Alina dan Aksa kembali ke apartemen. Sepanjang berada di lift sampai masuk apartemen, Alina merasa was-was dan takut kalau terkena amuk juga ceramah dari Aksa seperti biasanya. Namun, ternyata kecemasannya tidak terbukti, Aksa hanya diam seolah tidak terjadi sesuatu. “Aku buatkan kopi dulu,” ucap Alina karena Aksa tidak bicara sepatah kata pun.Alina melihat Aksa menoleh padanya, tiba-tiba dia terkejut dan kembali was-was. Namun, lagi-lagi kecemasannya tidak terbukti, Alina melihat Aksa mengangguk. Alina bernapas lega.“Mau kubuatkan mie sekalian?” tanya Alina lagi.“Kopi saja,” jawab Aksa sambil menatap pada Alina.Alina tertegun. Rasanya aneh saat melihat Aksa tidak marah-marah seperti biasanya setelah bertemu Bima, bukankah ini malah bagus?Alina pergi ke dapur lalu membuat kopi, setelahnya dia menyajikan di meja depan Aksa.“Aku ke kamar dulu, aku harus membuat desain buat pesanan,” pamit Alina sambil menunjuk ke belakang menggunakan jempol.Aksa hanya mengangguk.**Beberapa har
Alina tiba-tiba sedih melihat Dani seperti ini. Dia mengusap lengan Dani lalu berkata, “Nanti kalau kamu sudah balik dari luar kota, aku akan main ke rumah mengajak kakak iparmu.”Alina tersenyum hangat menatap adiknya yang selalu saja tampak seperti anak-anak baginya. Sesayang itu Alina pada Dani sampai tidak pernah bisa menyakiti hati adiknya itu dan selalu memenuhi apa pun yang Dani inginkan dan butuhkan.Dani langsung tersenyum senang sambil mengangguk. Dia kemudian memeluk kakaknya itu.Alina terkejut dan bingung, kenapa Dani menjadi sangat manja sekali seperti ini? Tetapi dia juga tetap membalas pelukan sang adik agar lebih bersemangat.“Aku akan mengabari Kak Alina kalau sudah pulang. Aku di luar kota sekitar lima harian,” ucap Dani.“Iya,” jawab Alina sambil menganggukkan kepala.**Siang hari di kantor Aksa. Pria itu memandang ponselnya yang tergeletak di meja. Tangannya terulur ingin mengambil benda pipih itu, tetapi urung lalu ditarik lagi.Aksa terlihat seperti orang bingu
Wanita yang ditabrak menatap datar pada Alina. Dia melepas kacamata hitamnya ketika Alina memandangnya. Wanita itu ternyata Karissa, mengetahui kalau yang menabraknya Alina, Karissa langsung memperhatikan penampilan Alina dari ujung kepala hingga kaki lalu dia menatap menghina karena penampilan Alina benar-benar tidak modis sama sekali.Karissa berpikir, bagaimana bisa Aksa dekat dengan wanita seperti ini? Apa benar Aksa ada hubungan dengan wanita ini? Karissa benar-benar merasa ini tak masuk akal dan mustahil.Alina merasa jika ditatap aneh padahal dia sudah minta maaf.“Maaf, saya tidak sengaja,” ucap Alina sekali lagi karena merasa dia lalai.Karissa tidak membalas ucapan Alina. Dia memilih memakai kembali kacamata hitamnya. Alina merasa aneh, kenapa wanita itu menatapnya begitu, padahal dia juga sudah beretikad baik minta maaf. Alina melihat wanita itu hendak pergi dan mengabaikan ucapan maafnya.“Karissa!”Alina terkejut mendengar ada orang yang berteriak menyebut nama itu. Dia
