan Alina. “Apanya tidak peka?” Alina gemas sampai ingin rasanya meremas Aksa. “Terserahlah, aku capek.” Aksa diam. Kenapa Alina jadi uring-uringan? Dahi Aksa berkerut halus, bukankah sikap Alina sekarang sama seperti dirinya ketika melibat Bima? Apa dia dan Alina sama-sama mengalami tekanan hingga gangguan mental setelah menikah? Bisa saja, kan? Apalagi mereka menikah karena terpaksa. Setelah mengantar Alina ke butik. Aksa kembali ke perusahaan dan langsung masuk ruang kerjanya. Ilham masuk ruangan Aksa membawa berkas yang harus ditandatangani pria itu. “Sepertinya aku dan Alina butuh ke psikiater,” ucap Aksa saat Ilham masuk. Dahi Ilham
“Apa? Aku tidak tahu.” Meski panik, tetapi Karin masih berpura-pura tak paham.“Bagaimana bisa kamu masih mengelak?” Dani benar-benar tak habis pikir.“Aku mengelak apa, sih? Kenapa kamu tiba-tiba ingin menceraikanku? Salahku di mana?” tanya Karin, “aku bahkan sedang hamil anakmu dan belum memberitahu karena aku mau kasih kejutan buatmu di hari ulang tahunmu dua hari lagi. Tapi apa? Kamu malah mengejutkanku dengan ingin menceraikanku? Apa salahku, Dan?” Karin bicara dengan tatapan memelas. Dia menyentuh perutnya yang masih datar.Dani menatap datar.“Kamu benar-benar tidak sadar diri,” ucap Dani.Karin menggeleng pelan.“Kamu pikir aku tidak tahu kalau kamu hamil dan itu bukan anakku!” Dani bicara dengan nada sangat tegas. “Kamu berani berselingkuh dariku dan masih bilang kalau itu anakku? Kamu benar-benar keterlaluan.” Dani tersenyum getir.Karin sangat syok. Dia benar-benar tidak menyangka kalau Dani sudah tahu soal perselingkuhannya. Dia gelagapan semakin panik.“Tapi aku tidak mau
Dani menatap Karin yang sangat terkejut. Wanita yang baru saja diceraikannya itu terduduk lemas di lantai.“Kamu pasti tidak menyangka, kan? Aku sudah melakukan segala cara untuk membahagiakanmu, termasuk melakukan pemeriksaan untuk memastikan kenapa kamu belum bisa hamil. Tapi apa, kamu malah selingkuh dan tidak peduli sama sekali dengan perasaanku.” Dani benar-benar geram. Dia bicara sambil menekan amarahnya.Karin sesenggukan sambil menatap Dani.“Jika kamu tidak percaya, aku punya surat keterangan dari dokter,” ucap Dani lagi.Karin syok dan tak berkutik.“Kamu selingkuh dan tidur dengan pria itu, lalu berpikir ketika kamu hamil bisa meminta pertanggungjawabanku, kan? Tapi sayangnya, semua tidak berjalan sesuai dengan keinginanmu. Tuhan terlalu sayang padaku dengan memperlihatkan, betapa busuknya wanita yang sangat aku sayangi.” Dani bicara dengan tegas, tetapi hatinya juga terasa tertusuk-tusuk akan fakta itu.Karin diam membeku. Dia tidak bisa mengelak kali ini.Dani berdiri lal
“Biar aku lihat,” kata Alina.Aksa mengangguk, dia merapikan pakaiannya dan duduk dengan benar.Alina berjalan menuju pintu. Sebelum membuka, Alina mengecek dari layar interkom dan melihat Dani berdiri di depan pintu sambil menundukkan kepala. Tentu saja Alina segera membuka pintu.“Dan.” Alina melihat sang adik yang seperti lemas.Dani menatap sendu pada Alina. Dia diajak masuk sang kakak dan kini duduk bersama kakak juga iparnya.Alina dan Aksa tidak bicara, mereka menunggu sampai Dani sendiri yang menyampaikan maksud kedatangan ke sana.“Aku sudah mengatakan pada Karin jika menceraikannya.”Alina langsung bernapas lega setelah sejak tadi tegang karena raut wajah Dani sangat menyedihkan.“Apa Karin menerimanya begitu saja? Dia tidak mencegah? Dia tidak memanfaatkan kandungannya untuk menahanmu?” tanya Alina memastikan.“Iya,” jawab Dani, “dia memang menolak bercerai dan berusaha membujukku dengan kehamilannya.”Dani bicara dengan lemas, membuat Alina kasihan.“Kamu mau melakukan tes
Keesokan harinya. Alina membuka mata dan memandang ke jendela jika hari sudah pagi. Dia ingin menggeliat, tetapi ingat jika semalam satu ranjang dengan Aksa. Alina mendadak mengecek tubuhnya, aman. Dia lalu menoleh ke belakang dan melihat Aksa tidur dengan posisi miring memunggunginya ada di ujung ranjang.Bukankah benar, Aksa memang tak pernah memanfaatkan kesempatan? Alina tersenyum, baguslah.Alina keluar dari kamar lalu menyiapkan sarapan untuk Aksa dan Dani. Dia sudah berjibaku di dapur saat dua pria di tempat itu masih tertidur lelap.Alina memandang hidangan yang tersedia di meja makan. Setelah itu Alina pergi ke ruang televisi untuk membangunkan Dani dulu. Alina melihat wajah Dani sembab. Semalam Dani pasti menangis lagi, kan?Alina memakluminya, bagaimanapun kekecewaan pasti ada di hati adiknya itu.Saat Alina baru akan membangunkan Dani. Terdengar suara bel dari pintu depan. Alina keheranan, tetapi dia tetap melihat siapa yang bertamu sepagi ini.“Mau apa dia?” Alina terkejut
Dani memandang Alina yang duduk sambil meringis kesakitan. Dia duduk di samping sang kakak, lalu mencoba melihat apakah kepala Alina ada yang terluka.“Maaf, karenaku Kak Alina jadi sasaran amukan kakak Karin,” ucap Dani menyesal ketika melihat kulit kepala Alina yang merah-merah.“Sudah, tidak apa-apa. Kita juga tidak tahu kalau kakak Karin akan sampai melabrak ke sini,” balas Alina.Aksa berdiri sambil menatap pada Alina yang meringis kesakitan. Dia memandang Dani yang membantu Alina mengobati kulit kepala yang merah karena terkena tarikan cukup kuat.“Aku sudah masak, kalian sarapan dulu sebelum ke kantor,” ucap Alina bersikap biasa.Alina berdiri setelah kulit kepalanya diberi obat. Dia kembali ke dapur.Aksa mendekat pada Dani setelah Alina pergi, lalu mengulurkan flashdisk.“Ini apa?” tanya Dani sambil menerima flashdisk dari tangan Aksa.“Bukti perselingkuhan Karin, kamu tidak bisa menceraikannya tanpa bukti,” jawab Aksa.Dani menatap pada Aksa. Dia mengangguk tanpa bertanya dar
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.