Alina tiba-tiba sedih melihat Dani seperti ini. Dia mengusap lengan Dani lalu berkata, “Nanti kalau kamu sudah balik dari luar kota, aku akan main ke rumah mengajak kakak iparmu.”Alina tersenyum hangat menatap adiknya yang selalu saja tampak seperti anak-anak baginya. Sesayang itu Alina pada Dani sampai tidak pernah bisa menyakiti hati adiknya itu dan selalu memenuhi apa pun yang Dani inginkan dan butuhkan.Dani langsung tersenyum senang sambil mengangguk. Dia kemudian memeluk kakaknya itu.Alina terkejut dan bingung, kenapa Dani menjadi sangat manja sekali seperti ini? Tetapi dia juga tetap membalas pelukan sang adik agar lebih bersemangat.“Aku akan mengabari Kak Alina kalau sudah pulang. Aku di luar kota sekitar lima harian,” ucap Dani.“Iya,” jawab Alina sambil menganggukkan kepala.**Siang hari di kantor Aksa. Pria itu memandang ponselnya yang tergeletak di meja. Tangannya terulur ingin mengambil benda pipih itu, tetapi urung lalu ditarik lagi.Aksa terlihat seperti orang bingu
Wanita yang ditabrak menatap datar pada Alina. Dia melepas kacamata hitamnya ketika Alina memandangnya. Wanita itu ternyata Karissa, mengetahui kalau yang menabraknya Alina, Karissa langsung memperhatikan penampilan Alina dari ujung kepala hingga kaki lalu dia menatap menghina karena penampilan Alina benar-benar tidak modis sama sekali.Karissa berpikir, bagaimana bisa Aksa dekat dengan wanita seperti ini? Apa benar Aksa ada hubungan dengan wanita ini? Karissa benar-benar merasa ini tak masuk akal dan mustahil.Alina merasa jika ditatap aneh padahal dia sudah minta maaf.“Maaf, saya tidak sengaja,” ucap Alina sekali lagi karena merasa dia lalai.Karissa tidak membalas ucapan Alina. Dia memilih memakai kembali kacamata hitamnya. Alina merasa aneh, kenapa wanita itu menatapnya begitu, padahal dia juga sudah beretikad baik minta maaf. Alina melihat wanita itu hendak pergi dan mengabaikan ucapan maafnya.“Karissa!”Alina terkejut mendengar ada orang yang berteriak menyebut nama itu. Dia
Alina duduk sambil memangku tangan. Dia melirik seseorang yang duduk di sampingnya. Alina hanya bisa diam tanpa berkata-kata, salah kata bisa-bisa habis riwayatnya.Mobil yang dinaiki akhirnya sampai di apartemen, Alina menoleh pada Sasmita yang duduk di sampingnya. Sasmita langsung turun, membuat Alina buru-buru turun.Sasmita tiba-tiba datang ke butik, lalu mengajak Alina ke apartemen karena mau bicara berdua. Alina sendiri tak berkutik dan ikut saja.Sepanjang jalan menuju apartemen hingga sampai di sana, Sasmita tidak berkata sepatah kata pun, membuat Alina hanya diam menunduk daripada salah ucap.“Kalian tinggal di sini?” tanya Sasmita sambil memandang gedung itu. Tatapannya meremehkan.Alina merasa aneh dengan pertanyaan Sasmita, memangnya kenapa jika di situ? Bahkan menurutnya, gedung itu bagus, jika beli atau sewa juga sepertinya lumayan mahal. Memangnya, mertuanya itu mau mereka tinggal di tempat seperti apa?“Iya, Ma.” Alina menjawab sopan.Sasmita menatap tak senang, lalu di