Alina duduk sambil memangku tangan. Dia melirik seseorang yang duduk di sampingnya. Alina hanya bisa diam tanpa berkata-kata, salah kata bisa-bisa habis riwayatnya.Mobil yang dinaiki akhirnya sampai di apartemen, Alina menoleh pada Sasmita yang duduk di sampingnya. Sasmita langsung turun, membuat Alina buru-buru turun.Sasmita tiba-tiba datang ke butik, lalu mengajak Alina ke apartemen karena mau bicara berdua. Alina sendiri tak berkutik dan ikut saja.Sepanjang jalan menuju apartemen hingga sampai di sana, Sasmita tidak berkata sepatah kata pun, membuat Alina hanya diam menunduk daripada salah ucap.“Kalian tinggal di sini?” tanya Sasmita sambil memandang gedung itu. Tatapannya meremehkan.Alina merasa aneh dengan pertanyaan Sasmita, memangnya kenapa jika di situ? Bahkan menurutnya, gedung itu bagus, jika beli atau sewa juga sepertinya lumayan mahal. Memangnya, mertuanya itu mau mereka tinggal di tempat seperti apa?“Iya, Ma.” Alina menjawab sopan.Sasmita menatap tak senang, lalu di
Ilham sangat terkejut dan panik, tetapi dia berusaha tenang dan profesional mengemban mandat atasannya. Ilham tetap tersenyum pada Karissa.“Saya tidak tahu.” Ilham menjawab dengan sangat meyakinkan.Karissa menyipitkan mata, curiga.“Kamu hampir dua puluh empat jam bersama Kak Aksa, kamu juga yang menyusun jadwal kegiatannya, masa kamu tidak tahu?” tanya Karissa tak percaya begitu saja.Ilham menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Karissa. Dia tidak mau bicara dan keceplosan yang bisa berakibat fatal.Karissa kesal. Dia lalu mengeluarkan ponsel dan mencoba menghubungi Aksa. Namun, panggilannya tidak dijawab sama sekali.“Ke mana Kak Aksa? Apa susahnya menjawab panggilanku?” Karissa kesal karena sudah beberapa kali Aksa mengabaikan panggilan darinya.‘Apa Kak Aksa sibuk dengan wanita itu? Tapi masa Kak Aksa memilih wanita itu ketimbang pekerjaannya? Rasanya ini bukan Kak Aksa,’ batin Karissa.Ilham masih memperhatikan karissa yang hanya diam. Dalam hatinya berdoa agar Karissa segera
Ilham mengemudikan mobil menuju apartemennya. Saat melewati jalanan yang agak sepi, dia melihat mobil dengan kap terbuka. Menyadari jika yang berdiri di depan mobil seorang wanita, Ilham pun menepikan mobil untuk membantu.Ilham keluar dari mobil, lalu menghampiri wanita yang sudah memandang ke arahnya.Kaira terkejut melihat Ilham di sana, tetapi juga senang karena bertemu dengan pria itu.“Ada yang bisa saya bantu? Mobilnya kenapa?” tanya Ilham sopan.“Mobilku mogok,” jawab Kaira, “kamu temannya suami Alina, kan?” tanya Kaira langsung mengingatkan.Ilham mengerutkan dahi mendengar pertanyaan Kaira. Ternyata dia lupa jika pernah bertemu Kaira.“Alina siapa?” tanya Ilham dengan polosnya.Kaira mengerutkan alis mendengar pertanyaan Ilham.“Alina. Alina yang suaminya bernama Aksa. Kita pernah bertemu di mall waktu itu,” jawab Kaira menjelaskan.“Oh, istrinya Pak … iya, iya.” Ilham hampir saja keceplosan kalau Aksa adalaha atasannya.Kaira tersenyum. Dia merasa Ilham sangat imut dan lucu
