Jangan lupa komentarnya, ya. Serius komentar kalian sangat berpengaruh di sini. Aku berterima kasih sekali kalau kalian mau meninggalkan komentar di tiap bab yang aku up
Dani sangat terkejut ketika mendengar sesuatu terjatuh, apalagi dia mendengar teriakan Karin yang membuat Dani langsung masuk dapur. Dani terkesiap melihat Karin terduduk di lantai sambil memegangi lengan dan menangis.“Karin.” Dani langsung mendekat.Alina masih belum bisa menelaah apa yang terjadi, tiba-tiba kembali dikejutkan dengan kedatangan Dani. Dia memandang sang adik yang kini sedang membantu Karin berdiri.“Ada apa ini?” tanya Dani.“Aku tahu kalau salah karena tidak sopan sama Kak Alina, tapi apa Kak Alina harus mendorongku seperti ini?” Karin mengadu tak sesuai fakta. Dia memasang wajah memelas dengan air mata palsunya.Alina sangat terkejut. Bisa-bisanya Karin menuduhnya seperti itu.“Aku tidak melakukannya,” ucap Alina membela diri.“Aku salah, Kak. Aku minta maaf,” ucap Karin memelas seolah dirinya yang paling teraniaya.Dani diam mendengar pembelaan Alina dan rengekan Karin. Dia melihat Karin yang menangis sambil memeluk lengannya. Alina sampai menggeleng, kenapa Karin
Di rumah Dani. Dia hanya duduk diam sambil sesekali menghela napas kasar.Karin menatap Dani yang sedang menahan emosi. Dia duduk di samping Dani, lalu menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Maaf karena sudah membuat makan malam ini kacau. Aku benar-benar nggak tahu, kenapa Kak Alina seperti itu kepadaku. Apa mungkin Kak Alina sedang ada masalah, karena itu dia jadi sensitif,” ucap Karin masih memperlihatkan kesedihan pada Dani.Dani menoleh pada Karin, lalu bertanya, “Apa benar kalau Kak Alina yang mendorongmu? Kamu tahu, itu tidak seperti Kak Alina!”Karin terkejut mendengar pertanyaan Dani, lalu terlihat tak senang.“Kamu nggak percaya padaku?” tanya Karin langsung marah.“Aku hanya tanya, kenapa kamu marah?” tanya balik Dani.Karin gelagapan, lalu menjawab, “Ya, gimana aku nggak marah? Kamu seperti lebih percaya pada Kak Alina ketimbang aku. Untuk apa juga aku bohong? Kak Alina benar-benar mendorongku.”Dani diam menatap datar pada Karin. Dia kemudian berdiri hingga membuat Kari
Alina pergi ke butik di hari berikutnya. Hari itu butiknya lumayan ramai yang datang dan itu membuat Alina sangat lega.“Selamat datang.” Alina menyapa seorang pelanggan lama yang datang ke butiknya.“Apa kamu punya desain baru? Aku mau ada acara kondangan dan butuh baju yang kelihatan beda,” kata pelanggan itu.Alina tersenyum lalu menunjukkan koleksi baju di butiknya.Pelanggan itu memilih dan Alina berdiri di dekat wanita itu.“Oh ya, waktu itu aku lihat videomu yang viral itu. Tapi aku nggak percaya, kamu itu baik masa seperti itu,” ucap pelanggan itu.Alina tersenyum canggung. Jadi benar, sepertinya pembelinya sempat tidak pernah datang karena kasus itu.“Itu hanya salah paham dan sudah diselesaikan,” balas Alina ramah merasa perlu menanggapi agar sopan.Pelanggan itu menoleh pada Alina, lalu kembali bicara. “Iya, aku juga percaya kamu. Apalagi ada kok akun yang klarifikasi soal kasus itu. Intinya sih minta maaf sudah nyebar video tanpa izin dan ternyata itu fitnah. Terus ada fot