Ilham sangat terkejut dan panik, tetapi dia berusaha tenang dan profesional mengemban mandat atasannya. Ilham tetap tersenyum pada Karissa.“Saya tidak tahu.” Ilham menjawab dengan sangat meyakinkan.Karissa menyipitkan mata, curiga.“Kamu hampir dua puluh empat jam bersama Kak Aksa, kamu juga yang menyusun jadwal kegiatannya, masa kamu tidak tahu?” tanya Karissa tak percaya begitu saja.Ilham menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Karissa. Dia tidak mau bicara dan keceplosan yang bisa berakibat fatal.Karissa kesal. Dia lalu mengeluarkan ponsel dan mencoba menghubungi Aksa. Namun, panggilannya tidak dijawab sama sekali.“Ke mana Kak Aksa? Apa susahnya menjawab panggilanku?” Karissa kesal karena sudah beberapa kali Aksa mengabaikan panggilan darinya.‘Apa Kak Aksa sibuk dengan wanita itu? Tapi masa Kak Aksa memilih wanita itu ketimbang pekerjaannya? Rasanya ini bukan Kak Aksa,’ batin Karissa.Ilham masih memperhatikan karissa yang hanya diam. Dalam hatinya berdoa agar Karissa segera
Ilham mengemudikan mobil menuju apartemennya. Saat melewati jalanan yang agak sepi, dia melihat mobil dengan kap terbuka. Menyadari jika yang berdiri di depan mobil seorang wanita, Ilham pun menepikan mobil untuk membantu.Ilham keluar dari mobil, lalu menghampiri wanita yang sudah memandang ke arahnya.Kaira terkejut melihat Ilham di sana, tetapi juga senang karena bertemu dengan pria itu.“Ada yang bisa saya bantu? Mobilnya kenapa?” tanya Ilham sopan.“Mobilku mogok,” jawab Kaira, “kamu temannya suami Alina, kan?” tanya Kaira langsung mengingatkan.Ilham mengerutkan dahi mendengar pertanyaan Kaira. Ternyata dia lupa jika pernah bertemu Kaira.“Alina siapa?” tanya Ilham dengan polosnya.Kaira mengerutkan alis mendengar pertanyaan Ilham.“Alina. Alina yang suaminya bernama Aksa. Kita pernah bertemu di mall waktu itu,” jawab Kaira menjelaskan.“Oh, istrinya Pak … iya, iya.” Ilham hampir saja keceplosan kalau Aksa adalaha atasannya.Kaira tersenyum. Dia merasa Ilham sangat imut dan lucu
Saat malam hari. Alina sudah ada di apartemen dan menyiapkan makan malam seperti biasa. Dia melepas apron yang dipakai, lalu memanggil Aksa yang ada di ruang televisi.“Makan malamnya sudah siap,” ucap Alina sambil memulas senyum.Aksa sudah mulai terbiasa dengan sikap ramah Alina. Dia langsung berdiri lalu makan bersama Alina. Aksa membawa ponselnya karena baru saja berbalas pesan dengan Ilham yang membahas soal pekerjaan. Alina dan Aksa makan malam bersama, lalu beberapa saat kemudian ponsel Aksa berdering membuat Alina melirik ke benda pipih yang tergeletak di meja.Aksa menoleh ke ponselnya, tetapi bukannya menjawab, Aksa malah membalikkan layar hingga menghadap ke meja, tanpa menolak atau menjawab panggilan itu.“Kenapa tidak dijawab?” tanya Alina.Aksa menatap pada Alina lalu menjawab, “Tidak penting.”Alina mengangguk dan ingin mengabaikan, tetapi ponsel Aksa kembali berdering membuatnya menatap Aksa yang masih fokus makan.“Tidak penting tapi berdering terus. Apa kamu benar-be
Siang hari itu. Alina menemui Jia di kantor. Alina kagum karena ternyata kantor Jia besar dan memang berkecimpung di bisnis fashion. Alina sendiri masih tak menyangka dan penasaran, kenapa Jia malah memakai jasa desainnya padahal sekelas perusahaan Jia, pasti mampu menyewa desainer terkenal.Namun, Alina mengesampingkan rasa penasaran itu. Dia fokus jika penawaran yang Jia berikan adalah rezeki untuknya.“Aku sangat senang bisa bekerjasama denganmu. Ini royalti awal yang aku janjikan,” ucap Jia setelah mereka selesai menandatangani perjanjian kontrak.Alina sangat senang bisa bekerjasama dan mendapatkan bayaran. Meski dia juga sering mendesain pesanan orang, tetapi ini sangat luar biasa karena bisa untuk jangka panjang selama Jia menggunakan desainnya untuk pakaian yang diproduksi.“Terima kasih, Bu Jia.” Alina berucap sopan.“Panggil Jia saja tidak apa-apa, apalagi kita hampir seumuran,” ucap Jia karena merasa sangat tua jika dipanggil ‘Bu’ oleh Alina.Alina tersenyum kecil lalu meng