Saat malam hari. Alina sudah ada di apartemen dan menyiapkan makan malam seperti biasa. Dia melepas apron yang dipakai, lalu memanggil Aksa yang ada di ruang televisi.“Makan malamnya sudah siap,” ucap Alina sambil memulas senyum.Aksa sudah mulai terbiasa dengan sikap ramah Alina. Dia langsung berdiri lalu makan bersama Alina. Aksa membawa ponselnya karena baru saja berbalas pesan dengan Ilham yang membahas soal pekerjaan. Alina dan Aksa makan malam bersama, lalu beberapa saat kemudian ponsel Aksa berdering membuat Alina melirik ke benda pipih yang tergeletak di meja.Aksa menoleh ke ponselnya, tetapi bukannya menjawab, Aksa malah membalikkan layar hingga menghadap ke meja, tanpa menolak atau menjawab panggilan itu.“Kenapa tidak dijawab?” tanya Alina.Aksa menatap pada Alina lalu menjawab, “Tidak penting.”Alina mengangguk dan ingin mengabaikan, tetapi ponsel Aksa kembali berdering membuatnya menatap Aksa yang masih fokus makan.“Tidak penting tapi berdering terus. Apa kamu benar-be
Siang hari itu. Alina menemui Jia di kantor. Alina kagum karena ternyata kantor Jia besar dan memang berkecimpung di bisnis fashion. Alina sendiri masih tak menyangka dan penasaran, kenapa Jia malah memakai jasa desainnya padahal sekelas perusahaan Jia, pasti mampu menyewa desainer terkenal.Namun, Alina mengesampingkan rasa penasaran itu. Dia fokus jika penawaran yang Jia berikan adalah rezeki untuknya.“Aku sangat senang bisa bekerjasama denganmu. Ini royalti awal yang aku janjikan,” ucap Jia setelah mereka selesai menandatangani perjanjian kontrak.Alina sangat senang bisa bekerjasama dan mendapatkan bayaran. Meski dia juga sering mendesain pesanan orang, tetapi ini sangat luar biasa karena bisa untuk jangka panjang selama Jia menggunakan desainnya untuk pakaian yang diproduksi.“Terima kasih, Bu Jia.” Alina berucap sopan.“Panggil Jia saja tidak apa-apa, apalagi kita hampir seumuran,” ucap Jia karena merasa sangat tua jika dipanggil ‘Bu’ oleh Alina.Alina tersenyum kecil lalu meng
Akhirnya kisah Alina dan Aksa berakhir. Jika ada kekurangan dalam kisah ini, aku mohon maaf sebesar-besarnya buat pembaca sekalian karena aku hanya manusia biasa yang tak luput dari salah. Next aku bakal rilis buku baru, jadi tunggu karyaku yang lain, ya. Terima kasih banyak atas semua dukungan kalian selama ini. Drop komen sebagai penyemangat buat aku, ya. Kalian yang terbaik.(ʘᴗʘ✿)
Semua berjalan dengan baik. Setiap orang dengan kebaikan kini hidup dengan damai.Ini sudah lima bulan setelah Jia melahirkan. Sore itu semua orang berkumpul di rumah Alina hanya untuk bercengkrama bersama sebagai satu keluarga.Alina memandang putranya dan yang lain bermain. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh pada suaminya.“Sepertinya kita bisa membuka sekolah khusus karena punya anak-anak sebanyak ini,” ujar Alina dengan nada candaan.Semua orang langsung menoleh saat mendengar ucapan Alina.“Sepertinya itu ide bagus. Apa mau direalisasikan?” Kaira menanggapi serius ucapan Alina.Alina tertawa, lalu membalas, “Siapa yang mau jadi gurunya? Bisa-bisa tekanan darahnya naik duluan lihat keaktifan mereka. Belum lagi ini.”Alina memandang anak Jia yang ada di stroller.“Sudah benar di sekolahkan, jangan memberi ide membuat sekolah sendiri,” balas Jia.Semua yang di sana tertawa bersama.Alina melihat Aksa yang hanya diam. Dia menggenggam telapak tangan suaminya itu.“Memikirkan apa?”