Dani baru saja sampai di rumah. Saat dia baru masuk, Dani tidak melihat Karin di ruang tengah seperti biasanya. Dani pergi ke kamar untuk mencari Karin, hingga dia mendengar suara dari kamar mandi.Dani berjalan pelan, suaranya semakin jelas seperti mual dan tidak bisa muntah. Tentu saja Dani tahu suara milik siapa itu. Dia membuka sedikit pintu kamar mandi yang tidak tertutup dan melihat Karin berjongkok di depan closet sambil berusaha muntah.Dani tiba-tiba diam. Bahkan sama sekali tidak bereaksi melihat Karin seperti orang sakit.Karin tidak sadar kalau Dani sudah pulang. Dia baru selesai muntah dan menyiram kloset, saat berjalan menuju pintu kamar mandi, Karin terkejut melihat Dani berdiri di depan pintu.“Kamu baru pulang? Kenapa tidak ada suara manggil sama sekali?” tanya Karin lalu bersikap biasa, bahkan masih bisa tersenyum.“Aku baru saja datang,” ucap Dani bersikap biasa, seolah tak melihat apa yang terjadi pada Karin.Karin mengangguk-angguk.“Apa kamu sakit?” tanya Dani tet
Alina turun dari bus sambil tersenyum. Dia memandang rantang yang dibawanya lalu berjalan menuju perusahaan Dani dan membawakan makan siang untuk adiknya itu. Dia merasa perlu memberikan dukungan ke sang adik, sebelum Alina benar-benar memberitahukan tentang Karina.Alina sudah sampai di lobby, berdiri di sana menunggu Dani keluar menemuinya.“Kak.” Dani terkejut Alina berkata ada di perusahaannya, tetapi dia juga senang bisa melihat sang kakak di sana.Alina melebarkan senyum melihat Dani. Dia memperlihatkan rantang yang dibawa.“Aku membawakan makan siang buatmu, mau makan bersama?”Dani mengangguk senang.Mereka makan bersama di kantin perusahaan. Dani makan dengan lahap sehingga membuat Alina begitu senang.“Kamu sangat kangen masakanku, ya?” tanya Alina sambil terus memandang Dani makan.Dani mengangguk dan terus menyantap makanan buatan kakaknya itu.“Kalau senggang, mainlah ke apartemenku, nanti aku masak makanan yang lebih banyak agar kamu kenyang,” ucap Alina penuh perhatian.
Saat sore hari. Alina pulang membawa beberapa barang belanjaan kebutuhan dapur. Saat akan menuju lobby, kantong belanja Alina jebol sehingga beberapa barangnya jatuh.“Kok bisa jebol?” Alina sangat terkejut. Dia langsung berjongkok untuk memungut barang belanjaan yang jatuh.Namun, tiba-tiba ada yang membantunya memungut belanjaannya, membuat Alina mengangkat pandangan dan terkejut melihat siapa yang sekarang berjongkok di dekatnya.“Biar aku bantu,” ucap Bima.“Tidak usah!” tolak Alina lalu berusaha memungut semuanya sendiri tetapi ternyata kesusahan.Beberapa hari ini Alina lega karena tidak pernah bertemu Bima lagi, tetapi sekarang kenapa harus bertemu dengan pria itu lagi?Bima menatap Alina yang kesusahan membawa belanjaan itu, bahkan mau berdiri saja ada yang jatuh lagi.“Apa kamu sebenci itu padaku, sampai-sampai kamu tidak mau menerima bantuan dariku, padahal kamu kesusahan?” tanya Bima sambil menatap pada Alina.Alina menatap pada Bima. Lalu menjawab, “Iya.”“Aku tidak tahu s
Alina meremas jemarinya. Dia menoleh pada Aksa yang masih menyetir tanpa bicara sepatah kata pun sejak tadi.“Sebenarnya kita mu ke mana?” tanya Alina sekali lagi.Aksa masih diam, tidak menjawab.Alina memasang wajah memelas. Aksa pasti marah karena dia bertemu lagi dengan Bima, kan? Ah, kenapa Aksa selalu saja marah kalau berurusan dengan Bima, apa yang sebenarnya membuat Aksa marah? Alina bingung.“Aku minta maaf. Aku juga tidak tahu kalau bakal ketemu Bi … maksudku manusia itu.” Alina meralat ucapan dengan tak memanggil nama Bima, takut kalau Aksa sensitif lagi.Aksa mencengkram erat setir, lalu membalas, “Bukankah kamu janji mau mentraktirku? Aku mau menagihnya.”Alina mengangguk-angguk meski aneh karena mendadak sekali Aksa tiba-tiba minta ditraktir.Aksa menoleh Alina, lantas berkata, “Ya sudah.”Ya sudah? Ya sudah apa? Ya sudah, diam saja karena tahu jawabannya? Alina benar-benar harus banyak bersabar.Suaminya itu jelas-jelas kesal karena bertemu Bima, tetapi tiba-tiba saja m
