“Kamu keberatan?” tanya Aksa ketika melihat ekspresi wajah Alina panik.“Ti-tidak,” jawab Alina tergagap.Aksa tak membalas ucapan Alina. Dia pergi ke kamar karena ingin mengganti pakaian.Alina langsung memegangi dada. Apa benar dia harus seranjang dengan Aksa? Ini benar-benar aneh? Alina menangkup kedua pipi, mencoba menyadarkan dirinya jika ini mimpi, tetapi ini nyata dan Alina harus menghadapinya.“Hanya tidur, ingat sebelumnya juga pernah satu ranjang.” Alina berpikir positif.Alina dan Aksa sudah berada di ranjang yang sama. Namun, Alina belum bisa memejamkan mata, dia masih memandang langit-langit kamar sambil memainkan telunjuknya.Alina kembali merasa canggung. Dulu mereka seranjang tetapi belum memiliki perasaan apa-apa, sedangkan sekarang mereka sudah saling menerima status sebagai suami-istri yang entah kenapa membuat Alina sangat gugup atau sebenarnya dia takut?“Kenapa kamu belum tidur?” tanya Aksa.Alina terkejut. Dia menjawab, “Entah.”Aksa menoleh pada Alina dan melih
Ilham baru saja sampai di lantai ruangan Aksa berada. Dia menunggu atasannya itu datang, lalu beberapa saat kemudian Aksa keluar dari lift dan kini berjalan ke arahnya. Ilham merasa ada yang berbeda. Apa di wajah atasannya itu sebuah senyum? Kenapa aura Aksa terlihat berbeda? Ini aneh. “Pagi, Pak,” sapa Ilham saat Aksa sudah sampai di hadapannya. “Pagi.” Ilham tertegun. Apa itu? Aksa membalas sapaannya? Ilham melongo, ini luar biasa, dia sampai menatap tak percaya pada Aksa yang sedang berjalan masuk ruang kerja. Ilham penasaran lalu segera menyusul Aksa. “Apa ada kabar baik, Pak? Sepertinya perasaan Anda hari ini sedang sangat baik?” tanya Ilham nekat karena sangat penasaran. Aksa memasang wajah datar ketika menatap pada Ilham. Ilham menelan ludah melihat ekspresi wajah Aksa berubah. Dia berusaha tersenyum meski sedikit dipaksakan. “Bagaimana kalau aku seharian ini membuat masalah agar kamu lelah?” “Jangan!” Ilham panik. “Saya hanya bertanya dan memuji, Pak. Ya, ikut
Aksa memijat pangkal hidung beberapa kali. Dia pusing karena mendapat tekanan agar datang ke pesta ulang tahun Karissa, juga sekarang diminta untuk melakukan kencan buta dengan putri salah satu pebisnis besar.Aksa menghela napas kasar. Andai dia bisa mengatakan jika sudah menikah, dia mungkin akan melakukan itu. Namun, tidak pernah ada kabar kalau dia sudah menikah, tentu membuatnya kesulitan memberitahu sebab orang-orang pasti tidak akan percaya. Dan, ketika dia jujur ke semua orang, itu sama saja dengan mengungkap statusnya di depan Alina. Aksa belum siap.Ilham baru saja masuk ruangan Aksa. Dia melihat atasannya itu seperti sedang sangat pusing sampai tidak sadar kalau Ilham masuk ruangan itu.“Anda baik-baik saja, Pak?” tanya Ilham hati-hati.Aksa menatap pada Ilham, tetapi tidak menjawab pertanyaan asistennya itu. Terdengar helaan napas kasar dari mulutnya.Ilham memilih tidak bertanya lagi daripada salah ucap. Dia meletakkan berkas yang harus ditandatangani di meja Aksa.“Pak R
“Kamu benar-benar tidak akan pergi kalau aku melarang?” tanya Alina memastikan, jangan sampai Aksa berkata seperti itu hanya untuk menyenangkan hatinya, tetapi di belakang tetap pergi. Alina tidak boleh besar kepala duluan. “Ya,” jawab Aksa singkat. Nada suaranya cukup meyakinkan. Alina dan Aksa saling tatap. Tiba-tiba saja jantung Alina berdegup dengan cepat. Meski ucapan Aksa singkat dan padat, tapi nada bicara dan cara Aksa menatap padanya sudah sangat meyakinkan. Jangan lupakan, kata ‘ya’ itu, mampu membuat Alina berbunga-bunga karena merasa dihargai. “Kamu benar-benar yakin?” tanya Alina sekali lagi, “aku tidak mau dianggap mengaturmu,” imbuh Alina. “Yakin.” Alina menunduk sambil mengulum bibir. Rasanya aneh saat Aksa menuruti kemauannya padahal pria itu lebih berhak memutuskan, apalagi Alina menyadari kalau Aksa otoriter. Aksa menatap pada Alina yang menunduk. Dia gemas dengan segala sikap Alina yang ternyata tak sedewasa seperti yang terlihat, semakin lama Alina menu