Saat siang hari. Daniel dan Jia menjemput Anya di sekolah.Anya sangat senang melihat Daniel dan Jia menjemputnya secara bersamaan. Anya sampai berlari kecil agar bisa segera menghampiri kedua orang tuanya itu.“Kok Mama dan Papa jemputnya barengan?” tanya Anya.“Ya, biar Anya senang,” jawab Daniel, “Anya senang?” tanyanya kemudian.Anya mengangguk-angguk.Jia dan Daniel saling pandang, lalu mengajak Anya segera masuk mobil.“Tadi Anya dapat nilai seratus waktu ulangan,” ucap Anya menceritakan kegiatannya seharian ini di sekolah.“Benarkah?” Jia menoleh pada Anya dengan senyum semringah. “Sepertinya Anya harus diberi apresiasi, benar tidak?” Jia kini menatap pada Daniel.“Tentu saja,” jawab Daniel, “Anya mau apa?” tanya Daniel seraya memandang pada bayangan Anya melalui pantulan kaca spion tengah.“Anya mau makan es krim,” jawab Anya penuh semangat.Jia dan Daniel mengangguk bersamaan. Mereka pergi ke kedai es krim.Mereka sudah duduk di kedai menikmati es krim yang dipesan. Jia dan D
Jia dan Daniel melakukan inseminasi buatan setelah melakukan beberapa prosedur yang dokter jadwalkan.Hari ini, tepat dua minggu setelah inseminasi buatan dilakukan. Jia berada di kamar mandi seraya memegang testpack yang baru saja dicelupkan pada urine. Jia duduk di atas closet dengan perasaan cemas, hingga samar-samar garis merah mulai muncul di testpack.Satu, dua. Akhirnya dua garis merah muncul di alat itu. Jia sampai membungkam mulut karena terkejut dan masih tak percaya. Bahkan bola matanya kini terlihat berkaca-kaca.“Jia, bagaimana?”Jia mendengar suara Daniel di luar kamar mandi. Suaminya itu pasti tidak sabar dan cemas dengan hasilnya. Jia segera keluar dari kamar mandi. Dia melihat Daniel yang terlihat panik.“Bagaimana?” tanya Daniel karena melihat bola mata Jia berkaca-kaca.Jia awalnya memasang ekspresi biasa, tetapi setelahnya tersenyum lebar.“Berhasil, aku hamil.” Jia memperlihatkan testpack pada Daniel.Daniel memandang dua garis di alat itu. Dia benar-benar tak m
Keesokan harinya. Daniel dan Jia menemui dokter untuk berkonsultasi. Mereka mendengarkan penjelasan dokter soal inseminasi buatan yang ingin Jia lakukan.“Jika kalian memang yakin untuk melakukan ini. Kita harus melakukan beberapa proses termasuk mengecek kondisi rahim dan kesehatan kalian masing-masing. Akan banyak tes yang harus dilakukan sebelum inseminasi, untuk memastikan prosesnya berjalan dengan lancar,” ujar dokter menjelaskan.Daniel dan Jia sudah mendengarkan tahapan yang harus mereka lakukan. Selain mengecek kondisi rahim, sperma pun harus dites, baru kemudian menentukan waktu ovulasi yang tepat.“Iya, Dok. Kami siap melakukannya,” ucap Jia penuh semangat. Dia berharap cara ini bisa mengobati kekecewaan Daniel.Daniel menatap pada Jia yang sangat antusias. Bukankah sudah seharusnya dia pun harus bersemangat karena yang mereka lakukan demi kebahagiaan mereka juga.“Baiklah. Saya akan menjadwalkan waktu tesnya. Saya sangat berharap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian hara
Tak terasa waktu cepat berlalu. Usia Elvano sudah menginjak satu tahun. Alina dan Aksa menjaga buah hati mereka dengan sangat baik, termasuk Arlo. Tidak ada satu pun yang mereka bedakan.“Sudah tidur?” tanya Alina ketika melihat Aksa keluar dari kamar Elvano.Aksa menyentuhkan telunjuk di permukaan bibir, memberi isyarat agar Alina tidak bicara atau Elvano akan bangun. Dia menghampiri sang istri, lalu menggandeng tangan Alina dan mengajaknya naik ke lantai atas.Alina menahan senyum. Dia mengikuti langkah Aksa menuju ke kamar.“Akhirnya.” Aksa tiba-tiba menghela napas lega. Dia kemudian memeluk Alina dari belakang.Alina tersenyum sambil mengusap lengan Aksa.“Dulu merawat Arlo sendiri tidak secapek ini, kenapa sekarang capek?” tanya Alina seraya melirik pada Aksa yang bergelayut manja di pundaknya.Aksa menghela napas pelan, lalu mempererat pelukan.“Dulu aku merawat sendiri, harus kuat dan tidak boleh mengeluh. Jadi, karena sekarang ada kamu, aku ingin mengeluhkan semua lelahku pada