Alina dan Aksa sudah berada di kamar hotel. Alina masih kesal, kenapa harus menginap di hotel?“Kamu tuh boros sekali,” gerutu Alina, “padahal uang segitu bisa buat yang lain yang lebih manfaat.”Aksa tidak menanggapi. Dia langsung masuk kamar.Alina menghela napas kasar, bingung. Mau apa di sana?Alina memandang dua ranjang di sana. Ini bukan pertama kalinya mereka satu kamar, jadi Alina tidak perlu cemas. Dia hanya duduk di tepian ranjang sambil mengecek ponsel. Setelah beberapa saat. Alina mendengar suara pintu kamar mandi terbuka dan langsung bicara tanpa menoleh Aksa dulu.“Kita tidak membawa pakaian ganti, masa mau tidur pakai baju yang sudah seharian dipakai?” tanya Alina kemudian baru menoleh pada Aksa.Namun, Alina terkejut lalu segera memalingkan muka ketika melihat penampilan Aksa.Aksa hanya memakai bathrobe, rambutnya basah, bahkan kaki panjangnya terlihat kokoh menopang tubuh pria itu.Alina berdeham karena merasa canggung, sekarang otaknya benar-benar tidak bisa digunak
Malam itu Daniel berkumpul dengan Aksa dan Alina di rumah. Mereka berada di ruang keluarga membahas soal Edwin.“Edwin memang ditangguhkan penahanannya, tapi proses hukum tetap berjalan. Pengacaraku juga sudah mengajukan semua berkas laporan dan bukti untuk menjerat pria itu agar mendapatkan hukuman maksimal. Tidak akan kubiarkan dia mendapat hukuman hanya setahun dua tahun,” ujar Aksa.“Ya, pria itu memang layak mendapat hukuman yang berat. Banyak sekali tindak kejahatan yang dilakukannya,” timpal Alina.“Ini juga bagus untuk mempercepat proses perceraian Jia karena kelakuan buruk Edwin semuanya sudah terekspos,” ujar Aksa lagi.Alina mengangguk-angguk. Dia kemudian menoleh pada Daniel yang sejak tadi tak bersuara.“Kamu sedang memikirkan apa?” tanya Alina.Daniel terkejut. Dia baru menyadari kalau kakak dan kakak iparnya kini sedang menatapnya.“Tidak,” jawab Daniel seraya menggeleng pelan.Alina menaikkan kedua sudut alis.“Apanya yang tidak? Aku perhatikan seharian ini kamu banyak
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Akhirnya Jia sudah diperbolehkan pulang. “Papamu sudah menunggu di rumah lama kalian, jadi kami akan mengantarmu ke sana,” ucap Daniel.“Iya, terima kasih,” balas Jia.Akhirnya Jia harus kembali ke rumah keluarganya karena dia tidak mau tinggal di apartemen atau rumah milik Edwin yang penuh dengan kenangan pahit.Alina datang menemani Jia keluar dari rumah sakit sekalian membantu Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.Daniel mengangguk.Alina mendorong kursi roda yang Jia duduki. Mereka pergi menuju pintu depan lobby rumah sakit karena mobil yang akan membawa mereka sudah menunggu di sana.“Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot menjemput,” ucap Jia.“Apanya yang repot? Aku tidak pernah merasa repot,” balas Alina, “kita sudah kenal lama, bahkan dulu kamu membantuku memasarkan desainku, jadi anggap saja kita ini saling melengkapi dan menguntungkan,” imbuh Alina.Mereka sampai di depan lobby. Jia dibantu Alina dan Daniel masuk mobil, lalu