Pesta ulang tahun Karissa pun tiba. Pesta itu diadakan di hotel bintang lima milik keluarga Aksa.Karissa berdiri di depan cermin dengan gaun sangat indah. Dia memandangi bayangannya dari pantulan cermin, lalu tersenyum tipis.“Apa wartawan yang aku undang sudah datang?” tanya Karissa saat managernya masuk ke kamar tempat Karissa istirahat.“Sudah, aku mengundang sesuai dengan yang kamu inginkan,” jawab manager bernama Flo itu.Karissa membalikkan badan, lalu menatap Flo sambil tersenyum. “Baguslah, semoga mereka tidak mengecewakan.”Flo hanya mengangguk.Karissa pergi ke ballroom hotel yang sudah penuh dengan tamu undangannya. Di sana Karissa mulai mencari-cari di mana Aksa, kenapa belum kelihatan.“Pa, Kak Aksa pasti datang, kan?” tanya Karissa memastikan.“Papa sudah menghubunginya dan memintanya datang langsung, kamu jangan cemas. Mungkin dia sedang di jalan, lagi pula acaranya juga belum akan dimulai,” jawab Rudi.Karissa mengangguk.Karissa duduk menunggu sambil menyapa beberapa
Hari berikutnya. Alina sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan seperti biasa. Dia terlihat bahagia karena harinya berjalan dengan lancar.“Aku tidak tahu sesibuk apa kamu di perusahaan dan apa kamu makan dengan teratur di sana. Jadi, apa kamu mau aku buatkan bekal? Jadi kalau kamu lapar tapi tidak sempat makan di luar, kamu bisa makan bekalnya?” tanya Alina tanpa menatap pada Aksa yang baru saja masuk dapur.Aksa agak terkejut. Akan tetapi tetap tenang. “Ya, buatkan saja.” Aksa tidak mau mengecewakan Alina, jadi dia menuruti apa yang dikatakan oleh istrinya itu.Alina menoleh pada Aksa. Dia tersenyum lebar karena senang.**Aksa pergi ke perusahaan membawa bekal yang disiapkan Alina. Aneh memang, seumur-umur baru kali ini dia membawa kotak bekal makanan. Bahkan saat sekolah, dia tidak pernah membawa bekal karena ada yang akan mengantarnya sendiri.Aksa menenteng tas bekal menuju ruang kerjanya, meski dia menyadari kalau para staff menatapnya aneh. Akan tetapi, apa mereka berani meneg
Aksa mengemudikan mobil menuju restoran. Sesampainya di sana dia melihat Ilham yang sudah menunggu.“Kamu yakin itu Alina?” tanya Aksa ketika bertemu Ilham.“Yakin, Pak. Mana mungkin saya salah lihat,” jawab Ilham, “memang awalnya tidak yakin, apalagi penampilan Bu Alina sangat … norak.” Ilham bicara agak lirih di akhir kata karena takut diamuk atasannya.Aksa langsung melotot. Apa benar Alina berpenampilan norak? Rasanya aneh, jangan-jangan Ilham salah melihat.“Coba, Anda lihat sendiri saja,” kata Ilham saat melihat Aksa ragu.Aksa benar-benar penasaran. Dia masuk restoran lalu menuju ke meja yang sudah disiapkan. Saat sampai di meja itu, Aksa sangat terkejut melihat penampilan Alina. Apa benar wanita itu istrinya?“Aksa?” Alina terkejut sampai langsung berdiri saat melihat Aksa di sini. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Alina dengan ekspresi wajah panik.“Kamu sendiri? Apa yang kamu lakukan di sini dengan penampilan ….” Aksa malu sendiri sampai tak bisa melanjutkan ucapannya.