Alina sudah pulang saat sore hari. Dia duduk di meja makan, sambil memikirkan yang dilihatnya siang tadi. Alina mau menyangkal dan merasa tak percaya, tetapi dia juga sepertinya tidak salah lihat, mana mungkin dia salah orang sedangkan matanya masih sehat.Aksa pulang dan tidak mendengar suara Alina sibuk di dapur. Dia pergi ke dapur dan melihat Alina yang ternyata duduk menyangga dagu, melamun.“Apa kamu tidak masak?” tanya Aksa.Alina terkejut mendengar suara Aksa. Dia menoleh pada suaminya yang ternyata baru saja pulang.“Tidak, kan kita mau ke tempat Kaira,” jawab Alina.Aksa baru ingat.“Aku mandi dulu,” kata Aksa.Alina hanya mengangguk.Setelah Aksa mandi. Aksa masih melihat Alina melamun, tentu saja hal itu membuat dahi Aksa berkerut halus.“Ada masalah apa lagi sekarang?” tanya Aksa karena Alina kebanyakan melamun sejak tadi.Alina menoleh pada Aksa, lantas memanyunkan bibir.“Apa aku ini biang masalah? Sampai kamu dari siang tanyanya begitu terus?” tanya Alina sebal.Aka mena
Malam itu Daniel berkumpul dengan Aksa dan Alina di rumah. Mereka berada di ruang keluarga membahas soal Edwin.“Edwin memang ditangguhkan penahanannya, tapi proses hukum tetap berjalan. Pengacaraku juga sudah mengajukan semua berkas laporan dan bukti untuk menjerat pria itu agar mendapatkan hukuman maksimal. Tidak akan kubiarkan dia mendapat hukuman hanya setahun dua tahun,” ujar Aksa.“Ya, pria itu memang layak mendapat hukuman yang berat. Banyak sekali tindak kejahatan yang dilakukannya,” timpal Alina.“Ini juga bagus untuk mempercepat proses perceraian Jia karena kelakuan buruk Edwin semuanya sudah terekspos,” ujar Aksa lagi.Alina mengangguk-angguk. Dia kemudian menoleh pada Daniel yang sejak tadi tak bersuara.“Kamu sedang memikirkan apa?” tanya Alina.Daniel terkejut. Dia baru menyadari kalau kakak dan kakak iparnya kini sedang menatapnya.“Tidak,” jawab Daniel seraya menggeleng pelan.Alina menaikkan kedua sudut alis.“Apanya yang tidak? Aku perhatikan seharian ini kamu banyak
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Akhirnya Jia sudah diperbolehkan pulang. “Papamu sudah menunggu di rumah lama kalian, jadi kami akan mengantarmu ke sana,” ucap Daniel.“Iya, terima kasih,” balas Jia.Akhirnya Jia harus kembali ke rumah keluarganya karena dia tidak mau tinggal di apartemen atau rumah milik Edwin yang penuh dengan kenangan pahit.Alina datang menemani Jia keluar dari rumah sakit sekalian membantu Daniel.“Apa sudah semua?” tanya Alina.Daniel mengangguk.Alina mendorong kursi roda yang Jia duduki. Mereka pergi menuju pintu depan lobby rumah sakit karena mobil yang akan membawa mereka sudah menunggu di sana.“Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot menjemput,” ucap Jia.“Apanya yang repot? Aku tidak pernah merasa repot,” balas Alina, “kita sudah kenal lama, bahkan dulu kamu membantuku memasarkan desainku, jadi anggap saja kita ini saling melengkapi dan menguntungkan,” imbuh Alina.Mereka sampai di depan lobby. Jia dibantu Alina dan Daniel masuk mobil, lalu