Anya masih berada di rumah sakit bersama Daniel. Dia ingin menemani Jia sebelum dijemput Alina saat sore hari. Anya akan bersama Alina sampai Jia keluar dari rumah sakit.“Mama mau ke mana?” tanya Anya saat melihat Jia bergerak ingin menurunkan kaki.“Ke kamar mandi,” jawab Jia agak kesusahan turun karena tubuhnya yang masih kaku dan tangan masih terpasang selang infus.Anya menoleh pada Daniel yang baru saja menerima telepon.“Paman, Mama mau ke kamar mandi tapi tidak bisa bawa infusnya,” kata Anya.Jia terkejut karena Anya sampai memanggil Daniel. Dia menoleh pada pria itu yang sudah memandangnya.“Aku bisa sendiri, kamu selesaikan saja urusanmu,” kata Jia karena tak enak hati jika terus merepotkan Daniel.Namun, ternyata Daniel tetap mendekat. Dia berjalan menghampiri Jia dan Anya.Jia menatap Anya yang tersenyum lebar. Sungguh dia merasa sangat sungkan karena hampir semua bantuan yang dibutuhkannya, Daniel yang mencukupi.“Kamu bisa jalan?” tanya Daniel memastikan lebih dulu.Jia
Di rumah sakit. Daniel menyiapkan sarapan untuk Jia yang tadi diberikan oleh perawat.“Kamu bisa makan sendiri?” tanya Daniel memastikan karena Jia terlihat masih lemah.Jia tersenyum kecil, lalu menjawab, “Bisa, kamu tenang saja.”Daniel mengangguk pelan. Dia kembali duduk menunggu Jia sarapan, siapa tahu Jia membutuhkan bantuannya.Jia berusaha makan sendiri meski seluruh tubuhnya terasa sakit karena lebam di sekujur tubuh. Dia memasukkan suapan pertama, lalu tatapannya tertuju pada Daniel. Dia melihat pria itu hanya diam menunggunya makan, membuat Jia merasa sedikit sungkan.“Kamu tidak sarapan?” tanya Jia.Sejak kemarin Daniel terus menunggunya di sana, bahkan tak terlihat sekalipun keluar dari kamar itu, kecuali saat kedatangan orang tua Edwin.“Kak Alina bilang akan datang membawakan sarapan, jadi aku akan menunggunya,” ujar Daniel.Jia mengangguk-angguk pelan. Dia agak canggung karena makan sendiri, sedangkan Daniel hanya duduk mengamatinya.“Makanlah dan minum obatmu. Kamu har
Alina menemui Anya yang baru saja selesai mandi dibantu pelayan.“Biar aku saja yang membantunya ganti baju, kamu keluarlah,” kata Alina pada pelayan.Pelayan mengangguk lalu keluar dari kamar itu.Alina memulas senyum pada Anya. Dia mendekat lalu duduk di tepian ranjang dan membantu Anya memakai pakaian.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Alina.Semalam Anya dan Arlo tidur satu kamar atas permintaan Arlo, tetapi disediakan dua ranjang terpisah.Anya mengangguk seraya menatap pada Alina yang sedang memakaikan bajunya.“Kata Arlo, semalam kamu mimpi buruk sampai menangis. Apa benar?” tanya Alina memastikan apakah cerita putranya benar atau tidak.Anya terdiam. Dia menunduk tak menjawab pertanyaan Alina.Alina melihat ekspresi sedih di wajah Anya. Dia tidak bertanya lagi, tetapi memilih segera menyelesaikan membantu Anya memakai baju. Setelah itu dia juga menyisir rambut Anya.“Bagaimana kabar Mama?” tanya Anya.“Mama sudah baik. Hari ini kita ke sana untuk menjenguknya, ya.” Alina bicara ser
Jia menatap Daniel yang sedang merapikan ranjang khusus penunggu. Dia merasa tak enak hati karena sudah merepotkan pria itu.“Kamu bisa tidur di tempat kakakmu. Aku tidak apa-apa tidur di sini sendiri, lagi pula ada perawat yang bisa aku panggil jika butuh sesuatu,” ujar Jia karena tak ingin terus menerus merepotkan Daniel.Daniel menoleh ke arah Jia, lalu dia duduk di tepian ranjang khusus penunggu seraya menatap pada Jia.“Aku sudah berjanji pada Anya untuk menjagamu, jadi aku akan tetap di sini,” ujar Daniel.Jia berbaring seraya menatap pada Daniel.“Kak Alina bilang kalau besok akan membawa Anya ke sini, jadi sekarang istirahatlah. Kamu harus terlihat baik-baik saja agar Anya tidak sedih,” ujar Daniel.Jia hanya mengangguk. Dia tidak memaksa jika memang Daniel tetap mau tinggal, meski sebenarnya Jia canggung berada di satu ruangan berdua dengan pria, terlebih dia dan Daniel tidak ada hubungan apa pun.“Selamat malam,” ucap Daniel lalu naik ke atas ranjang. Dia membaringkan tubuhn