Aksa dan Alina duduk berdua di ruang televisi, keduanya diam dan larut dalam pikiran masing-masing.“Sebenarnya Kaira itu kasihan. Dia dituntut harus menikah dengan pria kaya yang setara dengan keluarganya. Sekarang kamu tahu, kan? Kenapa aku juga tidak mau kalau menikah dengan pria kaya, karena keluarganya pasti menuntut hal sama, sama-sama kaya.”Aksa diam. Dia tidak berani menanggapi ucapan Alina yang bisa menimbulkan kecurigaan.“Aku sangat kasihan pada Kaira, karena itu tidak sungkan membantunya. Dia hanya mau mencari pasangan yang benar-benar sesuai dengan pilihannya, tapi papanya tidak mau tahu,” ujar Alina lagi.Di saat Alina begitu bersimpati pada Kaira, Aksa malah panik karena hampir saja Kaira tahu kalau dia kaya. Jika Aksa datang begitu saja tadi, mungkin bukan Kaira tetapi Alina yang langsung mengetahui status dia yang sebenarnya.“Kalau memang Kaira menyukai Ilham dan tak ingin dijodohkan, lebih baik Kaira jujur saja pada ayahnya,” ucap Aksa memberi solusi.Alina menoleh
“Apa itu penting?”Pertanyaan Daniel membungkam Karin. Dia mengulum bibir dan menggeleng.Daniel sendiri tidak mau bersikap baik, jangan sampai sikap baiknya disalahartikan.Daniel melihat Karin yang diam tertunduk. Dia pun memutuskan untuk pergi daripada terlalu lama berinteraksi dengan Karin.“Tunggu, kamu tidak jadi mencari aksesoris? Aku bisa menunjukkan beberapa barang yang mungkin cocok dengan yang kamu inginkan,” ucap Karin membujuk seraya meremat jari.Daniel diam sejenak, tetapi setelahnya mengangguk. Dia mengikuti Karin menuju display khusus aksesoris anak-anak.“Anak itu biasanya suka apa? Bando, jepit rambut, kalung, atau gelang mungkin?” tanya Karin mencoba mengajak bicara Daniel.Daniel tak menjawab pertanyaan Karin. Dia lebih memilih fokus memperhatikan aksesoris yang terpajang di sana, hingga tatapannya tertuju pada gantungan ponsel yang lucu dan menggemaskan.“Itu lucu,” ucap Karin.Daniel tetap tak bicara pada Karin.Karin diam memperhatikan Daniel yang begitu dingin,
Siang itu, Aksa masih berada di ruang kerjanya dengan banyaknya tumpukan berkas di meja. Dia sedang membaca beberapa perencanaan bisnis untuk mengembangkan perusahaannya.“Masih sangat sibuk?”Aksa terkejut mendengar suara Alina. Dia langsung menoleh dan melihat istrinya ternyata sudah berada di ruangannya. Aksa tersenyum lebar, karena terlalu fokus bekerja, membuatnya sampai tidak menyadari kalau Alina datang.“Aku tidak mendengar kamu mengetuk pintu,” ucap Aksa langsung berdiri dari tempat duduknya untuk menghampiri Alina.“Aku memang tidak mengetuk pintu,” balas Alina.Aksa mengajak Alina duduk. Alina membawa paper bag berisi makan siang seperti yang dijanjikannya pagi tadi.“Arlo tidak rewel tahu kamu akan ke sini dan tidak diajak?” tanya Aksa.“Oh, dia pergi bersama Naya dan Bams. Katanya mau main ke rumah Anya. Nanti aku ke sana setelah dari sini,” jawab Alina seraya mengeluarkan kotak makanan dari dalam paper bag.“Ternyata dia mau lepas darimu karena Anya?” Aksa keheranan.“Iya