Anya masih berada di rumah sakit bersama Daniel. Dia ingin menemani Jia sebelum dijemput Alina saat sore hari. Anya akan bersama Alina sampai Jia keluar dari rumah sakit.“Mama mau ke mana?” tanya Anya saat melihat Jia bergerak ingin menurunkan kaki.“Ke kamar mandi,” jawab Jia agak kesusahan turun karena tubuhnya yang masih kaku dan tangan masih terpasang selang infus.Anya menoleh pada Daniel yang baru saja menerima telepon.“Paman, Mama mau ke kamar mandi tapi tidak bisa bawa infusnya,” kata Anya.Jia terkejut karena Anya sampai memanggil Daniel. Dia menoleh pada pria itu yang sudah memandangnya.“Aku bisa sendiri, kamu selesaikan saja urusanmu,” kata Jia karena tak enak hati jika terus merepotkan Daniel.Namun, ternyata Daniel tetap mendekat. Dia berjalan menghampiri Jia dan Anya.Jia menatap Anya yang tersenyum lebar. Sungguh dia merasa sangat sungkan karena hampir semua bantuan yang dibutuhkannya, Daniel yang mencukupi.“Kamu bisa jalan?” tanya Daniel memastikan lebih dulu.Jia
Di rumah sakit. Daniel menyiapkan sarapan untuk Jia yang tadi diberikan oleh perawat.“Kamu bisa makan sendiri?” tanya Daniel memastikan karena Jia terlihat masih lemah.Jia tersenyum kecil, lalu menjawab, “Bisa, kamu tenang saja.”Daniel mengangguk pelan. Dia kembali duduk menunggu Jia sarapan, siapa tahu Jia membutuhkan bantuannya.Jia berusaha makan sendiri meski seluruh tubuhnya terasa sakit karena lebam di sekujur tubuh. Dia memasukkan suapan pertama, lalu tatapannya tertuju pada Daniel. Dia melihat pria itu hanya diam menunggunya makan, membuat Jia merasa sedikit sungkan.“Kamu tidak sarapan?” tanya Jia.Sejak kemarin Daniel terus menunggunya di sana, bahkan tak terlihat sekalipun keluar dari kamar itu, kecuali saat kedatangan orang tua Edwin.“Kak Alina bilang akan datang membawakan sarapan, jadi aku akan menunggunya,” ujar Daniel.Jia mengangguk-angguk pelan. Dia agak canggung karena makan sendiri, sedangkan Daniel hanya duduk mengamatinya.“Makanlah dan minum obatmu. Kamu har
Alina menemui Anya yang baru saja selesai mandi dibantu pelayan.“Biar aku saja yang membantunya ganti baju, kamu keluarlah,” kata Alina pada pelayan.Pelayan mengangguk lalu keluar dari kamar itu.Alina memulas senyum pada Anya. Dia mendekat lalu duduk di tepian ranjang dan membantu Anya memakai pakaian.“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Alina.Semalam Anya dan Arlo tidur satu kamar atas permintaan Arlo, tetapi disediakan dua ranjang terpisah.Anya mengangguk seraya menatap pada Alina yang sedang memakaikan bajunya.“Kata Arlo, semalam kamu mimpi buruk sampai menangis. Apa benar?” tanya Alina memastikan apakah cerita putranya benar atau tidak.Anya terdiam. Dia menunduk tak menjawab pertanyaan Alina.Alina melihat ekspresi sedih di wajah Anya. Dia tidak bertanya lagi, tetapi memilih segera menyelesaikan membantu Anya memakai baju. Setelah itu dia juga menyisir rambut Anya.“Bagaimana kabar Mama?” tanya Anya.“Mama sudah baik. Hari ini kita ke sana untuk menjenguknya, ya.” Alina bicara ser
Jia menatap Daniel yang sedang merapikan ranjang khusus penunggu. Dia merasa tak enak hati karena sudah merepotkan pria itu.“Kamu bisa tidur di tempat kakakmu. Aku tidak apa-apa tidur di sini sendiri, lagi pula ada perawat yang bisa aku panggil jika butuh sesuatu,” ujar Jia karena tak ingin terus menerus merepotkan Daniel.Daniel menoleh ke arah Jia, lalu dia duduk di tepian ranjang khusus penunggu seraya menatap pada Jia.“Aku sudah berjanji pada Anya untuk menjagamu, jadi aku akan tetap di sini,” ujar Daniel.Jia berbaring seraya menatap pada Daniel.“Kak Alina bilang kalau besok akan membawa Anya ke sini, jadi sekarang istirahatlah. Kamu harus terlihat baik-baik saja agar Anya tidak sedih,” ujar Daniel.Jia hanya mengangguk. Dia tidak memaksa jika memang Daniel tetap mau tinggal, meski sebenarnya Jia canggung berada di satu ruangan berdua dengan pria, terlebih dia dan Daniel tidak ada hubungan apa pun.“Selamat malam,” ucap Daniel lalu naik ke atas ranjang. Dia membaringkan tubuhn