Semua orang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Alina.Sasmita dan Nenek Agni begitu antusias menyambut kelahiran anak kedua Alina, setelah sebelumnya mereka harus menyambut dengan tangis, tetapi sekarang semuanya berbalut kebahagiaan.“Di mana bayinya?” tanya Sasmita saat masuk ruang inap Alina.“Itu.” Aksa menunjuk ke baby box yang berada tak jauh dari ranjang Alina.Aksa menemani Alina di ranjang, sedangkan Sasmita dan Nenek Agni langsung menghampiri bayi mungil anggota baru keluarga Radjasa.“Tampannya dia.” Sasmita mengambil bayi Alina dari baby box. “Benar laki-laki, kan?” tanya Sasmita memastikan karena bayi itu tampan meski sedikit terlihat cantik.“Iya, Ma.” Alina yang menjawab.“Kita punya dua cucu laki-laki, ya.” Mirza ikut senang karena setidaknya Aksa memiliki dua putra, bukan satu seperti dirinya.Aksa dan Alina memulas senyum. Aksa tak beranjak dari sisi Alina karena fokusnya sekarang memperhatikan kondisi sang istri.Sasmita menimang bayi tampan itu. Dia memandangi ba
Aksa begitu cemas ketika membawa Alina ke rumah sakit. Bahkan dia tidak melepas genggaman saat Alina dibawa ke IGD. “Istriku mau melahirkan, Sus.” Aksa berdiri di samping ranjang pesakitan seraya menggenggam erat telapak tangan Alina. Suster yang ada di sana langsung mengecek kondisi Alina, lalu beberapa saat kemudian memanggil dokter untuk memeriksa. “Aku baik-baik saja, ini hal wajar,” ucap Alina seraya menahan rasa sakitnya karena kontraksi. Aksa menatap pada Alina. “Tapi tetap saja, kamu kesakitan,” balas Aksa tidak mau tahu. Aksa trauma dengan persalinan Alina yang dulu. Saat itu dia sangat panik dan ketakutan melihat Alina yang akan melahirkan secara prematur, hingga dibuat kehilangan yang benar-benar tak bisa membuatnya melupakan semua kejadian itu. Sekarang Alina kembali merasakan sakit seperti itu. Siapa yang tidak cemas? Alina mencoba memahami kecemasan yang Aksa rasakan. Dia membalas genggaman tangan Aksa. Dia yang kesakitan, tetapi sepertinya suaminya yang ketakut
Dua bulan berlalu dengan cepat. Usia kandungan Alina sudah masuk sembilan bulan, dia baru saja jalan-jalan pagi bersama Nenek Agni yang memang beberapa hari ini menginap di rumah. “Kapan perkiraan lahirnya?” tanya Nenek Agni saat berjalan bersama Alina menuju rumah. “Harusnya minggu ini, Nek.” Alina berjalan pelan, satu tangannya mengusap perut. “Doakan lahirannya lancar,” ucap Alina kemudian. “Tentu saja, nenek pasti akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan cicit nenek.” Nenek Agni mengusap lembut perut Alina. Mereka sudah sampai di teras. Alina duduk bersama Nenek Agni untuk beristirahat setelah jalan-jalan pagi. “Lho, kamu tidak ke kantor?” tanya Nenek Agni ketika melihat Aksa keluar dari rumah hanya memakai kaus polos dan celana panjang. “Tidak, aku ambil cuti. Tapi tetap kerja dari rumah,” jawab Aksa lalu duduk di samping Alina. Nenek Agni menatap pada Aksa yang sedang mengusap perut Alina. Dia sangat lega karena akhirnya Aksa bisa merasakan kebahagiaan bersama Alina.