Aksa sudah sampai di perusahaan. Seperti biasa Ilham akan langsung menemani masuk ruangan lalu membacakan jadwal harian Aksa.“Ada yang mau Anda ubah, Pak?” tanya Ilham setelah selesai membacakan laporannya.Aksa tak langsung menjawab. Dia malah menatap Ilham.“Ada apa, Pak?” tanya Ilham panik karena tatapan Aksa. Apa dia membuat kesalahan?Aksa menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggung.“Apa kamu benar-benar tidak mau mengubah keputusanmu untuk mengambil alih perusahaan mertuamu? Bukankah ini menguntungkan untuk kariermu?” tanya Aksa sekali lagi setelah berulang kali Ilham berkata akan tetap menjadi sekretarisnya.Aksa hanya tak ingin dianggap menghambat Ilham berkembang. Meski dia juga berat melepas Ilham yang sudah bertahun-tahun ikut dengannya dan menjadi pekerja terbaiknya, tetapi Aksa juga ingin masa depan Ilham semakin baik.Namun, bukannya mendapat jawaban, Ilham malah membalas, “Anda mau memecat saya?”Pertanyaan Ilham tentu saja membuat Aksa sampai menegakkan badan.“
Hari berikutnya. Alina dan yang lain sarapan seperti biasanya. Rumah itu sekarang begitu ramai dan semakin hangat dengan banyaknya orang yang menempati rumah itu.“Aku lupa bilang,” ucap Daniel di sela sarapan.Semua orang menatap pada pria itu sekarang.“Lupa bilang apa?” tanya Alina penasaran.Daniel menatap ke semua orang lalu membalas, “Waktu itu aku bicara dengan Paman, dia menawariku untuk mengelola perusahaan di sini. Karena Kak Alina akan tinggal di sini, jadi kurasa aku juga akan tetap di sini.”Alina cukup terkejut. Namun, dia juga senang karena adiknya tidak akan jauh darinya.“Itu bagus, aku setuju,” balas Alina.Lagi pula Daniel sekarang pandai mengelola bisnis, perusahaan sang paman pun dipimpin dengan baik.Daniel mengangguk-angguk lega dan senang melihat Alina setuju dengan niatnya.“Kamu akan tinggal di sini? Kalau iya, aku akan meminta orang menyiapkan kebutuhanmu termasuk ruang kerja,” ujar Aksa.“Tidak, aku mau mencari apartemen saja,” balas Daniel.Alina tidak menc
Malam itu Daniel berkumpul dengan Aksa dan Alina di rumah. Mereka berada di ruang keluarga membahas soal Edwin.“Edwin memang ditangguhkan penahanannya, tapi proses hukum tetap berjalan. Pengacaraku juga sudah mengajukan semua berkas laporan dan bukti untuk menjerat pria itu agar mendapatkan hukuman maksimal. Tidak akan kubiarkan dia mendapat hukuman hanya setahun dua tahun,” ujar Aksa.“Ya, pria itu memang layak mendapat hukuman yang berat. Banyak sekali tindak kejahatan yang dilakukannya,” timpal Alina.“Ini juga bagus untuk mempercepat proses perceraian Jia karena kelakuan buruk Edwin semuanya sudah terekspos,” ujar Aksa lagi.Alina mengangguk-angguk. Dia kemudian menoleh pada Daniel yang sejak tadi tak bersuara.“Kamu sedang memikirkan apa?” tanya Alina.Daniel terkejut. Dia baru menyadari kalau kakak dan kakak iparnya kini sedang menatapnya.“Tidak,” jawab Daniel seraya menggeleng pelan.Alina menaikkan kedua sudut alis.“Apanya yang tidak? Aku perhatikan seharian ini kamu banyak
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Akhirnya Jia sudah diperbolehkan pulang. “Papamu sudah menunggu di rumah lama kalian, jadi kami akan mengantarmu ke sana,” ucap Daniel.“Iya, terima kasih,” balas Jia.Akhirnya Jia harus kembali ke rumah keluarganya karena dia tidak mau tinggal di apartemen atau rumah milik Edwin yang penuh dengan kenangan pahit.Alina datang menemani Jia keluar dari rumah sakit sekalian membantu Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.Daniel mengangguk.Alina mendorong kursi roda yang Jia duduki. Mereka pergi menuju pintu depan lobby rumah sakit karena mobil yang akan membawa mereka sudah menunggu di sana.“Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot menjemput,” ucap Jia.“Apanya yang repot? Aku tidak pernah merasa repot,” balas Alina, “kita sudah kenal lama, bahkan dulu kamu membantuku memasarkan desainku, jadi anggap saja kita ini saling melengkapi dan menguntungkan,” imbuh Alina.Mereka sampai di depan lobby. Jia dibantu Alina dan Daniel masuk mobil, lalu