Di rumah sakit. Daniel masih menemani Jia yang terbaring lemah. Dokter mengatakan jika tidak ada kerusakan fatal di organ dalam, sehingga Jia hanya butuh perawatan biasa sampai kondisinya benar-benar pulih.“Kamu membutuhkan sesuatu?” tanya Daniel.Jia menggeleng.Daniel sabar menemani Jia karena kondisi Jia yang masih lemas. Terdengar suara ketukan pintu kamar. Daniel menoleh dan melihat pintu kamar terbuka. Kedua orang tua Edwin ternyata datang untuk melihat kondisi Jia.Daniel segera berdiri lalu sedikit membungkuk ke arah mertua Jia, sedangkan Jia masih terbaring lemah dan hanya bisa menatap dua orang itu.“Saya keluar dulu,” ucap Daniel agar Jia dan kedua orang tua Edwin bisa bicara.Kedua orang tua Edwin mengangguk. Mereka tak menyangka jika Daniel sangat sopan, padahal sebelumnya mereka sudah menuduh jika Daniel selingkuhan Jia.“Bagaimana kondisimu?” tanya ibu Edwin setelah Daniel keluar dari ruangan itu.“Tidak baik,” jawab Jia lirih.Kedua orang tua itu saling pandang, lal
Bams menatap Naya yang hanya diam. Dia tersenyum getir, Bams yakin kalau Naya akan mundur setelah mendengar ceritanya. Inilah alasan kenapa Bams tidak pernah mau dekat dengan wanita, dia takut jika ditolak karena masa lalu dan asal usulnya yang buruk.“Sudah tahu aku hasil anak apa, hidup dan besar di mana, lalu bagaimana kejamnya aku, kan? Jika mau mundur, mundur saja.” Bams tersenyum getir lalu memalingkan muka dari Naya.Naya melihat tatapan kecewa dari mata Bams. Ya, meski dia syok, tetapi bukan berarti dia akan langsung menilai Bams buruk juga. Mungkin Naya hanya butuh memikirkan dengan matang, mempertimbangkan dengan pemikiran dingin, lalu melihat kebaikan Bams yang sekarang. Bukankah begitu?“Tidak apa, aku terima.” Bams mengusap kedua pahanya, lalu berdiri untuk kembali ke kamar. Lagi pula, untuk apa menunggu, dia sudah tahu jawabannya.Naya terkejut Bams mau pergi. Dia langsung menahan pergelangan tangan Bams.“Dih, kenapa main pergi saja?” tanya Naya seraya menatap pada Bams
Sembilan tahun lalu. “Dasar jalang sialan. Kamu bilang mau memberiku perawan, ternyata mana?” Seorang pria berbadan besar menampar wanita paruh baya hingga tersungkur di lantai. “Ta-tapi dia bilang kalau belum pernah melakukannya.” Wanita itu mencoba menjelaskan, tetapi tamparan kembali dilayangkan secara bertubi-tubi. “Sialan! Kamu hanya mencoba menipuku! Kembalikan uangku!” perintah pria itu seraya menjambak rambut wanita paruh baya itu. Saat itu, Bams yang berumur dua puluhan tahun, melihat wanita tadi dianiaya. Dia melempar barang belanjaan yang dibawanya, lantas menghampiri untuk menolong wanita yang tak lain ibunya. “Berhenti memukuli ibuku!” teriak Bams seraya menghalau tangan pria tadi memukul sang ibu. Pria itu geram karena ada yang menahannya. Dia menghempaskan tubuh Bams hingga tersungkur di lantai. “Tidak usah ikut campur, kecuali kamu mau mengganti uangku. Atau, kamu mau jadi gigolo lalu uangnya untuk mengganti uang yang sudah wanita ini ambil!” Pria itu tersenyum