Di rumah sakit. Daniel masih menemani Jia yang terbaring lemah. Dokter mengatakan jika tidak ada kerusakan fatal di organ dalam, sehingga Jia hanya butuh perawatan biasa sampai kondisinya benar-benar pulih.“Kamu membutuhkan sesuatu?” tanya Daniel.Jia menggeleng.Daniel sabar menemani Jia karena kondisi Jia yang masih lemas. Terdengar suara ketukan pintu kamar. Daniel menoleh dan melihat pintu kamar terbuka. Kedua orang tua Edwin ternyata datang untuk melihat kondisi Jia.Daniel segera berdiri lalu sedikit membungkuk ke arah mertua Jia, sedangkan Jia masih terbaring lemah dan hanya bisa menatap dua orang itu.“Saya keluar dulu,” ucap Daniel agar Jia dan kedua orang tua Edwin bisa bicara.Kedua orang tua Edwin mengangguk. Mereka tak menyangka jika Daniel sangat sopan, padahal sebelumnya mereka sudah menuduh jika Daniel selingkuhan Jia.“Bagaimana kondisimu?” tanya ibu Edwin setelah Daniel keluar dari ruangan itu.“Tidak baik,” jawab Jia lirih.Kedua orang tua itu saling pandang, lal
Bams menatap Naya yang hanya diam. Dia tersenyum getir, Bams yakin kalau Naya akan mundur setelah mendengar ceritanya. Inilah alasan kenapa Bams tidak pernah mau dekat dengan wanita, dia takut jika ditolak karena masa lalu dan asal usulnya yang buruk.“Sudah tahu aku hasil anak apa, hidup dan besar di mana, lalu bagaimana kejamnya aku, kan? Jika mau mundur, mundur saja.” Bams tersenyum getir lalu memalingkan muka dari Naya.Naya melihat tatapan kecewa dari mata Bams. Ya, meski dia syok, tetapi bukan berarti dia akan langsung menilai Bams buruk juga. Mungkin Naya hanya butuh memikirkan dengan matang, mempertimbangkan dengan pemikiran dingin, lalu melihat kebaikan Bams yang sekarang. Bukankah begitu?“Tidak apa, aku terima.” Bams mengusap kedua pahanya, lalu berdiri untuk kembali ke kamar. Lagi pula, untuk apa menunggu, dia sudah tahu jawabannya.Naya terkejut Bams mau pergi. Dia langsung menahan pergelangan tangan Bams.“Dih, kenapa main pergi saja?” tanya Naya seraya menatap pada Bams
Sembilan tahun lalu. “Dasar jalang sialan. Kamu bilang mau memberiku perawan, ternyata mana?” Seorang pria berbadan besar menampar wanita paruh baya hingga tersungkur di lantai. “Ta-tapi dia bilang kalau belum pernah melakukannya.” Wanita itu mencoba menjelaskan, tetapi tamparan kembali dilayangkan secara bertubi-tubi. “Sialan! Kamu hanya mencoba menipuku! Kembalikan uangku!” perintah pria itu seraya menjambak rambut wanita paruh baya itu. Saat itu, Bams yang berumur dua puluhan tahun, melihat wanita tadi dianiaya. Dia melempar barang belanjaan yang dibawanya, lantas menghampiri untuk menolong wanita yang tak lain ibunya. “Berhenti memukuli ibuku!” teriak Bams seraya menghalau tangan pria tadi memukul sang ibu. Pria itu geram karena ada yang menahannya. Dia menghempaskan tubuh Bams hingga tersungkur di lantai. “Tidak usah ikut campur, kecuali kamu mau mengganti uangku. Atau, kamu mau jadi gigolo lalu uangnya untuk mengganti uang yang sudah wanita ini ambil!” Pria itu tersenyum