Anya masih berada di rumah sakit bersama Daniel. Dia ingin menemani Jia sebelum dijemput Alina saat sore hari. Anya akan bersama Alina sampai Jia keluar dari rumah sakit.“Mama mau ke mana?” tanya Anya saat melihat Jia bergerak ingin menurunkan kaki.“Ke kamar mandi,” jawab Jia agak kesusahan turun karena tubuhnya yang masih kaku dan tangan masih terpasang selang infus.Anya menoleh pada Daniel yang baru saja menerima telepon.“Paman, Mama mau ke kamar mandi tapi tidak bisa bawa infusnya,” kata Anya.Jia terkejut karena Anya sampai memanggil Daniel. Dia menoleh pada pria itu yang sudah memandangnya.“Aku bisa sendiri, kamu selesaikan saja urusanmu,” kata Jia karena tak enak hati jika terus merepotkan Daniel.Namun, ternyata Daniel tetap mendekat. Dia berjalan menghampiri Jia dan Anya.Jia menatap Anya yang tersenyum lebar. Sungguh dia merasa sangat sungkan karena hampir semua bantuan yang dibutuhkannya, Daniel yang mencukupi.“Kamu bisa jalan?” tanya Daniel memastikan lebih dulu.Jia
Di rumah sakit. Daniel menyiapkan sarapan untuk Jia yang tadi diberikan oleh perawat.“Kamu bisa makan sendiri?” tanya Daniel memastikan karena Jia terlihat masih lemah.Jia tersenyum kecil, lalu menjawab, “Bisa, kamu tenang saja.”Daniel mengangguk pelan. Dia kembali duduk menunggu Jia sarapan, siapa tahu Jia membutuhkan bantuannya.Jia berusaha makan sendiri meski seluruh tubuhnya terasa sakit karena lebam di sekujur tubuh. Dia memasukkan suapan pertama, lalu tatapannya tertuju pada Daniel. Dia melihat pria itu hanya diam menunggunya makan, membuat Jia merasa sedikit sungkan.“Kamu tidak sarapan?” tanya Jia.Sejak kemarin Daniel terus menunggunya di sana, bahkan tak terlihat sekalipun keluar dari kamar itu, kecuali saat kedatangan orang tua Edwin.“Kak Alina bilang akan datang membawakan sarapan, jadi aku akan menunggunya,” ujar Daniel.Jia mengangguk-angguk pelan. Dia agak canggung karena makan sendiri, sedangkan Daniel hanya duduk mengamatinya.“Makanlah dan minum obatmu. Kamu har
Alina menemui Anya yang baru saja selesai mandi dibantu pelayan.“Biar aku saja yang membantunya ganti baju, kamu keluarlah,” kata Alina pada pelayan.Pelayan mengangguk lalu keluar dari kamar itu.Alina memulas senyum pada Anya. Dia mendekat lalu duduk di tepian ranjang dan membantu Anya memakai pakaian.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Alina.Semalam Anya dan Arlo tidur satu kamar atas permintaan Arlo, tetapi disediakan dua ranjang terpisah.Anya mengangguk seraya menatap pada Alina yang sedang memakaikan bajunya.“Kata Arlo, semalam kamu mimpi buruk sampai menangis. Apa benar?” tanya Alina memastikan apakah cerita putranya benar atau tidak.Anya terdiam. Dia menunduk tak menjawab pertanyaan Alina.Alina melihat ekspresi sedih di wajah Anya. Dia tidak bertanya lagi, tetapi memilih segera menyelesaikan membantu Anya memakai baju. Setelah itu dia juga menyisir rambut Anya.“Bagaimana kabar Mama?” tanya Anya.“Mama sudah baik. Hari ini kita ke sana untuk menjenguknya, ya.” Alina bicara ser